Bab 47 - Hadir kembali
Sebahagia apapun aku tetap saja bahagianya akan lebih lengkap jika yang dinamakan keluarga itu sendiri utuh.
...
Selamat membaca.
...
Saat ini hanya degupan jantung Aleta yang terdengar. Sedangkan mulutnya menjadi bungkam setelah mengatakan kata 'Mama' dengan terbata.
Sama seperti Aleta. Arna serta wanita paruh baya yang ia lihat di sekolahnya tempo hari juga ikut diam. Mereka secara bersamaan memandang Aleta. Arna memandang dengan raut wajah yang mengisyaratkan sejuta cemas.
Perlahan Aleta melangkah mendekati kedua orang itu. Wanita paruh baya itu ikut melangkah mendekati Aleta. Sampai Aleta menghentikan langkahnya tapi dia tetap mendekat menghampiri Aleta.
Raut wajah wanita di hadapan Aleta saat ini begitu sendu. Tatapan matanya mengandung banyak makna. Perlahan tangannya bergerak memegang rambut Aleta yang tergerai. Mengusapnya dengan lembut lalu turun ke wajah Aleta.
Aleta hanya memperhatikan wajah itu dan tak berniat angkat bicara atau menyangkal tangannya. Embusan napasnya dapat Aleta rasakan. Memburu. Seperti melepas begitu banyak kerinduan.
Jari jemarinya meraba setiap lekukan wajah Aleta. Mengusapnya selembut mungkin. “Anak Mama,” ujarnya diiringi butiran air yang melalui kelopak mata.
Lalu dia meraih Aleta dalam dekapannya. Mengusap rambut gadis itu dari belakang sambil terus bergumam di antara isakan tangis, “Anak Mama.”
Aleta tak membalas pelukan itu. Dia masih begitu sulit untuk mencerna semua ini. Pelukan ini sudah begitu lama tak ia rasakan. Pelukan ini sudah begitu lama ia rindukan.
“Anak Mama.”
Aleta masih diam dan bungkam. Telinganya masih begitu jelas mendengar perkataan sang Ibu yang mengatakan kalimat yang sama berulang kali.
Isakan ibunya begitu menyayat hati Aleta. Kalimat yang berulang kali dikatakannya pun sama memilukan hati Aleta. Dia ingin membalas pelukan itu hanya saja ada sesuatu di dalam dirinya yang terus menahan tangannya.
“Anak Mama.” Lagi dan lagi kalimat itu keluar dengan isakan ibunya. Air mata Aleta luruh begitu saja. Dadanya sangat sesak dengan apa yang terjadi saat ini.
Aleta melihat Arna yang mendekat ke arah mereka. Lalu Arna menarik tubuh ibunya. Memaksa melepaskan pelukannya terhadap Aleta.
Aleta hanya diam tak bergeming sampai ibunya kini melepas pelukan itu dan Arna menarik tangan Aleta sehingga Aleta berada di sisi kanan omanya.
Air mata Aleta terus berjatuhan serta napasnya mulai tak teratur. Dia tidak melihat atau sekedar melirik ke arah ibunya. Dia terus menatap lurus ke depan dengan tatapan putus asa.
“Jangan pernah sentuh Cucu saya apapun alasannya!” seru Arna.
Ibu Aleta menggeleng kuat sambil mengelap air matanya yang berjatuhan. Dia perlahan mendekat ke arah Aleta. Menggenggam tangan putrinya sambil berkata, “kamu ingat Mama, kan? Ini Mama Nak.”
Buliran air mata Aleta lolos lagi. Dia menghela napas perih. Matanya tetap tak beralih menatap wanita paruh baya itu.
Arna melepaskan tangan ibunya dari Aleta. “Pergi dari sini. Aleta sudah tidak butuh kamu,” kata Arna dengan tegas.
Ibu Aleta terus menggeleng-geleng sambil menangis. Dia terus berusaha meraih tangan putrinya tapi terhalang Arna. “Ibu, aku mohon. Aku adalah Ibunya. Aku berhak memeluknya,” lirih Ibu Aleta masih dengan isakan yang tak kian reda.
“Ibunya? Ibu macam apa yang pergi meninggalkan putrinya belasan tahun? Kamu terlamabat. Aleta sudah lama menganggap kamu mati. Kamu sudah lama dihapus dari ingatan kami. Pergi!” seru Arna lalu tangannya yang tadi memegang tangan Aleta bergerak memegang dadanya.
Aleta menoleh ke arah Arna. Dia bergerak memegangi Arna yang berusaha mengatur napas sembari terus memegangi dada. Aleta panik kalau-kalau jantung omanya kambuh lagi.
“Oma nggak papa?” tanya Aleta panik.
Arna menggeleng. “Aleta, Mama minta maaf.” Ibu Aleta kembali berbicra sambil menatap dengan penuh perasaan bersalah.
“Pergi,” lirih Arna yang mencoba berpenopang dengan Aleta sambil menatap tegas Ibu Aleta.
“Ibu, aku mohon.” Ibu Aleta mencoba meraih tangan Arna. “Pergi,” lirih Aleta mencengkal tangan ibunya. Namun matanya tidak menatap wanita paruh baya itu.
“Al–”
“Kehidupan saya sudah membaik tanpa anda. Kembalinya anda tidak akan mengubah apapun. Saya sudah melupakan semua tentang anda dari memori saya,” kata Aleta menahan pedihnya. Air matanya tak lagi terbendung.
“Mama minta maaf, Mama benar-benar minta maaf,” lirih wanita paruh baya itu lalu berjalan menjauh dari Aleta dan Arna.
Pak Anung muncul dari balik pagar langsung menghampiri Aleta dan Arna. “Ibu kenapa Non?” tanyanya. Aleta tak mampu menjawab. Pak Anung sigap menopang Arna dan membawanya ke dalam rumah. Sedangkan Aleta terduduk lemah di halaman rumah.
Dia meremas roknya dan menunduk. Lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya terasa begitu hancur saat ini. Semuanya terasa menyakitkan.
***
Aleta kini sudah berada di rumah sakit. Sesuai jadwalnya, hari ini adalah hari kemoterapinya. Arna duduk menghadapnya sambil menggenggam tangannya.
Aleta tersenyum melihat Arna berada di sisinya. Sedangkan omanya itu mulai menitikkan air mata sambil terus mengelus punggung tangan Aleta.
“Oma,” panggil Aleta.
Arna tak menjawab juga tak menatapnya.
“Oma lihat Aleta,” kata Aleta.
Arna bergerak ragu mengangkat wajahnya dan menatap mata milik Cucu sematawayangnya.
“Oma jangan nangis.” Aleta menghapus air mata omanya yang mengaliri wajah wanita tua ini.
Aleta tersenyum meyakinkan. “Oma sendiri yang bilang kalau Aleta pasti sembuh, kan?” ujar Aleta membuat air mata Arna semakin jadi.
Mata Aleta mulai berlinang. Penglihatannya mulai mengabur tapi dia tahan agar tak tumpah. Dia tidak boleh menambah kesedihan omanya. Dia tetap tersenyum.
Arna mengelus wajahnya lalu beralih memeluknya. Dapat Aleta rasakan dari naik turunnya napas Arna dalam dekapan ini. Arna menangis.
“Kamu akan segera sembuh, Sayang,” kata Arna melepaskan pelukannya. “Oma nggak akan nangis lagi. Oma cuma terharu Cucu Oma tumbuh menjadi gadis yang kuat,” kata Arna tersenyum menatap nanar Aleta.
Seperti yang ia katakan kepada Renata beberapa hari yang lalu bahwa hari ini dia tidak akan masuk ke sekolah. Dia sengaja mengatakan bahwa dia akan ke Palembang. Renata belum mengetahui penyakitnya bahkan Aleta tidak pernah punya rencana untuk memberi tahu soal penyakit ini.
Dokter Maya masuk dari balik pintu. Kemudian berbincang sebentar dengan Arna lalu Arna keluar dan Aleta mulai dipindahkan ke ruangan kemoterapi.
Aleta menghela napasnya saat sebantar lagi dia akan kembali merasakan sakitnya dikemoterapi. Dokter Maya tersenyum kepadanya seolah senyuman itu adalah isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
***
“Ta,” panggil Johan saat Renata hampir masuk ke dalam kelasnya.
“Aleta nggak masuk, ya?” tanyanya lagi.
Renata mengangguk. “Iya. Dia izin soalnya ke Palembang,” jawab Renata.
“Palembang?”
Lagi-lagi Renata mengangguk. Lalu dari kejauhan Renata melihat Pricille yang berlari kecil menuju taman belakang sekolah.
Mata Renata menyipit sambil mengikuti arah berlari Pricille. “Han, ini waktu yang tepat kalau kita mau buktiin keterlibatan seseorang di dalam list,” kata Renata.
“Maksudnya?” tanya Johan yang tidak mengerti.
Renata hanya memberi isyarat agar Johan mengikutinya dan ia berjalan lebih dulu mengikuti arah berlarinya Pricille tadi. Taman belakang sekolah.
...
Salam Sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro