
Bab 58 - Rindu yang lama diabaikan
Renata membulatkan matanya saat mendengar penjelasan Aleta mengenai malam itu. Sebelumnya dia menyangka bahwa Pricille malam itu memang mau membawa Aleta. Dia ingat saat Johan memeriksa ponsel Aleta, ada pesan Pricille yang meminta Aleta untuk menemuinya.
“Jadi, dia nggak ada niatan mau melenyapkan lo?” tanya Renata.
“Mungkin awalnya iya tapi malam itu dia berusaha keras untuk nyelamatin gue dari Revan.”
Renata mengangguk mengerti lalu berikutnya guru mata pelajaran masuk. Mereka hampir tak menyadari bahwa bel masuk telah berbunyi.
Satu sekolahan tidak ada yang tahu peristiwa itu. Memang sengaja ditutupi oleh pihak keluarga Aleta. Jadi, Aleta tidak masuk beberapa hari hanya dengan keterangan sakit biasa.
Arna tidak ingin berita penembakan Aleta heboh di sekolah, takut akan mengganggu Aleta sendiri.
Di tengah jam pelajaran kimia tiba-tiba Johan datang ke kelas Aleta dan meminta izin kepada guru untuk membawa Aleta. Bu Artik selaku guru kimia mengizinkan. Meski sejujurnya Aleta tidak tahu apa yang dikatakan Johan sampai mereka diizinkan ke luar sekolahan.
“Lo ngomong apa sama Bu Artik?” tanya Aleta saat mereka sudah berada di koridor kelas.
“Gue bilang Oma minta gue anterin lo karena urusan mendesak. Nanti balik lagi ke sekolah,” jawab Johan.
“Emang kita mau kemana?” tanya Aleta lagi.
“Kita ke kantor polisi sekarang. Revan udah nyerahin diri. Oma juga udah nunggu di sana.” Johan meraih tangan Aleta, menggenggamnya lalu membawa gadis itu dengan langkah yang lebih cepat menuju parkiran sekolah.
Aleta hanya menurut dan selama perjalanan tak ada pembicaraan di antara mereka. Aleta hanya diam dengan pikirannya. Karena Johan membawa motor yang dilakukan Aleta hanya memeluk Johan dari belakang sambil terus berpikir apa alasan Revan ingin melenyapkannya.
Kepala Aleta bersandar di punggung Johan. Helm yang ia kenakan juga sesekali bersentuhan dengan helm milik Johan.
Dengan kelajuan cukup cepat Johan membawa Aleta membelah jalanan Jakarta. Sampai akhirnya mereka sampai di kantor polisi.
Aleta melepaskan helmnya yang dibantu oleh Johan. Dilihatnya Johan yang tersenyum kepadanya. “Lo kenapa senyum-senyum gitu, sih?” tanya Aleta sambil menahan senyumnya juga.
“Biar kegantengan gue berkali-kali lipat.” Johan senyum percaya diri.
“Prett. Sok ganteng sekali,” desis Aleta lalu memberikan helmnya kepada Johan.
Johan hanya terkekeh sambil meletakkan helm itu di atas motor. “Ayo,” ajak Johan dan lagi menggenggam manis tangan Aleta.
***
Sampai di dalam kantor polisi sudah ada Arna yang duduk di kursi tunggu. Ada Pak Anung juga di sana. Aleta menghampiri Arna dan Arna langsung berdiri memeluk cucunya.
“Kamu siap, kan, ketemu orang itu?” tanya Arna menatap Aleta dengan sorot mata khawatir.
Aleta mengangguk. Meski ada rasa cemas dalam dirinya, tapi tetap saja dia harus tahu yang sebenarnya. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan bahwa ini semua bukan sepenuhnya keinginan Revan. Dia tidak punya masalah pribadi yang khusus kepada Revan.
Polisi datang sambil membawa berkas. Sebelumnya Arna memang sudah meminta agar Revan diintrogasi di hadapan mereka. Polisi itu mengajak Arna untuk masuk ke ruang penyidik atau interogasi.
“Kita bertiga, ya, Pak?” tanya Aleta sambil melirik sekilas ke arah Johan.
Polisi itu mengangguk menyetujui dan membawa mereka bertiga ke ruangan interogasi. Lalu menyisakan Pak Anung yang menunggu di tempat tadi.
Saat masuk ke dalam ruangan interogasi Aleta mendapati Revan sudah duduk di sana dengan kedua tangan yang diborgol. Dia menatap sekilas ke arah Aleta lalu memalingkan wajah.
Debaran jantung Aleta mulai berkontraksi lebih cepat saat mereka semua duduk dan berhadapan dengan Revan. Polisi siap mengintrogasi Revan dan Aleta menyiapkan hatinya untuk mendengarkan semuanya.
***
Tubuh Aleta seperti kehilangan beribu mili cairan. Rasanya begitu lemas setelah mendengar penjelasan Revan di dalam.
Aleta berjalan keluar dipapah Arna dan kembali duduk di tempat Pak Anung yang masih setia menunggu mereka.
Bagaimana mungkin dunia bekerja secerdik ini pikir Aleta. Bumi yang katanya luas ternyata setelah diamati begitu sempit. Gadis itu mengingat kembali perkataan demi perkataan yang diucapkan Revan di dalam tadi.
“Saudara Revan. Tolong jelaskan motif Anda dalam menyalahgunakan senjata,” titah sang polisi.
“Saya ingin melenyapkan Aleta.” Dada Aleta seperti terhimpit. Lagi-lagi mendengar kalimat itu.
“Bisa Anda jelaskan mengapa Anda ingin melenyapkan korban? Anda juga diduga sudah merencanakan penembakan itu sebelumnya.”
Sebelum menjawab Revan mengangkat kepalanya dan menatap Aleta. Tidak tahu ada arti apa dari dalam tatapan itu. Revan terus menatap sambil menjawab, “dia adalah anak dari Ayah tiri saya. Saya hanya tidak ingin Ayah saya kembali hidup bersamanya. Saya ingin Ayah saya hanya menjadi Ayah saya.”
Aleta benar-benar bungkam saat itu. Revan ... adalah anak tiri dari Ayahnya. Bagaimana bisa?
“Ayah tiri saya juga yang sudah memaksa saya untuk menyerahkan diri. Dia tau setelah si brengsek Riki itu datang,” imbuh Revan.
Aleta meneguk liurnya ketika mendengar nama Riki. Dia ingat Riki pernah mengatakan dia tahu yang sebenarnya serta melarang dirinya untuk percaya dan menemui siapapun.
“Hanya itu alasan dibalik penyalahgunaan senjata yang Anda lakukan? Tidak ada karena motif dendam dan lain hal?” Polisi kembali bertanya.
“Tidak.”
“Riki tahu semuanya. Dia pernah bilang ke gue kalau orang dibalik pesan rahasia itu ada tiga. Lo, Pricille lalu?” Aleta membuka mulutnya memberanikan diri untuk bertanya.
Revan tersenyum miring dan lagi-lagi menatap Aleta dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. “Kalau Riki beneran tau biar dia yang ngungkap. Saya hanya bisa menjelaskan sebatas ini. Karena hanya itu yang mendalangi saya ingin melenyapkan Aleta,” jawab Riki.
***
Aleta memijat pelipisnya. Perasannya kini campur aduk. Kepalanya mulai terasa sakit.
Dari arah Pintu dia bisa melihat sosok laki-laki bertubuh tegap serta mengenakan jas masuk. Dia perlahan mendekat kepada Aleta.
Aleta hanya mengembuskan napasnya berat. Sulit sekali memahami dan menerima ini semua. Laki-laki itu adalah Bagas, ayahnya.
“Al,” panggilnya.
Arna berdiri dan menatap tajam Bagas. “Jadi yang sudah mencoba melenyapkan anak kamu itu adalah anak tiri kamu? Anak dari wanita kurang ajar itu?” hardik Arna.
“Ibu, saya tidak tau kalau Revan akan melakukan ini semua,” balas Bagas.
“Mana itu istri kamu? Belum puas dia mau menghancurkan keluarga kamu dan sekarang anaknya ingin melenyapkan Cucu Ibu?”
“Ibu, biarkan saya berbicara dengan Aleta dulu.”
Aleta berdiri lalu menatap nanar ayahnya. Pun dengan Bagas yang seperti menahan sesuatu dalam dirinya. “Maafkan Papa,” ujarnya.
Air mata Aleta akhirnya mengaliri wajah. Dia menatap ayahnya dengan sejuta pilu. Aleta mendekat ke arah sang Ayah lalu memeluknya dengan erat. Pelukannya dibalas oleh sang Ayah. Aleta merasa rambutnya dielus dari belakang.
Gadis itu terisak dalam pelukan. Pelukan ini, pelukan yang sudah begitu amat ia rindukan. Hangatnya yang sudah lama tak Aleta rasakan akhirnya kini kembali ia rasakan. Lukanya seperti kian membesar tapi sedikit terobati.
Dia tidak bisa membenci lagi. Egonya telah terkalahkan oleh rindu. Rindu yang amat mendalam. Belasan tahun ia sembunyikan dan kubur dalam-dalam. Belasan tahun ia abaikan bagai angin lalu.
“Aleta yang harusnya minta maaf. Harusnya ini yang Aleta lakukan waktu pertama kali ketemu Papa,” kata Aleta disela isakan tangisnya.
Bagas melepaskan pelukan dan menatap Aleta serta membenarkan rambut dan menghapus air mata putrinya itu. “Papa layak kamu lakukan seperti itu. Jangan menangis, puteri Papa sudah banyak menanggung luka karena Papa,” kata Bagas.
Aleta menggeleng lalu memeluk kembali ayahnya. “Aleta rindu Papa,” lirihnya.
...
Salam Sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro