Chapter 8 - Ollie The Tiger
Beberapa hari kemudian, aku menggigil ketika keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju sekolah. Pagi yang sedikit berawan juga berangin. Kemeja putih dilapisi sweater hitam ternyata tidak cukup tebal untuk menghangatkanku.
Musim gugur sudah hampir berakhir, pertandingan football melawan Hearst High hanya tinggal beberapa minggu lagi, begitu pula dengan malam homecoming.
Ketika sampai di koridor sekolah, aku mendengar murid-murid berlalu lalang membicarakan Ollie The Tiger, maskot macan sekolah kami. Aku mencoba untuk menguping pembicaraan mereka, namun tidak berhasil mendapatkan jawaban. Aku melirik arlojiku, masih ada sekitar setengah jam sebelum bel masuk berbunyi.
"Lebih baik mengeceknya sendiri, kan?" gumamku.
Aku memutuskan untuk pergi menuju cafeteria outdoor dan mengecek Ollie. Sesampainya di cafeteria outdoor, aku melihat puluhan siswa Berry High mengelilingi patung Ollie.
Aku melangkah maju untuk melihat apa yang terjadi dengan Ollie dan mencoba melewati beberapa murid di kerumunan.
"Excuse me!" ucapku.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat maskot sekolah kami berlumuran cat semprot berwarna merah terang. Michael menyentuh Ollie, ia memejamkan matanya kemudian menunduk. Untuk pertama kalinya, aku melihat Michael terlihat sedih sampai seperti ini.
Pertanyaannya adalah, mengapa? Pemuda itu tidak terlihat seperti murid yang peduli pada sekolahnya.
"Aiden, what happened?"
Aku menoleh ke arah sumber suara, Nat berdiri tepat di belakangku dan terlihat kebingungan.
"Coba saja kau lihat sendiri." Aku menggerakan kepalaku ke arah Ollie.
Nat memalingkan pandangannya pada Ollie, gadis itu membelalak. "Berry sux. Hearst Rules? Mike did this?"
"I don't think so." Aku melirik ke arah Michael. "He looks sad and upset."
Michael merasakan kehadiran Nat, ia menoleh ke arah gadis itu, kedua netra mereka bertemu.
"Mike, you okay?" tanya Nat.
"No." Michael menggelengkan kepala. Ia menunduk dan mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Pemuda itu menoleh ke arah kami. "Aku akan ikut tryout untuk posisi quarterback."
Nat terkejut. "Wait, what? Mengapa tiba-tiba?"
Michael menghembuskan napas berat. "Aku punya masa lalu yang buruk dengan Hearst, hal ini juga berhubungan dengan football, mengapa aku tidak ingin bergabung dalam tim."
"Kau ingin menceritakannya pada kami?" Nat bertanya.
Michael menghela napas berat, kemudian mengangkat bahunya. "Why not? Sekarang, percuma saja kalau kurahasiakan, kan?"
"Oke, kau membuatku penasaran," jawabku.
Kami bertiga melangkah menuju bangku cafeteria bagian outdoor untuk duduk, jauh dari murid-murid yang sedang heboh mengelilingi patung Ollie. Michael menarik napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita.
"Kalian tahu, aku pernah bersekolah di Hearst High sebelum diterima di Berry High?"
Aku terkejut. "Wait?! Really?
Michael mengangguk. "Tahun kemarin adalah tahun pertamaku memasuki sekolah menengah. Di hari pertamaku, Max, kakaknya Mia, kapten cheerleaders sekolah ini membullyku. Ia membuatku membawa seluruh barang bawaannya, termasuk peralatan football miliknya. Suatu hari, saat aku mencoba melawan, Max dan seluruh tim football memperlakukanku dengan buruk, seluruh murid di Hearst High tidak ada yang mau berteman denganku. Yeah, I was a lone wolf."
"Oh my God," lirih Nat. "I'm really sorry to hear that."
"Akhirnya aku melakukan kenakalan untuk membuat diriku dikeluarkan, seperti meng-hack komputer sekolah, mencorat-coret dinding sekolah, dan lain sebagainya. Yang kudengar, Mia juga sempat bersekolah di Hearst High selama satu minggu. Karena tidak tahan dengan perbuatan Kara, pacar Max di sekolah, ia memutuskan untuk pindah kemari. Mia juga mengalami bullying, sama sepertiku." Michael lanjut bercerita.
Aku dan Nat terdiam, perasaan kami bercampur aduk saat mendengar cerita masa lalu Michael. Rupanya Michael yang urakan pernah mengalami hal yang kelam di sekolah lamanya!
Wajahnya berubah muram. "Uh, seharusnya aku tidak menceritakannya ada kalian ..."
Nat memotong. "No, no, no. We're okay. Kami ... hanya merasa bingung bagaimana harus merespon ceritamu."
Michael tersenyum tipis. "Ceritaku belum selesai. Saat pindah ke Berry High, teman pertamaku adalah Brian."
"What?!" Aku dan Nat meninggikan suara kami secara bersamaan.
Michael mengangguk, kemudian melanjutkan ceritanya. "Aku dan Brian menjadi sahabat baik saat awal quarter."
"Are you kidding me?!" aku menaikkan nada bicaraku kembali.
"Shut up, Shinichi Kudo! Aku belum selesai berbicara!" Pemuda di depanku protes.
"Sorry," ucapku gugup.
"Semua itu berubah saat Brian terpilih menjadi quarterback. Suatu hari, aku melihat Brian duduk di cafeteria bersama Caleb, Julian dan anggota football lainnya. Kami terbiasa makan siang bersama, jadi aku memutuskan untuk duduk dengan Brian. Di luar dugaan, Brian membentak dan mengusirku. Ia bilang, hanya anggota tim football yang boleh duduk di sini."
"Wow, just wow. Tak heran ia berbuat seperti itu juga pada Emma!" Nat geram.
"Pada akhirnya, aku tidak pernah lagi berbicara dengan Brian dan lebih senang menghabiskan waktuku di lapangan belakang sekolah bersama Wes. Saat itu, aku memandang semua pemain football sama saja. Egois dan selalu mengeksklusifkan diri mereka sendiri. Itulah asal mulanya aku membenci tim football sekolah ini, aku juga sempat membenci Caleb, padahal ia tidak salah apapun. Dibanding kebencianku terhadap tim football Berry High, aku lebih membenci Hearst High dan Brian. Jadi, jika kita memenangkan pertandingan, dendamku akan terbalas." Michael mengepalkan tangannya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Untuk pertama kalinya, aku merasa kagum dengan Michael. "Motivasi terbaik datang dari diri sendiri, great job, Michael."
Michael menyeringai. "One more thing. Hingga detik ini, Brian takut padaku, karena jika ia berani macam-macam denganku, aku bisa dengan mudah meng-hack laptopnya."
"Seriously? You're a hacker?" gurauku.
"Hei!" Nat terkekeh, ia menoleh ke arahku sebelum kembali terfokus pada Michael. "Go on, Mike."
"Itulah sebab ia mengundangku ke party-nya beberapa minggu yang lalu. Pemuda itu juga tidak berani melawanku saat pertandingan minggu kemarin. Kurasa ia menyesal karena sudah berani macam-macam denganku."
"APA YANG KALIAN TONTON DI SINI?! MASUK KE KELAS!"
Kami memalingkan pandangan ke arah Vice Principal Isa yang sedang berteriak di depan patung Ollie. Seluruh siswa yang berada di sana berhamburan masuk ke dalam kelas, begitu pula kami. Sesi cerita kami bersama Michael terpotong karena kelas akan dimulai sebentar lagi.
*****
Saat jam istirahat makan siang, aku menelusuri koridor kelas sambil membawa beberapa kertas musikku dan melihat ke sekeliling, kemudian melihat Nat dan Maria sedang berbicara di depan loker.
"Aiden! Come here!" Maria memanggilku, setengah berbisik dan berteriak.
"Yeah?" tanyaku.
"Apa kau mendengar rumor itu? Kudengar murid Berry High yang mencorat-coret Ollie, bukan Hearst High!" jawab Nat.
Aku mengerutkan dahi. "Are you serious?! Keuntungan apa yang didapatkan murid sekolah kita dengan mengotori maskot sekolahnya sendiri?"
Nat mengangkat bahu, "No idea."
"Mungkin pelakunya memang murid Hearst High?" tanyaku.
"Whoever did that, kita tetap harus mencarinya, kan?" jawab Maria. "Apakah kau mau membantu kami berdua mencari tahu siapa yang melakukan ini kepada Ollie?"
"Why would I do that?" tanyaku santai.
"Karena aku tahu bagaimana cara kita menemukan pelakunya," jawab Maria. "Tapi kita kekurangan orang!"
"How?" tanya Nat.
"Kita harus bertanya pada Wes," ujar Maria.
"Well, ia pasti tahu siapa pelakunya. Hanya tinggal bertanya padanya saja, kan?" tanyaku.
"Kuharap semudah itu," ucap Maria sambil menekuk wajahnya.
Ponsel milik seseorang di sekitarku bergetar. Nat mengambil ponselnya dari saku celana dan membaca pesan yang masuk.
"Wes membalas pesanku!" seru Nat.
Aku dan Maria yang sama penasarannya, mendekat ke arah Nat untuk membaca pesan yang dikirimkan Wes.
Wes
> Temui aku di Golden Griddle sepulang sekolah.
> Senang berbisnis denganmu.
"Sudah kuduga! Wes is being Wes!" Maria menggerutu.
Well, awalnya aku tidak mengerti apa yang dimaksud Maria. Tetapi, bertemu Wes bukan hal yang sulit, kan? Apa sih, kemungkinan buruk yang akan terjadi?
*****
Sepulang sekolah, kami bertiga berkendara menuju Golden Griddle dan menunggu di salah satu sofa. Sudah 15 menit berlalu namun Wes tidak menunjukan batang hidungnya.
Maria mulai kehilangan kesabaran. "Oke, Wes sudah terlambat lebih dari 10 menit, kau yakin Wes mau menemui kita disini?"
"Dia bilang begitu, atau mungkin Wes menunggu di luar Golden Griddle?" jawab Nat.
"Aku akan pergi untuk mengecek." Maria beranjak dari sofa dan pergi ke luar ruangan.
Di meja itu hanya ada aku dan Nat yang duduk tepat di hadapanku. Kami berdua diliputi keheningan dan terdiam selama beberapa saat. Aku bersandar di sofa, kemudian mengetuk jari-jariku ke atas meja dan bersenandung.
Nat melirik ke arahku, kemudian tersenyum tipis. "New inspiration, huh?"
"What?" tanyaku.
Nat menunjuk jari-jariku yang sedang mengetuk meja. "It sounds like a music to me."
"Menurutmu begitu?"
Nat tersenyum simpul dan mengangguk.
Aku menghela napas. "Kalau begitu aku sedikit menyesal tidak membawa binder musik dan pensil, seharusnya tidak kutinggalkan di ruang musik."
"Kali ini tentang apa?" tanya gadis itu.
"Tentang petualangan mencari pelaku vandalisme sekolah," jawabku santai.
Nat tertawa kecil, ia ikut memainkan jari-jari tangannya di atas meja.
"Lagu tentang apa yang kau ciptakan?" aku bertanya balik.
"Mungkin lebih tepatnya 'tentang siapa'." jawabnya.
"Mike?" tebakku.
Gadis itu menyeringai. "Mengapa harus Mike?"
"Kalian kan dekat akhir-akhir ini," jawabku.
Nat tidak menjawab, ia masih menggerakan jari-jari tangannya di atas meja. Kedua netra kami saling bertemu dalam melodi yang kami ciptakan.
Beberapa saat kemudian, Maria dan Wes berjalan cepat memasuki Golden Griddle. Kedatangan Maria tidak kami sadari. Kami berdua mengalihkan pandangan ke arah Maria dengan canggung, dengan cepat aku menarik tanganku ke belakang, begitu pula Nat.
Maria bergantian menatap kami berdua dan menutup mulutnya. "Oops, aku tidak menganggu kalian kan?"
Aku merasa sedikit gugup. "Te-tentu saja tidak! Kenapa kau berpikir seperti itu?"
Maria mengabaikanku dan mengalihkan pandangannya pada Wes, ia mengizinkan pemuda itu untuk duduk di sebelahku, sedangkan gadis itu kembali ke sofa dan duduk di sebelah Nat.
"Wes, kau tahu siapa yang melakukan itu pada Ollie?" Maria bertanya.
Wes mengangguk. "Tentu saja. Tapi aku tidak akan memberikan informasi ini secara gratis."
"Oh, jadi ini yang kau maksud bisnis?!" tanyaku dengan nada tinggi.
"Bisakah kau memberikan informasi ini secara gratis?" Nat memohon sambil menekuk wajahnya.
"Apakah kalian tahu bisnis? Ketika kalian meminta diskon, seseorang setelah kalian akan melakukan hal yang sama, begitulah seterusnya. Bisa-bisa bisnisku gulung tikar," jawab Wes santai.
Maria mengerang frustasi, ia dan Nat bertukar pandangan. Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaannya, kan?
Aku merogoh saku belakang celana jeans-ku dan menemukan sebuah pick yang biasa kugunakan untuk bermain gitar akustik. Benda itu merupakan pick pertamaku yang kudapatkan ketika pertama kali memainkan gitar akustik.
Wes melihat pick milikku dan tersenyum lebar.
"Not for sale," ucapku cepat.
"Jesus! Just give him that pick, Zhou!" oceh Maria.
"No! Take it or leave it!" tegasku.
Nat mengeluarkan uang 50 sen dari kantong celananya, sedangkan Maria tidak mengeluarkan apapun dari dalam sakunya.
Maria memberi Wes tatapan memelas. "Bagaimana kalau kutukar dengan tiket homecoming?"
"Oke, aku mau satu tiket dan bolos rapat homecoming committee tiga kali!" seru Wes.
Maria menghembuskan napas berat. "Deal. Satu tiket dan izin membolos."
Wes tersenyum lebar. "Okay, aku akan memberikan sebuah petunjuk. Orang yang melakukannya berawal dari huruf M. 'Melody. Melody ada di sekitarmu'."
Maria membuka mulutnya dan hendak berbicara, namun sebelum gadis itu berbicara, Wes sudah beranjak dari sofa dan melangkah pergi keluar dari Golden Griddle. Sesampainya di pintu keluar, pemuda itu menoleh ke arah kami dan melakukan finger guns sambil berkedip.
"Tidak ada murid bernama Melody di sekolah ini." ucap Maria. "Karena Wes bilang Melody sangat dekat dengan kita, pelakunya memang murid Berry High, kan?"
"Ayo kembali ke sekolah dan kita pikirkan kembali pencarian ini," lirih Nat.
Kami bertiga menghela napas berat dan kembali ke mobil. Ketika berjalan, aku menghentikan langkahku dan tiba-tiba teringat seseorang.
"Myra Khandaar," ucapku.
Maria menghentikan langkahnya kemudian berbalik ke arahku. "Apa?! Myra?!"
"Myra berawal dari huruf M. Melody itu bukan namanya, tetapi kata tersebut ada hubungannya dengan musik dan gadis itu sangat dekat dengan kita!" seruku.
"Kuharap tebakanmu salah." Nat menekuk wajahnya. "Myra tidak mungkin berbuat seperti itu."
"Tidak akan tahu jika tidak dicek, kan?" tanyaku sambil melangkah menuju mobil. "Aku tahu di mana ia sekarang!"
******
Sesampainya di ruang musik, kami melihat Myra sedang duduk dan memainkan trombone. Gadis itu berhenti memainkan trombone ketika melihat kami berdiri di depan pintu masuk ruang musik.
"Hai kalian! Ayo masuk!" Myra tersenyum, namun kami bertiga tidak bereaksi apapun. Ia melirik kami secara bergantian, lalu senyum di wajahnya hilang.
"Kalian sudah tau kalau pelakunya adalah aku?" cicitnya.
Kedua netraku membulat sempurna. "Myra?! It was you? But, why?"
"Kuharap ada alasan yang masuk akal di balik semua ini." Nat menekuk wajahnya. "That was a serious case, you broke a school's statue!"
Myra menggigit bibirnya, menahan air mata yang nyaris menjatuhi pipinya.
"Kumohon jangan laporkan pada Principal Hughs. Aku akan melakukan apapun, aku akan membersihkan Ollie seorang diri!" cicit gadis itu lagi.
"Principal Hughs harus tahu hal ini, Khandaar!" Maria mulai naik pitam.
"I don't have a choice. Brian threatened me." Myra terisak. "Sepulang sekolah tempo hari, ia menghampiriku bersama teman-teman Hearst-nya. He will do everything to make sure I did that. He swore that he will make my school life like a hell if I didn't do that."
"Brian Crandall lagi!" geram Nat.
"Tapi, pelanggaran tetap pelanggaran, Khandaar. Kau tetap harus dihukum," tegas Maria
"Tapi, Myra berbuat begitu karena terpaksa, kan?" Aku menekuk wajahku.
Myra menundukan kepalanya, air mata menetes dari kedua matanya. Dadaku terasas sesak, rasanya ingin sekali menolong Myra, namun Maria benar, Myra bersalah dan ia harus mendapatkan hukuman.
Tiba-tiba, Nat mendekati Myra dan berjongkok di hadapannya. Gadis itu meraih tangan Myra dan mengelus punggung tangannya.
"Mungkin kita bisa menjaga rahasiamu, tapi kau harus janji membersihkan Ollie, okay?"
Myra mendongak untuk menatap Nat, kemudian menghapus air matanya. "Be-benarkah?"
Nat mengangguk dan tersenyum tulus.
Myra tertawa kecil, senyumnya kembali."Thank you so much!"
Maria mengerutkan dahi. "Nat! Kau di pihak siapa? Myra bersalah dan kau melepas Myra begitu saja?"
"Pelakunya adalah Brian dan teman Hearst-nya, Maria, bukan Myra. Lagipula ia sudah berjanji untuk bertanggung jawab, kan?" jawab gadis itu.
Maria melipatkan tangannya di dada dan terdiam selama beberapa saat, kemudian mengangguk. "Baiklah kalau begitu."
Aku mendekati Nat dan menepuk pundaknya. "Kurasa kita harus memberitahu Mike, ia pasti senang mengetahui siapa dalang di balik semua ini."
Nat mengangguk, ia mengirimkan pesan pada Michael. Hanya dalam hitungan menit, pemuda itu membalasnya.
Michael
> Temui aku besok di lab science
> Kau, Maria, semua yang bersamaku ketika mencari Caleb
> Kita lakukan serangan balasan
> Saatnya Hearst merasakan akibatnya karena sudah berhadapan dengan orang yang salah!
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
GLOSSARIUM
LONE WOLF: Serigala yang tidak punya kawanan / diasingkan dari kawanannya
GUITAR PICK: Alat bantu untuk memetik senar gitar, melindungi jari-jari dari gesekan senar agar tidak mudah tergores
******
BONUS
Myra Khandaar ketika melihat sepasang manusia sedang PDKT:
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro