Chapter 9 - Breaking The Rules
Hari berikutnya saat jam pelajaran sudah berakhir, aku dan Maria berjalan menuju lab science untuk bertemu Michael.
Sebenarnya aku menolak keras untuk ikut dalam rencana balas dendamnya Michael. Maksudku, aku tidak bisa membayangkan sebrutal apakah rencana yang akan dilakukannya! Sayangnya, Nat dan Maria bersikeras mengajakku sehingga tidak ada pilihan lain selain ikut
Sesampainya di lab science, kami melihat semua teman-teman kami duduk di lantai membentuk satu lingkaran. Aku dan Maria bergabung bersama mereka.
Maria menoleh ke arah Michael. "So, Mr. Rebel, apa rencanamu?"
"Jika ini membahayakan reputasiku sebagai murid Berry High, aku tidak akan ikut!" cicit Emma.
"Easy, girls! Aku berani jamin rencanaku tidak akan membuat kita dikeluarkan," jawab Michael santai.
"Kuharap rencanamu cukup bagus untuk membalaskan dendamku pada Brian or I will kick your ass!" gerutu Caleb.
"Okay, okay. Do you guys know what is cheerleader spirit stick?" tanya Michael.
"Tongkat keberuntungan milik cheerleaders Hearst? Mia bilang mereka punya tongkat itu di sekolah," jawab Maria.
"Bingo! Hearst High memiliki spirit stick keberuntungan yang akan dilempar oleh cheerleader saat pertandingan. Selama lebih dari 10 tahun, stick tersebut tidak pernah jatuh ke tanah saat dilempar. Jika benda itu jatuh, tim football Hearst akan mengalami kesialan selama 10 tahun." Michael bercerita.
"What a stupid superstition," ucapku remeh.
Caleb mengangkat salah satu alisnya. "Jadi, kita akan membuat cheerleader Hearst High menjatuhkan stick itu?"
"No, kita akan mencuri spirit stick tersebut." Michael menyeringai.
"Apa?!" Emma menggelengkan kepala. "No, no, no. I'm out!"
Nat mengerutkan dahinya. "Why?! We're partner in crime, Emma!"
Emma mengerutkan bibirnya. "Murid sekolah dasar juga tahu mencuri itu tidak baik!"
Maria menyeringai. "Mencuri dari orang jahat tidak dihitung kejahatan, Emma."
Emma melirik ke arahku, aku menghela napas dan merespon. "Ini ide balas dendam terbodoh yang pernah kudengar, tetapi selama tidak ada kekerasan dan tidak melibatkan polisi, aku ikut."
Michael mengangkat bahunya. "Tidak apa, saling menjahili satu sama lain antara Berry High dan Hearst High sebelum homecoming adalah tradisi yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Guru-guru tidak peduli dengan prank seperti itu."
"Kalau begitu aku akan mengantar kalian semua ke Hearst High, mobilku cukup luas untuk kita semua," ujar Caleb.
Emma menggigit bibirnya. "Baiklah. Emma 5 tahun lagi pasti akan menyesali ini."
Caleb menyikut lengan Emma dan menyeringai. "High School bukanlah high school jika kita tidak pernah mencoba melanggar aturan, kan?"
******
Kami mengikuti Caleb menuju mobil SUV miliknya--yang sebenarnya adalah mobil milik kakaknya, Ezra--di lapangan parkir.
"Siapa yang akan duduk bersamaku di depan?" tanya Caleb.
"Emma!" seru Nat.
"W-what!?" seru Emma gugup, pipinya memerah.
"Kau sering mabuk darat. Kursi depan adalah posisi yang paling aman untukmu!" ucap Nat lagi.
"Fine." Caleb tersenyum manis pada Emma. "Let's go!"
Aku melihat Michael melirik ke arah Nat.
"Nat--"
Sebelum Michael menyelesaikan ucapannya, Emma menyeletuk. "Michael, kurasa Maria ingin duduk bersamamu di tengah!"
"What the hell?!" Maria protes.
"No way! Aku tidak mau duduk bersama Maria!" ejek Michael.
"Jadi ..." Nat menoleh ke arahku. "Tidak ada cara lain selain duduk denganmu di belakang, kan?"
Aku menelan salivaku dengan gugup. "Y-yeah."
"Hei! Aku juga ingin duduk di belakang!" protes Michael.
"Okay, then. Duduklah bersamaku dan Aiden!" ucap Nat.
"Apa sih yang kalian ributkan?! Ini hanya tempat duduk, bukan pemilihan jodoh!" seru Caleb gemas.
Dengan cepat Nat menarikku untuk mengambil posisi di belakang. Kami mulai masuk ke dalam mobil.
Michael terdiam, begitu pula Maria. Mereka saling melemparkan tatapan membunuh sebelum akhirnya duduk bersama di tengah.
Setelah semua masuk ke dalam mobil, Caleb menancapkan gas dan kami berkendara menuju Hearst High. Pemuda itu menyalakan radio dan menggantinya ke saluran musik.
"Berhenti bertengkar dan mari bernyanyi bersama!" seru pemuda itu.
"Oh, that's a great idea!" seru Emma antusias.
Michael, Emma, Caleb dan Maria berkaraoke bersama. Selain berkaraoke, mereka saling mengobrol satu sama lain. Aku dan Nat yang berada di bangku paling belakang agak kesulitan menyamakan topik pembicaraan dengan mereka.
Yeah, mereka berlima mengabaikan kami berdua.
Aku melirik ke arah Nat yang duduk di sampingku, lengan kami bersentuhan. Aku sedikit menggeser posisi dudukku untuk memberinya sedikit ruang.
"Why? Kau merasa risih duduk denganku?" tanya Nat.
"N-no! It's not like that!" ucapku cepat. "Apakah kau tidak kesempitan?"
"No. Tempat ini cukup luas untuk kita berdua," ucapnya santai.
"Oh," ucapku singkat.
Aku menunduk dan terdiam selama beberapa saat. Tiba-tiba, Nat menyandarkan kepalanya di pundakku. Jantungku berdebar dengan cepat, aku dapat merasakan kedua pipiku kembali menghangat.
Gadis itu mendongak ke arahku dan berbisik. "Do you mind?"
"Not at all," lirihku.
Aku tampak seperti orang bodoh dan tidak bisa bergerak sama sekali ketika gadis di sampingku bersandar di pundakku. Dengan keberanian ekstra, aku mencoba menyandarkan kepalaku padanya.
"Kepalaku tidak berat, kan?"
Nat tertawa kecil. "Not at all."
Mobil Caleb malam ini terasa ramai oleh suara teman-temanku yang bernyanyi dan saling mengobrol. Entah kenapa suara-suara berisik itu perlahan memudar. Di mobil ini, hanya Nat yang kurasakan kehadirannya serta melodi-melodi indah yang diputar di kepalaku.
******
Kami tiba di Hearst High sebelum gelap. Caleb menunggu di mobil, sedangkan kami berlima mencoba masuk ke dalam sekolah.
"Mudah sekali menyusup ke dalam sekolah ini, kan?" Michael menyeringai.
"It was easy until one of its students catch us," ucap Maria sarkas.
Kami berlima berjalan menuju display spirit stick yang terletak tepat di sebelah ruang ganti wanita. Untungnya Michael masih mengingat denah mantan sekolahnya ini.
Pemuda itu menekan passcode lock di display tersebut dengan mudah tanpa kesulitan.
"I have so many question. How can you do that?" tanyaku.
"Hearst cheerleaders are stupid. Mereka memakai kode yang mudah ditebak," jawab Michael santai.
Click! Bunyi suara display yang berhasil terbuka.
Maria sangat bersemangat mengambil spirit stick-nya. "OMG! Kita berhasil!" ucapnya setengah berteriak.
"HEI!"
Kami semua terkejut dan melihat ke belakang kami. Di sana berdiri seorang murid laki-laki dengan rambut blonde terang, badannya cukup atletis, ia memakai baju polo berwarna biru muda.
"Itu Max." Michael berbisik.
"Harrison?!" Max terkejut. "What the hell are you doing here?!"
Brian dan Zoe menampakan dirinya di belakang Max.
"Who are you guys?!" bentak Zoe.
"Itu si Harrison dan murid-murid sekolahnya!" seru Brian.
"Uh-oh. We're in trouble," gumamku.
"Apa yang kalian lakukan dengan spirit stick kami?!" bentak Zoe.
"Of course we're going to steal it, dumbass!" teriak Michael.
"Berpencar!" Maria menggenggam erat spirit stick-nya dan berteriak memberikan instruksi.
"Kita bertemu Caleb di luar!" seru Nat.
Sesaat setelah kami berlari dan berpencar, Max, Brian dan Zoe berteriak sambil mengejar kami.
Aku terdiam, kebingungan harus berlari ke arah mana. Tiba-tiba Nat menarik tanganku.
"Follow me!" serunya.
Aku berlari mengikutinya. Ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat Zoe berlari mengejar kami.
"You will regret it, you little cockroach!" teriak Zoe.
Kami berlari menelusuri koridor sekolah dan berbelok ke kanan. Sayangnya, nasib sial menimpa kami.
"Jalan buntu!" seruku panik.
Nat melihat ke sekelilingnya, kedua netranya tertuju pada salah satu pintu kecil tepat di sebelah kanan kami.
"Sembunyi!" titahnya.
Gadis itu menarik tanganku dan membuka pintu ruangan tersebut, kemudian menutupnya.
Dua kata. Gelap dan sempit.
Ruangan itu adalah gudang sapu, ukurannya sekitar 1,5x1,5 meter. Di dalamnya terdapat kabinet kecil dan beberapa sapu serta alat pembersih lainnya. Syukurlah, ruangan tersebut cukup besar untuk kami.
Aku berdiri membelakangi kabinet kecil di dalam gudang, sedangkan Nat berdiri menghadap ke arahku. Wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter saja, hingga aku dapat merasakan jantungnya yang berdegup kencang.
"Bukan bermaksud lancang, tapi ..." Aku menjeda kalimatku. "You still holding my hand."
Dalam gelap aku dapat melihat ekspresi terkejut dari Nat, ia melepas genggamannya. "Hah? S-sorry, Aiden."
Dari arah luar, kami mendengar suara langkah kaki Zoe. Aku menutup mulutku dengan tangan, sedangkan Nat menyandarkan wajahnya di dadaku dan menahan napasnya. Setelah beberapa detik, akhirnya kami mendengar langkah kaki Zoe menjauh pergi.
Kami berdua menghembuskan napas lega. Tiba-tiba, ponsel milik Nat bergetar dan membuatku terkejut. Nat merogoh kantongnya untuk membaca pesan yang masuk.
Emma
> Jangan keluar! Brian, Zoe dan Max berjaga di pintu masuk utama, kalian pasti akan langsung ketahuan kalau keluar sekarang.
> Diamlah di dalam
> Tunggu chat dariku selanjutnya.
Nat memasukan ponselnya kembali ke dalam saku, wajahnya muram. "Bagaimana ini? Yang lain menunggu kita dan kita tidak bisa ke mana-mana."
Aku berbisik. "Tunggu di sini, aku akan mengecek keadaan sekitar, siapa tahu ada pintu samping untuk keluar."
Nat mengangguk sebagai jawaban. Aku membuka pintu gudang dengan perlahan, segera mencari jalan keluar darurat. Aku mengendap-endap di sepanjang koridor, kemudian melihat sebuah pintu yang tampak seperti pintu samping. Senyumku mengembang, Aku bergegas pergi ke gudang untuk memberitahu Nat.
Setelah itu, kami berjalan menuju pintu tersebut. Ketika kami membuka pintu, di sana terdapat tangga yang mengarah ke atas.
Nat mengerutkan dahinya. "Aiden, ini bukan pintu keluar, ini jalan menuju rooftop!"
Aku menepuk dahiku sebagai respon atas tindakan bodohku sendiri.
Gadis itu mengerang. "Ya sudah, kita ke atas saja. Di atas lebih baik dari pada di gudang."
Nat mengikutiku menaiki tangga hingga menemukan pintu di depan kami. Aku membuka pintu tersebut, angin berhembus kencang ke arah kami. Aku menggigil sebentar, namun lama kelamaan terbiasa dengan angin yang berhembus dari arah rooftop.
Kami melangkah maju dan melihat ke sekeliling. Cedar Cove terlihat indah dari atas rooftop. Dari kejauhan, aku dapat melihat permukaan pantai dan garis horizon lautan, matahari mulai tenggelam, langit Cedar Cove kini berwarna orange terang.
Pemandangan di atas sini sangat indah!
"What an amazing scenery!" Senyuman di wajah Nat sangat cerah, secerah mentari sore ini.
Gadis itu mengagumi pemandangan yang ada di bawah kami, sedangkan aku menikmati angin sepoi-sepoi yang bertiup ke arahku
"Do you like it?" tanyanya.
"Yeah," ucapku singkat.
"This afternoon is so perfect!" serunya dengan gembira.
Aku merasakan sensasi hangat mengalir di seluruh tubuhku, membuatku tersenyum tipis dan menunduk. Hal yang bisa kulakukan adalah menatap sepatuku dan menggerakan jari-jari kakiku, kemudian menghela napas berat.
"Aku tidak mengerti mengapa gadis sepertimu mau menghabiskan waktunya untukku," lirihku.
Nat menatapku, perlahan senyum di wajahnya pudar. "Mengapa kau berbicara seperti itu?"
Aku memalingkan pandanganku ke depan, ke arah pantai di kejauhan. "Entahlah, aku hanya merasa--" Aku terdiam, kemudian memejamkan mataku dan menghela napas. "--Aku bahkan merasa kesulitan ketika harus berhadapan denganmu. Apa kau tidak kesal padaku?"
Nat melangkah mendekatiku, ia berdiri di sampingku dan menatap jauh ke depan. "Aku mau menghabiskan waktuku denganmu, karena aku mau." Ia memalingkan pandangannya ke arahku. "Kau adalah kau, Aiden. Berhenti berusaha menjadi orang lain."
Gadis itu meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat, membuat dadaku sesak dan membuat jantungku berdetak semakin cepat.
Aku tersenyum lemah. "Kau adalah orang pertama yang melihatku sebagaimana adanya. Orang lain melihatku hanya sebatas kemampuanku dalam bermusik. Aku tidak tahu harus bagaimana. Te-tentu saja aku merasa senang. Tapi--"
"Kau lebih dari sekedar itu. Percayalah padaku."
Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum hangat. "Kau juga luar biasa, Nat."
Gadis itu kembali melirik ke arahku dan tersenyum, membuatku terkejut dan menjadi gugup secara tiba-tiba.
"Ya ampun, baru saja aku mengatakan hal yang sulit sekali kuungkapkan!" seruku
Nat tertawa kecil, lalu menggenggam tanganku lebih erat. "Telling Nat How You Feel: Achievement Unlocked!"
Melihatnya tertawa membuatku sedikit gugup. "Please, don't laugh!"
"But I'm serious. You're more than your music, Aiden." Ia tersenyum hangat.
Kami saling bertatapan dan bertukar senyuman. Tak terasa hari sudah semakin gelap, matahari perlahan mulai terbenam. Langit Cedar Cove yang awalnya berwarna orange, perlahan mulai gelap. Angin yang berhembus terasa semakin dingin,
Tiba-tiba Nat melirik ke arah kepalaku, kemudian mengangkat tangan kanannya untuk mengacak-acak rambutku.
"Hei! Apa yang kau lakukan?!" Dengan refleks aku menyentuh kepalaku untuk menghentikan pergerakan tangannya.
"Mengacak-acak rambutmu." Ia menjawab dengan santai.
"Why?!"
"I always want to mess with your perfect hair." Nat berbisik, kemudian tersenyum.
Aku merasakan seluruh darah yang ada di tubuhku mengalir ke wajahku, kupu-kupu yang tadinya tertidur di perutku kini berterbangan kesana kemari.
Sial, wajahku pasti seperti kepiting rebus sekarang!
Beberapa saat kemudian, ponsel milik Nat bergetar, ia melirik layar ponselnya dan tersenyum lebar.
"Emma bilang lantai bawah sudah aman. Ayo pergi dari sini!"
"Kau tahu, aku tidak pernah merasa lega sekaligus kecewa seperti sekarang," ucapku.
"Selalu ada lain kesempatan, kan?" Gadis itu tersenyum.
******
Kami melangkah menuruni tangga dan mengendap-endap menelusuri koridor. Di sana tampak sepi, tidak ada tanda-tanda dari kehadiran Brian, Max atau Zoe.
Kami berdua tiba di lapangan parkir Hearst High dan berjalan menuju mobil Caleb.
"Apakah kita berhasil?" tanyaku.
"Absolutely!" seru Nat.
"HEI! ITU MEREKA! KEJAR MEREKA!"
Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendengar teriakan dari belakang kami. Aku menoleh ke belakang, melihat Brian, Max dan Zoe berlari ke arah kami.
"RUN, NAT! RUN, AIDEN!" teriak Emma dari mobil Caleb.
Aku menggenggam erat tangan Nat dan berlari secepat mungkin menuju mobil. Setelah kami bergegas masuk ke dalam mobil dan menutup pintu, Caleb menginjak gas mobilnya dan mengemudi secepat mungkin menuju Berry High.
Nat membuka jendela mobil, kemudian mengangkat dan mengayunkan spirit stick ke arah Max, Zoe dan Brian.
"Kalian tenang saja, kami hanya mencurinya, bukan menjatuhkannya ke tanah!" teriak Nat.
Michael tidak dapat menahan tawanya, ia mengambil ponselnya dari saku celana, kemudian mengambil gambar mereka bertiga dari kursi paling belakang.
Kami berenam tertawa bersama. Suasana di mobil Caleb malam ini sangat hidup. Kami semua merasa senang karena dapat membalas perbuatan Brian dan kawan barunya di Hearst High!
Selain itu, aku semakin menyukai lingkaran pertemanan ini. Kami adalah sekumpulan murid dengan kepribadian yang berbeda, tetapi motto kami sama: Hearst High tidak boleh macam-macam pada kami, atau mereka akan merasakan akibatnya!
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
GLOSSARIUM
CHEERLEADER'S SPIRIT STICK: Stick yang biasanya dibawa oleh captain cheerleader sebagai simbol untuk menaikan semangat pemain cheerleader dan tim olahraga yang mereka dukung.
******
BONUS:
EMMA HAWKINS
The Girl Next Door with Mysterious Talent
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro