Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 58 - Ice and Fire [Part 2]

[Present day, Michael POV]

Di sisi lain gedung serbaguna milik ayah Kara, tempat di mana prom masih diadakan.

Aku dan Cameron masih duduk dan berbagi cerita di snack bar, mengenai nasib kami sebagai dua orang yang patah hati dan terpaksa harus melihat orang yang kami sukai berdansa bersama pasangannya.

Siapa lagi kalau bukan Nat dan Aiden?

"--Jadi begitu lah." Aku menutup ceritaku.

"Mengapa kau mau membantu Nat mencari pelaku pengirim e-mail kaleng tersebut? Ia sudah menyakitimu selama berbulan-bulan." Cameron bertanya.

Aku tersenyum tipis. "Simple, because I loved her. Aku tidak suka melihat seluruh murid di sekolah membencinya. Dia anak yang baik, she don't deserved that."

"Nat is a girl. Girls always ignore someone who love them and chase after someone they love. Tapi aku kagum padamu Mike, bisa bertahan sampai sejauh ini." Cameron tersenyum tipis.

"Tulus, bodoh dan egois memang berbeda tipis." Aku tertawa pahit.

"Kau tahu? Kurasa keputusanmu sudah benar."

"Keputusan apa?"

"Keputusanmu untuk merelakan Nat bersama pilihannya. Lagipula, seseorang yang tepat untukmu tidak akan datang jika kau masih terjebak oleh masa lalu. Logikanya begini, bisa saja Mrs. Right-mu ada di sekitar, tetapi kau menutup hatimu untuknya, maka karena itu kau tidak pernah menyadari keberadaannya."

Ucapan Cameron cukup masuk akal. Aku sendiri baru bisa melupakan Giselle ketika pindah ke Berry High. Setahun kemudian, Nat datang ke kehidupanku. Kalau saja aku masih terjebak oleh perasaanku pada Giselle, aku tidak akan merasakan kehadiran Nat.

"Bagaimana kalau seseorang yang kau maksud itu tidak ada di sekitarmu dan Tuhan memang belum mempertemukannya denganmu?" Aku bertaya pada Cameron.

Cameron mengedikkan bahu. "Aku kan bilang 'bisa saja', tidak ada salahnya untuk lebih peka terhadap lingkungan di sekitarmu, kan? Lagipula, kau tampan. Masa iya tidak ada anak perempuan yang suka padamu?"

"Kalau begitu, apakah kau suka padaku?" Aku menggodanya.

Cameron mendengkus. "Aiden masih lebih tampan darimu!"

Aku menggerutu. "Sial, kau dan Nat sama saja!"

Gadis berambut cepak di sampingku melanjutkan perkataannya. "Tetapi aku menyadari satu hal. Mungkin aku hanya kagum pada Aiden, bukan murni suka padanya. Maksudku, siapa yang tidak kagum padanya? Ia pemain trumpet dan komposer yang sangat berbakat. Pemuda itu juga memperlakukanku dengan baik di hari pertamaku berseoklah di sini."

"Oh, really?"

Cameron mengangguk. "Yah, kau pasti tahu, sekolah kita sudah bermusuhan selama bertahun-tahun. Tidak ada murid Berry High yang mengajakku berbicara kecuali Aiden waktu itu."

"Aiden mengajakmu bicara!? I can't believe that!" Aku terkekeh. "Kau harus melihat Aiden sebelum pacaran dengan Nat. Ia seperti bayi rusa. Ketika ada seorang gadis yang mendekatinya, ia akan langsung kabur! Anak itu juga hanya peduli pada musik. Aku tidak mengerti bagaimana Nat bisa mengubahnya menjadi seperti sekarang ini."

Cameron tertawa. "Astaga, pasti imut sekali!" Gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Setelah apa yang kuperbuat, aku malah menyakiti Aiden dan Nat. Padahal Nat selalu berbuat baik padaku, tetapi aku membalasnya dengan berusaha mencuri pacarnya."

"Curi saja dia. Aiden untukmu, Nat untukku. Happy ending." Aku menyeringai.

Cameron menoleh ke arahku dan memelototiku, kemudian memukul lenganku. "Kau gila!"

"Bercanda!" Aku tertawa. "Aku tidak sejahat itu, mau bagaimana pun, Aiden adalah temanku. Sekarang aku sudah terbiasa melihat mereka berdua. Kurasa aku sudah mengikhlaskan Nat."

"Meskipun itu mengorbankan kebahagiaanmu?" Cameron bertanya.

Aku mengangkat bahuku. "Whatever it takes to makes her happy, right?"

Cameron mengangguk. "Aku percaya ada seseorang di sekitarmu yang memang ditakdirkan untukmu. Kau hanya tidak menyadarinya."

"Mungkin ada, tetapi aku tidak tahu siapa."

"Kalau begitu, kau harus mencari tahu sendiri." Cameron menjawab.

Aku terdiam, perkataan Cameron membuatku berpikir keras.

Kami menikmati sisa malam ini sambil bertukar cerita. Prom night rasanya cepat sekali berlalu, murid-murid yang hadir sedikit demi sedikit meninggalkan venue.

Nat dan Aiden juga sudah hilang dari pandangan kami. Aku bertaruh mereka berdua pasti sedang making out di dalam mobil.

Kurasa hal itu tidak mungkin terjadi, Aiden kan bodoh. Ah sudahlah, untuk apa kupikirkan?  Meskipun begitu, aku tidak terlalu sakit hati jika hal itu terjadi.

Setelah kehilangan Maria selama berjam-jam, akhirnya ia mendatangiku di snack bar.

"Sorry, ada beberapa hal yang harus kuurus. Aku sudah selesai melakukan tugasku sebagai ketua prom committee. Kau mau langsung pulang atau bagaimana?" Maria bertanya padaku.

Aku melirik arlojiku. "Mau ke Golden Griddle? Dad menyuruhku untuk membeli makan malam untuknya."

Maria mengangguk. "Boleh." Ia menoleh ke arah Cameron. "Aku dan Michael duluan."

Cameron tersenyum lebar. "Bye, Maria." Kemudian ia menoleh ke arahku. "Bye, Mike. Terima kasih sudah berbagi cerita denganku."

Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Kami berjalan keluar dari venue menuju lapangan parkir.

Kali ini aku membawa mobil. Yeah, kau tidak mungkin mengajak seorang gadis pergi ke prom dengan motor, kan?

"Apa yang kau bicarakan dengan Cameron?" Maria bertanya.

"Rahasia laki-laki." Aku menjawab asal.

Maria mencubit lenganku. "Cameron itu perempuan! Perempuan!"

*****

Sesampainya di Golden Griddle, aku memesan rice box favorit ayahku dan menunggu di salah satu meja makan bersama Maria. Kami duduk saling berhadapan. Waktu menunjukan pukul sebelas malam. Aku memutar-mutar ponselku di atas meja makan karena bosan.

Maria menunduk sambil memainkan ponselnya. Langit Cedar Cove sudah menjadi gelap sepenuhnya, namun Golden Griddle tetaplah ramai. Alunan musik yang lembut terdengar dari arah mesin jukebox.

Cahaya ponsel milik Maria menerangi beberapa bagian wajahnya, sebagian lagi ditutupi oleh bayangan. Aku dapat melihat jelas lekukan hidungnya, bibir ranumnya, juga bulu matanya yang cukup lentik.

Saat ini, aku sedang melihat Maria yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Tiba-tiba ia mendongak ke arahku, dengan cepat aku memalingkan pandangan ke belakangnya.

Maria menoleh ke belakang tubuhnya. "Kau lihat apa sih?"

"Aku sedang melihat dekorasi dinding Golden Griddle." Aku berdalih.

Maria berdecak, lalu meletakkan ponselnya di atas meja, tepat di sebelah milikku. "Kau aneh. Golden Griddle kan tidak pernah mengubah dekorasi interiornya selama lima belas tahun!"

Aku mengedikkan bahu. "Terserah aku, dong!"

Tiba-tiba, ponsel di atas meja bergetar. Dengan cepat aku meraih benda pipih itu. Maria melakukan hal yang sama, ia mengambil miliknya juga, namun tanpa sengaja tangan kami bersentuhan.

Alunan musik lembut dari mesin jukebox tiba-tiba terdengar jelas di telingaku. Aku dan Maria mendongak, pandangan kami bertemu.

Gadis itu mengalihkan pandangannya dariku dengan canggung sambil mengambil ponselnya, "Yang bergetar tadi pasti punyaku, karena aku sedang mengobrol bersama Emma."

Perkataan Maria seakan mengisyaratkan bahwa aku adalah pria menyedihkan yang tidak pernah mendapat pesan dari gadis manapun.

"Memangnya hanya kau saja? Siapa tahu itu ponselku! Meskipun aku tidak sedang mengobrol dengan seseorang, bisa saja Wes mengirimkanku sebuah meme yang konyol, seperti yang biasa ia lakukan."

"Oh really?" Maria tersenyum miring dan menaikkan salah satu alisnya.

"Yeah!"

"Kukira tidak ada seorang pun yang mengirimkan pesan padamu."

Aku mengernyit. "Memangnya pria single tidak boleh mendapat pesan dari seseorang?!"

Maria tertawa. "Sejak Wes putus dengan pacarnya dan Nat menolakmu, akhirnya kau menemukan teman senasib, huh? Ayo kalian berdua cari pacar supaya tidak kesepian lagi!"

Hal yang aneh terjadi padaku saat ini. Saat mendengar kata 'pacar', atau apa pun yang ada hubungannya dengan seorang gadis, bukan Nat yang ada di pikiranku, melainkan Maria.

Yeah, mungkin karena aku sedang menatap Maria lebih dari tiga detik? Jujur saja, ia terlihat cantik malam ini.

"Michael!" Maria meninggikan suaranya dan menyadarkanku dari lamunanku, kemudian menyentuh area sekitar bibirnya. Gadis itu mengeluarkan cermin kecil dari dalam clutch-nya. "Mengapa kau melihatku seperti itu? Lipstick-ku berantakan?"

"N-no, bukan--"

Tiba-tiba otakku tidak dapat memproses kata-kata yang sebaiknya kukeluarkan melalui mulutku.

Ada apa ini? Padahal kan aku tinggal menggodanya seperti biasa. Seperti 'Yeah, lipstick-mu berantakan, kau terlihat seperti Harley Quinn' atau 'No, mascara-mu berantakan, kau terlihat seperti Bucky Barnes si Winter Soldier.' Namun aku takut menyakitinya karena aku tahu ia sangat menomor satukan penampilannya.

"Pesanan nomor 78, take away!" Tiba-tiba salah satu karyawan Golden Griddle berteriak dari arah kasir dan membuatku terkejut.

"Iya, itu pesanan saya!" Aku mengalihkan pembicaraan kemudian beranjak dari meja makan dan pergi mengambil pesanan milik Dad.

Maria Flores, mengapa kau berputar-putar di kepalaku?

*****

Aku dalam perjalanan menuju rumah Maria untuk mengantarnya pulang. Siaran radio di mobilku sedang memutar lagu boyband asal Inggris.

So get out, get out, get out of my head
And fall into my arms instead
I don't, I don't, don't know what it is
But I need that one thing

Aku berdecak, kemudian mematikan radio mobilku.

"Kenapa dimatikan?" Maria menyalakan kembali radio mobilku, kemudian mencoba mencari siaran yang lain.

"Aku benci lagu boyband."

Aku memang benci boyband, namun entah kenapa ketika mendengar lagu ini, aku merasa semakin sebal dengan boyband. Apalagi liriknya.

Maria tertawa, ia mengalihkan pembicaraan. "Apa yang akan kau lakukan saat liburan musim panas nanti, Mike?"

"Tidak ada. Aku hanya ingin tidur seharian di rumah sambil marathon Marvel Daredevil." Aku menjawab. "Bagaimana denganmu?"

"Belum ada rencana. Sepertinya aku akan marathon series juga, seperti Riverdale."

"Cih, cheesy teenage series." Aku meledeknya.

Maria memukul bahuku. "Sialan, jangan meremehkan seleraku!"

Aku memutar bola mata. "Kau harus mencoba menonton genre yang lain, Maria. Genre seperti itu terlalu teenlit dan menjijikan."

Maria mengernyit. "Seperti?"

"Teen Wolf?" Aku menjawab asal.

Maria memukul bahuku berkali-kali sambil tertawa. "Apa kau pernah menonton Teen Wolf?! Itu juga teenage series sama seperti Riverdale! Iya sih, tentang werewolf, tapi cinta-cintaan juga!"

Aku mengelus lenganku. "Hei, jangan pukul aku saat mengemudi! Kau mau aku menabrak trotoar?"

"Kau takkan berani. Dad bekerja bersama kepolisian Cedar Cove, ia akan membunuhmu jika aku tidak pulang dengan selamat!"

Aku memutar bola mata dengan malas. "Whatever."

Setelah saling bercanda satu sama lain, kami sampai di tujuan.

Maria yang sedari tadi memainkan ponselnya, mendongak ke arah rumahnya. "Wah, sudah sampai? Waktu cepat sekali berlalu."

"Ada apa? Kau senang menghabiskan waktu denganku?" Aku menggodanya.

"Iya." Maria menoleh ke arahku dan balik menggodaku.

Aku terkejut mendengar jawaban Maria dan menatapnya dengan canggung.

Maria terlihat sedang menahan tawa. "Why Seranganku tadi tepat mengenai hatimu?"

Aku merasakan seluruh darah di tubuhku mengalir ke pipiku. "No, I dunno what are you talkin' about!"

Maria tertawa. "I'm just messing with you! Jangan tersipu malu seperti itu!"

"Siapa yang tersipu malu!?" Aku mengelak.

Maria melepas seat belt-nya, kemudian membuka pintu mobil.

"Terima kasih sudah mengantarku, Mike." Ia hendak turun dari mobilku. "Drive safely!"

Sebelum ia keluar dari mobilku, aku meraih tangannya, mengisyaratkannya untuk tidak meninggalkanku secepat itu.

Maria menoleh ke arahku. "Ada apa? Ada barangku yang ketinggalan di mobilmu?" Ia menunduk dan berusaha mencari barangnya yang tertinggal.

"No." Aku menarik napas panjang.

Sial, dia hanya seorang Maria! Mengapa sulit sekali berbicara dengannya?

Aku melanjutkan kalimatku. "Kau mau marathon series bersamaku liburan musim panas nanti? Aku tidak keberatan untuk menonton Riverdale."

Maria tersenyum hangat. "Jangan begitu, aku tahu kau tidak suka teenage series seperti Riverdale. Aku tidak keberatan untuk menonton series action seperti Daredevil bersamamu."

"Really?"

"Kau bilang aku harus menonton film dengan genre lain, kan?"

Senyuman terukir di wajahku. "Okay, aku akan menjemputmu di hari pertama liburan musim panas."

"Ayo ajak yang lain! Emma, Nat, Aiden, Myra dan Caleb!" Maria terlihat antusias.

"I'm not sure."

"Why?"

"Aiden dan Nat pasti ingin kencan berdua, begitu pula Caleb dan Jade. Emma ada acara lain bersama cheerleaders. Myra pasti bermain game online seharian." Aku asal berbicara.

"Okay, whatever. See ya, Mike." Maria memberiku senyuman terakhir sebelum ia masuk ke dalam rumahnya.

Damn, senyumnya manis sekali!

Aku mengepalkan tanganku dan bersorak "yes!" di dalam hati, kemudian menyalakan mesin mobil dan berkendara pulang ke rumah. Dari kaca spion mobil, aku dapat melihat pantulan bayangan diriku yang sedang tersenyum sepanjang perjalanan.

Apakah aku jatuh cinta lagi?

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

*******

BONUS

Buat yang kangen Aiden sama Nat, tenang, di chapter besok mereka muncul full satu chapter😆

Sampai ketemu di duachapter terakhir Winter Serenade!

Tapiiiii jangan syedih. Author udah siapin sequel + spin-off Winter Serenade di draft✨

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro