Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 36 - Do You Trust Me?

[Flashback]

Aku membuka mata, melihat keadaan di sekitarku dengan samar. Tubuhku sangat sulit digerakan, seolah-olah energiku terkuras habis. Aku juga merasakan sakit hampir di seluruh bagian tubuhku, baik sakit karena luka basah maupun lebam.

Aku menggerakan tangan kananku secara perlahan, kemudian menyentuh lengan Dad yang duduk di samping kananku. Beliau menoleh ke arahku dan tersenyum lebar, iris hazel-nya berkaca-kaca. Lelaki paruh baya itu mengelus punggung tanganku dengan lembut, jemarinya bergetar hebat.

"You'll be alright, kiddo. I promise."

"Dad?"

Suaraku terdengar parau, bahkan untuk mengucapkan satu kata pun sulit.

Aku menoleh ke arah kiriku secara perlahan, melihat seseorang yang kurindukan menangis tersedu-sedu, seseorang yang kukira sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.

"Mom?"

*****

[Present day, Aiden POV]

Aku berjalan secepat mungkin menuju ruang musik. Meskipun samar, percakapan Nat dan Cameron di koridor tadi dapat kudengar.

Semua ini salahku, seharusnya aku tidak perlu mengajak Cameron bergabung di band. Tetapi, menyesali sesuatu yang sudah terjadi tidak akan ada gunanya. Saatnya memperbaiki segala kekacauan yang kubuat, kan?

Aku berdiri di depan pintu masuk ruang musik, melihat Nat duduk di bangku piano sendirian. Gadis cantik itu mengubur wajahnya dibalik kedua tangannya yang terlipat di atas piano. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dari jarak sejauh ini, aku dapat mendengar isakannya.

Aku berjalan memasuki ruang musik secara perlahan, kemudian mengelus rambutnya. Gadis itu nampak terkejut ketika aku menyentuhnya, dengan cepat ia menegakkan tubuhnya dan mengusap air matanya kasar. Wajahnya memerah, mascara yang ia gunakan luntur dan menodai sekitar matanya.

Gadis itu masih terus mengusap kedua matanya kasar, aku meraih kedua pergelangan tangannya dan mengisyaratkannya untuk berhenti. Nat melirik ke arahku, kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya dariku.

"Aku mendengar semuanya di koridor," lirihku.

Nat menggigit bibirnya, ia menatap lekat kedua netraku. "Do you trust me?"

Aku tersenyum tipis. "Of course."

Aku melingkarkan lenganku di sekitar tubuhnya dan menariknya mendekat ke arahku. Nat menyandarkan kepalanya di bahuku saat aku memeluknya dengan erat.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat sisi lain dari pacarku sendiri. Nat yang sehari-harinya selalu ceria, energik dan selalu berenergi positif, berbeda sekali dengan Nat yang kuhadapi sekarang. Gadis itu tampak sangat rapuh, seakan-akan ia sudah menyembunyikan kesedihannya dalam waktu yang lama.

"It's okay, kau boleh menangis di pelukanku selama yang kau mau." Aku berbisik padanya.

"Aku tidak pernah berbuat hal sejahat itu pada Cam," ucapnya parau.

"Aku tahu."

Nat melepaskan pelukanku dan tersenyum lemah. Aku mengusap air matanya dengan kedua ibu jariku.

Gadis cantik itu menghela napas berat. "Bodohnya aku. Kini seluruh murid di Berry High akan menyangka kalau aku benar-benar melakukan itu pada Cameron karena cemburu. Seharusnya aku dapat menahan emosiku."

Aku tersenyum tipis. "Kau punya hak untuk cemburu, I'm your boyfriend."

"Yes, you are!" Nat meninggikan suaranya. "Aku tidak mau seseorang mencurimu dariku!"

Aku menunduk. "I'm sorry, Nat. I mean it."

Nat mengangguk, kemudian ia memelukku. "I don't wanna lose you. I don't wanna lose anyone else, like I lost my Mom."

Aku melepas pelukannya. "Your Mom?"

Nat menunduk dan mengangguk sebagai jawaban. Hening, tidak ada sepatah katapun darinya.

Aku menggeleng. "Ah, It's okay, kalau kau tidak mau menceritakannya padaku--"

"No, Aiden. I trust you." Nat tersenyum tipis.

"Aku tidak ingin membebanimu," lirihku.

"Kurasa kau perlu tahu masa laluku." Gadis itu tersenyum. "Ingat pertama kali kita kenal? Kau memintaku untuk menceritakan masa kecilku. So here we are. Aku akan menceritakannya."

Aku memperbaiki posisi dudukku, bersiap untuk menjadi pendengar yang baik.

"Cerita ini akan sangat panjang," ucapnya lagi.

Aku menyibakkan rambutnya ke belakang telinga dan berbisik, "no problem. I have time."

Gadis itu menghela napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya. "Natasha yang dulu, berbeda sekali dengan Natasha yang kau kenal sekarang."

[Flashback, Natasha POV]

Setelah melihat orang lain mencium Ibuku, aku tidak berpikir macam-macam. Bagaimana pun juga, usiaku masih 6 tahun saat itu.

Beberapa hari kemudian, pria yang mencium ibuku datang ke rumah kami bersama dengan seorang wanita yang usianya tidak berbeda jauh dengannya. Wanita itu mengamuk di depan rumahku, berulang kali berteriak, "you ruin us, you ruin my family!" semacam itu.

Aku melihat ibuku menangis dan ayahku yang terlihat marah padanya. Meskipun terlihat marah, ia tidak membentak ataupun memukul ibuku, hal yang lelaki itu lakukan hanyalah berdiam diri di kamar.

Setiap kali aku datang untuk menemaninya, Dad selalu berusaha untuk tersenyum.

"At least I have you, kiddo. I love you."

Suatu hari, aku bangun dari tidurku dan tidak menemukan Mom dimana pun. Aku sudah mencarinya ke seluruh penjuru rumahku. Ke dapur, halaman belakang, bahkan basement rumahku.

"Dad, where's Mom?" Aku bertanya.

Ayahku tersenyum tipis. "Forget her. Your Mom is dead to me."

Saat itu, aku masih belum mengerti tentang perselingkuhan, aku juga tidak tahu kalau ia ternyata pergi meninggalkan kami untuk tinggal dengan pria itu. Kupikir Mom sudah tiada, meninggalkanku sendirian di dunia ini. Aku bahkan tidak pernah mengunjungi makamnya sekalipun.

Saat aku mengijak usia sekolah dasar, aku tidak terlalu mengingat detailnya, sekolahku mengadakan perayaan Mother's Day. Aku menceritakannya pada Dad, apa yang harus aku lakukan saat Mother's Day, sedangkan Mom sudah tiada.

"Dad akan menggantikan Mom."

Saat Ayahku berkata seperti itu, tentu saja aku merasa senang. Hey fellas, I have the greatest father in the world!

Namun, Mother's Day yang kuimpikan tidak sesuai dengan kenyataan. Teman-teman sekolahku mencibirku karena aku datang bersama Dad. Mereka mengataiku seorang piatu menyedihkan yang mengajak Ayahnya untuk merayakan Mother's Day.

Bertahun-tahun aku menjadi korban bullying karena hal itu, aku tidak berani memberitahu Ayahku. Yang ia tahu, teman-temanku berbuat seperti itu karena berniat untuk bercanda, but they're not. Day by day, it getting worst.

Setiap hari aku mendapat kekerasan fisik maupun verbal dari teman-teman sekolahku. Ada satu perkumpulan murid di kelasku yang paling sering mem-bully-ku, sisanya hanya ikut-ikutan mencibir saja.

Mereka melakukan apa saja untuk membuatku menangis. Entah itu memasukkan katak ke dalam tasku, membuang makan siangku ke tempat sampah, menumpahkan susu coklat ke buku gambarku, melemparku dengan sampah, menyiramku dengan air toilet, bahkan mereka pernah mengunciku di gudang selama tiga jam.

Sekolahku yang dulu lokasinya dekat sekali dengan sebuah taman terpencil. Aku sering membolos kelas dan berdiam diri di sana untuk menghindari semua orang.

Tahun demi tahun berlalu, senior year sudah tiba. Aku tidak tahan lagi dengan perlakuan bullying teman-temanku dan memutuskan untuk menyerang balik. Namun bodohnya aku saat itu, aku tidak memperhitungkannya terlebih dahulu, bully di sekolahku memiliki tubuh yang cukup besar, mereka juga selalu bersama dalam kelompok.

Tinjuku mendarat ke pipi si ketua geng, aku masih ingat jelas namanya adalah Caroline, gadis yang memiliki tubuh paling besar di antara teman-temannya. Pukulanku tidak ada apa-apanya bagi anak itu, ia balas meninjuku hingga aku jatuh tersungkur, semua teman-temannya juga bergantian meninju dan menendangku.

Pandanganku kabur, perlahan-lahan sekitarku berubah menjadi gelap. Hal terakhir yang kudengar adalah suara teriakan salah satu guruku.

Kemudian aku terbangun di rumah sakit, melihat Mom dan Dad di kedua sisi ranjang. Aku mendapat banyak luka di sekujur tubuhku, baik luka terbuka maupun lebam, nyaris seluruh bagian tubuhku tidak dapat digerakkan. Pipi dan kakiku ditutupi oleh perban. Sedetik saja guruku terlambat menyelamatkanku, mungkin aku sudah kehilangan nyawaku.

Aku harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama dua bulan dan menjalani terapi untuk menyembuhkan mentalku. Kau tidak ingin tahu detailnya bagaimana aku mengejar seluruh pelajaran yang tertinggal di sekolah. Seingatku, aku lulus dengan nilai seadanya.

Setelah apa yang terjadi padaku, Mom memutuskan untuk menghadiri hari kelulusanku. Wanita itu berusaha menjalin kembali hubungan baik dengan Dad, meskipun mereka benar-benar memutuskan untuk berpisah.

Setidaknya mereka berdua bisa bekerja sama, bersandiwara menjadi orang tua normal di hadapanku, meskipun itu hanya terjadi di hari-hari spesialku saja.

Jika kejadian bullying itu tidak pernah terjadi, aku rasa hubungan mereka tidak akan membaik seperti sekarang.

Saat memasuki sekolah menengah, aku masih trauma untuk menjalin kembali hubungan dengan teman-teman di sekolah. Namun perlahan-lahan, aku mencoba kembali untuk membuka diri. Dengan bantuan terapisku, kehidupan sekolah menengahku jauh berbeda dengan kehidupanku di sekolah dasar.

Aku mempunyai banyak teman, tentu saja aku menjadi lebih percaya diri dan berani untuk membela diriku sendiri dari orang yang berniat jahat padaku. Aku menjadi salah satu murid yang cukup populer di sekolahku. Bukan karena aku keren, tetapi karena aku mampu membuka diri pada semua orang.

******

[Present day, Aiden POV]

Sepanjang ceritanya, napasku sesak. Aku tidak pernah tahu jika karakter Natasha Winchester yang sangat kukagumi itu terbentuk dari masa lalunya yang kelam.

Rona keruh di wajahnya tidak kunjung hilang. Gadis itu masih terus menunduk.

"Kuharap kau tidak pergi meninggalkanku setelah tahu bahwa kehidupanku tidak senormal yang kau bayangkan," lirihnya.

"Astaga, kau gadis terkuat yang pernah kutemui. Aku termenung karena kagum padamu!"

"Cameron benar-benar mengingatkanku pada Mom. Maksudku, Mom tidak hanya menghancurkan keluarga kami, ia juga menghancurkan keluarga pria itu. Kukira aku sudah memaafkan Ibuku sepenuhnya, namun ketika melihat Cam, luka lamaku kembali. She almost broke us apart, Aiden." Kemudian tangisnya pecah kembali. "Dan rumor itu, semua orang pasti akan mem-bully-ku seperti dulu kala."

Dengan cepat aku mengusap air matanya. "No, you have me!"

"Us? Against the whole school?"

"Teman-teman tidak akan berpikir kalau kau pelakunya, Nat. Begitu pula dengan Ezra."

Ia menghela napas berat. "Tetap saja aku kalah jumlah. Kara pasti akan memanfaatkan rumor ini untuk menjatuhkanku."

"Kita akan mencari tahu siapa pengirim e-mail tersebut dan membersihkan namamu. Aku janji."

Nat tertawa kecil, suaranya parau. "Bagaimana caranya kita menemukan pelakunya?"

"We'll figure it out."

Kami terdiam selama beberapa saat, dipenuhi oleh pikiran masing-masing. Nat menyandarkan kepalanya di bahuku

"Apakah Cameron sengaja menjebakku?" tanyanya.

Aku mendengkus. "Bodoh sekali kalau ia melakukan itu. I mean, we're officially a couple. Who does she think she is?"

"But she hates me and she likes you." Gadis itu tersenyum pahit. "Mungkin berusaha membuat semua orang benci padaku dan bersimpati padanya, termasuk kau?"

"Maybe." Kemudian aku menoleh ke arahnya. "But I've only got eyes for you, Nat. Meskipun kau tampak seperti Winter Soldier sekarang."

Dengan cepat Nat menutupi kedua matanya. "Apa?! Mascara-ku luntur, ya? Arrgghh, stupid mascara! I hate you, Aiden!"

Aku tersenyum lebar dan mengecup keningnya. "I like you too."

"Oh, you still like me?" tanyanya sarkas.

Aku menghela napas berat, meraih kedua tangannya. "I know, I'm sorry for everything, Nat. Seharusnya aku tidak perlu mengajak Cam bergabung di band. Setelah Terrence bersikap dingin padaku, aku hanya terlalu senang ketika menemukan teman yang cocok untuk membicarakan tentang musik. Gadis itu pandai menulis lagu dan tidak pernah mengajakku berdebat seperti Ezra. Ia selalu memberiku masukan atas lagu yang kubuat, tidak seperti Ezra yang selalu mengkritikku tanpa solusi."

Nat menghembuskan napas berat. "Apakah aku harus belajar untuk menulis lagu agar kau mau berdiskusi denganku?"

Aku tertawa kecil. "No! Kalau kau pandai menulis lagu, untuk apa aku menulis lagu untukmu?"

Nat menahan senyumannya, berusaha untuk menunjukkan wajah serius di depanku. "Damn, bisa-bisanya kau berkata seperti itu padaku sekarang!"

"Seharusnya aku tidak mengajak Cam untuk bergabung di band," lirihku.

Gadis itu mendongak ke arahku dan tersenyum. "Itu bukan salahmu, aku tahu kau hanya ingin melakukan yang terbaik untuk band. Aku juga tidak bisa mengontrol perasaan Cameron terhadapmu. Tetapi, kau membukakan pintu untuknya, itu lah salahmu!"

Aku menghela napas. "Aku tidak menyangka kebaikanku akan disalah artikan olehnya. Baiklah, aku tidak akan pernah mengajak siapapun lagi untuk bergabung dalam band!"

Nat tertawa kecil. "Kalau kau tidak memintaku untuk ikut audisi saat hari pertamaku di Berry High, mungkin kau tidak akan pernah mengenalku."

"Ah, i-itu beda!"

Nat tertawa. "Wait, technically, bukan kau yang mengajakku untuk bergabung di band, tetapi sebenarnya aku sendiri yang mendaftarkan diri."

Aku mengerutkan dahi. "How come?"

Nat menunduk, ia tersipu malu. "Saat pertama kali melihatmu di cafeteria, aku bertanya pada Emma, siapa murid laki-laki yang duduk di sebelah Myra, because he's cute. Gadis itu bilang, dia adalah salah satu anggota klub band sekolah. Kebetulan, band kalian sedang membutuhkan pemain saxophone. Jadi aku memutuskan untuk bergabung."

Aku membelalak. "Oh my God, ja-jadi kau bergabung di band karena aku?

Ia tersenyum simpul dan mengangkat kedua alisnya. "Sebenarnya aku bergabung di band untuk memperluas pertemanan, but yeah, there's a cute guy in the band. Why not?"

Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku yang memerah karenanya, kemudian menghembuskan napas berat. "I'm so sorry. In the end, I always hurt you."

Nat menyeringai. "Permintaan maaf diterima, jangan lupa belikan aku mascara waterproof!"

Aku menghormat padanya, seperti prajurit perang. "Yes, Ma'am!"

Akhirnya, senyuman kembali menghiasi wajah cantiknya. Meskipun riasan wajahnya masih sedikit berantakan dan matanya sedikit membengkak, Nat sudah bisa tertawa lepas sekarang.

Kami menghabiskan waktu di ruang musik selama beberapa menit ke depan, aku ingin memastikan bahwa Nat sudah kembali ceria saat keluar dari sini.

Gadis itu menoleh ke arahku dan tersenyum hangat ketika aku mengelus lembut kedua pipinya.

"Terima kasih sudah mempercayaiku, Nat," bisikku.

Nat tersenyum lebar, menatap lekat kedua netraku. "Terima kasih juga sudah percaya padaku."

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

*******

BONUS
NATASHA - Monochrome Portrait🖤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro