Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 44 - Rapuh

Aku rekomen lagu sambil baca part ini.

Menepi by NGATMOMBILUNG

...

Aleta tetap bungkam dan hanya memperhatikan perempuan paruh baya itu berjalan menuju kantor.

Wanita yang ia sebut 'Mama' melaluinya dengan santai tanpa menoleh ke arahnya sedikitpun. Mereka hanya terpisah jarak beberapa meter. Semakin jelas Aleta semakin yakin bahwa itu benar-benar Ibunya, tapi apa yang ia lakukan di sini?

Perlahan punggung wanita paruh baya itu semkin menjauh dari pandangan Aleta. Dada Aleta terasa sesak, pelupuknya mulai bergetar menahan sesuatu yang siap meluncur begitu saja. Aleta sedikit bergeser dari tempatnya berdiri semula. Tangannya bergerak meraba dinding. Tungkai kakinya terasa lunglai.

Detik itu juga air matanya melalui pelupuk. Aleta menarik napas dalam-dalam mencoba menetralkan perasaannya meski nyatanya begitu kacau. Begitu sakit dan sesak.

Aleta memejamkan matanya dan mengembuskan napasnya. Dia tidak boleh seperti ini di sini. Dia menegapkan badan lalu berjalan menuju kelas. Meski dia ragu bisa fokus di mata pelajaran nanti.

Langkah Aleta gontai melalui pintu kelas serta tatapannya hampa. Di memorinya masih terlukis bayangan yang baru saja ia lihat beberapa menit lalu.

Sampai di bangku Aleta meletakkan tasnya lalu dia hanya duduk dan diam tak membuka suara. Pricille serta Renata selalu menanyai keadaannya tapi tak Aleta hiraukan.

Selang beberapa menit ketua kelas mengumumkan bahwa hari ini guru yang mengisi kelas berhalangan untuk hadir jadi mereka diberikan tugas. Aleta cukup lega dengan itu setidaknya dia tidak perlu membagi cabang pikirannya.

Renata kembali berbicara dengan Aleta. “Al, lo sebenarnya kenapa?” tanya Renata.

Aleta tetap menggeleng seperti sebelumnya dan disertai dengan tatapannya yang kosong. Mulutnya yang bungkam membuat Renata terus menekan dengan menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali.

“Kita keluar sekarang.” Renata menarik lengan Aleta lalu mereka keluar dari kelas.

Aleta hanya mengikut di belakang Renata tanpa menolak atau berontak.

“Sekarang lo harus ngomong sama gue,” kata Renata setibanya mereka di ruang sekretariatan OSIS.

Renata menutup pintu lalu mendudukkan tubuh Aleta di bangku dan Renata tetap berdiri menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

“Gue nggak apa-apa Ta,” jawab Aleta setelah sekian lama bungkam.

“Nggak mungkin, Al.  Dari muka lo semua juga tau kalau lo nggak baik-baik aja. Lo masih anggap gue sahabat lo nggak, sih?”

Aleta kembali bungkam.

“Al!” Renata membentak Aleta.

“Gue selama ini emang nggak lo anggep, ya. Gue bingung harus gimana dan berapa lama temenan sama lo biar lo bisa perlakuin gue layaknya sahabat. Berbagi cerita sama gue sekalipun cerita yang menyakitkan. Kalau lo emang nggak mau, oke,  gue anggap nggak pernah ada kata sahabat antara kita.” Renata mengatakan semuanya dengan napas yang memburu. Dari raut wajahnya tampak sangat jelas bahwa dia kecewa.

Renata membalikkan badannya berniat keluar tapi detik itu juga Aleta membuka suara dan menghentikan langkahnya. “Gue lihat Mama,” kata Aleta dengan suara bergetar.

Aleta menunduk dalam-dalam. Air matanya sudah membanjiri wajah. Isakan mulai terdengar. Sekuat apapun dia menahan semuanya tetap saja akan runtuh. Pertahanannya selama ini runtuh dalam sekejap.

Topeng yang selalu ia tunjukkan kepada semua orang kini sudah terbuka. Inilah Aleta yang sebenarnya. Rapuh.

Renata membalikkan badannya lalu meraih Aleta dan memeluknya dengan erat. Bahu Aleta bergetar serta isakannya semakin mejadi.

“Gue minta maaf,” ujar Renata lemah sambil mengelus punggung sahabatnya itu.

Tak ada jawaban dari Aleta. Dia masih setia dengan tangisannya. Dia masih setia bersama luka, pilu dan kekecewaannya yang sudah lama dia pendam.

Beberapa menit akhirnya tangisan Aleta mulai mereda. Pelukan Renata mulai melonggar dan Aleta segera menghapus air matanya dan kembali mengatur napasnya.

Setelah Aleta membaik dia mulai membuka suaranya. Dia menatap Renata yang masih setia menenangkannya di ruang ini. “Ta, gue minta maaf,” ucap Aleta dan mendapat gelengan dari Renata.

“Gue yang harusnya minta maaf, Al. Gue nggak tau kalau lo lagi di kondisi yang sulit. Gue nggak tau kalau–” Renata menunduk tak mampu melanjutkan perkataannya.

“Lo nggak tau karena gue nggak pernah mau terbuka, ya? ” Aleta tersenyum miris. “Gue minta maaf enggak memperlakukan lo selayaknya sahabat. Selama ini padahal lo selalu cerita sama gue,” kata Aleta.

Renata menegakkan wajahnya lalu tersenyum dan kembali memeluk sahabat di depannya itu.

“Lo lihat nyokap lo di mana?” tanya Renata melepas pelukan mereka.

“Di sini. Udah dua kali tepatnya.”

Renata membola. “Di sini? Pelita? tapi ngapain?”

Aleta menggeleng. “Gue juga nggak tau. Waktu itu gue lihat dia keluar dari ruangan Pak Anton,” jawab Aleta.

“Waka kesiswaan? artinya ada hubungan sama siswa Pelita, kan?” Renata menatap Aleta dengan tatapan yang sulit diartikan.

***

“Kita kenapa di sini, sih, Ta?” tanya Aleta sedari tadi sejak mereka berdiri di parkiran.

“Lo bilang nyokap lo turun dari mobil ini, kan?” Aleta hanya mengangguk. “Kita tunggu sampai dia keluar dan ke sini,” kata Renata.

Aleta menggeleng dengan tatapan iba. “Gue nggak mau. Gue belum siap, Ta. Gue belum siap ketemu sama–” Aleta menarik napasnya dalam lalu mengembuskannya. “Orang yang udah ninggalin gue,” lanjut Aleta.

“Oke gue paham lo belum siap. Lo bisa sembunyi dibalik mobil itu biar gue yang tanya nyokap lo. Gue yakin semuanya akan ada titik terang kalau kita bisa tau alasan nyokap lo ke sini. Sekolah ini. Orang misterius itu juga mungkin bisa terungkap Al. Gue mohon lo mau, ya?” Renata memegang bahu Aleta sambil menatapnya dengan penuh permohonan.

Aleta perlahan mengangguk. “Kalau gitu lo sembunyi sekarang. Meskipun gue nggak tau nyokap lo masih ngenalin lo atau enggak tapi akan lebih baik kalau lo belum siap ketemu dia. Lo sembunyi sekarang, ya?” Renata kembali meyakinkan Aleta.

Aleta menurut lalu bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelah mobil yang digunakan oleh Ibunya.

Tak lama Aleta melihat dari kejauhan bahwa wanita paruh baya yang ia lihat pagi tadi berjalan menuju parkiran.

Aleta mengintip dari kaca mobil bahwa Renata tengah berdiri menantikan Ibunya sampai di dekat mobil.

“Maaf Bu, saya boleh minta waktunya sebentar?” tanya Renata. Dari belakang mobil ini Aleta bisa mendengar jelas.

“Ah, iya. Ada apa, ya?” tanya wanita paruh baya itu.

“Saya sudah beberapa kali lihat Ibu di sini. Saya juga rasanya tidak asing dengan wajah Ibu. Apa ...  Ibu salah satu orang tua siswa di sini?” tanya Renata hati-hati.

“Apa kita pernah bertemu?”

“Saya kurang paham, Bu. Sepertinya pernah tapi sedikit lupa persis waktu dan tempatnya. Mungkin saja Ibu adalah orang tua dari teman saya,” jawab Renata.

Aleta terus memejamkan matanya serta dadanya pun terus naik turun. Dia begitu mencemaskan setiap jawaban yang akan Ibunya berikan kepada Renata.

“Ah, saya salah satu donatur di sini. Saya juga sedang memastikan sesuatu itulah saya sering kemari,” jawab wanita itu.

“Ah, berarti hanya perasaan saya saja. Ibu mengingatkan saya dengan teman saya. Maaf sudah mengganggu waktu Ibu,” kata Renata menunduk hormat.

“Ah, tidak apa-apa. Saya harus duluan karena masih ada urusan.”

Renata mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Namun saat wanita paruh baya itu hampir membuka pintu mobilnya, dia kembali menoleh ke arah Renata. “Semoga orang yang kamu ingat saat melihat saya, selalu bahagia.”

...

Salam sayang
NunikFitaloka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro