Bab 25
Dua hari berlalu. Aleta sudah kembali beraktivitas seperti sebelumnya. Ini hari pertama Aleta menginjak sekolahnya lagi pasca sekian lama telah izin karena sakit. Aleta ke sekolah seperti biasa menggunakan metro mini. Baru beberapa langkah memasuki gerbang Aleta sudah di hentikan oleh Revan.
“Hai Al, baru liat lo lagi. Kemarin ke mana?” tanyanya.
Sambil terus berjalan Aleta hanya menjawab dirinya sedang berhalangan jadi tidak bisa masuk sekolah. “Kenapa? Nyariin gue?” tanya Aleta.
“Iya. Gimana soal yang gue bilang kemarin? Emang ada yang ngikutin lo?” tanya Revan setengah berbisik tak ingin siswa lain yang lewat ikut mendengar.
Aleta menggeleng. Beberapa hari dia berada di rumah sakit jadi dia tak begitu memperhatikan sekitar. “Mungkin emang perasaan gue aja kali, ya, dia ngikutin lo,” ucap Revan.
“Thanks Van, tapi sebaiknya lo nggak perlu cari tahu soal ini lebih dalam atau hanya sekedar nanya ke gue. Gue nggak papa, bisa jaga diri. Gue cuma nggak mau seandainya iya, lo jadi terlibat dalam urusan ini.” Aleta menghentikan langkahnya kemudian menatap iris mata Revan dengan lekat.
Revan menampakkan senyumnya. “Oke kalau lo maunya gitu. Btw happy birthday, gue udh ngucap si di IG lo cuma lo nya kayanya belum on.”
“Makasih Van. Gue duluan.” Aleta segera berlalu meninggalkan Revan di sana. Saat ini dia tidak ingin terlalu banyak interaksi dengan siapapun. Dia tidak ingin bahwa lebih banyak yang tahu bahwa sesungguhnya dia rapuh. Cukup Riki tidak perlu menambah kandidat yang lainnya.
Langkah Aleta gontai memasuki kelas. Entah kebiasaan dari mana yang terjadi pada semua warga kelasnya. Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul tujuh tapi kelas masih saja sepi. Bahkan yang piket pun seperti sengaja menyiangi hari.
Aleta duduk di bangkunya dan menemukan sebuah kotak di atas mejanya. Kotak kecil yang berwarna hitam. Dengan ragu Aleta meraihnya. Dalam bayangannya ini ada hubungan dengan pesan yang dia terima beberapa kali itu, dan kemunculan orang yang selama ini menghilang dari hidupnya.
Mata Aleta membeliak ketika kotak itu sudah terbuka dan menampilkan isinya. ada sebuah foto dirinya yang tengah berdiri sewaktu di taman mewadahi hujan yang terus jatuh pada waktu itu. Kondisi dengan memeluk badan sendiri sangat menggambarkan perasaan Aleta saat itu. Dia begitu tampak ... menyedihkan.
Lalu beberapa bercak darah menghiasi di sekitar area isi dalam kotak. Aleta tidak tahu darah apa itu, mungkin darah hewan atau ... Dia tidak tahu. Ada sebuah kertas di menyelip di sana dan Aleta segera meraihnya dan membaca isinya.
Selamat Ulang Tahun!! Sebagai hadiah mari kita mulai permainan. Bersiap dan jagalah orang tersayangmu.
Napas Aleta tetap normal dia tidak memburu juga melemah. Aleta sudah mempersiapkan ini semua. Dia tahu dia di awasi. Dia tahu dia sedang diintai hingga semua gerak-geriknya akan terbaca oleh orang misterius ini. Yang perlu ia lakukan adalah tenang. Dia tidak boleh terlihat takut atau cemas. Lalu tidak ada yang boleh tahu soal ini. Dia harus menyembunyikannya dari siapapun.
Bunyi pintu terbuka membuat Aleta tersingkap dan langsung menyembunyikan kotak yang baru saja ia buka. “Lo udah sekolah?” tanya Riki. Ternyata orang itu adalah Riki.
Aleta mengangguk kaku. “Iya.”
Riki mendekat dan itu tentu saja membuat Aleta gugup mengenai apa yang ia sembunyikan saat ini. “Udah sembuh?” tanya Riki sambil menatap Aleta dengan tatapan curiga.
Baik. Aleta harus mengontrol ekspresinya dia tidak boleh terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Sebelum Riki benar-benar tahu lebih jauh tentang dirinya.
“Iya udah sembuh,” kata Aleta lalu duduk di bangkunya tanpa menghiraukan Riki. Aleta memasukkan kotak yang di tangannya ke laci meja lalu berpura-pura mengambil sesuatu di dalam tasnya.
Ternyata berhasil. Riki menghentikan langkahnya dan berbelok menuju bangkunya.
Dengan cepat Aleta menutup kotak itu dan memasukkannya ke dalam tas Aleta. Jangan sampai dia melakukan hal konyol ini saat Renata nanti datang juga.
***
Istirahat pertama Aleta ke kantin bersama Renata dan Pricille. Mereka berdua memesan makanan sedangkan Aleta hanya menemani. Selera makannya sudah beberapa hari ini menghilang. Perutnya terasa mual jika di isi.
Renata menyikut Aleta dengan sangat gusar. “Lo kenapa sih?” tanya Aleta.
“Noh noh lo lihat,” bisik Renata yang membuat pandangan Aleta dan Pricille secara bersamaan ke arah yang Renata tunjukkan.
Johan memasuki kantin dengan lengan yang di apit oleh Rani. Tak lupa senyuman Rani sangat mengembang di sana dan Johan tidak terlihat keberatan atas tindakan Rani. “Dih, Johan apa-apaan sih sama tu ratu drama,” kata Renata sewot.
“Dia pacar barunya Johan?” tanya Pricille.
“Kayanya nggak mungkin, sih, Johan mau sama cewek macam dia. Tapi dari gesturnya emang mereka bukan cuma sekedar teman,” kata Renata.
Aleta memalingkan wajahnya berniat menyudahi menatap ke arah Johan. Apapun itu adalah urusan Johan dan dia tak ingin ikut campur akan hal itu.
Mereka duduk di bangku terpisah dari rombongan Aleta begitu juga dengan Donny dan Andi yang selalu mengekor. “Biasanya gabung,” kata Pricille.
“Mau manas-manasin lo kali Al,” ucap Renata.
Aleta menjawab dengan acuh tak acuh, “Gue nggak kepanasan. Udah nggak usah gibah mulu. Makan buruan nanti bel.”
“Nggak bisa gitu tau. Lagian lo sih nggak punya hati banget padahal kan Johan udah sweet banget malam itu dan lo dengan sarkas nolak dia. Uwuu jahat lo emang.” Renata terus saja mengomel.
“Kok lo yang sewot?” Aleta menyerngitkan dahinya.
“Tau ah. Samperin yuk, sensi banget gue liat mukanya ratu drama.” Renata langsung berdiri dari bangkunya tanpa mendengarkan perkataan Aleta maupun Pricille lagi.
“Lo mau ke sana juga?” tanya Aleta dan mendapat gelengan daru Pricille. “Kita lihat aja dulu,” kata Pricille.
Aleta dan Pricille bersamaan melihat tingkah Renata di sana. Mengapa anak itu sangat susah mengerti?
***
“Oh jadi sekarang tipe lo udah nurun, Han,” kata Renata menghampiri meja Johan dan mendapati Rani yang sedang bersikap manja di lengannya. Menjijikkan!
Johan tak merespons. “Maksud lo, ngatain gue rendahan?” tanya Rani yang berdiri dari bangkunya. Nada perempuan itu tetap santai.
“Situ ngerasa?” cibir Renata sambil memutar bola matanya. Donny yang melihat aksi para betina pun akhirnya ikut berdiri dan memegang pundak Renata. “Lo mau makan mie ayam gue nggak? Gue kasih ke lo deh. Sini duduk,” ajak Donny.
“Nggak mau! He lo nggak usah kegenitan gitu dong jijik tau nggak lihatnya. Iyuuu,” kata Renata menatap Rani dengan tatapan jijiknya.
“Belagu banget, ya, anak kelas sebelas macam lo. Gue kasih tau, ya, adik kelas yang gak tau diri. Gue dan Johan udah jadian. So suka-suka gue dong mau gimana ke pacar gue. Iri?” sahut Rani.
Renata mengatupkan mulutnya dan mengeram melihat tingkah Rani. Mengapa nenek sihir ini sangat menyebalkan, pikirnya. “Lo bangga jadian sama Johan? Jadi pelampiasan doang kok bangga. Ck, tuh lihat yang katanya cowok lo, nggak ada belain lo sama sekali.”
Kini justru Rani yang terlihat seperti menahan emosi. Tangannya bergerak ingin menampar Renata tapi detik berikutnya terhalang oleh tangan seseorang. “Mau jadi pahlawan yang menyedihkan? Minggir tangan lo!” Rani setengah berteriak kepada orang yang mencekal tangannya.
“Sori gue bukan pahlawan cuma gue nggak suka lihat temen gue di gampar sama perempuan model lo.” Aleta menepis tangan Rani dengan kasar.
“Oh, teman yang ini membela teman yang di tinggalkan cowoknya yang kemudian pacaran sama gue lalu sih teman yang menyedihkan ini datang ngebela teman yang hampir gue tampar. Ck, saling bela-bela,” sinis Rani.
Aleta memutar bola matanya dengan malas. “Sori gue ralat. Gue yang ninggalin cowok lo dan dia cari pelampiasan dengan macarin lo.” Usai mengatakan itu Aleta menarik lengan Renata untuk segera pergi dari sana. Tidak perduli bagaimana ekspresi Rani di meja itu.
...
Salam sayang
NunikFitaloka
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro