Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 51 - Yakin

Aleta mengerjakan soal ujian dengan gelisah hari ini. Perkataan Johan di halte berhasil membuat otaknya lagi-lagi berpikir dan hatinya kembali tak tenang.

Dia tidak tahu apa yang pria itu ketahui sampai pria itu tidak yakin bahwa dia benar-benar ke Palembang.

Tadi pagi sebelum dimulainya ujian Renata juga menanyakan hal yang sama. Ini sungguh membuat Aleta tidak tenang. Bagaimana jika semuanya tahu tentang penyakitnya?

Aleta memijit pelipisnya saat sudah mencentang jawaban di lembar jawabannya. Usai kemoterapi dirinya tidak selera makan karena kerap merasa mual-mual, badannya juga semakin mudah merasa lelah bahkan hanya karena dirinya kurang tidur.

Bagaimana dia bisa terlelap bila semua otaknya dipenuhi masalah yang ia alami belakangan ini. Harusnya disaat waktu yang ia miliki tak tersisa banyak, tidak lah baik untuknya memikirkan berbagai macam masalah. Harusnya dia tenang sambil menunggu waktu itu tiba. Harusnya hanya bahagia yang menjadi kawannya di menit dan detik terakhir.

***

Johan menyipitkan mata saat melihat Aleta sudah berdiri di parkiran sambil menatapnya dengan penuh senyum padahal bel pulang sudah lima belas menit berlalu. Harusnya gadis itu sudah pulang.

Johan mendekat. “Kenapa belum pualang?” tanya Johan.

“Nungguin lo,” jawab Aleta.

Johan tersenyum. “Kita pulang bareng, ya?” pinta Aleta.

“Tapi lo tau gue nggak bawa kendaraan apapun ke sekolah. Naik metro mini lagi?”

Aleta menggeleng. “Kita jalan kaki aja.”

Johan menyerngit heran. Jarak sekolah dan rumah mereka bukanlah dekat. Bagaimana mungkin akan jalan kaki. “Gue mau menyusuri setiap jalan bareng lo,” kata Aleta lagi.

“Lo nggak bakal ngeluh kaki lo pegel?”

“Gue nggak lebay, ya,” desis Aleta.

Johan hanya tersenyum lalu menggenggam tangan gadis itu. Dilihatnya Aleta yang menatapnya sebentar lalu tersenyum sambil membalas genggaman tangannya.

“Ayo kita mulai dengan genggaman tangan. Biar nggak hilang,” kekeh Johan lalu mulai melangkah pun dengan Aleta.

Mereka berjalan ke luar gerbang lalu mulai berjalan di trotoar jalan raya. Hari belum terlihat teduh karena masih sekitar pukul dua siang. Menelusuri trotoar sambil bercengkrama itu yang mereka lakukan.

Menyebrang jalan ketika lampu merah, singgah membeli minuman dingin di warung, lalu terus berjalan. Sepanjang perjalanan Aleta banyak bicara. Dia mulai pembicaraan dari hal-hal kecil seperti mengapa gorengan di kantin tak ada duanya lalu pembicaraan tentang mereka. Tentang bagaimana mereka bertemu ketika SMP,  apa yang mereka sukai dan tidak sukai satu sama lain, cita-cita mereka dan masih banyak hal.

Johan sampai bingung melihat Aleta yang seperti sekarang. Tiba-tiba dia menemui dirinya dan meminta untuk pulang bersama dengan jalan kaki. Sesekali Johan memperhatikan Aleta yang bercerita banyak hal. Ada sosok lain dari gadis di sampingnya ini. Dia tersenyum tapi seolah pilu. Dia tertawa tapi seolah menangis. Dia dengan riang berbicara seolah menutupi sesuatu yang melukai hatinya.

Johan menarik tangan Aleta memasuki kafe yang berada di sebrang jalan. Dengan teliti dirinya membawa Aleta ke sebrang melalui mobil dan motor yang berlalu lalang.

Setibanya di depan kafe Johan melepaskan tangannya lalu menggiring agar Aleta masuk ke dalam terlebih dahulu. Aleta duduk di bangku yang menghadap jalan raya. Hanya terhalang kaca besar diantara kursinya dan luar. Johan ikut duduk di sampingnya.

“Kita mau makan?” tanya Aleta.

“Kalau nggak lapar mesan minum aja. Gue cuma mau duduk sebentar sama lo,” jawab Johan.

Lalu Aleta membuka menu dan memesan minuman untuk mereka berdua. Lima menit minuman mereka langsung sampai. Sesekali Aleta melihat ke jalan melalui kaca. Dia tersenyum sekilas lalu menghadap Johan dan berkata, “kita udah jalan lumayan jauh, ya?”

Johan mengangguk sambil tersenyum. Diraihnya tangan Aleta dan menatap gadis itu dengan lekat. Johan mencari sesuatu lewat manik mata indah itu. Dia menelaah setiap inchi wajah Aleta, mencoba menemukan sesuatu yang Aleta tutupi darinya. “Apa yang sebenarnya lo berusaha tutupi dari gue?” tanya Johan.

Johan melihat Aleta mengedipkan matanya beberapa kali lalu mata itu seperti berkaca-kaca. Aleta tersenyum sempurna usai menarik napas panjang. “Gue nggak mau lari dari lo lagi. Gue nggak mau menyianyiakan waktu berharga untuk terus ada di sisi lo. Gue mau selamanya ada di dekat lo,” katanya.

Johan termenung sesaat lalu tersenyum tipis. Tangannya satu beralih ke rambut Aleta dan mengelusnya lembut. Matanya terus menatap mata gadis itu dan semakin jelas bahwa gadis itu tengah menahan desakan sesuatu yang siap meluncur begitu saja.

Johan membawa Aleta ke dalam dekapannya meski dia hatinya tidak tahu mengapa ini semua terasa aneh dan menyakitkan. Dia merasakan kepala Aleta bergerak mencari kenyamanan di dadanya lalu memeluk erat Johan. “Gue kangen lo,” lirihnya dengan suara tercekat.

***

Aleta memeluk Johan dengan erat. Kepalanya dia biarkan jatuh di dada bidang laki-laki itu. Dadanya kembali dihujam sesak yang luar biasa. Hatinya kembali dilanda kepedihan yang tak terjelaskan. Aleta memejamkan matanya dalam pelukan itu seraya air matanya yang jatuh begitu saja. “Gue kangen lo.”

Johan mengelus rambutnya dari belakang. Detik ini hati Aleta seperti hancur berkeping-keping. Dadanya bergemuruh hebat. Perlahan Johan melepaskan pelukan dan menatap Aleta sambil menghapus jejak air mata yang tersisa di pipi.

“Jangan nangis. Lo jelek kalau nangis, gue nggak suka cewek jelek,” ujarnya.

Aleta hanya tersenyum lalu menghapus air matanya sendiri. “Gue cuma mau minta maaf udah lari dari lo sebelumnya,” kata Aleta.

Setelah itu mereka meminum minuman yang mereka pesan sebelumnya dan mereka melanjutkan perjalanan mereka.

Aleta sudah memutuskan dia akan tetap berada di sisi Johan di sisa waktu yang ia miliki. Dia akan tetap bersama pria itu dan menciptakan kebahagian baru. Hanya itu yang ia bisa lakukan untuk Johan, hanya tetap berada di sisinya. Meskipun akhirnya yang sudah pasti akan menyakitkan Aleta tidak akan mundur selangkah pun untuk lari. Dia akan mengajak Johan menciptakan banyak kenangan yang akan tersimpan rapat di ingatan.

“Kenapa lo suka gue?” tanya Aleta di perjalanan.

“Hm.” Johan tampak berpikir lalu Aleta mendongak menatapnya. Johan merengkuh Aleta sambil berkata, “gue juga bingung, sih, kenapa suka lo. Yang pasti karena lo cuma satu-satunya Aleta kalau ada dua mungkin gue suka yang satunya,” jawab Johan.

“Ish,” keluh Aleta.

“Lo mau jawaban yang pasti?” tanya Johan.

Aleta mengangguk antusias. “Tanya Tuhan suatu saat nanti. Gue juga bingung kenapa Tuhan ciptain hati gue buat suka sama lo,” ujar Johan.

Aleta terdiam sesaat. Kemudian kembali berkata, “nanti gue tanya sama Tuhan.”

“Iya nanti kalau udah di kehidupan yang kekal,” kata Johan lagi.

Aleta tersenyum saja sambil terus melangkah.

Tidak terasa langkah mereka sudah mengantar di depan halte dekat perumahan Aleta. “Di sini aja, nggak usah ke rumah. Kita pisah di sini. Lo pulang dan gue pulang,” kata Aleta.

“Kenapa?” tanya Johan.

“Nggak. Besok lo jemput gue, ya?”

“Iya.”

“Ya udah sana nyebrang cari angkot.” Aleta melirik ke arah sebrang jalan.

“Lo ngusir?” sinis Johan.

“Iya. Sana nyebrang terus gue jalan pulang,” kata Aleta lagi

Johan tersenyum mengacak rambut Aleta sekaki lalu menyebrang dan Aleta melanjutkan jalannya menuju gang perumahannya.

Sudah beberapa melangkah Aleta melihat ke belakang dan bertepatan dari ujung jalan sebuah motor hitam melaju dengan kecepatan penuh mengarah ke Johan. Aleta membulatkan matanya lalu meneriaki nama Johan yang sudah setengah menyebrang jalan.

Johan menolehsambil tersenyum dan berikutnya tubuh Johan ambruk. Motor itu menabraknya dan melaju begitu saja. Aleta menutup mulutnya lalu berlari menghampiri Johan dengan sejuta cemas di dalam dadanya.

...

Salam Sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro