Bab 41 - Rasanya masih sama
Aku tau telat lima hari, kan? Hehe maaf banget aku baru ada kuota:)
Sebagai ganti ini udah langsung lima bab aku publish.
Selamat membaca.
...
Johan mendekati Aleta dan menatapnya dengan lekat. "Gue udah tau semuanya yang selama ini lo sembunyikan," ujarnya yang terus menatap dalam manik mata Aleta.
Detik itu juga Aleta bungkam. Tubuhnya menjadi kaku serta aliran darahnya seolah terhenti. Johan mengetahui semuanya?
Johan maju selangkah lebih dekat. "Lo masih belum mau ngomong yang sebenarnya?" kata Johan terus menatap Aleta.
Aleta merasakan kegugupan mulai menjalari dirinya. Tenggorokannya seolah tercekat serta jari jemarinya terasa lebih dingin. Dia tetap diam.
"Kenapa diam? Lo tetap enggak mau jelasin semuanya? Sejak kapan?" tanya Johan bertubi-tubi.
Aleta meneguk liurnya sekali lalu memberanikan membuka suaranya. "Apa yang harus gue jelasin?"
"Ck," cibir Johan lalu ia meraih ponsel di saku celananya dan menunjukkan sesuatu kepada Aleta. "Sejak kapan lo dapat pesan-pesan seperti ini?" tanya Johan.
Aleta mengerjapkan matanya sekali dan mengembuskan napas leganya tipis. Johan tahu mengenai pesan ini, bukan penyakitnya, kan?
"Lo dapat SS dari mana?" tanya Aleta balik.
"Nggak penting dari mana gue dapat yang perlu lo jawab cuma sejak kapan lo dapat pesan macam ini?"
"Nggak penting juga lo tau sejak kapan gue dapat pesan itu." Aleta membuang mukanya tak menghadap Johan.
"Ini ada hubungan sama kejadian gue tertabrak dan Oma, kan?" tandas Johan.
Aleta kembali menatap Johan. "Kenapa lo selalu ikut campur urusan gue? Gue harus perjelas dengan kata apa lagi biar lo ngerti kalau-"
"Lo masih sayang gue?" sela Johan.
Aleta menarik napasnya dan kembali ingin berujar tapi Johan lebih dulu bicara. "Lo tau? Gue udah susah payah nyelidikin ini. Gue tau semua pesan yang orang ini kirim ke lo, dari pesan pertama. Orang ini ngancam lo akan nyakitin orang-orang yang lo sayang, kan? Gue juga tau dia ngintai lo dan ciri-cirinya sama kaya orang yang udah nabrak gue. Semua itu jelas Al, gue termasuk ke dalam katagori orang yang lo sayang. Lo mau gue jauhin lo karena ini? Lo takut ancaman ini?" Johan berbicara panjang lebar.
"Lo nggak tau apapun, Han."
"Karena lo nggak pernah mau jujur, Al."
Aleta menunduk menahan sesuatu yang seakan ingin meloncat ke luar dari pelupuk matanya.
"Gue dan yang lainnya udah berusaha ngelacak nomor ini. Gue juga udah nyadap perkarangan rumah lo termasuk HP lo. Otomatis gue tau saat lo akan nerima pesan itu lagi. Nomor ini gue yakin nggak akan mati terus, pasti akan di hidupkan sebelum jeda dia ngirim pesan ke lo. Gue dan yang lainnya juga udah punya daftar beberapa orang yang di curigai. Kalau lo mau sedikit berbagi mungkin kita akan lebih cepat ngungkap ini," kata Johan.
Aleta diam tak merespons. "Al, tolong jangan berusaha hadapin ini sendiri. Ada kita," ujar Johan memegang bahu Aleta.
Bel masuk berbunyi membuat Johan melepaskan bahu Aleta dan melihat ke sekeliling. Mungkin ada beberapa orang yang memperhatikan mereka tadi dan kemungkinan ada pula yang mendengar pembicaraan mereka.
"Nanti pulang tunggu gue. Kita bahas ini sama-sama nggak baik di sini bisa jadi ada yang dengar," kata Johan memperingati Aleta yang masih menatap ubin.
"Angkat muka lo. Tatap gue dan bilang iya," kata Johan lagi.
Aleta tak bergeming dia tetap menunduk menatap ubin dan sepatunya. Sejujurnya Aleta tak ingin Johan atau siapapun mengetahui prihal pesan itu. Ini akan semakin menyulitkan untuknya. Mereka bisa jadi dalam bahaya karena dirinya. "Al," ujar Johan sembari mengangkat dagu gadis itu.
"Iya," jawab Aleta. Bagaimanapun ia harus tahu siapa orang yang menjadi dalang di balik pesan rahasia itu dan mungkin dirinya memang harus membutuhkan bantuan orang lain. Dia tidak berbakat untuk menjadi detektif.
Johan tersenyum mendengar jawaban Aleta lalu berkata, "satu lagi. Setelah semua ini beres lo nggak boleh maksa buat gue jauhin lo, maksa buat gue lupain lo."
"Ah, enggak harus menunggu ini beres tapi sejak gue tau ini semua lo nggak boleh maksa gue untuk semua itu, oke?" Koreksi Johan.
Aleta menggeleng cepat. "Lo harus tetap lupain gue atau-"
Aleta mendadak bungkam menyadari bahwa dirinya hampir saja mengatakan alasan yang sebenarnya. laki-laki itu hampir saja mengetahui penyakit Aleta. Kalau Johan sampai mengetahui ini semua pasti ini akan jauh menyakitkan untuk Johan. Aleta tidak bisa melihat itu. "Atau?" tanya Johan melihat Aleta yang tak melanjutkan perkataannya sebelumnya.
"Riki? Lo kira gue percaya? Gue nggak percaya." Johan kembali berujar.
"Sekarang lo masuk kelas, tuh Ibu kesayangan lo udah ada di belakang," kata Johan menatap ke arah belakang Aleta. Sepertinya guru kesayangan yang dimaksud Johan adalah Ibu Faridah yang merupakan wali kelasnya.
Aleta langsung masuk ke dalam kelas sedangkan Johan memutar badannya menuju kelasnya yang berada di samping kelas Aleta.
***
Aleta baru ke luar dari kelasnya saat guru yang mengajar di jam terakhir baru meninggalkan kelas tapi di depan pintu Johan sudah bertengger sambil melipat tangan di dadanya. Laki-laki itu tersenyum saat melihat dirinya yang sudah di ambang pintu.
Tepat saat dirinya berhenti di hadapan Johan, Aleta merasakan tangannya di genggam oleh laki-laki itu. Aleta sontak melihat ke arah tangan mereka. "Nggak usah protes. Ayo," kata Johan lalu melangkah sedangkan Aleta ikut melangkah sambil terus mencoba menetralkan rasa yang kembali hadir di dalam dirinya. Rasanya tetap sama seperti sebelumnya yang selalu Aleta tutupi. Berdebar.
Sepanjang jalan Aleta hanya memperhatikan tangannya dan tangan Johan yang saling bertautan. Sesekali beralih menatap punggung laki-laki yang berada sedikit lebih dulu darinya.
"Cie yang udah gandengan lagi," goda Renata saat mereka baru tiba di parkiran.
Dengan cepat Aleta melepaskan tangannya dari tangan milik Johan. Dia merasa sedikit lebih canggung. "B aja kali Al," goda Andi yang berada di samping Renata dan Donny.
"Emang B aja," jawab Aleta menyembunyikan kegugupan di dalam dirinya.
"Lo bertiga naik apaan?" tanya Johan.
"Gue bareng Renata naik motor, Andi sama lo," jawab Donny.
"Lho kok?" protes Andi.
"Kenapa?" Tajam Renata.
Andi menggeser tubuhnya mendekati Donny dan berujar, "Lo laknat baget, ya, gue pergi bareng lo masa pulang nggak."
"Ya elah lo belum pulang kali, kita ke rumah Renata. Nanti pas pulang ke rumah lo baru lo nebeng gue," jawab Donny.
"Emang, ya, lo. Kalau udah pedekate aja lupa sama gue." Andi mencibir sambil membuang muka.
"Lo berdua PDKT?" tanya Aleta dengan mata membola.
"Udah jadian, kok." Donny menyahut dan mendapat timpukan di kepala oleh Renata. "Ngomong yang benar!"
"Hehe maksudnya doain," kata Donny.
Renata hanya mencibir tidak seperti kebanyakan gadis lain yang merasa malu bersemu merah warna pipi. Renata jauh kelihatan lebih santai.
"Aamiin, deh," jawab Aleta diiringi tawanya.
"Oke udah dapat lampu hijau," celetuk Johan yang membuat semua menoleh dengan tatapan menyelidik ke arah laki-laki itu.
"Gue juga bilang doain biar cepat balikan sama lo tadi," kata Johan dengan cengiran.
"Halu." Respons Aleta.
"Ck, orang gue benaran bilang cuma dalam hati, terus lo Aminin ya udah bagus," kata Johan.
....
Salam sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro