Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 49

Aleta menghentikan langkahnya di depan pintu kelas. Suara ramai siswa sudah terdengar dari sini. Terlukis lengkungan sabit di wajah Aleta. Akhirnya setelah seminggu lebih menjalani kemoterapi dan perawatan pasca kemoterapi, dirinya kembali menginjakkan kaki ke tempat ini. Tempat rumah ke dua baginya. Tempat terdapat keluarga kedua darinya.

Aleta melanjutkan langkahnya menuju bangkunya dan mendapati Renata yang sedang meletakkan kepala di atas meja dengan lesu.

“Lo duduk di tempat lo aja dulu Cille, gue mau duduk sendiri,” kata Renata saat Aleta baru tiba di samping meja.

Mungkin Renata mengira bahwa yang datang adalah Pricille. Posisi kepala Renata membelakangi Aleta. “Gue mau duduk di tempat gue,” jawab Aleta acuh.

Renata menegakkan kepalanya dengan cepat dan menoleh ke arahnya. Aleta melihat jelas raut wajah terkejut yang Renata tunjukkan. “Aaa, Aleta akhirnya lo masuk juga.” Renata berhambur memeluk Aleta.

Dia jingkrak-jingkrak di pelukan Aleta. “Lo tau nggak, sih, gue frustrasi banget nyari lo,” katanya lalu melepas pelukan dan menampakkan wajah kesalnya.

“Kan udah gue bilang. Gue ke Palembang,” jawab Aleta.

Renata memutar bola mata dengan malas. “Untuk ini lo harus ada penjelasan, sih. Tapi nanti aja gue masih kangen sama lo,” ucap Renata lalu menggandeng Aleta duduk di sampingnya.

Dan pada akhirnya Renata kembali menjadi Renata yang Aleta kenal. Dia banyak bicara. Apapun dia ceritakan kepada Aleta. Seolah sudah berabad-abad tak jumpa, sehingga segudang cerita harus Aleta dengarkan.

***

“Woi,” kata Andi sambil membuka pintu sekretariatan OSIS dengan napas yang terengah-engah.

Johan yang di dalam menatap malas ke arah Andi. Dia membuka beberapa berkas yang ada di atas mejanya.

“Lo harus berterima kasih banget, sih, karena gue udah mau lari-lari nyamperin lo ke sini.” Andi masuk dan mengambil kursi lalu duduk di depan meja Johan.

“Lo kalau gabut nggak usah gangguin gue.” Johan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari berkas.

“Lo rajin banget tau nggak pagi-pagi udah di sekre aja.”

“Lo nggak mau tau gue bawa info apa?” tanya Andi melihat Johan tak merespons perkataannya yang sebelumnya.

“Paling info lambeh lo yang nggak penting itu,” jawab Johan seadanya.

“Emang, ya lo. Nyesel gue lari-lari ke sini.” Andi menatap kesal tapi yang ditatapnya tak bergeming sedikitpun.

“Aleta udah masuk.”

Perkataan Andi berhasil menghentikan kegiatan Johan yang membuka satu per satu lembaran kertas itu. Johan menatap Andi seolah meminta cowok itu melanjutkan sesuatu yang mungkin ingin ia sampaikan.

“Apa? Apa? Minta info lagi? Eleh tadi gayanya sok nggak mau denger.”

“Lo serius? Dia di kelas?” tanya Johan.

“Iya. Lo mau ke sana?”

Johan berdiri berniat ingin menemui Aleta tapi tidak jadi mendengar perkataan Andi bahwa sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Andi juga mengatakan bahwa lebih baik menemui Aleta setelah pulang karena jam istirahat Aleta pasti akan mengadakan ujian tengah semester susulan, mengingat UTS sudah dilaksanakan selama dua hari dan Aleta tidak hadir.

Johan menghela napas disusul dengan bunyi bel masuk yang mendominasi seantero gedung Pelita.

***

Aleta memasukkan beberapa peralatan yang dikenakannya untuk ujian ke dalam tasnya seperti, papan LJK, pensil, penghapus dan lainnya.

Aleta bernapas lega setelah mendengar bel pulang berbunyi tadi. seharian ini dia mengerjakan dua mata pelajaran ujian susulan. Di waktu jam istirahat dan dua lagi sisanya akan dikerjakannya besok.

Aleta meretakkan lehernya ke kiri dan ke kanan. Bukan hanya otaknya yang lelah berpikir tetapi fisiknya juga. Lehernya terasa pegal pun dengan tangan dan jari jemarinya.

“Ah, akhirnya dua lagi ujian susulan gue,” ucap Aleta lega.

“Faightingggg Aletaaa!!” Renata memberi semangat sambil mengangkat tangannya.

Aleta tersenyum lalu ponselnya bergetar dan menampilkan pesan dari Johan.

Johan

Gue tunggu di taman belakang sekolah. Penting!

Aleta menghela napas berat padahal sedari tadi ia sudah berniat ingin pulang secepatnya lalu tidur kemudian belajar untuk ujian besok dan susulan.

“Siapa?” tanya Renata.

“Johan. Dia nunggu gue di taman belakang sekolah.”

“Udah gih temuin. Dia juga sibuk banget nyariin lo,” kata Renata.

Aleta mengangguk lalu berpamit kepada Renata untuk lebih dulu menemui Johan.

Aleta melangkah menuju koridor dan akhirnya sampai di taman belakang sekolah.

Di bangku yang terletak di pinggir taman dia menemukan sosok Johan yang duduk di sana. Aleta melangkah pelan mendekati bangku itu.

Saat kakinya berhenti melangkah Johan menoleh dan langsung berdiri kemudian memeluknya. Aleta hanya diam mendapat perlakuan itu. Dia tidak menyangka bahwa Johan akan memeluknya seperti ini.

“Tolong jangan ngilang lagi,” katanya yang masih memeluk Aleta.

Aleta merasakan debaran jantungnya kian menjadi. Johan memeluknya seolah tak ingin melepaskan. Akhirnya Aleta membalas pelukan Johan sambil mengelus pundak laki-laki itu.

Poster tubuh Johan cukup tinggi sehingga dia sedikit menunduk saat memeluk Aleta. “Gue nggak ngilang,” ucap Aleta.

“Gue kangen lo,” ujar Johan masih setia dengan pelukannya.

Aleta tersenyum pilu melihat reaksi Johan seperti ini. Sekilas pikiran muncul dibenaknya. Bagaimana jika dia benar-benar menghilang dari dunia ini?

Johan melepaskan pelukan itu dan beralih menatap Aleta sambil mengelus rambutnya. “Lo nggak papa, kan?” tanya Johan.

Aleta tersenyum manis lalu menjawab, “see? Gue baik-baik aja. Nggak usah khawatir.”

Johan menghela napasnya lalu memeluk Aleta sekali lagi. Aleta langsung membalas lagi pelukkan itu sambil membenamkan wajahnya di dekapan laki-laki itu. Pelukan ini masih sama rasanya. Nyaman dan menenangkan.

“Udah woi. Ada anak di bawah umur ini," teriak Andi di pangkal taman berdiri bersama Donny juga Renata.

Johan menoleh dan melepaskan pelukannya. Renata, Andi dan Donny mendekat. “Alay banget lo,” cibir Andi setelah sampai di dekat Aleta dan Johan.

“Iri bilang sahabat,” sahut donny dengan muka yang mencela.

“Kita harus bahas yang kemarin,” kata Renata.

Kemuadian Renata mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah rekaman.

“Gue bilang jangan sering temuin gue di sekolah. Lo mau apa?”

“Gue cuma mau ingatin ke lo apa yang harus lo lakuin.”

“Gue tau apa yang harus gue lakuin. Dan lo nggak usah sok ngatur gue dan satu lagi Johan sama teman-temannya udah curiga sama kita. Jadi, stop ketemu gue di area sekolah.”

“Lo taukan kita selalu di awasi untuk tugas ini? Lo tau kan apa akibat kalau salah satu dari kita–”

“Revan stop. Gue tau tanpa perlu lo kasih tau. Lo cukup lakuin tugas lo yang berikutnya untuk Aleta.”

“Oke.”

Aleta menatap ke arah Renata seolah menuntut sejuta penjelasan.

“Iya. Orang yang ada dalam rekaman ini adalah Revan dan Pricille. Kemarin gue dan Johan ngikutin mereka ke sini.” Renata menjelaskan.

Johan mengangguk. “Tangan gue gatel pengen nonjok si brengsek Revan itu.”

“Kalau nggak gue tahan waktu itu udah pasti lo bikin dia lebam,” kata Renata.

“Kita harus bisa nekan mereka buat bilang siapa dalang dibalik semua ini,” ujar Donny dan mendapat anggukan dari semuanya.

...

Salam Sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro