Chapter 46 - Chocolate Caramel
Setelah berkendara kurang lebih setengah jam, aku dan Nat sampai di lokasi tujuan yang sudah kupersiapkan sebelumnya.
Lokasi tersebut merupakan sebuah tebing yang letaknya berada di tepi pantai Cedar Cove. Waktu menunjukan pukul delapan, langit malam ini didominasi oleh banyak bintang yang berkelap-kelip serta garis horizon lautan yang merefleksikan bayangan sang bulan.
Aku memarkirkan mobilku di lokasi. Nat tersenyum lebar ketika melihat pemandangan di sekeliling kami.
"Aiden, this is amazing! Dari mana kau bisa menemukan tempat seperti ini?"
Aku menarik rem tangan mobilku, lalu menoleh ke arahnya. "Kau tahu kan, kalau aku seorang introvert? Aku pernah berkendara sendirian di malam hari, lalu tanpa sengaja menemukan tempat ini."
Ia mengangkat salah satu alisnya. "Mengapa kau berkendara sendirian di malam hari? Kapan?"
Aku tersenyum tipis. "Itu tidak penting." Kemudian mengelus rambutnya. "Sekarang, bantu aku mengambil barang-barang di bagasi mobilku!"
Nat mengangguk. Kami berdua keluar dari mobil dan berjalan menuju bagasi mobilku. Aku sibuk mengambil barang-barang bawaan, sedangkan Nat melihat-lihat ke sekeliling untuk mengagumi pemandangan sekitar. Kedua netranya berbinar-binar, senyumannya mengembang.
Setelah puas melihat-lihat sekitar lokasi, gadis itu menghampiriku dan membantuku mengambil barang-barang, seperti tikar, selimut dan beberapa makanan ringan. Setelahnya, kami mengumpulkan beberapa batang kayu dan ranting pohon dan membuat api unggun.
Setelah semuanya selesai, kami duduk di atas tikar. Aku mengeluarkan sebuah termos dan dua buah cangkir dari dalam tasku.
Nat tersenyum padaku."Peppermint tea?"
"Nope. Musim dingin kan sudah lewat. Try again!"
Ia mengelus dagunya. "Aku menyerah. Apa yang kau bawa kali ini?"
Aku membuka termos tersebut, menuangkan minuman berwarna jingga ke dalam cangkir dan memberikannya pada Nat. "Hati-hati, ini masih panas."
Nat menghirup aroma dari minuman yang kuberikan padanya, ia tersenyum lebar. "Ini thai tea!"
Aku mengangguk sambil menuangkan thai tea ke dalam cangkirku. "Yup. Sahabat ibuku pergi ke Thailand seminggu yang lalu. Beliau mampir ke rumahku sepulang dari sana dan memberikannya pada kami sebagai oleh-oleh. This is so fun! Aku senang sekali bisa belajar membuat thai tea!"
Nat meneguk thai tea miliknya. "Thank you! Apakah ini kau yang meraciknya?"
Aku menghamparkan selimut untuk menyelimuti kami berdua, kemudian tersenyum. "Yup. Kau suka?"
Gadis itu mengangguk. "Manisnya pas."
Aku menghembuskan napas lega. "Syukurlah, aku takut thai tea buatanku gagal, Mom cerewet sekali, ia bekali-kali memperingatkanku agar aku tidak salah menakar gula dan susunya. Kurasa ia takut aku akan meracunimu tanpa sengaja."
Nat tertawa. "Aku baru mendengar kalau thai tea bisa membunuh orang!"
"Orang bisa mati karena diabetes, kan?"
"Yeah, kalau tiap hari minum thai tea buatanmu!"
Di dalam selimut, kami meringkuk sambil mengobrol, ditemani oleh secangkir thai tea dan beberapa cemilan seperti potato chips dan cheese cracker. Di satu titik, kami berhenti. Atensi kami hanya terfokus pada garis horizon lautan dan angin malam yang berhembus.
"Aiden, are you okay?" Nat menoleh ke arahku, tiba-tiba memecah keheningan di sekitar kami dan membuatku tersadar dari lamunanku.
Aku menghela napas berat. "Setelah apa yang terjadi di auditorium tadi, no. I'm sorry, Nat. Seharusnya sekarang kita sedang bersenang-senang, seperti membahas kerennya penampilan kita tadi sambil menikmati snack yang kubawa, bukan malah menjadikan piknik kita kali ini sebagai pelarian dari rasa kecewa kita."
"Aaaw, Aiden," lirihnya. "It's okay. Segalanya tidak selalu berjalan sempurna, kan?"
"Aku berusaha menikmati quality time kita sekarang, namun pikiranku seakan terbang ke mana-mana, aku masih merasa kecewa dan marah atas apa yang terjadi pada kita berdua saat konser tadi," ucapku lagi.
Nat bersandar di bahuku. "I get it. Aku juga merasa kecewa dan marah, sama sepertimu. But, that's why I'm here, right? Aku sama sekali tidak keberatan mendengar keluh kesahmu."
Aku tertawa hambar. "It's funny. Sudah dua kali aku mengunjungi tebing ini dengan mood yang tidak bagus."
Gadis itu mendongak ke arahku. "Apa yang membuat mood-mu tidak bagus ketika pertama kali ke sini?"
Aku terdiam selama beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Nat. "Aku pergi ke tebing ini saat Mike melakukan homecoming proposal untukmu musim gugur lalu. It was my first heartbreak and made me so emotional. Aku pergi berkendara tanpa arah dan tujuan, pada akhirnya aku menemukan tempat ini dan memutuskan untuk berhenti."
"I'm sorry." Gadis itu menekuk wajahnya.
Aku tertawa. "It's okay. Itu kan sudah lewat."
Gadis itu menghembuskan napas berat. "Seandainya kau tahu bahwa saat itu juga aku suka padamu."
Aku tersenyum, kemudian mengecup pelipisnya. "But I'm so glad you're mine now. I hope you like my promposal!"
Nat melingkarkan lengannya di tubuhku. "Coba kau bandingkan homecoming proposal yang Mike lakukan untukku dan yang kau lakukan untukku. Wait, technically, kau tidak melakukan apapun, kan?" Nat tertawa kecil. "Pada akhirnya aku tetap memilihmu sebagai pasangan homecoming-ku. I chose you because I've only got eyes for you dan aku menyukai apa pun yang kau lakukan untukku, termasuk promposal-mu. You have to stop overthink things, Aiden."
Perlahan, senyumku mengembang. Perasaan lega mengalir ke seluruh tubuhku ketika mendengar ucapannya.
"And I love your song! Berapa lama kau menulis lagu itu?" tanya gadis itu.
Aku tersenyum simpul. "Sejak musim gugur kemarin. Tadinya itu adalah lagu yang akan kumainkan saat aku melakukan homecoming proposal untukmu. Aku merevisinya sedikit saat musim dingin. FYI, lagu ini adalah lagu pertama yang kuciptakan khusus untuk orang lain selain diriku sendiri."
"Really?" Nat menegakkan tubuhnya, wajahnya berubah muram. "Sayang sekali, aku tidak pernah mendengarmu memainkan versi original dari lagu itu."
Aku tertawa kecil. "It's okay, itu sudah berlalu. Senang rasanya bisa melakukan promposal yang layak untukku. Akhirnya kita bisa pergi ke prom bersama-sama!"
"You're my boyfriend. Apakah kau mengira aku akan pergi bersama orang lain dan menolakmu?" tanyanya.
"Well, mungkin bersama Emma?" tanyaku polos.
"Silly! Of course I'll go to prom with you!" ujarnya.
"Okay, okay. I will stop overthink things!"
Gadis itu menghembuskan napas berat. "Ngomong-ngomong soal prom, aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Myra malam ini. Aku sudah menyelesaikan permainan solo saxophone-ku sebelum Brian menghancurkan penampilan kita, tetapi tidak dengan Myra, penampilan trombone-nya belum selesai!"
"Begitu pula denganku. Lagu yang kubuat belum selesai kita mainkan! Aku marah, namun juga lelah dalam waktu yang bersamaan. Rasanya ingin meninju Brian tepat di wajahnya, namun percuma saja, seperti meninju sebuah samsak. Sebagaimana pun aku meninju samsak, benda itu tidak akan merasakan sakit, hanya tanganku yang terasa sakit."
"Aiden--"
Aku mengepalkan tangan dan meninggikan suaraku. "Aku marah pada Brian karena ia menghancurkan konser yang kutunggu-tunggu dan menyakiti sahabatku! Kalau saja Hearst High tidak terbakar, Brian tidak akan mengacaukan spring concert, Kara dan Max tidak akan memfitnahmu, lalu--"
"Ssssstt!" Nat meraih kedua tanganku dan mengelusnya dengan lembut, membuat genggaman tanganku melunak.
"Myra is my best friend, Nat, even more than Ezra. Ketika aku melihatmu bersama Mike, Myra membuatku tetap kuat dan tidak menyerah begitu saja untuk mendapatkanmu. Sebelum kau bersekolah di Berry High, hanya Myra yang mendukungku ketika Ezra mengangap sampah lagu ciptaanku. Gadis itu juga membantuku memainkan piano untukmu saat melakukan promposal tadi. Ia selalu berbuat baik dan membantu orang lain, namun mengapa orang seperti Brian malah menyakitinya? Myra deserves better!"
Nat mengangguk. "Myra juga salah satu sahabatku. Dia juga berharga bagiku, sama sepertimu, Aiden. Tetapi bagaimana pun aku melindunginya, Brian selalu punya seribu satu cara untuk mengganggunya!"
"Yeah." Aku menghembuskan napas berat. "Kuharap quarter ini segera berlalu dan Hearst high lekas pergi dari hadapan kita!"
"Menurutmu, apakah besok Myra akan pergi bersama kita untuk berbelanja gaun prom?" tanya Nat.
Aku menggeleng. "Aku tidak yakin. Ia tidak membalas pesanku."
Nat tersenyum tipis. "Mungkin besok pagi? Aku yakin ia sudah tidur sekarang. Menangis menghabiskan banyak sekali energi."
Kami diliputi keheningan selama beberapa saat sebelum Nat kembali berbicara.
"Setidaknya mood-ku lumayan membaik ketika mengingat kembali promposal yang kau lakukan tadi."
"Really?" tanyaku.
"Your promposal was the sweetest thing anyone's done for me. Aku benar-benar merasa berharga di matamu saat kau menciptakan lagu itu untukku. Lagumu membuatku merasa kalau aku ini sama berharganya dengan musik di matamu. And yeah, aku tahu betul musik sangat penting bagimu." Gadis itu tersenyum.
"Sebenarnya aku tidak tahu harus berbuat atau berkata apa untuk mengajakmu pergi ke prom. Mungkin melalui sebuah lagu, kau akan paham apa maksudku. Aku ingin segalanya sempurna." Aku merespon.
Ia mendongak ke arahku dan berbisik. "Good, because your promposal was perfect to me."
Ujung hidungnya menyentuh rahang dan pipiku, membuat fokusku teralihkan. Aku menoleh, mendekat perlahan ke arahnya hingga bibir kamu bertemu. Aku dapat merasakan senyumnya saat ia membalas ciumanku. Gadis itu mendorong kedua pundakku dan membaringkanku ke atas tikar tanpa melepas ciumannya. Aku menyeringai, dengan cepat membalik tubuhku sehingga kini Nat berada dalam posisi telentang dengan selimut yang menutupi tubuh kami berdua.
Nat melepas ciumanku dan berbisik, "do you want to know my deepest secret?"
"What's that?" Aku bertanya balik.
"I love your cologne. Selama ini aku selalu menebak-nebak aroma apa yang kau pakai."
"Menurutmu, aroma apa itu?"
Nat terdiam selama beberapa saat untuk berpikir. "Aku yakin itu aroma cokelat, tetapi ada satu lagi aroma yang sulit kukenali. A sweet scent, like a candy, maybe?"
Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa selama ini Nat memperhatikan aroma parfumku sebegitu detailnya, kupikir hanya aku saja yang tergila-gila dengan wangi shampoo-nya.
Aku berinisiatif untuk mendekat ke arahnya lagi, memberinya sebuah ciuman. Gadis itu menghirup napas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, aku melepas ciumanku dan berbisik, "sudah bisa menebak aroma apa itu?"
Nat menggigit bibirnya. "Caramel?"
"Bagaimana bisa kau menebak secepat itu? Aku curiga kau sudah mengetahuinya. Kau hanya berpura-pura tidak mengetahuinya agar aku bisa menciummu lagi kan?
Nat terkejut, semburat merah muncul di kedua pipinya."No! Aku benar-benar tidak tahu!"
Aku tertawa kecil. "Relax, I'm kidding."
"It's your turn. Aku ingin tahu rahasiamu juga!"
Atensiku tertuju pada surai pirangnya, jemariku bergerak untuk menyisirnya. "Aku suka harum shampoo-mu."
"Shampoo-ku yang kupakai sekarang atau yang kupakai di motel?" Gadis itu tertanya balik.
"Both. But I prefer your current shampoo."
"Kau bisa menebak aroma apa itu?"
"Of course, it's berry and yogurt."
"Impressive! Sejak kapan kau mengetahui harum dari shampoo-ku?"
Aku menyeringai. "Sejak di gudang sapu Hearst High musim gugur lalu. Kau tahu, jarak di antara kita dekat sekali waktu itu."
Nat mengangkat kedua alisnya. "Wow, it's been a long time!"
"Itu adalah aroma favoritku selama berbulan-bulan. Please, jangan ganti shampoo-mu," bisikku.
Aku mengubur wajahku di lekukan bahunya dan menghirup napas dalam-dalam, membuat gadis itu tertawa geli. Setelah puas menghirup aroma shampoo-nya, aku berbaring dalam posisi telentang, sedangkan Nat menjadikan bisepku sebagai bantal.
Gadis itu balas mengubur wajahnya di leherku dan menghirup dalam-dalam aroma parfumku sambil memeluk erat tubuhku.
"We're so corny." Aku tertawa. "Kurasa kita akan terus menghirup aroma favorit masing-masing hingga ajal menjemput."
"I don't care!" Nat berhenti melakukan apa yang dilakukannya. Gadis itu mengambil posisi telentang tepat di sampingku, menjadikan kedua tangannya sebagai bantal. "Yang terpenting, aku bisa mengingat seperti apa baumu sebelum aku mati."
Ucapannya sukses membuatku tertawa. Di bawah langit malam Cedar Cove, kami menikmati taburan bintang-bintang dan sejuknya angin malam yang berhembus sambil mengobrol banyak hal. Tak terasa, thai tea di cangkir kami sudah tidak hangat lagi, sang bulan semakin menunjukan eksistensi dirinya, api unggun yang kami buat pun perlahan padam. Waktu benar-benar berjalan cepat ketika bersamanya.
Well, kurasa pelarian ini berhasil membuat mood kami kembali seperti semula.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
BONUS
Ada salam dari Aiden!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro