Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 54 - Lewat sorot mata

“Johan,” lirih Aleta sebelum gadis itu kehilangan kesadarannya.

Johan menepuk pelan pipi gadis itu. Menyingkapkan rambutnya lalu menepuk pipi lagi sambil merintih memanggil namanya agar bangun atau sekedar bertahan.

Johan tak menghiraukan sekitarnya. Dia terus memandangi Aleta dan merengkuhnya seraya terisak. Ponselnya sudah tergeletak di sembarang arah. Johan menggendong tubuh Aleta berniat membawa gadis itu pergi dari tempat ini dan segera ke rumah sakit.

Sebelum melangkah Johan melihat ke bawah. Ternyata orang yang terbaring satunya lagi adalah Pricille. Johan tidak mungkin membiarkannya di sini, hanya saja otaknya kini tak karuan. Hanya Aleta yang dipikirkannya.

Johan menyeimbangkan tubuh Aleta agar tak lepas dari gendongannya lalu dari arah depan datang Donny dan juga Andi beserta papanya.

“Lo nggak apa?” tanya Andi tergopoh-gopoh menghampiri Johan.

“Nggak. Tolong Pricille dia juga terluka. Lalu telpon polisi untuk lacak siapa orang yang melakukan ini. Orang yang sudah menyalahgunakan senjata,” kata Johan lalu melangkah membawa Aleta masuk ke dalam mobil.

Davide berniat mengikut Johan hanya saja Johan melarang. Dia memohon agar papanya menelpon polisi dan mencari orang itu. Perkiraannya dia belum terlalu jauh. Apalagi laki-laki itu tidak membawa kendaraan.

Johan meletakkan tubuh Aleta di mobil bagian penumpang sedangkan Johan menyetir. Dia memutar mobil dengan cepat lalu menancap gas setinggi mungkin.

Dia membawa mobil tak karuan sambil melirik ke arah Aleta sesekali. “Gue mohon bertahan, Al,” gumamnya dengan seluruh perasaan cemas.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi bahkan lampu merah Johan lalui begitu saja. Dia tidak perduli jika dia akan menjadi incaran polisi. Yang dia perdulikan saat ini hanyalah Aleta. Aleta seorang.

Johan menginjak rem mobil lalu dengan cepat menurunkan Aleta dan membawanya masuk ke dalam rumah sakit.

Johan tergopoh menggendong Aleta yang terkulai. Sampai di pintu depan rumah sakit beberapa gerombolan suster datang menghampiri sembari membawa brankar lalu Johan meletakkan Aleta di atasnya.

Johan menggenggam tangan Aleta sambil mengiringi brankar menuju UGD. “Gue mohon bertahan,” ujar Johan penuh harap.

Akhirnya Aleta sudah berada di dalam ruangan UGD dan tersisalah Johan yang hanya bisa menunggu di depan ruangan.

Baju Johan berlumuran darah Aleta serta tangannya juga terdapat darah. Namun tak dipedulikannya, dia hanya tertunduk lemah menunggu dengan penuh harap.

Martia dan Renata datang menghampiri Johan. Dia hanya mendongak tanpa sepatah kata. “Johan, kamu lebih baik ganti baju dan bersihkan badan dulu, ya, Nak.” Martia berujar setelah lama memperhatikan puteranya duduk lemah dengan wajah yang tertunduk.

“Johan harus tunggu Aleta dulu,” jawab Johan.

Suara roda brankar dan drap sepatu bersentuhan dengan lantai terdengar kemudian. Johan mendongak lalu menemukan sebuah brankar yang sedang diiringi oleh suster juga dengan Donny, Andi dan papanya.

Itu Pricille. Gadis itu mengalami hal yang sama seperti Aleta. Tubuhnya juga berlumuran darah. Johan menghela napas berat. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mereka berada di sana? Siapa orang yang melakukan ini semua?

Brankar Pricille ikut di masukkan ke dalam ruangan UGD. Donny, Andi serta Davide menghampiri Johan, Renata dan Martia.

“Kamu yang tenang. Aleta akan baik-baik aja,” ujar Davide menepuk pundak Johan.

“Polisi udah nyari orang itu?” tanyanya.

“Iya.”

Johan mengangngguk mengerti kemudian meyenderkan diri ke dinding. Tubuhnya sedikit tak bersahabat, mungkin ini dikarenakan dirinya yang baru saja sadar dari koma.

“Ini tas Aleta,” Donny memberikannya kepada Johan.

Johan menerimanya dan langsung mengecek ponsel gadis itu.

Tak lama Dokter keluar dari ruangan. Dia mengatakan bahwa mereka baru saja mengeluarkan pelurunya dan akan segera melakukan operasi serta transfusi darah karena pasien banyak mengalami kekurangan darah. Pihak rumah sakit membutuhkan tanda tangan dari wali untuk melakukan operasi.

Johan menggerutu pada dirinya karena belum menghubungi Oma Arna. Dengan cepat Johan menghubunginya agar operasi bisa dilaksanakan dengan cepat.

“Tolong hubungi juga keluarga dari pasien atas nama Pricille,” ucap Dokter.

***

Johan kini sudah berganti pakaian juga sudah membersihkan darah dari beberapa bagian tubuhnya. Sekarang dia hanya duduk di kursi depan ruangan operasi bersama yang lainnya menantikan Dokter keluar dan membawa kabar baik yang ingin mereka dengarkan.

Arna terus menangis dalam pelukan Martia. Lalu Pak Adam, Ayahnya Pricille juga ada di sana. “Ibunya Pricille sudah diberi tau, Pak?” tanya Davide kepada rekan kerjanya itu.

“Iya. Dia kebetulan masih di luar kota dan sedang mengurus keberangkatan ke sini,” Jawab Adam.

Pintu ruangan operasi terbuka dan menampilkan Dokter yang sedang membuka sarung tangannya. Dia mengatakan bahwa operasi berjalan dengan lancar dan pasien akan dipindahkan ke ruangan rawat.

Semua yang berada di sana mengembuskan napas lega. Arna memeluk Martia sebelum Dokter akhirnya memanggil masing-masing wali untuk ke ruangannya.

Johan merasakan pasokan udaranya kembali normal. Dia bisa bernapas dengan sedikit tenang dari sebelumnya.

***

Wajah Johan masih nampak pucat. Kondisinya belum bisa dibilang sembuh. Harusnya dia istirahat hanya saja menemani Aleta di ruang rawatnya adalah keinginan Johan.

Dia memandang gadis itu. Menggenggam tangannya sambil berujar, “jadi gini rasanya jadi lo sebelum gue sadar kemarin?”

“Cemas menguasai diri,” lanjut Johan sambil menghela napas. Arna hanya duduk di sala satu sofa memperhatikan Johan yang menggenggam tangan Cucunya.

“Cepat bangun, ya, gue kangen,” kata Johan lagi.

Pintu ruangan terbuka lalu Riki dibaliknya menampilkan diri. Johan tidak sama sekali mengalihkan pandangannya dari Aleta. Hanya Arna yang melihat Riki.

Perlahan Riki mendekat ke arah Arna. Dia menyalami wanita itu dan berjalan ke sisi brankar atau lebih tepatnya di samping Johan.

“Lo tau, kan, Aleta nemuin siapa dan ada urusan apa malam itu?” tanya Johan tapi tak menoleh sedikit pun kepada orang yang ditanyainya.

Dia masih senantiasa menggenggam tangan gadis yang terbaring lemah di atas brankar dan terus menatapnya dengan sorot mata penuh luka.

“Iya.”

“Gue perlu bicara sama lo.” Johan berdiri lalu lebih dulu keluar dari ruangan dan diikuti oleh Riki.

Mereka mencari tempat yang cukup sepi untuk berbicara. Rooftop rumah sakit.

Johan menatap Riki dengan berjuta pertanyaan di kepalanya. Dari sorot mata yang Riki pancarkan Johan dapat merasakan luka, perasaan tak berguna dan bersalah di sana.

“Apa yang lo tau? Dan nggak gue tau?” tanya Johan langsung pada intinya.

“Banyak,” jawab Riki seadanya.

“Lo tau Aleta akan nemuin seseorang yang berbahaya malam itu? Lalu kenapa lo biarin?” tanya Johan mendengar jawaban dari pria itu bukanlah jawaban yang ia inginkan.

“Dia janji sebelumnya nggak akan nemuin orang itu.” Riki menunduk lemah.

Johan memperhatikan pria di hadapannya ini. Apa dia merasakan luka yang sama seperti dirinya karena dia benar menyukai Aleta?

“Jelaskan semua yang gue nggak tau itu,” pinta Johan dan Riki mengangkat kepalanya dan menatap Johan dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Matanya berkaca serta wajahnya terlihat begitu kacau.

“Apa kalau gue jelasin semuanya belum terlambat? Atau ... lo bisa buat Aleta hidup selamanya?” tanyanya dengan suara yang serak.

“Maksud lo?”

Di luar dugaan Johan, Riki ternyata mendekat ke arahnya meraih tangan cowok itu dan menggerakkannya untuk menampar wajah Riki sendiri. “Pukul gue, pukul gue,” kata Riki sambil terus menamparkan tangan Johan di wajahnya.

Riki menangis lalu terduduk lemah karena Johan tak kunjung memukulnya. Sedangkan Johan masih diam memperhatikan Riki.

“Harusnya gue bisa cegah Aleta hari itu. Ini salah gue ... salah gue,” katanya terus meracau disela isakan.

“Gue emang begok. Nggak guna. Bahkan untuk lindungin Aleta di waktu terakhirnya, gue nggak bisa,” kata Riki lagi.

Kalimat terakhir Riki sukses menohok. Johan merasa dirinya juga tak berguna untuk sekedar melindungi gadis yang dicintainya. Apa Riki sebegitu mencintai Aleta? Sampai dia sehancur ini?

“Waktu terakhir apa maksud lo?” tanya Johan yang jongkok di hadapan Riki.

“Harusnya si brengsek itu nggak usah repot-repot nembak Aleta. Tanpa dia todongan senjata sekali pun Aleta udah di ambang kematian,” jawab Riki menahan kesal dan mengepalkan tangannya.

“Gue nggak ngerti.”

...

Salam Sayang
Nunik Fitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro