Bab 57 - Johan tahu
Aleta membuka matanya dan mendapati Johan yang tidur sambil menggenggam tangannya. Tubuhnya dilantai dan kepalanya tertidur di sela tangan Aleta dan pinggir kasur.
Tangan kiri Aleta bergerak mengusap rambut laki-laki itu. Sepertinya Johan merasa sehingga kepalanya bergerak lalu mendongak dan menatap Aleta sambil menyipitkan mata khas bangun tidur.
Dia terlihat jauh lebih tampan ketika bangun tidur, pikir Aleta.
“Lo udah sadar?” tanya Johan memandang Aleta dengan penuh semangat.
Aleta tersenyum dan mengangguk. Pria itu kemudian membalas senyumnya. “Dokter Maya tadi nungguin di sini cuma ada telepon dari rumah sakit, jadi dia pergi.”
“Dokter Maya?”
“Gue tau semuanya. Penyakit lo,” kata Johan.
Aleta mengubah mimik wajahnya. Dia terkejut mendengar pernyataan Johan. Sejak kapan pria itu tahu?
“Sakit apa?” tanya Aleta memaksakan senyumnya.
“Kanker otak.”
Aleta diam. Rupanya Johan benar tahu tentang penyakitnya.
“Gue akan di sisi lo selalu. Lo pasti bakal sembuh.” Johan mendekat sambil menggenggam erat tangan milik Aleta. Matanya menatap dalam manik mata Aleta. Ada sebuah penuntutan percaya yang tersirat lewat mata itu.
“Gue tau lo kan selalu di sisi gue, Han. Tapi, tolong jangan berekspektasi tinggi tentang penyakit gue.”
***
Esok harinya Aleta sudah kembali bersekolah. Malam itu Arna menjemputnya dari rumah Johan.
Sejujurnya ada yang Aleta khawatirkan. Pricille. Dia tidak tahu bagaimana keadaan gadis itu saat ini. Aleta ingat betul malam itu Pricille ditembak karena menghalangi agar peluru itu tidak mengenai badannya.
Renata menghampiri Aleta dengan senyuman yang mengembang serta memeluk Aleta dengan sangat erat. “Gue kangen banget sama lo. Lo buat jantung gue mau copot tau nggak dengan insiden lo ditembak.” Renata mengerucutkan bibirnya sambil mendumel menatap Aleta.
“Sori. Gue sekarang udah baik-baik aja, Ta,” balas Aleta.
“Iya, sih. Aaaa gue seneng deh.” Renata kembali memeluk sahabatnya itu.
“Pricille belum masuk?” tanya Aleta.
Renata menggeleng. “Lo kenapa nanyain dia, sih? Dia udah terlibat dengan kasus penembakan lo malam itu. Dia berencana buat nyingkirin lo dari bumi tau nggak,” desis Renata.
“Ta–”
“Pelakunya udah di kantor polisi tapi belum mau ngaku siapa atasan mereka yang merencanakan semua ini. Geram banget gue sama itu orang.” Renata kembali mendumel.
“Ta, lo dengerin gue, ya. Gue akan cerita apa yang sebenarnya terjadi malam itu.” Aleta memegang bahu Renata dan menatapnya dengan tegas.
Aleta kembali mengingat kejadian malam itu. Malam yang membuat nyawanya dan Pricille hampir lenyap.
“Akhirnya lo mau ketemu,” kata Aleta sambil menatap Pricille.
Pricille mengangkat kepalanya dan menatap Aleta.
Aleta tersentak saat melihat Pricille menatapnya.
Mata Pricille sangat sayu. Wajahnya juga tak segar seperti biasanya. Rambut cewek itu ditutupi menggunakan mantel hoodie. Kantung mata yang hitam melingkar dibawah matanya. “Kita harus pergi sekarang juga,” ujar Pricille.
“Maksud lo?” Aleta menatap Pricille dengan beribu pertanyaan. Dia kemari hanya untuk mengetahui siapa orang yang mengirimi pesan rahasia itu tapi, Pricille justru mengajaknya pergi.
“Aku jelasin nanti. HP aku udah disadap dan sebentar lagi dia pasti datang. Kita harus pergi sejauh mungkin dan kalau mendesak aku akan halangin dia dan kamu lari secepat mungkin, ya?”
“Pricille sebenarnya kenapa? Siapa yang lo maksud dia?” Aleta masih butuh penjelasan.
“Al, waktu kita nggak banyak. Aku nggak bisa menghalangi kamu ke sini karena bukan aku yang ngirim pesan itu ke kamu. Tapi seenggaknya aku bisa bawa kamu lari dari sini,” kata Pricille lagi.
Aleta hanya mengangguk meskipun belum mengerti dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Pricille menarik tangannya dan segera berlari keluar dari rumah ini.
Memang tidak begitu banyak rumah di daerah sini. Saat tiba di depan pagar Pricille membuang ponselnya ke sembarang arah lalu mereka berlari pergi menuju gang depan berharap ada kendaraan umum yang bisa mereka tumpangi.
Namun belum jauh mereka dari pekarangan rumah itu sebuah motor hitam memancarkan lampu ke arah meraka. Aleta tersentak saat menoleh ke belakang. Motor itu adalah motor yang menabrak Johan. Pricille semakin mempererat pegangannya terhadap Aleta.
Dia membawa Aleta berbelok ke arah kiri. “Kita cari rumah yang berpenghuni untuk minta tolong,” kata Pricille.
Namun langkah mereka semakin jauh tak kunjung menemui rumah yang berpenghuni. Rata-rata rumah di sini kosong dan lusuh. Pricille menghentikan langkah lalu menatap ke sekeliling mereka. “Sial. Aku nggak tau kalau di sini nggak ada rumah yang berpenghuni,” gerutu gadis itu.
“Cille, gue masih nggak paham. Orang itu–”
“Dia mau bunuh lo, Al. Gue harus apa? Gue nggak bisa nyelamatin lo. Kita salah jalan. Untuk mutar ke jalan tadi itu nggak mungkin. Dia pasti nemuin kita.” Pricille memotong perkataan Aleta.
“Bu ... Bunuh gue?”
Pricille hanya mengangguk lalu kembali membawa Aleta pergi tapi terlambat. Seseorang bertubuh tegap dengan seragam hitam sudah berada di depan mereka. Aleta sontak mundur begitupun dengan Pricille. Gadis itu menutupi tubuh Aleta.
Tangan Aleta dingin. Sedangkan tangan Pricille terus menggenggamnya. Orang itu mendekati mereka. Wajahnya tidak terlalu jelas karena di sini begitu gelap hanya diterangi dengan cahaya rembulan.
Aleta melirik ke sekeliling mereka dan ternyata sangat sepi. Semak-semak di samping juga terlihat. Orang itu makin mendekat dan detik itu juga Aleta membeku di tempat.
Degup jantung Aleta yang berpacu kini kian hebat. Napasnya terhenyak. Bagaimana bisa orang itu? Dia tidak mungkin salah lihat, kan? Orang itu ... adalah Revan.
Aleta teringat peristiwa di taman belakang sekolah. Saat dia dan teman-temannya mencurigai Revan juga Pricille. Jadi mereka memang benar terlibat? Sontak Aleta melepaskan genggaman tangan Pricille dan mundur. “Lo berdua kerjasama untuk bawa gue ke sini?” tanya Aleta dengan dadanya yang sesak.
Dia menatap tidak percaya kepada Pricille yang menoleh ke arahnya. Bisa-bisanya dia mengikuti gadis itu dan sampai di mari?
“Al, kamu boleh lari sekarang. Lari yang jauh,” kata Pricille dengan dadanya yang naik turun.
Aleta menggeleng. “Apa salah gue sama kalian berdua?”
Pricille bergerak dan kembali menarik tangan Aleta. Mereka berlari tak tau arah. Aleta yang terus memberontak tapi tak juga Pricille lepaskan. Revan terus mengejar mereka sambil berteriak, “Pricille berhenti! Atau lo juga akan bahaya di sini.”
Sampailah di gedung tua tak berdinding dan gelap serta dipenuhi dedaunan kering dan tanah. Dinding gedung sepertinya lusuh dengan coret-coretan.
Pricille melihat ke sekitarnya. Tidak ada tempat untuk mereka berlari. Semuanya sepi. Mereka benar-benar salah jalan.
Revan sampai dan menatap tajam ke arah mereka berdua. Pricille lagi-lagi mundur sambil menutupi tubuh Aleta. “Revan stop!” teriaknya.
“Lo mau berkhianat?” Revan tersenyum miring sambil terus melangkah.
“Revan plis. Kamu udah dibutain sama omongan yang nggak sama sekali benar. Kamu nggak akan kehilangan apapun meskipun Aleta tetap hidup. Plis Van, kamu denger aku. Hentikan ini semua.” Pricille kembali berbicara.
“Lo bego, Cille. Gue nggak akan hentikan ini gitu aja. Gue udah terlampau jauh. Jadi, lo bisa minggir kalau lo nggak mau ikut mati,” jawab Revan.
Aleta menatap punggung Pricille yang berada di depannya. Dari pembicaraan dua orang itu yang dapat Aleta pahami adalah bahwa Pricille ingin melindunginya. Mereka mungkin bekerjasama selama ini tapi sekarang Pricille berada di pihaknya.
“Pricille lo mundur. Gue yang akan bicara sama Revan,” kata Aleta berdiri di damping Pricille.
“Al,” balas Pricille.
“Gue hanya ingin tau apa alasan lo begitu ingin menghabisi gue?” tanya Aleta menatap ke arah Revan tanpa ragu.
Revan tersenyum miring. “Karena gue nggak mau lo hidup!”
“Lo mau gue mati, kan? Gue akan mati tanpa lo bunuh sekalipun. Tapi, kalau lo benar-benar ingin gue mati di tangan lo, gue bersedia asalkan lo kasih tau alasan lo ngelakuin ini semua dan siapa orang yang mendalangi ini. Gimana?” tanya Aleta berjalan mendekat ke arah Revan.
“Revan plis. Aleta nggak seperti yang kamu dan aku kira selama ini. Kita cuma udah kemakan omongan–”
Dor.
Satu tembakkan terdengar. Revan menembakkan pistolnya ke arah langit. “Jangan banyak bicara,” ujar Revan dan mengarahkan pistol tepat ke jantung Aleta.
Aleta membeku ditempat. Ini pertama kalinya dia melihat senjata itu tepat di depan mata. Tubuhnya sedikit gemetar mendengar letupan peluru tadi. Rasa takut perlahan menjalar di tubuhnya.
“Al, mundur!” teriak Pricille.
Aleta melangkah perlahan mendekati Revan. Dia hanya memberikan jarak tiga jengkal antara pistol dan dadanya. “Lo bisa tembak gue semau lo, gue nggak akan ngelak. Kasih tau gue dulu alasan dan orang yang mendalangi ini semua,” ujar Aleta menatap getir pria yang menodongkan pistol itu.
“Baik. Lo yang datang dengan sendirinya,” sinis Revan. Jari telunjuknya mulai bersiap menarik pelatuk. “Alasannya karena ...” Revan menggantungkan ucapannya sementara tubuh Aleta sudah gemetar hebat. Tangannya mengepal takut.
Dor.
Satu tembakan Revan luncurkan hanya saja yang membuat aleta tersentak adalah bukan dirinya yang terkena. Pricille berada di depannya seketika dan peluru itu mengenai bagian dadanya.
Darah segar melumuri baju gadis itu. Tubuhnya terhuyung ke samping dan detik itu juga Aleta menyanggahnya dan kemudian air mata meluncur begitu saja dari kelopak matanya. Dadanya sesak serta perasaannya pilu melihat raut wajah Pricille yang menahan perih dan darah yang sudah berlumuran ditubuh gadis itu.
“Pricille,” panggil Aleta tapi tak ada jawaban mata gadis itu perlahan menutup serta tangan yang memegangi dada yang terkena peluru perlahan menurun. Pricille kehilangan kesadarannya.
Aleta terisak saat itu juga. Ditatapnya Revan yang masih di tempatnya. Kemudian Aleta meletakkan tubuh Pricille di lantai gedung yang penuh tanah itu dan berdiri menghadap Revan.
“Lo benar-benar psikopat! Bajingan!” teriak Aleta.
“Siapa yang suruh lo, ha? Mana si pengecut itu? Lo nggak punya masalah pribadi, kan, sama gue? Lo hanya boneka si pengecut yang nyuru lo!” teriak Aleta dengan tubuhnya yang sudah gemetar hebat.
“Lo yang buat gue jadi psikopat,” sinis Revan lalu menekan pelatuk dan peluru itu mengenai perut bagian kanan Aleta. Seharusnya jantungnya hanya saja Aleta sempat menghindar jadi mengenai perutnya.
Aleta merasakan perih dan memegang perutnya. Darah mulai berkeluaran serta tubuhnya mulai tak seimbang. Saat dia akan terjatuh, dia merasa seseorang menyanggah tubuhnya dari belakang. Ada suara yang memanggil namanya lalu semua gelap dan Aleta tak bisa mendengar apapun.
...
Salam Sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro