Bab 46 - Suasana hati yang berubah
Ada begitu banyak bayangan yang bersikeras untuk aku lupakan tapi tetap saja kata gagal yang menjadi akhir.
Kadang ingatan diciptakan untuk perlahan menggerogoti hati.
...
Selamat membaca.
...
Setelah mengadakan voting beberapa hari lalu, hasilnya adalah siswa Pelita jauh lebih banyak yang menginginkan tour ke luar kota. Sebenarnya ini cukup bertentangan dengan Pak Andar karena Pak Andar memikirkan risiko di perjalanan nanti. Belum lagi masalah biaya yang akan dikeluarkan oleh siswa.
Namun tetap saja ini sudah hasil voting. Serta semua siswa juga sudah setuju dengan biaya yang sudah di anggarkan oleh pihak OSIS.
Sebenarnya semua siswa yang sekolah di sini rata-rata pekerjaan orang tuanya cukup memadai sehingga untuk biaya otomatis bukan sama sekali kesulitan untuk mereka. Pelita memang salah satu sekolah swasta yang mahal dengan biaya.
Beberapa hari ini OSIS juga sudah mengadakan rapat mengenai penyelenggaraan tour. Tour akan dilaksanakan setelah ulangan tengah semester. Mereka akan tour ke Yogyakarta. Mengunjungi berbagai tempat bersejarah kemudian beberapa kampus di sana lalu sisanya baru wisata. Mereka di sana sekitar tiga hari dan menginap di hotel.
“Lo ikut kan, Al?” tanya Renata.
“Habis UTS berarti dua minggu lagi, ya?” tanya Aleta sambil menghitung hari ulangan tengah semester yang akan dilaksanakan seminggu lagi.
“Ho'oh.” Respons Renata sambil memakan camilan yang berada di tangannya.
Hari ini mereka tidak ke kantin. Awalnya hanya Aleta yang tidak ingin ke kantin tetapi Renata dan Pricille jadi ikut-ikut tak ingin ke kantin.
“Kalau lo, Cille? Ikut tour?” tanya Renata Lagi.
Pricille yang duduk di bangku depan mereka menjawab dengan antusias, “ikut dong!”
“Ah nggak sabar. Pasti bakalan seru banget,” kata Renata.
“Gue izin Oma dulu, sih,” ujar Aleta.
“Oma mah gampang. Nanti gue bantuin, ya?” Renata menatap Aleta dengan senyum di bibirnya.
Ditengah pembicaraan mereka ponsel Pricille yang di atas meja menyala menampilkan sebuah pesan.
Pricille mengambilnya lalu membaca isi pesannya. Kemudian berujar, “aku ke luar dulu, ya.”
“Mau ke mana? Mau ditemenin nggak?” tanya Aleta.
“Ada yang mau balikin barang yang dia pinjam. Nggak usah aku bisa sendiri, kok.” Lalu Pricille beranjak ke luar kelas.
“Ta, dua hari ke depan kayanya gue nggak masuk, ya nanti lo buatin surat okay?” kata Aleta sepeninggalan Pricille.
“Ha? Mau ke mana?”
“Oma ngajak ke Palembang,” jawab Aleta.
“Ah, enak dong jalan-jalan.” Renata mengerucutkan bibirnya.
“Enak apaan. Di sana gue mau bantuin Oma di butik.”
“Oh iya di sana cabang yang baru. Oke nanti gue buatin surat.”
***
Private number
Siap buat selanjutnya?
Aleta menghela napas berat saat lagi-lagi menerima pesan itu. Dia menekan tombol panggil berharap nomor itu masih aktif. Namun hasilnya tetap sama seperti sebelumnya. Orang ini begitu lihai.
Aleta berjalan menuju halte. Duduk di bangku halte sambil mengayun-ayunkan kakinya membuat Aleta merasa letih.
Hari ini dia sengaja tidak meminta Pak Anung menjemputnya. Dia hanya ingin lebih lama berada di luar terbukti saat sudah dua metro mini yang lewat begitu saja tanpa ia naiki.
Aleta menoleh ke arah ponselnya lalu melihat ternyata ada sebuah chat dari Johan.
Johan
Kenapa belum pulang?
Bagaimana Johan bisa tahu?
Kok tau?
Apa yang gue nggak tau tentang lo?
Alah:/
Udah dua metro mini lo nggak naik. Berharap banget gue datang terus pulang bareng gue, ya?
Lo di mana, sih?
Aleta melirik sisi kanan dan kiri halte. Mencoba mencari keberadaan laki-laki itu. Namun tak ia temukan.
Di hatimu
Apaan deh
Buru, lo di mana?
“Di sin.”
Aleta yang menunduk karena melihat layar ponsel pun menyadari ada sepasang sepatu di hadapannya saat ini.
Dia mendongak dan melihat Johan berdiri sambil menatapnya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Aleta tersenyum. “Lo ngumpet tadi, ya?”
Johan hanya menaikkan bahu sekilas lalu duduk di samping Aleta. “Lo kok belum pulang?” tanya Aleta mengubah posisi jadi menyamping menghadap Johan.
“Lo mengembalikan pertanyaan gue?”
“Ish,” gerutu Aleta lalu mengubah lagi posisi badannya menghadap ke depan.
“Gue tadi nerima sadapan kalau orang itu ngirim lo pesan lagi,” kata Johan.
Aleta hanya mengangguk sambil berdeham.
“Lo nggak usah khawatir sama apa isi pesan itu. Gue selalu ada buat lo. Gue yang akan lindungin lo.” Kata-kata Johan membuat Aleta kembali menghadap laki-laki itu.
Dia juga menghadap Aleta dan tersenyum seolah adalah isyarat bahwa Aleta harus yakin padanya.
“Lo percaya gue, kan?” tanya Johan.
Aleta mengangguk sambil tersenyum. Aliran darahnya seolah menghangat dengan perkataan Johan barusan.
“Jangan kaya gini kalau nggak ada gue,” kata Johan lagi.
“Kaya gini apanya?” tanya Aleta tak paham.
“Sendiri duduk di halte dengan hari sesore ini,” jawab Johan.
Aleta lagi-lagi merasa kehangatan dari perkataan Johan. Lalu Aleta hanya bisa tersenyum lagi sebagai respons.
Johan kemudian berdiri dan mengulurkan tangan kirinya ke hadapan Aleta. “Ayo pulang.”
Aleta menyengir kali ini bagaimana mungkin pria di hadapannya ini mengajaknya pulang sedangkan tak ada satupun kendaraan yang bisa mereka naiki untuk pulang.
“Pakek apa? Jalan kaki?” tanya Aleta yang masih menyengir.
“Tiga menit lagi metro mini pasti lewat,” jawab Johan.
“Lo ke sekolah nggak bawa motor?” tanya Aleta.
“Bawa.”
“Terus motor lo mau di kemanain?”
“Lo mau pulang nggak, sih? Tangan gue pegal,” sindir Johan yang menatap Aleta masih setia duduk di bangku halte.
Aleta tertawa sekilas lalu menerima uluran tangan Johan. Lalu tangan Johan beralih menggenggam tangannya dan detik itu juga metro mini terlihat menuju arah mereka.
Johan dan Aleta menaiki metro mini itu saat tiba di depan mereka. Tak lupa dengan tangan johan yang terus menggenggam tangan milik Aleta.
***
Aleta dan Johan turun dari metro mini di halte dekat perumahan Aleta. “Lo pulang gimana?” tanya Aleta.
Kini mereka saling berhadapan tapi satu tangan tetap bergenggaman. “Gampang. Gue antar lo dulu.”
“Ini bakal gini terus?” tanya Aleta sambil mengangkat tangan mereka yang masih saling menggenggam.
“Iya biarin.”
“Ish, nggak mau.”
“Loh kenapa?”
“Malu diliatin orang.”
“Telat. di metro mini udah banyak yang liat,” jawab Johan.
Aleta melepaskan tangannya dari genggaman Johan. “Lo yang maksa.” Aleta menampakkan raut wajahnya yang kesal.
Johan tersenyum sekilas. “Yaudah ayo gue antar.”
“Nggak usah. Gue bisa sendiri, lagian gang perumahan gue nggak jauh dari sini. Lo pikirin aja gimana cara pulang,” jawab Aleta.
“Gue bilang gampang. Sekarang antar lo dulu.”
“Gue bilang nggak usah gue bisa sendiri. Oke?”
“Lo kenapa keras kepala banget, sih?” tanya Johan sambil mengacak rambut Aleta.
“Ish. Lo kenapa suka maksa, sih?” tukas Aleta.
Johan tersenyum lagi melihat Aleta yang kesal sambil merapikan rambutnya yang sudah ia acak. “Ya udah sana pulang. Gue liatin dari sini,” kata Johan.
Aleta menaikkan bahu sekilas lalu pamit duluan untuk pulang. Dia berjalan menuju gang perumahannya sambil sesekali melihat ke belakang bahwa Johan masih berdiri memperhatikannya di halte sana.
Aleta tersenyum dan dibalas senyum pula oleh Johan. Gadis itu terus melangkah sampai gang perumahannya sudah terlihat. Sebelum menuju gang perumahannya dan berbelok ke sana, Aleta memutar badannya dan melihat Johan masih berdiri di halte. Johan terlihat lebih kecil dari jarak sejauh ini. Aleta melambaikan tangan dan terlihat samar dari sini bahwa Johan merespons kembali dengan senyuman.
Cewek itu akhirnya membalikkan badan lagi dan berbelok memasuki gang perumahannya. Perasaannya saat ini sangat baik dan itu semua karena Johan. Aleta melangkah dengan ria menuju rumah yang tak jauh dari gang depan.
Namun langkah yang awalnya riang menjadi memelan ketika Aleta berada di depan rumahnya. Suasana hati yang sebelumnya sangat baik dan bahagia berubah menjadi bergemuruh hebat. Napasnya naik turun serta tubuhnya seketika melemas di tempat.
Langkahnya berhenti di ambang pagar yang setengah terbuka. Matanya menatap lurus ke objek yang berdiri di terasnya. “Ma ... Ma.”
...
Kali ini gimana perasaannya?
Salam Sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro