Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17 - Sebuah foto usang

Bab 17

Selamat membaca.

...

Terhitung sudah tiga hari sejak Aleta dan Johan ke kota tua malam itu. Arna sudah pulang. Rumah rasanya kembali seperti semula. Aleta tak sendiri lagi melewati malamnya. Hari ini merupakan hari libur dan Aleta menghabiskan waktu liburnya bersama sang Oma untuk memasak kue.

Mata Aleta terfokus kepada adonan kue tapi pikirannya terus saja melayang dengan kotak yang ia terima pada malam itu. Aleta memang pelupa tapi untuk yang satu ini ia tak bisa melupakannya begitu saja. Isi dalam kotak itu terus saja membuat tanda tanya di kepalanya kian merebak.

Isi kotak itu ingin membuat ia teriak dan memaki diri sendiri. Mengapa dia tidak menjadi orang yang terkena amnesia saja agar dia tak perlu mengingat apa yang berada di dalam kotak itu. Mengapa sifat pelupanya bukan untuk sesuatu hal yang penting saja. Mengapa ingatan itu masih begitu lekat di memorinya? Mengapa ingatan itu tidak hilang saja di makan waktu? Aleta lelah mengingat sesuatu yang terus saja berusaha menggerogoti hatinya ini.

Untuk kesekian kalinya Aleta mencoba fokus dengan adonan kue yang sedari tadi ia kerjakan. Ia tak ingin Oma mencurigai bahwa dirinya sedang memikirkan sesuatu. Ia juga tak ingin Oma mengetahui mengenai kotak itu.

Aleta menghela napas sesaat lalu memasukkan adonan yang sudah dibuatnya ke dalam oven. Arna terlihat sedang membersihkan peralatan yang habis di gunakan untuk membuat kue. “Al, ajak Johan gih ke rumah bilangin Oma masak kue,” kata Arna sembari mengelap beberapa noda di atas meja.

Aleta menutup oven lalu menjawab, “nggak usah Oma. Cucu Oma ada buat ngabisin semua kue yang kita buat, tenang.”

Tak lama ponsel Aleta yang berada di dalam sakunya berbunyi.

“Halo?” sapanya mengangkat telepon.

Hai, gue ke rumah, ya?”

Aleta memutar bola matanya malas. Yang menelponnya adalah Johan. Untuk apa dia ingin ke rumahnya? Apa dia mendengar perkataan dirinya dan Oma? Menyebalkan.

“Nggak ada. Mau ngapain sih?” tanyanya.

Mau minta temenin cari barang lagi.”

“Kenapa mesti sama gue sih? Ganggu waktu libur gue tau nggak,” keluh Aleta.

“Oke, lima menit lagi gue sampai. Eh nggak deng, sepuluh menit lah. Bye.”

Telepon terputus. Aleta mengendurkan bahunya seraya menghela napas dalam-dalam. Johan sangat menyebalkan. Sebenarnya yang sedang PDKT Johan atau dirinya? Mengapa dirinya selalu di buat repot oleh manusia bernama Johan itu.

***

Jelas saja kini Johan dan Aleta sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Setelah menghabisi kue dirumahnya dengan mudah Johan membawanya kemari. Tentu saja Oma yang akan mudah memberi izin kepada Johan untuk membawa Aleta dan alhasil Aleta tak bisa menolak.

Johan sedang tampak memilih-milih sepatu dan Aleta hanya menunggu di luar toko. Dia tidak berminat masuk. Lalu tak lama Johan keluar sembari membawa dua pasang sepatu dan memperlihatkannya kepada Aleta lalu meminta pendapat yang mana yang lebih baik.

Aleta hanya menunjuk sepatu putih dengan list biru sedikit di bagian bawahnya. Menurutnya itu yang lebih menarik. Alhasil Johan menurut dan membayar sepatu itu. Namun Aleta sempat mengerutkan keningnya karena Johan membawa dengan dua paper bag.

Johan yang tahu hal itu akhirnya menjelaskan bahwa Johan sengaja membeli dua pasang biar seperti couple. Aleta hanya menggeleng-geleng sambil memutar malas kedua matanya. Dasar Bucin!

“Sebenarnya siapa sih gebetan lo?” tanya Aleta setelah mereka sudah berada di dalam mobil dan siap untuk pulang.

“Kepo ya?”

“Ya habisnya lo minta temenin gue mulu tapi nggak kasih tau gue siapa orangnya. Teman macam apa lo.”

“Nanti kalau udah jadian gue kasih tau. Doain, ya.” Johan tersenyum membayangkan kedekatan dirinya dengan gebetannya itu.

“Kalau nggak jadian, gimana?” tanya Aleta dengan kekehan.

“Nggak mungkinlah. Secara gue mempesona gini,” jawab Johan.

“Preett. Gue doain nggak jadian. Mampus lo,” cibir Aleta.

Johan hanya tersenyum miring. “Bilang aja nggak rela gue dimilikin yang lain.”

Aleta membulatkan matanya. “Najis.”

“Bilang aja kali Al,” goda Johan.

“Seketika gue budek,” kata Aleta lalu tak menghiraukan perkataan Johan selanjutnya.

***
Hari senin tiba. Seusai upacara Aleta dan Renata segera kembali ke kelas.

“Katanya kita bakal ada anak baru lagi lho,” kata Renata dengan nada bergosipnya.

Aleta hanya mengangguk. Dan tak lama Bu Faridah wali kelas mereka masuk ke dalam kelas yang diikuti dengan seorang siswa perempuan.

Semua murid diminta duduk dan diminta tenang.

“Halo salam kenal. Nama saya Pricille pindahan dari Singapura.” Siswa baru tersebut memperkenalkan dirinya. Tubuhnya sangat pas untuk ukuran seusianya, matanya abu-abu, senyumnya juga terlihat sangat manis dan rambutnya panjang sebahu.

Setelah mendapat sapaan dari seluruh isi kelas Pricille dipersilahkan duduk di bangku kosong yang di belakang bangku Aleta dan Renata. Selepas peninggalan Bu Faridha Renata menghadap ke belakang dan mulai berkenalan dengan Pricille lalu mengobrol.

“Oh iya, beberapa hari lalu juga ada anak baru di kelas ini,” kata Renata kepada Pricille.

“Oh ya? Yang mana?” tanya Pricille.
Lalu Renata menunjuk ke bangku Riki yang berada nomor dua baris kedua. Pricille hanya mengangguk mengerti.

“Halo, gue Aleta.” Tiba-tiba Aleta menyahut memperkenalkan diri dari yang semula dia tak ikut pembicaraan mereka.

Pricille menyambut tangan Aleta sambil tersenyum, “Pricille.”

“Aleta itu wakil ketos jadi nanti pas lo disuruh keliling sekolah dia yang akan nemenin lo,” sahut Renata.

Pricille hanya mengagguk lalu berkata, “Semoga kita bisa menjadi teman, ya?” dan mendapat anggukan dari Renata lalu disusul dengan anggukan Aleta.

***
Arna meletakkan barang-barang yang sudah tak layak pakai ke dalam gudang. Gudang ini terlihat sangat using di makan dengan usia, tak pernah di kunjungi atau bahkan sekedar untuk di bersihkan. Tidak ada alasan untuk ke mari. Hari ini untuk pertama kalinya lagi setelah belasan tahun gudang ini dibukanya.

Arna meletakkan barang itu dengan cepat lalu berniat keluar, tapi seketika niatnya diurungkan ketika melihat sebuah syal berwarna kuning bertengger di pegangan kursi yang sudah sangat lapuk. Perlahan Arna mendekat dan di raihnya syal itu.
Lama memperhatikan syal ini membuat semua ingatan Arna kembali ke belasan tahun silam. Ingatan itu meyeruak membuat sayatan luka lamanya tergores kembali. Andai waktu bisa dirinya putar. Air mata perlahan jatuh begitu saja di pelupuk matanya. Sekeras apa pun dia menyembunyikan ia akan selalu terlihat rapuh.

Perlahan Arna bergerak membuka lemari yang hampir habis di makan rayap. Dia tidak berniat untuk membuka lemari ini awalnya tapi semua niatnya berubah. Perasaan itu kembali hadir. Perasaan tak tenangnya yang selama ini selalu ia tutupi dari semua orang termasuk Cucunya—Aleta.

Pintu lemari terbuka, Arna mengambil sesuatu yang tertutupi oleh beberapa pakaian. Sebuah foto kini berada di genggamannya. Dengan lekat Arna memperhatikan foto itu. Foto yang tak pernah dirinya keluarkan dari dalam sini. Foto yang tak pernah ia tunjukkan dengan Aleta.

Terlihat jelas raut wajah yang tak berdosa berada di gendongan seorang perempuan dalam foto itu. Air mata Arna kembali mengalir dan semakin deras. Tawa pun tercetak di bibir perempuan yang menggendong bayi kecil di dalam foto itu. Sesak dalam diri Arna mulai menguap memenuhi semua ruang hati dan jantungnya. Tawa itu, tawa yang sudah ia hancurkan. Kebahagiaan yang sudah ia lenyapkan.

Jari Arna mengambil lipatan di belakang foto itu. Seperti ada beribu batu yang menghantam hati dan perasaannya. Arna terduduk lemah tersender di pintu lemari sebagai penopang. Arna menangis sejadi-jadinya dalam keheningan. Bayangan tentang Aleta kecil yang menangis mengejar Ibunya hadir begitu saja dalam memori Arna.

Sesak itu semakin jadi. Perasaan yang sudah lama ia tutupi hadir kembali. Perasaan bersalah. Perasaan tak termaafkan untuk dirinya sendiri. Percuma dirinya tak bisa mengulang semuanya. Kenyataannya dirinya yang sudah menciptakan luka yang begitu besar untuk cucunya. Aleta. Kenyataannya dirinya lah yang bersalah atas apa yang menimpa Aleta. Kenyataannya dirinya lah yang mengahancurkan benih kebahagiaan di hidup Aleta.

Di liriknya sekali lagi foto itu oleh Arna kemudian dalam isakan Arna terus meracau. “Maafin Oma, Al, maafin Oma.”

...

Salam sayang
NunikFitaloka





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro