Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 50 - Emma Hawkins

[Present time, Aiden POV]

Sorakan dari team cheerleader dan seluruh penonton yang ada di tribun menjadi pertanda bahwa Tigers dan Bulldogs memenangkan pertandingan malam ini. Kami semua bersorak dan berlari ke tengah lapangan, kemudian mengangkat Caleb tinggi-tinggi di udara.

"Hore untuk Caleb! Hore untuk Caleb!"

Caleb tertawa. "Oh my God. Kalian, turunkan aku!"

Kami semua menikmati euphoria kemenangan malam ini sambil bersorak gembira. Beberapa orang di kerumunan saling berpelukan dan mengangkat pemain softball lainnya ke udara.

Setelah Caleb diturunkan, Jade berbisik padanya. "So proud of you."

Pemuda berkulit eksotis itu tersenyum, menyibakkan rambut wavy milik Jade ke belakang telinganya, kemudian merunduk untuk mencium gadis di depannya.

"Whoaaa whoaaa, ada apa ini?" goda Michael.

"Kalian berkencan?!" tanyaku.

Caleb melepas ciumannya, menatap kami satu persatu dengan semburat merah di kedua pipinya.

"Yeah. Aku dan Jade," jawabnya gugup.

"Belum lama ini," tambah Jade.

Maria bertepuk tangan dan bersorak. "Woohoo! Kurasa kalian hutang segelas milkshake dan banana pancake di Golden Griddle untuk kami!"

Di tengah euphoria kemenangan dan kebahagiaan dua sejoli yang baru saja menyandang status pacaran, atensiku teralihkan pada Emma yang mendadak hilang dari pandangan. Aku menoleh ke kanan kanan dan kiriku untuk mencari gadis itu.

Tidak lama kemudian, Emma terlihat sedang duduk sendirian di bangku tribun. Kehadirannya nyaris tak terlihat, mengingat banyak sekali murid yang berlalu lalang di sini.

Aku berbisik di telinga Nat. "Kurasa Emma membutuhkanmu."

Nat mendongak ke arahku dan mengangguk. Gadis itu tahu apa yang harus dilakukannya, dengan cepat ia pergi meninggalkanku dan menghampiri Emma di bangku tribun.

*****

[Present time, Natasha POV]

"Hi, bestie," sapaku.

Gadis bersurai pirang di depanku mendongak, kemudian tersenyum simpul padaku.

"Hi, Nat."

Aku mengambil posisi duduk tepat di sampingnya. Atensiku tertuju pada seluruh murid yang berlalu-lalang di tengah lapangan. Seluruhnya menikmati euphoria kemenangan, ada yang sedang mengangkat pemain softball di udara, berkerumun dan saling mengobrol, serta saling berjabat tangan.

"How are you feeling?" tanyaku.

"Aku tidak pernah merasa selega ini seumur hidupku," jawab Emma. "Thank you."

Aku mengernyit. "Thank you? For what?"

"For everything. Kau meyakinkanku untuk berani menghadapi Caleb, mengungkapkan semua yang kurasakan padanya." Gadis itu menunduk, mengulas senyum tipis. "Aku akan sangat menyesal jika tidak kunjung berbicara dengannya hingga kita lulus."

"Jadi kau sudah bicara dengannya? Memberitahunya tentang apa yang kau rasakan?"

Emma mengangguk mantap sebagai jawaban.

Aku tersenyum, meraih kedua tangannya dan mengelusnya lembut. "Wow, you're the bravest person I've ever met. Kau ada di urutan kedua setelah Aiden!"

Gadis itu tertawa kecil. "Yeah! Aku pun tidak menyangka bisa seberani itu!"

"Apa yang terjadi saat itu? Kau tidak mau menceritakannya padaku?"

Emma terkekeh. "Tentu saja aku akan menceritakannya! You're my best friend!"

"Okay, I'm listening." Aku menopangkan kedua pipiku dengan tangan, bersiap menyimak cerita gadis di sampingku.

Emma mengangguk. Gadis itu mulai menceritakan kronologi pernyataan cintanya, dimulai ketika Caleb mengantarnya pulang setelah berbelanja gaun prom.

*****

[Flashback, Emma POV]

Setelah selesai makan dan berbelanja gaun prom, aku berpisah dengan teman-teman untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Aku akan pulang bersama Aiden. Bagaimana denganmu? Sudah pesan Uber?" Nat bertanya padaku.

Aku menggeleng, kemudian mengambil ponsel di dalam saku. "Belum. Aku akan pesan sekarang."

"Tidak perlu, kau pulang bersamaku saja!" Caleb menawarkan tumpangan.

Aku panik, sungguh panik! Terlebih lagi saat merasakan kedua pipiku semakin menghangat ketika pandanganku terkunci dengan milik Caleb.

"T-tidak usah!" Aku menolak.

"Are you sure?" tanya Caleb lagi.

"Emma hanya tidak ingin merepotkan," ujar Nat.

"Tapi aku tidak merasa direpotkan." Caleb tersenyum padaku.

Oh, tidak! Apakah aku harus menerima tawarannya? Aku melirik ke arah Nat, gadis itu memberikan sebuah kode yang artinya 'ayo pulang bersamanya!' melalui matanya.

"Ah, baiklah," jawabku gugup. "Terima kasih sudah mengantarku, Caleb."

Pada akhirnya, aku dan Caleb pulang bersama-sama. Sebelum melangkah semakin jauh, aku menoleh ke belakang, ke arah Aiden dan Nat yang masih menatap kepergian kami.

"Just tell him!" Nat berbicara tanpa suara sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Aku menghembuskan napas berat, kemudian kembali terfokus pada Caleb yang sedang berjalan di sampingku.

"Di mana rumahmu?" tanya pemuda itu.

"Sebenarnya rumah kita dekat, tetapi kau harus putar balik," jawabku.

"It's okay, aku tidak terburu-buru, kok."

Aku akan mengungkapkan perasaanku padanya di dalam mobil. Ya, dalam mobil! Tetapi, bagaimana jika Caleb tidak membawa mobil? Mobil yang ia bawa adalah milik Ezra, bukan miliknya.

Aku menggeleng perlahan, berusaha menenangkan diri dan mengumpulkan keberanian ekstra untuk berkata jujur padanya.

"Apakah aku punya salah padamu?" tanya Caleb tiba-tiba.

Seakan-akan jantungku berhenti berdetak selama sesaat, dengan cepat mendongak ke arahnya.

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Kau terlihat tidak nyaman berada di dekatku. Hey, we're friends! Kau bisa langsung jujur padaku jika aku membuat kesalahan," ujarnya.

Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya melalui mulut. Dengan keberanian ekstra, pada akhirnya aku memutuskan untuk mengatakannya sekarang.

"Sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu."

Caleb mengangkat salah satu alisnya. "What's that? Just tell me!"

Aku menoleh ke kanan kiriku dengan gugup. "Di sini ramai. Bagaimana jika kita mencari tempat yang sedikit sunyi?"

Pemuda itu terkekeh. "What? Apa yang sebenarnya ingin kau katakan? Apakah itu kode peluncuran nuklir sehingga kau harus memberitahukanku secara rahasia?"

Mendengar lelucon Caleb, tawaku pecah. Tapi sungguh, perasaanku sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada lagi ketakutan dan rasa tegang, aku merasa rebih rileks sekarang.

"Kau membuatku penasaran. Just tell me now!" titah Caleb tak sabar.

"Okay, okay. Kurasa aku akan memberitahumu di sini saja," ucapku mantap.

"Go ahead." Caleb mengangguk, mengisyaratkan aku untuk berbicara.

"Caleb." Aku menjeda kalimatku. "I like you."

Senyum di wajah pemuda itu perlahan pudar, tergantikan oleh ekspresi setengah bingung dan setengah terkejut.

"What? You like me?" Caleb mengernyit. "Like ... Nat likes Aiden?"

"Yeah!" ucapku cepat.

Melihat ekspresi pemuda di depanku, rasanya ingin mengubur wajahku di bawah bantal dan berteriak sekarang juga.

"Aaaaw, Emma," lirih Caleb. "I really appreciate that, but ...."

"I'm not your type? You don't like me back? It's okay! I'm just trying to tell you!" ucapku gugup, berusaha menahan sesal dan sedih sekaligus.

"No no no, not like that!" sanggah Caleb. "You're kind, sweet and nice to everyone. But I'm dating Jade now."

Rasanya ribuan anak panah menghujam dadaku, duniaku berhenti berputar sesaat. Yang sanggup kulakukan hanyalah menghembuskan napas pasrah sekaligus menahan tangis.

"Hey," lirihnya. "Are you okay there?"

"Yeah, yeah!" Aku menganggup cepat dan mengedip beberapa kali, berusaha menahan air asin di kedua netraku agar tidak tumpah dan semakin mempermalukan diri sendiri.

"Jade dan aku memutuskan untuk meresmikan hubungan kami kemarin," Caleb bercerita. "Kuharap kau tidak memperlakukanku berbeda setelah apa yang kau dengar sekarang. I'm so sorry."

"No no no, it's okay. Aku hanya berusaha jujur padamu. Jangan salah paham, aku tidak menekanmu untuk membalas perasaanku." Aku menghembuskan napas dalam-dalam. "Kurasa sekarang saat yang tepat untuk memberitahumu, setelah hampir dua tahun memendamnya."

Caleb membelalak. "Dua tahun? Why didn't you tell me?!"

"Zoe Leon, remember?" tanyaku. "Kau golden boy Berry High, bintang football kami. Gadis-gadis cantik di luar sana mengantri untuk menjadi pacarmu! Apakah aku punya kesempatan? No! Bahkan aku tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi pacar idaman golden boy Berry High. Aku hanyalah seseorang yang selalu bersembunyi di balik bayangan."

"Please, don't say that!" seru Caleb. "You matter, Emma. You're a shining diamond too, just the way you are!"

"Kau berkata begini hanya untuk basa-basi, kan?" tanyaku.

"Mengapa juga aku harus basa basi?" Pemuda itu bertanya balik. "Dengar, jangan pernah merendah diri. Semua orang berharga, kau tahu itu? Jika kau menganggap orang lain lebih berharga darimu, jawabannya adalah tidak. Kita adalah tokoh utama dalam cerita kita sendiri!"

Aku menunduk, merasa malu sekaligus terpukul dengan perkataan Caleb. Malu karena selalu merendah diri dan tidak percaya diri di depan semua orang. Selama ini aku selalu bergantung pada Nat seorang, menganggap diriku hanyalah sekadar 'Sahabat Dari Si Homecoming Queen'.

Tetapi sekarang aku sadar, diriku bukan lah 'Sahabat Dari Si Homecoming Queen' atau 'Gadis Yang Selalu Bersembunyi Di Balik Bayangan'. Aku adalah Emma Hawkins, tokoh utama dalam ceritaku sendiri.

"Thanks, Caleb," ucapku tulus.

"For what?" tanyanya.

"Untuk membuatku menyadari bahwa aku ini Emma Hawkins yang berharga, tokoh utama dalam ceritaku sendiri."

Caleb tersenyum, ia menepuk pundakku. "Itu lah gunanya teman, kan?"

"Friends, huh?" tanyaku.

"Yeah, friends! Please, berjanjilah padaku, jangan pernah menganggap rendah dirimu lagi!"

Aku mengangguk cepat. "I'm promise!"

Pemuda itu mengangkat jari kelingkingnya ke arahku. Tanpa berpikir panjang, aku membalasnya, melakukan pinky promise dengannya.

"No hard feeling?" tanya pemuda itu.

Aku mengangguk mantap dan tersenyum. "No hard feeling."

*****

[Present time, Natasha POV]

"Emma! I've never been so proud of you!" pekikku, dengan cepat aku memeluk sahabatku erat.

"Nat! Kau membuatku sesak napas!" Emma terkekeh sambil menepuk pundakku beberapa kali.

"Apa yang diucapkan Caleb benar. You're not my sidekick, you're the main lead itself!" ucapku.

Emma mengangguk dan tersenyum. "I know, I know. Aku merasa jauh lebih lega setelah hari itu terlewati. Aku dan Caleb baik-baik saja. Kami berteman seperti biasa sekarang."

"Yeah, thank God! Akan sangat tidak nyaman jika kalian memutuskan untuk menjaga jarak."

"Thanks, Nat," lirih Emma. "Terima kasih sudah membuatku menjadi seberani ini."

Aku tersenyum, kemudian melepas pelukanku. "That's what best friend for, right?"

Tiba-tiba, Caleb dan Aiden datang menghampiri kami di bangku tribun. Atensi kami berdua kini teralihkan pada mereka.

"Kalian mau pergi bersama kami untuk makan malam di Four Corners? Aku dan Jade yang bayar!" ajak Caleb.

"Sekalian merayakan kemanangan Tigers dan Bulldogs!" tambah Aiden.

"Benarkah?" tanyaku antusias.

Aiden mengangguk. "Jade mengajak beberapa murid Hearst High, but it's okay, murid Berry juga banyak yang datang."

"The best part is, kita akan bermain Truth and Dare!" ucap Caleb lagi.

Aku dan Emma saling pandang, kemudian perlahan tersenyum dan mengangguk antusias.

"Truth and Dare bersama murid Hearst?" Emma menyeringai.

"Yeah! It's like a sweet, sweet revenge!" jawabku antusias.

"Are you in, bestie?"

"Of course," jawabku mantap.

"Good. Let's go!" seru Emma.

Aku dan Emma turun dari bangku tribun, menghampiri dua pemuda yang sedang menunggu kami. Aiden melingkarkan lengannya di pinggangku dan membawaku mendekat ke arahnya, begitu pula denganku. Kami berjalan berangkulan, sedangkan Caleb dan Emma berjalan di depan kami sambil mengobrol.

Bermain Truth and Dare bersama Hearst High? Count me in!

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

******

Gimana kalau seandainya Aiden dkk ganti gender?

Adelaide Zhou

Nathaniel Winchester

Michelle Harrison

Marco Flores

Callie Mitchell

Emmanuel Hawkins

Meer Khandaar


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro