Chapter 38 - The Suspect
Jumat pagi, sebelum pelajaran dimulai, aku berjalan menelusuri koridor menuju ke kelas. Suasana sekolah pagi ini berbeda sekali dengan biasanya. Entah aku yang paranoid atau memang semua orang benar-benar menatapku sinis?
"Aiden!"
Seseorang memanggil namaku. Aku menoleh ke belakang dan melihat Myra berlari kecil untuk mengejarku.
Aku tersenyum padanya. "Morning, Myra."
Gadis itu menopangkan tangannya di bahuku dan membungkuk untuk mengatur napas, kemudian mendongak ke arahku.
"Oh my God, aku tidak percaya seseorang menjebak Nat! Ezra menceritakan semuanya padaku, mengenai e-mail palsu yang mengatas namakan dirinya dan sabotase Cameron!" ucap Myra panjang lebar. "Is she okay? Nat tidak membalas pesanku sejak kemarin."
"Of course not. Everyone in Berry High hates her!" Aku menekuk wajahku.
Myra merendahkan suaranya menjadi setengah berbisik. "Lihat lah ke sekelilingmu. Karena ini ada hubungannya dengan Cameron, kau terkena imbasnya juga. Sejak tadi, hampir seluruh murid di koridor menatapmu dengan dingin."
Aku menoleh ke arah sekitarku, beberapa murid tertangkap basah sedang menatapku dengan dingin. Dengan cepat mereka mengalihkan pandangannya dariku.
Myra menunjukan raut wajah khawatir. "Rumor-nya benar-benar tersebar luas dalam waktu kurang dari 24 jam."
"Yeah! Semua orang berbicara sesuka mereka dan menyebarkan rumor tersebut untuk memberi makan ego mereka sendiri!" ucapku geram.
"Kuharap ia baik-baik saja," lirihnya. "Nat doesn't deserves this."
Kami berhenti berjalan ketika melihat kerumunan yang besar di koridor. Murid-murid yang berkumpul di sana mayoritas adalah pemain softball, baik dari Hearst maupun Berry. Di sana, aku melihat Emma dari belakang, berdiri sendirian, terdiam mematung ketika melihat kumpulan orang-orang di sana.
"Ada apa di sana?" tanya Myra.
"Let's find out!" ucapku.
Kami berjalan menuju kerumunan. Ketika jarak sudah mendekat, kami melihat Caleb sedang berdiri menghadap Jade. Pemuda itu memakai suit semi-formal berwarna abu-abu dengan kaus v-neck hitam. Sedangkan Jade, gadis itu berdiri berlawanan arah dengan loker. Aku melihat raut kebingungan di wajahnya.
"Caleb, what is this?" tanya Jade.
Caleb mengeluarkan sebuket bunga mawar merah yang cantik dari balik punggungnya dan memberikannya pada Jade. Anggota softball di belakangnya melepas banyak balon berwarna merah muda, confetti berwarna-warni bertebaran di udara.
"Will you go to prom with me? As my date?" tanya Caleb. Senyuman terukir di wajahnya.
Perlahan, senyum Jade mengembang. Gadis itu menerima buket tersebut.
"Itu artinya Caleb diterima?!" seru salah satu pemain football.
"Ssssttt! You ruin it!" Julian berbisik.
Melihat Jade tidak kunjung menjawab, Caleb menjadi semakin tegang, pemuda itu menjadi gelisah.
"I will!" seru Jade.
Perlahan, senyuman di wajah Caleb mengembang. Pemuda itu terlihat terkejut ketika Jade tiba-tiba memeluknya. Kedua sejoli softball tersebut masih saling berpelukan hingga beberapa saat ke depan. Bisa dibilang, promposal yang dilakukan Caleb sukses besar!
Kerumunan di sekitar kami bersorak, turut merayakan suka cita yang dirasakan pemuda itu. Namun, tidak dengan Emma. Gadis itu berbalik badan dan berjalan cepat menjauh dari kerumunan.
"Oh, no," gumamku. Aku berlari menyusul Emma.
"Hei! Aiden!" Myra berteriak, namun tidak kuhiraukan.
Gadis itu berlari ke gymnasium sekolah yang sepi, duduk di bangku tribun sambil menunduk. Rona keruh di wajahnya semakin menjadi-jadi.
Perlahan, aku berjalan mendekatinya.
"Emma?" lirihku.
Gadis itu menoleh ke arahku. Tidak ada raut terkejut dari wajahnya. Sebaliknya, Emma tidak menunjukan ekspresi apapun selain kesedihan dan kekecewaaan.
"Kau tahu kalau aku sudah menyukai Caleb sejak hari pertamaku bersekolah?" lirih gadis itu.
"I know," jawabku pelan. "Aku pernah tidak sengaja menguping percakapanmu dengan Nat."
"In the end, anak yang selalu bersembunyi di balik bayangan sepertiku tidak akan pernah bersinar jika dibandingkan dengan gadis supel sepertinya, kan?" ucapnya parau.
Perlahan, netranya memburam karena air mata. Emma mengerjap, menghapus air mata yang menetes di pipinya. Melihat Emma sepolos dan seperasa itu, aku jadi merasa iba padanya.
Tidak mungkin kan, kalau Emma yang menyabotase audisi tempo hari lalu?
Aku mengambil posisi untuk duduk di sebelahnya. Emma menangis tersedu-sedu dan bersandar di bahuku. Aku melingkarkan kedua tanganku di tubuhnya untuk memeluknya, mengelus punggungnya lembut untuk menenangkannya.
"I'm such a mess," ucapnya lagi. "Terkadang aku iri pada Nat."
Aku terkejut, secara perlahan melepas pelukanku.
"What do you mean?" tanyaku curiga.
"She gets what she wants." Gadis itu menatap netraku lekat. "You."
Aku terdiam, mengisyaratkan Emma untuk kembali berbicara. Tidak, tidak mungkin ini motifnya Emma untuk menusuk sahabatnya sendiri, kan?
"Saat kalian belum berkencan, kami terbiasa untuk saling bercerita tentangmu dan Caleb. That's what girls do, right?" Gadis itu tertawa hambar.
"Kuharap Nat tidak bercerita sesuatu yang konyol tentangku."
Gadis itu menggeleng. "Nat selalu bercerita betapa bahagianya ia saat sedang bersamamu. Saat kalian bermain musik bersama, berseluncur di skating rink, atau saat kalian minum segelas hot chocolate di Golden Griddle. She's the bravest girl I've ever met."
Mendengar ceritanya, perlahan senyumku mengembang, kedua pipiku menghangat.
"Nat selalu memberitahuku untuk mengekspresikan perasaanku pada Caleb, tetapi aku selalu terdiam mematung ketika berhadapan dengan pemuda itu. Sedangkan Nat ..." Emma kembali terisak. "She did well, she stole your heart. I always want to be like her. Berani mengungkapkan apa yang ia rasakan padamu."
"Well, I like her too. Technically, she didn't do anything to stole my heart." Aku tersenyum. "Kau tidak perlu berusaha sekeras itu untuk menjadi orang lain!"
Lucu sekali aku berbicara seperti itu. Padahal dulu, aku sering membandingkan diriku dengan orang lain juga. Secara garis besar, aku dan Emma memiliki banyak kesamaan.
"Bagaimana dengan Jade?" tanya gadis itu. "Apa yang ia lakukan sebenarnya sehingga Caleb tertarik padanya? I mean, aku mengenal Caleb lebih lama darinya!"
"Listen," ucapku serius. "It's not your fault. If he doesn't look at you, maybe you deserve more than him. Someday, someone will love you as much as you love yourself ."
Emma terdiam, tidak ada sepatah katapun dari bibirnya.
"So please, love yourself first. You matter, Emma," lirihku. "You're amazing, Nat beruntung mempunyai kau di sisinya."
Ya, jadi kumohon, jangan tusuk pacarku dari belakang.
Kami terhanyut dalam diam selama beberapa saat.
"Thank you, Aiden. I really appreciate that."
Aku menjawab dengan anggukan.
"Is she okay?" tanya Emma tiba-tiba.
"No," jawabku singkat. "Ia menangis hingga tengah malam ketika kami melakukan panggilan telepon."
"I'm worried," lirihnya. "Nat tidak membalas pesanku sejak kemarin. Aku benar-benar khawatir padanya setelah Zoe dan Kara berbicara buruk tentangnya kemarin sore saat kami berlatih cheers. Hanya aku dan Mia yang percaya bukan Nat pelakunya."
Ya, Emma tidak mungkin pelaku sabotase e-mail itu. Tetapi, aku tetap harus memastikannya, kan?
"Bolehkah aku berbicara denganmu saat jam istirahat?" tanyaku.
"Mengapa tidak sekarang?" Emma bertanya balik.
"Kau sedang kacau," jawabku. "Tenangkan dirimu. Aku ingin berbicara serius denganmu jam istirahat nanti."
*****
Saat jam istirahat, aku, Nat dan Michael berbicara serius dengan Emma di koridor sekolah. Gadis itu sudah terlihat lebih ceria jika dibandingkan tadi pagi.
"Apa yang ingin kalian bicarakan denganku?" Emma menoleh ke arah Michael. "Sampai-sampai ada Mike juga di sini."
Nat menarik napas panjang. "Listen. Kau tahu rumor tentangku yang sudah tersebar luas di sekolah ini, kan?"
Emma mengangguk cepat. "Yeah! I'm worried about you! Kau tidak membalas pesanku sejak kemarin!"
Nat menggigit bibirnya. Ia terlihat kebingungan. Pada kenyataannya, gadis di hadapan kami ini adalah teman kami semua. Apa yang harus Nat katakan padanya agar kami tidak menyakiti hatinya?
"Kami melacak sebuah IP address, dari mana asal e-mail tersebut dikirimkan." Aku menjeda kalimatku. "E-mail tersebut dikirimkan dari komputer sekolah nomor 14, jam empat sore hari Selasa."
"Sounds familiar?" tanya Michael.
Emma mengernyit, tidak paham apa maksud Michael.
"Apakah kalian menemukan pelakunya? Siapa dia?" tanya gadis itu lagi.
"Seseorang yang log in di komputer sekolah nomor 14 pada hari itu adalah seseorang dengan nomor induk 29119122," ujar Nat. "Kau, Emma."
Emma membelalak, gadis itu tampak tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Me?" Ia mengernyit. "Tapi aku--"
"Listen. Jangan buat ini menjadi semakin sulit. Kau hanya tinggal mengaku dan meminta maaf pada Nat dan Cameron, maka semua akan beres," celetuk Mike.
"Mike! Easy!" Aku membentaknya. "Kita berjanji untuk bertanya baik-baik, bukan menuduhnya!"
Emma menggeleng perlahan, gadis itu terlihat shock ketika Michael menuduhnya seperti tadi.
"Kalian menuduhku?" cicit gadis itu.
"No," lirih Nat. "Kami hanya ingin memastikan bahwa kau bukan pelakunya. Pasti ada penjelasan yang masuk akal di balik semua ini!"
Emma membeku ketika menatap kedua netra emerald milik sahabatnya.
"I swear to God, it wasn't me," ucapnya parau. "Why would I do that? You're my best friend!"
"I know," lirih Nat. "Aku tidak ingin berspekulasi, maka karena itu kami bertanya langsung padamu!"
"Setelah perkara Caleb, sekarang masalah ini ..." Ucapan gadis itu tercekat.
"Lalu, mengapa kau log in di komputer sekolah pada hari itu? Apa yang kau lakukan?" tanya Mike.
"I didn't." Emma menggeleng. "Aku tidak mengunjungi lab komputer pada hari itu karena tugas kelompok biologi. Aku mengerjakannya sampai malam di Golden Griddle bersama Jade!"
"What?!" aku mengernyit. "Kau sekelompok dengan gadis yang sudah mencuri Caleb darimu?"
"I know. Menyebalkan sekali, bukan? Mrs. Maddox yang mengacak kelompoknya. Sebenarnya Morgan juga sekelompok denganku, tetapi gadis itu tidak ada bersama kami saat itu." Emma menekuk wajahnya. "Jika bisa memilih, aku lebih baik sekelompok dengan Nat!"
"That doesn't make any sense," ucap Michael.
"I know, right! Jika bukan kau, bagaimana bisa pelakunya memakai ID dan password-mu?" tanyaku.
"Oh no! Jangan bilang kalau ..." ucap Emma tiba-tiba.
"Sticky notes di binder-mu!" seru Nat.
Emma mengangguk. "Yeah! Aku menyimpan ID dan password-ku di sticky notes karena aku sangat pelupa!"
"What are you guys talking about?" Michael mengernyit.
"Follow me!" titah Emma. Kami bertiga berlari kecil mengejarnya.
Emma berjalan cepat menuju bangkunya di kelas, mengeluarkan binder berwarna merah muda dari dalam tasnya dan membuka isinya dengan cepat.
"It's gone!" seru Emma. Gadis itu menyerahkan binder-nya pada Nat.
"Oh my God. Seseorang mencuri sticky notes-mu!" ucap Nat ketika melihat-lihat binder milik sahabatnya dan tidak melihat satupun sticky notes yang tertempel di sana.
"Kau berusaha mengatakan padaku bahwa Jade yang mencuri sticky notes-mu saat kerja kelompok, kemudian mengirimkan e-mail itu pada Cameron?" tanyaku. "Kau tidak menuduhnya karena masalah pribadi, kan?"
"No, no, no! Senin sore, sticky notes itu masih ada di sini, aku ingat betul karena aku pergi ke lab komputer untuk mengerjakan tugas sejarah Amerika sendirian. Selasa sore, aku hanya membuka binder-ku ketika kerja kelompok bersama Jade, dan sekarang sticky notes itu hilang!" ucap gadis itu panjang lebar.
"Why would she do that? Aku tidak punya masalah pribadi dengannya!" ujar Nat.
"Mengapa kau bisa seceroboh itu menyimpan ID dan password-mu di sticky notes? Kau tinggal menghapalnya di luar kepala, kan?" tanya Michael.
"Aku terbiasa mengganti password-ku secara berkala. Karena takut akan lupa, aku menyimpannya di sticky notes!" jawab Emma.
"Nampaknya kita harus kembali bertanya pada Jade." Michael menarik kesimpulan. "Siapapun berkemungkinan menjadi tersangka, apalagi murid Hearst High."
"I get it." Nat mengepalkan tangannya kuat. "Kurasa Cameron sengaja membuat skenario bodoh ini dan meminta Jade untuk mencuri ID Emma! I mean, Jade dan Cameron cukup dekat, kan? Jade pasti mau-mau saja disuruh!"
"No! Kau tidak boleh sembarang menarik kesimpulan! Kau harus bertanya padanya dulu!" sanggah Emma.
Nat menghela napas berat. "Rantai detektif ini menjadi semakin panjang dan tidak ada henti-hentinya."
"Jade is our bet. Kita harus berbicara dengannya dulu sebelum mengambil kesimpulan!" Aku bersikeras.
"Tolong tanya Jade baik-baik, okay?" Emma menekuk wajahnya. "Aku tidak ingin ia tersinggung sepertiku."
Nat menoleh ke arah sahabatnya. Perlahan, senyum di wajahnya pudar.
"I'm sorry if I hurt you," lirihnya. "Aku tidak bermaksud menuduhmu."
Emma tersenyum lemah. "It's okay. Wajar jika kau mencurigaiku karena ID bodoh itu."
"No!" Nat menggeleng perlahan. "Seharusnya aku ada bersamamu ketika Caleb melakukan promposal untuk Jade, tetapi aku malah memperburuk keadaan dengan menyeretmu ke dalam masalah pribadiku!"
"Well, ini bukan masalah pribadimu. Masalahmu adalah masalahku juga kan?" tanya Emma.
Nat melunak ketika mendengar perkataan Emma, aku melihat bulir air mata mengalir di pipinya. Dengan cepat gadis itu memeluk sahabatnya erat.
"I'm sorry, bestie." Gadis itu menangis tersedu-sedu. "I was a bitch!"
Emma membalas pelukannya. Melihat sahabatnya menangis, gadis itu turut melunak, kedua netranya kembali dibanjiri air mata.
"Maafkan aku juga karena tidak ada bersamamu ketika semua orang di sekolah ini membencimu. Seharusnya aku langsung berkendara ke rumahmu," ucap Emma parau.
"You don't have to do that! Aku yang mengabaikanmu semalaman!" cicit Nat. "Technically, this is my fault!"
"Relax! Aku mengerti jika kau ingin menyendiri. Berjanjilah padaku, jangan ada lagi kesalah pahaman seperti ini di antara kita, okay?" tanya Emma.
Nat mengangguk semangat, senyumnya mengembang walaupun air mata masih membasahi kedua pipinya.
"I promise, bestie!" jawab gadis itu.
Melihat persahabatan mereka membuatku terenyuh. Syukurlah tidak ada perdebatan atau permusuhan, Nat dan Emma sudah berbaikan seperti sedia kala.
Tiba-tiba, aku merasakan rangkulan di bahuku. Dengan cepat aku menoleh ke arah Michael yang sepertinya juga terenyuh dengan persahabatan dua gadis di depannya. Pemuda itu menatap Emma dan Nat dengan tatapan sayu, senyumnya mengembang.
"Get off me!" seruku sambil menepis lengan Michael.
Menyadari hal itu, Michael terkejut dan dengan refleks melepas rangkulannya dariku. Pemuda itu memalingkan tatapannya dariku.
"Kukira kau butuh moral support," ucap pemuda itu asal.
"So, are you guys being friends now?" goda Nat.
"No!" seruku dan Michael bersamaan.
Pertanyaan macam apa itu!? Berteman dengan Michael adalah hal yang menggelikan! Aku yakin pemuda itu juga merasakan hal yang sama denganku!
Melihatku dan Michael yang saling menjauh dan saling melempar tatapan canggung, kedua gadis di depan kami tertawa renyah. Syukurlah, tidak ada lagi air mata, yang ada hanyalah canda tawa.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
BNUS
"Cheer to you!" - Emma Hawkins
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro