Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4 - Mozart Sonata No 16 in C Major

Hari berganti, audisi yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota band tiba. Selain saksofon, kami juga membuka audisi untuk alat musik lain. Total siswa yang mendaftar hanya lima belas orang, hal itu mempermudah kami untuk memilih kandidat yang cocok untuk masing-masing alat musik.

Audisi sore ini ditutup oleh permainan musik yang ciamik dari Nat. Dialah satu-satunya siswa yang mendaftarkan diri untuk posisi pemain saksofon yang kosong. Meskipun sedikit terbata-bata, ia bisa berimprovisasi dengan baik. Jika sedang tidak fokus, kita bisa saja tidak menyadari bahwa gadis itu melakukan kesalahan. Permainan saksofonnya tidak bisa dibilang brilian, tetapi ia juga tidak buruk.

Atensiku masih terfokus padanya hingga ia memainkan bait terakhir. Myra yang duduk di sebelah menyikut lenganku, membuat fokusku buyar.

"What?" Aku protes.

"Berkediplah, atau bola matamu akan keluar dari tempatnya!" Myra berbisik. Aku mendengkus, kembali menaruh atensi ke depan.

Setelah lagu yang dimainkan selesai, Nat membungkuk, diikuti oleh tepukan tangan dari seluruh anggota band. Lalu, gadis itu kembali ke bangkunya.

"Nat lumayan oke," bisikku pada Myra.

"Apanya?" goda Myra. "Rambut pirangnya? Matanya?"

Aku mengernyit, menoleh ke arahnya dan mendesis, "Permainan saksofonnya. Kau pikir aku sedang membicarakan apa?"

Tawa Myra nyaris meledak. Astaga, apa yang ia pikirkan?

Setelah audisi berakhir, murid yang mendaftar dipersilakan untuk pulang. Di dalam ruangan hanya tersisa tim inti klub band yang berkumpul untuk mengambil keputusan. Wajah Ezra terlihat cerah. Ini kedua kalinya aku melihat ia begitu gembira ketika menemukan talent yang cocok untuk band-nya. Terakhir kali pemuda itu bersikap seperti ini adalah ketika aku mendaftarkan diri untuk mengikuti audisi sebagai pemain trompet.

"Nat tidak seburuk yang kubayangkan. Maksudku, kalian lihat bagaimana caranya berimprovisasi? Tidak banyak pemusik yang berani melakukan improvisasi seperti tadi. Satu atau dua minggu berlatih sudah cukup untuk melatih Nat supaya kembali terbiasa dengan saksofon di tangannya," ucap Ezra antusias.

Myra mengangguk setuju. "Yeah, kita punya sekitar sebulan sampai pertandingan melawan Statton High School. Aiden juga masih menyelesaikan komposisi lagunya. Nat masih punya waktu yang cukup untuk berlatih."

Ezra melirikku dan mengernyit. "Kau masih mengerjakan lagu itu? Sudah kubilang 'kan, kalau kita akan memainkan lagu kebangsaan sekolah?"

"Apa? Aku sudah susah payah membuatnya! Lagi pula, Myra dan yang lain menyukainya!" Aku protes. Myra dan beberapa anggota band lain mengangguk setuju.

"Aku akan membunuhmu jika tahun ini kita memainkan lagu kebangsaan sekolah lagi!" Myra menunjuk Ezra tepat di wajahnya.

"Why? Kita sudah mahir dan Fight Song sangat mudah dimainkan!" tanya Ezra santai.

Myra memutar bola mata dan mendengkus kesal. "Ezra Micthell. Aku tidak mau memainkan lagu yang sama terus menerus, dan ini sudah tahun keduaku menjadi anggota band, dan kita selalu memainkannya di setiap pertandingan olahraga antarsekolah!"

Ezra melirik Myra, kemudian aku, lalu anggota band lainnya. Ia menghela napas malas. "Ah, baiklah. Aku ingin kau menyerahkan draft-nya padaku Rabu depan. Jangan lupa revisi untuk temponya!"

"Noted!" jawabku.

"Jadi, Nat sudah otomatis diterima karena ia satu-satunya, 'kan?" tanya Myra.

Ezra mengangguk. "Yeah, aku ingin salah satu dari kalian memberitahunya nanti sore dan masukkan gadis itu ke dalam grup chat."

"I'll do it," jawab Myra.

Setelah itu, kami beralih mendiskusikan murid yang mengikuti audisi untuk alat musik lainnya. Tidak terasa setengah jam berlalu dan proses penilaian telah selesai. Kami mengakhiri pertemuan dan memutuskan untuk pulang. Setelah keluar dari ruang musik, kami berpencar. Ezra pergi ke lapangan football untuk bertemu Caleb, sedangkan aku dan Myra berjalan menuju lapangan parkir sekolah.

Sesampainya kami di lapangan parkir, atensiku tertuju pada dua orang murid yang sedang berdiri di lahan parkir khusus motor. Michael Harrison sedang duduk di motornya, berhadapan dengan Natasha Winchester di sampingnya. Gadis itu membawa beberapa textbook di tangannya serta ransel di punggungnya. Keduanya bersenda gurau.

"Oh, jadi gosip itu benar," ujar Myra.

Aku bertanya pada Myra. "Gosip apa?"

"Kalau Mike suka padanya. Caleb memberitahuku, hampir seluruh murid di kelasku mengetahuinya." Myra menjawab.

Atensiku masih tertuju pada mereka berdua, hingga merasakan ponselku yang bergetar di dalam saku. Dengan cepat aku mengambilnya untuk mengecek pesan yang masuk.

[Myra Khandaar sent a contact (Natasha Winchester)]

Aku mengernyit dan melirik ke arah Myra. "Apa ini?"

"I change my mind. Kau saja yang memberitahu Nat bahwa ia diterima sebagai anggota band," ucap Myra santai.

"Why me?"

Myra mengerang. "Oh, come on! Kau harus bergerak cepat sebelum gadis itu diambil Mike!"

"I don't know what are you talking about."

"I'm not stupid, Zhou. I know you like her too."

Butuh beberapa detik untukku untuk paham apa maksud Myra. "Jadi, kau pikir aku menyukainya?"

Myra mengacungkan jari telunjuknya, ia menunjuk keningku. "Tertulis jelas di keningmu: 'HAI, NATASHA WINCHESTER, I LIKE YOU'."

Aku tertawa. "No way! Kau tahu sendiri, 'kan, aku tidak punya waktu untuk hubungan seperti itu?"

Myra mengangkat kedua bahunya. "Whatever, but I warn you, jangan menyesali sesuatu yang tidak kau lakukan."

Aku memalingkan kembali pandanganku pada kedua murid yang sedang mengobrol di lahan parkir motor. Kulihat Nat melambaikan tangannya pada pemuda itu, kemudian pergi ke arah halte bus. Michael membalas lambaian tangannya, kemudian menunduk dan tersenyum. Setelah Nat hilang di kejauhan, Michael memakai helmnya, kemudian mulai mengendarai motornya ke arah gerbang sekolah. Dari tebakanku, pemuda itu menawarkan diri untuk mengantar Nat pulang ke rumahnya, tetapi gadis itu menolaknya.

Ajaibnya, aku merasa senang.

******

https://youtu.be/XXIu0MRuIQU

Senin siang sepulang sekolah, seperti biasa, aku bermain piano di ruang musik. Lalu, bagaimana dengan kejadian yang terjadi beberapa hari lalu?

Sesuai perintah Myra, aku mengirimkan sebuah chat pada Nat. Pada akhirnya, kami terbiasa mengobrol setiap malam. Tidak ada yang spesial. Meskipun aku kagum dengan permainan saxophone-nya, bukan berarti aku jatuh cinta padanya, 'kan?

Ruang musik adalah rumah kedua bagiku, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu di sini meskipun tidak ada latihan. Di tempat ini, aku dapat berlatih menggunakan banyak instrumen selain trumpet. Terkadang, aku juga menghabiskan waktuku untuk menulis lagu. Dan kalian tahu apa yang membuat ruang musik menjadi sempurna? Dinding di sini nyaris kedap suara, sebodoh apa pun lagu yang kuciptakan, orang-orang tidak akan mendengarnya.

Ketika sedang bermain piano, aku melihat siluet seseorang yang sedang mengintip di jendela, membuatku mendongak. Seseorang itu bersembunyi ketika melihatku memergokinya.

"Who's there?" aku berteriak.

"Wow, kau membuatku merasa menjadi stalker!" ucap Nat, ia keluar dari tempat persembunyiannya.

"Oh, Nat?" sapaku gugup.

"Aku kebetulan sedang lewat dan mendengar suara musik samar-samar. Kukira ada latihan tambahan hari ini, ternyata hanya ada kau," ucapnya.

"Aku memang sering berdiam diri di sini."

"Well, kurasa aku harus pergi," ucapnya gugup.

Hei! Mengapa ia harus pergi secepat itu? "Kau boleh bergabung bersamaku, kalau kau mau," ucapku cepat.

Nat mengerjap. "Benarkah?"

"Come in!" Aku mengangguk, mengisyaratkannya untuk masuk.

Nat membuka pintu, memasuki ruangan, kemudian menutupnya kembali. Gadis itu melangkahkan kedua tungkainya, lalu duduk di bangku piano panjang, tepat di sebelahku. Aku menelan saliva sambil menggeser posisi dudukku, menyisakan ruang untuknya.

"Mozart Sonata no 16?" Nat terdiam selama beberapa detik dan berpikir. "C Major?"

"Wow!" seruku. "Kau tahu lagu yang kumainkan?" Kalian tahu, rasanya menyenangkan ketika bertemu seseorang yang paham betul dengan apa yang kita sukai.

Nat melirikku, menopangkan dagu di atas piano. "Yeah, aku pernah mencoba memainkan lagu ini beberapa tahun yang lalu, tapi tidak pernah berhasil." Ia melirik jariku yang bergerak di atas tuts piano, kemudian kembali menatap kedua netraku. "Kau memainkannya tanpa melihat ke arah tuts! Bagaimana kau bisa semahir ini?"

"Aku sudah memainkan lagu ini sejak umur enam tahun dan memainkannya di resital pertamaku di umur sepuluh tahun."

"Wow. Semuda itu?" Nat berdecak kagum.

"Aku sampai hapal di luar kepala. Ayahku berulang kali memutar video yang ia rekam saat itu, tapi aku selalu merasa malu saat memutarnya. Saat resital, aku beberapa kali menekan tuts yang salah."

"Itu wajar, usiamu sepuluh tahun saat itu." Ia menjeda kalimatnya. "Aku jadi ingin melihat videomu saat resital dulu."

Aku menggelengkan kepala. "Oh, no. Kau tidak ingin melihatnya, sungguh."

"Kenapa?"

"Karena wajahku sangat menggelikan!"

Nat tertawa. "Kita semua menggelikan saat kecil!"

Aku menggerakan jari-jariku dengan lincah di atas piano bersama Nat yang masih asyik menonton penampilan Mozart-ku.

"Bravo!" seru gadis itu ketika lagu yang kumainkan berakhir.

"Thanks!" Aku tersenyum. "Mozart Sonata no. 16 pertama kali kumainkan di latihan piano pertamaku. Lagu ini seolah mengingatkanku, sudah lebih dari sepuluh tahun aku mempelajari musik."

"So, this is your favorite classic song?" tanyanya.

"More than that. This song is my best childhood memory."

Nat menopangkan dagunya. "Tell me about your childhood."

"Well, aku terlahir di kota ini. Mom dan Dad melihatku sebagai music prodigy saat usiaku enam tahun." Aku mulai bercerita. "Mereka mendaftarkanku untuk mengikuti les musik, termasuk piano. Kau tahu? Saat itu aku seperti menemukan tujuan hidupku."

"You're so lucky! Dad juga pernah menyewa guru privat saxophone, tapi aku cepat bosan dan akhirnya berhenti." Ia mengangkat bahunya. "So here I am, aku harus berlatih kembali memainkan instrumen itu. Kuharap anggota band tidak keberatan."

"Aku tidak pernah keberatan," ucapku sambil tersenyum. "You're talented too, hanya saja kau sempat berhenti berlatih."

"I know." Nat tersenyum.

"It's your turn. Tell me about your childhood."

Nat mengangkat bahu. "Aku tidak begitu mengingat masa kecilku, mungkin aku memang sengaja untuk tidak mengingatnya."

"But why?" tanyaku.

Nat terdiam. Saat itu, aku sadar sudah mengatakan hal bodoh. "It supposed to be a secret, right?" Aku menekuk wajahku. "Sorry."

Nat tertawa. "No, no, no, not like that. Oke, aku lahir di Brooklyn dan pindah ke Cedar Cove sebulan yang lalu. Kau tahu, aku langsung jatuh cinta dengan kota ini!"

"Any particular reason?"

"Brooklyn membuatku gila dengan semua kemacetan itu. Tapi Cedar Cove? Aku tidak pernah terlambat datang ke sekolah meskipun tidak bangun pagi!" Ia tertawa. "Intinya, aku menyukai semua orang yang ada di sekolah ini. They're nice to me, including you."

Aku mengerjap. "Aku baik?"

"Tentu saja. Kau membiarkanku menonton permainan pianomu."

"Aku senang jika seseorang mau mendengarkan permainan musikku. Jarang sekali aku menemukan pendengar yang baik sepertimu."

Nat menoleh ke arahku dan tersenyum, kurasa pujian yang kulontarkan malah menjadi bumerang untukku. Aku memalingkan pandangan ke arah lain ketika merasakan kedua pipiku yang mulai menghangat.

Oh, no. That damn smile!

Aku menurunkan tanganku dari atas tuts piano sebagai pengalihan. "Kau ingin mencobanya?"

Gadis itu terdiam selama beberapa saat, kemudian meletakan jarinya di atas piano. Ia menarik napas panjang. "Oookay, Semoga aku masih bisa memainkannya sebagus dulu."

Aku tersenyum simpul dan mengangkat bahu. "Tidak akan tahu kalau tidak dicoba, 'kan?"

Nat mulai menekan beberapa tuts piano. Suara yang dihasilkan cukup bagus meskipun tidak terlalu lancar. Beberapa kali Nat salah memainkan nada, tetapi dengan cepat berimprovisasi untuk memperbaikinya. Kedua netranya fokus pada jari-jari di atas tuts, terkadang melirik ke kertas musik yang berada di depannya.

Tiba-tiba ia berhenti bermain dan terlihat sedang berpikir. Aku mengulurkan tanganku ke arah piano dan menekan salah satu tuts. "Here."

Tanpa sengaja tanganku bersentuhan dengan tangannya, dengan cepat aku menarik tanganku dan meletakkannya di bawah piano.

"M-maaf."

Nat tertawa kecil. "It's okay!"

"Ngomong-ngomong, selamat bergabung di klub band!" ucapku sebagai pengalihan.

Nat mengernyit. "Kau sudah mengucapkannya via chat, bukan?"

"Y-yeah, tapi tidak secara langsung, 'kan?"

"Well, thanks again." Ia tersenyum simpul. "Ngomong-ngomong, Myra bilang bahwa kau sedang menyelesaikan komposisi lagu untuk pertandingan football bulan depan. Bolehkah aku mendengarnya?" tanyanya.

"Sure, why not?" Aku mengeluarkan binder musikku dari dalam tas, kemudian membuka lembaran paling baru dan memberikannya pada Nat. "Aku butuh kedua tanganmu untuk memegang benda ini."

Nat tertawa. "Sure, whatever you want, Piano Man."

Aku berdiri dari bangku piano dan mengambil trumpet, kemudian bersiap memainkan lagu yang kuciptakan. Saat Nat mengangguk, aku mulai meniup alat musikku. Dalam beberapa jam ke depan, aku dan Nat menghabiskan waktu di ruang musik, kami membahas segalanya yang berhubungan dengan performa kami di pertandingan football selanjutnya. Terkadang, aku dan Nat saling memainkan alat musik satu sama lain.

Sejak sore ini, Nat sudah resmi menjadi teman bermusikku! Tidak pernah ada seseorang yang mau mendengarkanku bermain piano seserius Nat, bahkan Ezra dan Myra sekalipun.

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

******

BONUS

Aiden waktu pertama kali belajar piano


Our Sarcastic Bad Guy: Michael Harrison

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro