Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 53 - Khawatir

Aku tidak takut kamu hilang dari kehidupanku. Aku hanya takut kamu hilang dari ingatanku.
...

Rekomen lagu Bukan Cinta Manusia Biasa - Dewa19

Terutama pas di adegan Johan panik. Hoho.

Selamat membaca

...

Aleta memandang ponselnya berkali-kali, mengecek pesan yang sudah masuk beberapa menit lalu. Bukan pesan rahasia itu. Itu adalah pesan dari Pricille. Setelah lama Aleta menunggu akhirnya Pricille membalas pesannya. Dia bersedia bertemu dengan Aleta malam ini.

Aleta mengingat kembali perkataan Riki kemarin. Riki mengatakan dia tahu tentang orang itu dan dia akan mengungkap semuanya secepatnya dan selama dia masih berusaha Riki meminta agar Aleta tetap tenang dan menunggu saja. Riki juga mengatakan jangan menemui siapapun serta jangan percaya siapapun.

Aleta melirik ke arah Johan yang masih lelap dalam tidurnya. Dia selalu menemani pria itu dan akan pulang jika sudah jam 10 malam. Sekarang masih sore dan itu artinya dia masih punya waktu untuk memikirkan bertemu dengan Pricille. Dalam hatinya Aleta ingin menuruti perkataan Riki hanya saja otaknya tidak. Otaknya berpikir bahwa dia tidak bisa menunggu lama. Waktunya sangatlah berharga.

Tante Martia dan Om Davide baru saja pulang ingin bersih-bersih dan berganti baju. Mereka menitipkan Johan kepada Aleta sampai mereka kembali. Aleta tidak enak hati jika harus meninggalkan Johan. Akhirnya Aleta mengirimi Renata pesan untuk ke rumah sakit menunggui Johan sampai dirinya atau orangtua Johan kembali ke rumah sakit. Tidak butuh waktu lama pesan yang Aleta kirimkan langsung mendapat balasan dari Renata yang mengatakan bahwa ia bersedia.

Setelah mendapat balasan itu akhirnya Aleta membalas pesan Pricille.

Pricille

Share lock aja nnt gue kesana

Lima menit Pricille langsung mengirimi alamat di mana mereka akan bertemu. Aleta hanya perlu menunggu Renata lalu segera ke tempat itu.

***

Aleta melangkah dengan hati-hati. Dia sudah sampai di tempat yang Pricille kirimkan. Namun ternyata lokasi itu adalah sebuah rumah. Apa ini rumah Pricille?

Aleta melihat ke sekeliling rumah itu. Sepi. Rumah di hadapannya saat ini juga sangat sepi seperti tak berpenghuni. Halamannya yang dipenuhi dedaunan kering serta warna catnya yang sudah sangat lusuh. Aleta mengecek kembali ponselnya dan mengecek alamat yang Pricille kirimkan. Alamatnya benar.

Aleta masuk ke area rumah itu. Pagarnya sudah terbuka mungkin Pricille yang membukanya. Aleta perlahan menyusuri halaman rumah itu sampai dia sudah berada di ambang pintu. Pintunya tersingkap dan Aleta segera masuk.

Sampai di dalam rumah itu Aleta hanya memandangi isinya. Cahaya lampu yang remang-remang membuat Aleta menyipitkan mata. Hanya ruang tamu ini saja yang diterangi cahaya sedangkan ruangan lain gelap.

Aleta melihat Pricille sudah duduk di sofa. Dia tidak menatap Aleta, hanya menunduk. Aleta mendekat lalu duduk di sofa yang berada di hadapannya.

“Akhirnya lo mau ketemu,” kata Aleta sambil menatap Pricille.

Pricille mengangkat kepalanya dan menatap Aleta.

Aleta tersentak saat melihat Pricille menatapnya.

***

Buram. Itulah pertama kali menghiasi penglihatannya. Beberapa kali Johan mengerjapkan matanya barulah semua penglihatannya  jelas.

Semua bernuansa putih. Serta semerbak bau obat-obatan menyusup hidungnya. Suara alat elektronik pendeteksi menyambut pendengarannya lalu disusul oleh suara beberapa orang yang memanggil namanya serta ada pula yang menjauh seraya memanggil Dokter.

“Akhirnya kamu bangun Sayang,” ujar Martia sambil menggenggam tangan puteranya.

Johan hanya mengedipkan mata sekali lalu melirik ke setiap sudut ruangan. Hanya ada Renata dan mamanya di ruangan ini sementara papanya mungkin yang keluar memanggil dokter tadi.

Tak lama laki-laki berjas putih masuk bersama papanya. Dokter kemudian mulai mengecek keadaannya selang waktu kemudian melepaskan alat medis yang menutup area hidung dan mulutnya.

Dia juga banyak mendengar kekhawatiran mamanya yang menantinya sadar selama sebelas hari ini. Johan masih tak menyangka bahwa ia tidur selama itu.

Johan memandang Renata. “Aleta mana?” tanyanya.

“Tadi dia pergi sebentar katanya,” jawab Renata.

Johan hanya mengangguk.

“Johan tadi hp kamu getar terus, Papa mau buka tapi nggak tau passwordnya.” Davide menyerahkan ponsel kepada Johan.

Johan langsung mengambilnya dan mengecek. Seketika kekhawatiran menyusup ke dalam dirinya. Banyak notifikasi dari sadapan ponsel Aleta. Riki memberinya berbagai pesan. Johan langsung melacak lokasi ponsel Aleta dan mengerutkan dahinya. Tempat yang menunjukkan lokasi ponsel gadis itu sangat asing untuk Johan. Ada urusan apa di di sana?

Johan semakin mengerutkan dahinya saat melihat tanda ponsel Aleta terus berjalan di denah. “Dia bilang mau ke mana, Ta?” tanya Johan.

“Dia nggak kasih tau gue. Dia bilang mau nemuin seseorang,” jawab Renata tapi langsung diam kemudian. Lalu kembali berbicara seolah baru akan sadar dengan sesuatu. “Dia nemuin siapa malam-malam gini? Astaga gue nggak ngeh,” kata Renata lalu mulai menampakkan wajah paniknya.

Johan kembali melihat layar ponselnya. Tanda ponsel Aleta terus berjalan. Johan melepaskan infus di tangannya. Di turun dari brankar yang kemudian di tahan oleh papanya. “Johan. Kamu itu baru sadar.” Davide memperingati.

“Johan Pa, Aleta nggak tau di mana,” ujar Johan.

“Johan kamu coba hubungin dulu,” sahut Martia mendekati Johan.

“Iya nanti di jalan Ma, Johan harus segera pergi sekarang.”

“Gue chat nggak di balas dan telpon nggak di angkat,” kata Renata cemas.

“Jangan di telpon lagi. Nanti bisa jadi ponselnya di non aktifkan dan kita nggak bisa lacak.” Johan memperingati Renata.

Johan menatap papanya penuh permohonan. Davide menghela napas. “Papa yang temenin,” putusnya.

“Kita urus dulu biar kamu bisa ke luar,” lanjut Davide.

Johan menghela napas. Tentu saja akan lama jika harus urus mengurus terlebih dahulu. Namun dibanding tidak sama sekali jalan ini adalah yang terbaik.

Johan menunggu di ruangan sedangkan Davide mengurus kepada pihal rumah sakit agar Johan bisa keluar sebentar.

Johan menatap jam yang menggantung di dinding. Lima menit papanya belum juga kembali. Dia mulai resah. Martia terus menenangkannya. Renata menghubungi Andi dan Donny.

Johan benar-benar tidak tenang. Bekas tarikan infusnya tak lagi terasa sakit. Kondisi tubuhnya yang tadi merasa lemah kini mulai berkeringat dingin karena cemas. Dia sungguh mencemaskan Aleta.

Johan menatap Martia dengan lekat. “Ma, Johan mohon biarin Johan pergi. Johan kahwatir sama Aleta.”

“Johan kamu harus tunggu papa dulu, Nak,” jawab Martia.

“Ma,” lirih Johan memohon.

Martia menghela napas lalu menatap Johan dan mengangguk. “Makasih Ma.” Johan tersenyum lega.

“Tapi kamu harus janji nggak akan kenapa napa?”

Johan mengangguk lalu pergi dengan secepatnya. Tadi dia sudah bersiap dan mengganti baju selagi menunggu Davide. Sekarang dia hanya perlu keluar rumah sakit ini. Tak akan ada yang mengetahui bahwa ia adalah pasien.

Johan meminjam mobil Renata. Dia mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Semua kendaran ia lalui begitu saja. Sesekali dia melihat ke ponselnya yang menunjukkan lokasi ponsel Aleta. Sudah semakin jauh dan mengarah ke tempat yang sangat asing untuk Johan.

Johan menancap gas dan melaju semakin kencang. Napasnya benar-benar tak karuan, kekhawatirannya semakin memuncak. Di benaknya muncul bayang-bayang gadis itu. Johan mencoba menelpon nomor Aleta tapi tetap sama tidak di angkat.

Johan memukul stir mobil dengan keras. “Lo di mana Al? ” gumamnya.

Terus mengikuti arah ponsel Aleta akhirnya Johan kini telah sampai di sebuah tempat. Johan memarkirkan mobil kemudian turun dan melihat ponselnya lagi. Lokasi ponsel Aleta tidak terlalu dari tempatnya saat ini.

Tempat ini begitu sepi dan tidak ada cahaya lampu. Hanya cahaya rembulan yang menjadi penerang. Di sekitar sini banyak semak-semak serta tak ada rumah satupun. Dia melangkah menyusuri arah ponsel Aleta.

Dengan penerangan senter ponsel Johan akhirnya sampai di titik letak ponsel Aleta. Tak jauh dari hadapannya tepatnya seperti di bangunan tua tak berdinding terdapat tiga orang.

Dari tempatnya berdiri Johan dapat melihat salah satu di antara mereka tergeletak di lantai yang dipenuhi daun dan tanah. Dua orang lagi masih berdiri berhadapan tapi masih terbilang jarak yang cukup jauh. Ada samar-samar suara dari mereka.

Johan mengarahkan senter kepada orang itu dan Johan menegang seketika. Dia mengenali orang itu dari belakang. Rambutnya, postur tubuhnya. Itu adalah Aleta.

Johan berlari mendekat ke sana saat orang satu lagi menyadari keberadaannya. Saat jarak Johan sudah semakin dekat dengan Aleta tiba-tiba suara dentuman pistol terdengar jelas di telinganya bertepatan dengan itu pula ia melihat tubuh Aleta sudah terkulai siap jatuh begitu saja lalu dengan cepat Johan meraih tubuh gadis itu. Johan merengkuh cemas tubuh Aleta yang sudah berlumuran darah.

“Johan,” lirih Aleta sebelum gadis itu kehilangan kesadarannya.

...

Salam Sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro