Bab 52 - Syarat
Beberapa bab menuju ending:(
Btw happy atau sad ending?
...
Aleta berjalan tergesa mengiringi brankar yang terdapat Johan terbaring di atas sana dengan berlumuran darah.
Aleta menangis sejadi-jadinya memandangi wajah Johan. Sampai suster menghentikannya di depan pintu UGD dan membawa Johan masuk ke dalam sana.
Aleta terduduk lemas di lantai sambil menyender di dinding. Air matanya tak henti mengalir. Aleta menggenggam tangannya lalu menundukkan wajahnya di atas genggaman tangannya itu.
Aku mohon Tuhan selamatkan dia. Aku mohon, batin Aleta.
Aleta berdiri dan memandang nanar ke arah pintu UGD. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Tante Martia, ibunya Johan dan juga menghubungi Oma serta teman-temannya.
Aleta mengingat kembali momen yang sudah ia ciptakan dengan Johan hari ini. Bagaimana mereka tertawa, bercengkrama, menangis dan bagaimana hangatnya dekapan laki-laki itu sampai kejadian terakhir yang membuat dirinya ada di sini. Aleta memeluk dirinya sendiri sambil terus menangis.
Andai dia tidak menyuruh Johan menyeberang ketika itu. Andai dia membiarkan Johan mengantar sampai rumah. Andaikan dia tidak mengajak Johan untuk berjalan pulang sekolah bersamanya. Andaikan, andaikan.
Ini semua salahnya. Ini semua akibatnya. Lalu ponsel Aleta bergetar. Dia melihat sebuah pesan masuk.
Private number
Bagaimana yang kali ini? Lebih menegangkan?
Aleta terdiam membaca isi pesan itu. Dia mengingat jelas motor hitam yang menabrak Johan beberapa jam lalu. Orang itu ... orang itu orang yang mengikutinya, orang yang pernah menabrak Johan sebelumnya, orang yang berhubungan dengan pesan ini.
Dia teringat kembali perkataan Pricille waktu di taman itu. Pricille dan Revan mengetahui orang itu. Aleta mengirimi Pricille pesan untuk mengajaknya bertemu dan berharap dia mau menemui Aleta.
Sejak kejadian di taman Aleta dan Renata tidak berkata sepatah kata pun kepada Pricille. Dia memang sudah keterlaluan dan sekarang setelah menuduh dia justru membutuhkan untuk memberi info siapa orang itu. Dia memang tidak tahu diri. Aleta merutuki dirinya sendiri. Tak lama orang tua Johan sampai disusul oleh Oma dan teman-temannya.
Aleta menangis dalam pelukan Oma dan Martia menangis dalam pelukan suaminya.
Sampai akhirnya detik, menit, jam bahkan hari berlalu Johan belum sadar. Dia mengalami koma akibat benturan di kepalanya. Johan juga kehilangan darah waktu itu dan setelah transfusi darah dia belum sadar sampai detik ini.
Setiap hari tak ada yang terlewatkan untuk Aleta mengunjungi Johan dengan harapan bahwa pemuda itu akan segera membuka matanya.
Bunga di nakas selalu Aleta ganti dua hari sekali. Hari ini terhitung sepuluh hari Johan tidak sadarkan diri. Minggu ini juga harusnya merupakan tour ke luar kota mereka tapi semuanya ditunda sampai Johan sadar.
Pesan yang Aleta kirimkan kepada Pricille tidak juga kunjung di balas hingga hari ini. Meskipun selalu bertemu di sekolah mereka tak saling sapa. Pricille mulai bergabung dengan teman yang lain. Renata dan Aleta juga sudah meminta maaf baik kepada Pricille sendiri ataupun Revan dan hanya direspons seadanya oleh mereka. Lalu yang terjadi adalah seperti sekarang. Pricille menjauh.
Aleta memijit pelipisnya tidak tahan akan semua ini. Dia harus tahu siapa orang yang sudah menabrak Johan. Dia tidak bicara pada siapapun soal dia yang akan menanyakan ini kepada Pricille karena yang lainnya belum begitu percaya dengan perkataan Pricille waktu di taman belakang sekolah.
Aleta tidak punya jalan lain, dia harus menemui Pricille di sekolah besok. Dia akan menanyakannya langsung. Aleta tahu ini akan membahayakan posisi Pricille dan dia akan meminta bantuan Oma untuk menyewa orang yang akan menjaga Pricille.
Aleta melirik ke arah Johan yang masih lelap dalam tidurnya. Tangannya terus menggenggam tangan lunglai laki-laki itu. “Gue kangen lo,” gumam Aleta.
Berikutnya dia beranjak dari sana dan keluar dari ruangan. Saat tiba di depan pintu dia terkejut melihat Riki berdiri di hadapannya.
“Lo ngapain di sini?” tanya Aleta.
“Cari lo,” jawabnya.
“Untuk?”
Riki menarik pergelangan tangannya dan membawanya ke taman rumah sakit. Mereka duduk di salah stau bangku yang tersedia di sana.
“Gue tau tentang orang yang sedang lo cari tau,” kata Riki tanpa basa-basi.
“Maksud lo?”
“Gue tau dan jangan bilang lo percaya sama yang dibilang Revan dan Pricille waktu itu?”
“Lo tau apa?” tanya Aleta menatap tegas Riki.
“Semuanya, termasuk orang yang menjadi dalang dibalik semua ini,” jawab Riki.
Aleta mengatur napasnya. “Siapa?” tanya Aleta.
“Gue akan kasih tau lo tapi dengan beberapa syarat.”
“Syarat?” Aleta menyerngitkan dahinya.
Riki mengangguk.
***
Aleta pelan melangkah, ini baru pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Riki berjalan lebih dulu darinya sedikit.
Setelah berbicara di taman Riki membawanya kemari. Rumah sakit Jiwa.
Sejujurnya Aleta tidak mengerti apa tujuan Riki membawa dia kemari. Riki bilang ada seseorang yang ingin menemuinya. Ini juga merupakan salah satu dari syarat yang Riki ajukan untuk informasi orang itu.
Sampai di sebuah ruangan Riki berbincang dengan salah satu suster dan suster itu membukakan pintu ruangan lalu mempersilahkan Aleta dan Riki masuk. Riki lagi-lagi berjalan lebih dulu. Aleta hanya berjalan pelan mengikutinya dari belakang.
“Assalamualaikum. Riki datang Bun.” Itu suara Riki yang berbelok ke arah kiri. Ternyata ruangan ini tidak hanya satu petak. Ruangan ini terbagi menjadi dua bagian.
Aleta belum mengikuti Riki ke ruangan bagian kiri. Dia masih melihat ke kiri dan kanan di ruangan yang ini. Ada sofa dan meja di ruangan yang ini. Ada juga vas bunga lusuh di atas meja itu. Usai melihat akhirnya Aleta mengikuti kemana Riki tadi. Dia berbelok kiri dan menemukan Riki tengah menggenggam tangan seorang perempuan paruh baya yang duduk di atas kursi roda.
Aleta melihat dari ambang pintu. Ruangan Riki dan perempuan paruh baya itu nampaknya adalah kamar karena terdapat sebuah tempat tidur kecil yang terbuat dari kayu yang menempel didekat dinding.
Aleta dapat melihat jelas wajah perempuan paruh baya yang tangannya digenggam Riki karena posisi Riki jongkok dan membelakanginya. Perempuan paruh baya di atas kursi roda itu terlihat sangat pucat serta tatapannya yang kosong dan tidak sama sekali memandang Riki yang sedang berbicara.
Aleta mendekat ke arah dua orang itu sehingga dia melihat begitu jelas wajah perempuan paruh baya di kursi roda itu. Dia tetap terlihat cantik meskipun dalam kondisi seperti ini.
“Riki bawa orang yang selalu Riki ceritain ke Bunda,” kata Riki yang membuat Aleta menoleh ke arah pemuda itu.
Tidak ada respons dari wanita di atas kursi roda itu. Kepalanya lunglai ke kanan dan tatapannya sangat kosong dan hampa. Jadi ini adalah Ibu Riki? Aleta menangkap dari perkataan Riki yang sebelumnya menyebut wanita itu Bunda.
“Dia nyokap gue. Udah enam bulan nyokap di sini. Dia nggak gila cuma ada bagian jiwa dia yang terguncang karena sesuatu hal. Bunda selalu nangis setipa malam dan nggak pernah mau bicara sedikitpun meskipun sama gue. Dia juga nggak mau makan cuma suster di sini bisa maksa setidaknya ada makanan yang masuk ke dalam perut Bunda.” Riki menjelaskan dan terlihat menghapus sesuatu di sudut matanya.
Riki berdiri sambil tersenyum. “Alasan gue minta lo ke sini karena gue sering cerita ke Bunda tentang lo, kali aja ada perubahan saat lo ketemu Bunda.”
“Lalu alasan lo cerita tentang gue ke nyokap lo?” tanya Aleta.
“Nggak ada alasan apapun kecuali karena lo berharga buat gue. Gue sayang lo.” Aleta diam mendengar Jawaban Riki lalu beralih berlutut dan menggenggam tangan Bunda Riki.
“Hallo Tante, aku Aleta,” kata Aleta sambil tersenyum ramah.
Pertama tak ada respons dari wanita di atas kursi roda itu lalu perlahan mata wanita paruh baya itu menatap Aleta sembari menggerakkan tangannya ke wajah Aleta. Dia mengelus pipi Aleta sambil menitikkan air mata.
...
Salam Sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro