Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 56 - Michael Harrison [Part 3]

[Flashback, Michael POV]

Setelah berkata jujur tentang apa yang kurasakan, Nat semakin menjauh dariku. Hal yang membuatku sangat marah, gadis itu malah semakin dekat dengan Aiden.

Sial! Bagaimana cara Aiden menaklukan hatinya? Aku berani bertaruh gadis-gadis remaja masa kini lebih menyukai bad boy sepertiku dibandingkan anak pendiam seperti Aiden. Tetapi, mengapa hal ini tidak berlaku pada Nat?

Sore ini, di lapangan belakang sekolah, aku mencurahkan keluh kesahku pada kedua sahabatku, Wes dan Morgan.

"Kau masih mau berusaha untuk mendapatkan Nat? Sudahlah, menyerah saja!" Itu lah yang Wes bilang.

Aku mendengkus kesal. "Kau sahabatku bukan, sih? Mengapa kau tidak membantuku sedikit saja? Kau kan tahu segala sesuatu yang ada di sekolah ini!"

Wes memutar bola mata. "Aku ini informan, bukan cupid. Yang cupid itu Myra!"

Aku tertawa malas. "That's funny. Kau kan tahu kalau Myra ada di pihak Aiden."

"That's the point!" Wes berbicara serius "Ini adalah pertarungan yang tidak bisa kau menangkan. Kau sudah kalah sejak awal!"

"What's your problem?" Aku membentak Wes.

Wes mendengkus kesal. "I'm your best friend. Tugasku adalah mengingatkanmu, Mr. Stubborn! Perasaanmu pada Nat sudah tidak sehat! Kau tidak bisa begitu saja memaksa Nat untuk menerimamu--"

"Nat belum jadian dengan Aiden! Aku masih punya kesempatan!"

Wes menyeringai. "See? Introspeksi, Mike! Itu lah mengapa Aiden lebih unggul darimu!"

Aku menjadi naik pitam, kemudian dengan cepat meraih kerah jaket Wes, bersiap untuk melakukan baku hantam jika diperlukan.

"Shut. Up." Aku menekan setiap perkataanku.

"Aku tahu cara mengalahkan Aiden." Morgan tiba-tiba berucap.

Aku dan Wes menoleh ke arah Morgan secara bersamaan. Secara perlahan, aku melepas cengkraman tanganku.

Morgan melanjutkan perkataannya. "Kau bilang Aiden itu pemalu? Kalau begitu, kau harus curi start duluan!"

"Maksudmu?" Aku bertanya.

"Kau harus menyatakan perasaanmu pada Nat lebih dulu daripada Aiden." Morgan melipat kedua tangannya dan mendekat ke arahku. "Think about it. Dua minggu lagi homecoming, kau bisa mengajaknya pergi ke acara itu sekaligus meresmikan hubungan kalian!"

Aku mengernyit. "Ew, kau kan tahu aku benci datang ke pesta dansa?"

Morgan megedikkan bahu. "Terserah kau. Tidak ada gadis yang tidak luluh ketika seseorang melakukan homecoming proposal untuknya!"

"You know what? Kurasa Morgan ada benarnya," ujar Wes. 

"Kalau begitu, kalian akan membantuku?" tanyaku.

"Tentu saja." Morgan mengangguk.

Aku menoleh ke arah Wes. "Kau?"

Wes menghela napas berat. "Whatever. Aku sudah memperingatimu."

"Good. Kuanggap jawabannya adalah iya." Aku menyeringai. "I have a good plan."

******

Hari di mana tryout pemilihan quarterback diadakan sudah tiba. Aku bersiap-siap mengambil posisi di tengah lapangan football sekolah. Langit Cedar Cove sudah menjadi gelap secara keseluruhan, itu artinya Wes sudah bersiap dengan lighter-nya untuk menyalakan kembang api.

Aku akan melakukan homecoming proposal untuk Nat malam ini. Thanks to Morgan and Wes!

Ezra dan Caleb juga membantuku untuk mengajak Nat hadir di tribun. Dari tebakanku, mereka pasti belum tahu bahwa Aiden menyukai Nat. Kakak beradik itu pasti tidak akan membantuku kalau mereka tahu.

Sebelum peluit dibunyikan, aku menoleh ke arah bangku tribun tepat di mana gadis itu duduk duduk. Nat duduk bersama Myra, Ezra dan Aiden. Pandangan kami bertemu, dengan cepat aku memalingkan pandanganku ke depan dan menarik napas panjang.

Aku harus tampil keren di depannya!

Setelah peluit dibunyikan, aku bermain sangat lihai malam ini. Setelah beberapa kali melakukan uji coba, seluruh penonton di tribun dan pemain football lainya bertepuk tangan.

"Bagus sekali, bro!" Caleb malakukan high five denganku.

Aku menyeringai, kurasa aku sudah cukup keren malam ini.

Aku memalingkan pandanganku pada Morgan dan Caleb yang duduk di bangku cadangan. Morgan menyeringai, ia mengambil ponsel dari sakunya dan mengirimkan pesan untuk Wes, sedangkan Caleb menghampiriku dan memberiku sebuah pengeras suara.

Aku menoleh ke arah bangku tribun tepat di mana Nat duduk dan berbicara melalui pengeras suara.

"Natasha Winchester, turunlah ke lapangan!"

Nat terdiam mematung, tidak mengeluarkan satu patah kata pun.

"Yeah, kau. Kemari lah!"

Nat berjalan dengan ragu menuruni bangku tribun, menuju ke arahku. Aku paham, gadis itu pasti merasa sangat bingung karena tiba-tiba saja aku memanggilnya ke tengah lapangan dengan pengeras suara.

Ketika Nat sudah berdiri di depanku, aku mendongak ke atas langit. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh ledakan kembang api, diikuti oleh cahaya warna warni di langit Cedar Cove. Nat mendongak ke atas langit yang dipenuhi oleh kembang api yang Wes ciptakan di luar sekolah. Awalnya ia terlihat bingung, namun lama-lama gadis itu mulai terbiasa.

Kini tiba lah bagian terbaiknya, sebuah spanduk bertuliskan [Natasha, Homecoming?] berkibar di bawah scoreboard. Riuh tepukan tangan penonton di tribun mulai terdengar.

Gadis itu menoleh ke arah spanduk tersebut dan bertanya, "Mike? Kau mengajakku pergi ke homecoming?" Kemudian ia memalingkan pandangannya ke arahku.

Aku tersenyum hangat. "There's more." 

"What's that?"

Masih tersenyum, aku meraih kedua tangannya. "Will you be my girlfriend?"

Nat terdiam, tidak menjawab pertanyaanku. Beberapa detik kemudian, gadis itu menoleh ke arah bangku tribun di mana ia duduk sebelumnya. Aku melihat Aiden pergi meningalkan tribun, diikuti oleh Ezra dan Myra.

Suasana menjadi canggung selama beberapa saat. Tepukan tangan penonton di tribun pun perlahan mereda.

Nat menggigit bibirnya, kemudian menunduk. "Boleh kah aku berpikir dahulu?"

******

Seminggu kemudian, aku datang ke kelas lebih awal. Atensiku tertuju pada sebuah pesan yang tertera di layar ponselku.

Natasha
> Michael
> I can't
> I'm sorry

Aku menghela napas berat saat membaca pesan yang ia kirimkan kemarin malam. Ya, Nat menolakku menjadi pacarnya.

"Hey."

Lamunanku buyar. Aku mendongak ke arah sumber suara yang berasal dari anak perempuan bersurai pirang di depanku.

"Ada apa, Emma?"

Gadis itu menghela napas, kemudian duduk tepat di depanku. "Are you okay?"

Aku tersenyum kecut. Dari tebakanku, Nat pasti sudah memberitahu sahabatnya ini mengenai kejadian memalukan minggu lalu.

"No." Aku menjawab seadanya.

"You're not giving up on her, aren't you?" Emma bertanya padaku.

"I'll never give up until I get her." Aku menjawab.

Emma terdiam selama beberapa detik sebelum kembali berbicara. "Kau harus berhenti mengejar gadis itu."

Aku mengernyit dan merasa sangat kesal. Apakah tidak ada seorang pun di sekolah ini yang mendukungku untuk mendapatkan Nat?

"Kenapa? Kau tidak suka sahabatmu pacaran dengan anak nakal sepertiku?" Aku bertanya dengan ketus.

"No!" Emma menjawab dengan cepat. "Itu haknya Nat, mau pacaran dengan siapa pun. Tapi ..." Ia menggigit bibirnya.

"Kalau begitu kenapa?"

Emma menunduk, ia memainkan kuku-kuku jarinya.

Aku mendengkus. "Karena Aiden?"

Dengan cepat Emma mendongak ke arahku sambil menggigit bibir, masih saja membisu tidak menjawab pertanyaanku. Rupanya betul, Aiden menyukai gadis itu.

Aku tersenyum tipis. "Aku tahu Aiden suka padanya juga, aku mengerti kalau kau lebih ingin sahabatmu pacaran dengan prodigy seperti dia."

Kedua netra Emma membulat sempurna. "Aiden suka Nat juga?! Astaga!"

Aku mengernyit. "Apa kau bilang? 'Juga?' Jadi Nat juga suka pada anak itu? Itu alasan mengapa ia menolakku?"

Aku dan Emma terdiam selama beberapa saat, berusaha mencerna informasi yang baru saja kami berdua dapatkan.

"Mike, dengarkan aku." Emma menarik napas dalam-dalam. "Yeah, she likes him, so much."

Perkataan Emma bagaikan petir di siang bolong. Jadi ini lah yang dimaksud Wes ketika ia bilang aku tidak mungkin menang melawan Aiden? Karena mereka saling menyukai?

"Mike, jangan sakit hati." Dengan ragu, Emma melanjutkan perkataannya. "Nat sudah menyukai Aiden sejak hari pertamanya bersekolah di sini, mereka juga semakin dekat karena band. Sejak akhir pekan kemarin, Aiden tidak pernah menghubungi Nat lagi. Kudengar ia juga pergi meninggalkan tribun saat kau melakukan homecoming proposal untuk Nat. Aiden sulit ditebak, Nat sangat frustasi karena tiba-tiba Aiden mengabaikannya begitu saja."

Kalian tahu bagaimana perasaanku? Yeah, my heart broken into million pieces.

Emma melanjutkan kalimatnya. "Aku cuma mau bilang, kalau kau masih mau mendapatkannya, sebaiknya kau berhenti. Karena mereka sama-sama suka dan gadis itu tidak melirik orang lain selain Aiden."

Aku melipat kedua tanganku dan berdecak. "Sepertinya aku harus berbicara empat mata dengan Aiden."

Emma panik, ia menaikan suaranya. "Mike! No! Jangan hajar Aiden! Ia tidak salah apa-ap--" Kemudian gadis itu menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menoleh ke arah sekitarnya. Atensi seluruh murid di kelasku ;tertuju ke arah kami berdua.

"Jangan khawatir, Emma. Aku hanya ingin bicara padanya. No violence."

"You promise? Please, Aiden tidak salah apa-apa!" Emma memohon.

Aku terdiam selama beberapa saat, kemudian beranjak dan pergi keluar kelas, meninggalkan Emma sendirian dengan raut wajah kebingungan.

******

Malam homecoming, aku datang sendirian tanpa pasangan. Menyedihkan sekali, bukan? Morgan bahkan tidak mau diajak olehku.

Aiden dan Nat? Tentu saja mereka datang bersama-sama. Mungkin satu-satunya cara untuk membuat Nat bahagia adalah dengan membiarkan Aiden pergi bersamanya meskipun itu harus mengorbankan perasaanku sendiri.

Saat ini, aku dan Aiden sedang duduk di snack bar sambil menikmati nachos. Aku mempunyai banyak pikiran yang mengganjal di benakku. Wes benar, Nat dan Aiden bahkan belum melakukan slow dance namun aku sudah merasakan duniaku hancur berantakan. Aku melirik ke arah pemuda di sampingku yang sedang mengunyah nachos.

Cih, lihatlah ekspresi wajah bocah ini, sungguh menyebalkan.

Beberapa hari lalu, aku melakukan perdebatan yang panjang dengan Wes dan Morgan. Mereka berdua selalu memperingatiku untuk tidak lagi berusaha mendapatkan Nat, apalagi setelah aku berbicara empat mata dengan Aiden.

Namun kini aku berubah pikiran, Nat dan Aiden bahkan belum pacaran, tentu saja aku masih punya kesempatan!

Yeah, I'm a jerk. Bisa dibilang, aku menyesal sudah meminta Aiden untuk memperjuangkan Nat waktu itu. Aku hanya tidak ingin Nat sedih, namun ternyata hati kecilku ingin kalau akulah yang menjadi sumber kebahagiaannya, bukan Aiden. Egois sekali, bukan?

Sudah kuputuskan, aku akan mengibarkan bendera perang lagi dengan Aiden!

"Aiden." Aku memecah keheningan.

"Ya?" Pemuda itu menjawab sambil menyunyah nachos.

Tiba-tiba, memori dari masa lalu terlintas di kepalaku.

"Mike, apa kau benar-benar sayang padaku?" tanya seorang anak perempuan berambut hitam di depanku.

"Of course I love you, Giselle!"

"Kalau begitu kau harus melepasku."

"Apa sih, yang kau lihat darinya?!" Aku membentak Giselle.

"Who are you to judge!? Kau keras kepala, Harrison! Kau tidak bisa memaksa seseorang untuk tetap bersamamu! Ketika seseorang memang ingin tinggal, ia tidak akan pergi darimu!"

"Kau egois!"

"Kau yang egois!" Giselle membentakku. "Cobalah introspeksi diri. Kau keras kepala dan egois. Kau tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Semua yang kau lakukan hanya demi dirimu sendiri! Dunia tidak hanya berputar untukmu saja!"

Kilasan memori beberapa saat lalu adalah percakapanku dengan Giselle, cinta pertamaku, dua tahun yang lalu.

Aku berdeca kesal dan menggeleng. "Tidak jadi, lupakan saja."

Aiden menatapku dengan tatapan bingung, kemudian memalingkan pandangannya dan kembali menikmati nachos.

Beberapa saat kemudian, penobatan homecoming king dan queen sudah selesai. Caleb dan Nat yang memenangkan gelar tersebut berserta nominator lainnya melakukan slow dance bersama pasangannya di tengah gym. Perlahan-lahan, beberapa murid yang datang berpasangan pun ikut berdansa.

Kalian tahu bagaimana perasaanku? Sendirian ketika slow dance berlangsung dan semua pasang mata tertuju pada Nat dan Aiden yang sedang berdansa di tengah-tengah gym? Nat adalah homecoming queen yang terpilih, tentu saja ia menjadi pusat perhatian sekarang!

Pandanganku tidak bisa lepas darinya. Tiba-tiba, aku melihat mereka, yeah, you know, they kiss.

Rasanya ingin pergi sejauh mungkin dari mereka. Tapi ke mana? Toilet wanita pasti dipenuhi pasangan saat pesta dansa begini. Tapi toilet pria? Tidak ada yang mau making out di sana, karena tempat itu sangat kotor dan bau.

Aku memutuskan untuk pergi ke toilet pria lantai tiga, yaitu lokasi yang paling jauh letaknya dari gym. Pilihanku tepat, tidak ada orang di sana.

Aku mencuci muka dan menghela napas berat. Jantungku berdebar dengan sangat cepat. Aku mendongak untuk melihat refleksi bayanganku di cermin. Di sana, terdapat pantulan bayangan wajah seorang pemuda yang basah, butiran-butiran air menetes di rambut dan bulu matanya.

"Mike, kau tampan. Kalau kau sedih, wajahmu akan jadi jelek. Kau mau itu terjadi?" Aku bergumam.

Aku menunduk dan menggeleng, kemudian mengepalkan tanganku dan meninju keramik washtafel. Rasanya menyebalkan ketika kau tidak punya hak untuk melakukan apa-apa.

No no no, I can't do this. I love her more than I thought.

Apakah Giselle benar? Apakah aku masih tetap egois karena menginginkan Nat yang sudah memilih Aiden?

Aku menendang sebuah benda di pojok toilet. Rupanya, ember yang kutendang tersebut tidak kosong, kini pantofel dan celanaku basah terkena air kotor.

Aku berdecak dan merasa semakin kesal, kemudian keluar dari toilet dan berjalan cepat kembali ke gym.

Di persimpangan koridor, secara tidak sengaja aku menabrak seorang gadis yang sedang berjalan berlawanan arah denganku.

"Aduh!" Ia meringis.

"Ck, minggir!" Aku mendorong tubuhnya menjauh dan berjalan melewatinya.

Gadis itu terhuyung, catatan kecil yang dibawanya terjatuh ke lantai dalam posisi terbuka. Aku menginjak salah satu halamannya secara tidak sengaja.

"You're a jerk! Catatan homecoming-ku jadi kotor semua!" Maria Flores, gadis yang baru saja kutabrak, berteriak ke arahku.

"It's just a notes, Ms. Perfectionist!" Aku menoleh ke belakang dan membalas teriakannya.

"Asshole!" Maria berteriak semakin keras.

Mungkin sejak saat itu lah perseteruan di antara kami dimulai. Entah apapun yang kulakukan, aku selalu bersalah di matanya.

Tentu saja, kami sangat berbeda 180 derajat. Aku adalah anak bandel yang hidup dengan tidak karuan, sedangkan ia adalah gadis sempurna yang hidupnya tertata rapi.

Tetapi siapa sangka perseteruanku dengan Maria malam ini adalah awal dari persahabatan kami di masa depan? Apalagi setelah kami bekerjasama untuk menggulingkan Isa bersaudara.

******

BONUS

Ada yang kangen Aiden?

Atau masih betah dengerin flashbacknya Michael?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro