Chapter 35 - Audition
[Flashback]
Aku masih mengingat dengan samar wajah-wajah mereka. Tatapan dingin semua teman sekelasku, semua makian itu dan bagaimana mereka memperlakukanku di kelas. Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup normal seperti yang lainnya!
"Go away! Kau tidak punya Ibu. Kau tidak berhak merayakan hari ibu bersama kami!"
******
[Present day, Aiden POV]
This week feels like hell to me.
Setelah perdebatan yang terjadi tempo hari, Nat tidak mau berbicara denganku hingga saat ini.
Yeah, this is my fault, I admit it. Bagaimana bisa aku tidak menyadari niat buruk Cameron? Seharusnya dari awal, aku tidak perlu mengajak gadis itu untuk bergabung dalam band.
Setelah Terrence bersikap dingin padaku, aku hanya terlalu senang ketika akhirnya menemukan teman yang cocok untuk berbicara tentang musik. Cameron bahkan mengerti cara menulis lagu! Sebenarnya aku cukup nyaman berbicara tentang musik dengan Ezra, namun kami selalu berakhir dengan perdebatan.
Nat tidak menjawab panggilan telepon dariku, ia juga hanya membalas pesanku seadanya.
Natasha
> Leave me alone
Tidak tahu lagi harus berbuat apa, bahkan aku terlalu takut untuk meminta pendapat Myra. gadis itu pasti akan memarahiku habis-habisan karena sudah bertindak bodoh.
Satu hal yang kusadari, aku tidak pernah berubah. Aku masih seorang Aiden yang pengecut.
Senin pagi, dari kejauhan aku melihat Nat berdiri di depan lokernya. Gadis itu mengambil beberapa buku pelajaran dan memasukannya ke dalam tas. Aku terdiam mematung di koridor, bahkan untuk menghampirinya pun aku tidak sanggup.
Ketika ia menutup pintu lokernya, tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Gadis itu menatapku selama beberapa detik, tidak ada keramahan dalam ekspresi wajahnya. Pada akhirnya, ia memalingkan pandangannya dariku dan berjalan menjauh.
Aku juga berusaha untuk menghubungi Emma. Kurasa hanya gadis itu yang mengerti Nat.
Emma
> You know what? You moron, Aiden!
> She's still fragile
> Kurasa kau harus membiarkannya sendirian sementara
Aku menghembuskan napas berat ketika membaca respon dari Emma. Audisi solo saxophone diadakan dua hari lagi. Aku akan merasa bersalah seumur hidupku jika tidak berada di sisi Nat saat audisi.
Nat bahkan tidak bergabung bersama Myra, Ezra dan aku saat makan siang, ia selalu bersama dengan Emma, Caleb, Maria dan Michael dalam satu meja.
Selasa siang, aku, Myra dan Ezra duduk di cafeteria untuk makan siang. Suasana hari ini cukup ramai, aku dapat mendengar semua orang membicarakan tentang The Script yang akan konser di Cedar Cove akhir pekan ini.
Seandainya kami baik-baik saja, mungkin aku akan mengajaknya menonton konser itu berdua saja.
"Sampai kapan kalian akan berselisih pendapat?" tanya Ezra sambil menikmati makan siangnya.
"Nat masih tidak mau berbicara denganku," lirihku.
"Kalian tidak putus, kan?" tanya Ezra lagi.
"Well, dia tidak mengucapkan kata 'putus'," jawabku.
"That's great! Aku akan berbicara dengannya. Siapa tahu ia mau mendengarkanku," ujar Myra. "Besok, hari audisi tiba, kurasa kau harus tetap memberinya semangat secara langsung."
Aku mengangguk lemah. "I'll try my best."
******
Selasa malam, aku berjalan mondar-mandir mengelilingi kamarku, menggigit jari-jari tanganku sambil menatap layar ponsel dengan gelisah, setetes keringat mengalir di pelipisku. Setelah lelah mondar-mandir, aku duduk di tepi ranjang dan menggerakan jari-jari kakiku, kemudian memejamkan mataku dan mengambil napas panjang.
Setelah mengumpulkan keberanian, aku mengetuk layar ponselku dan melakukan panggilan telepon.
Jantungku berdebar-debar saat mengetahui panggilan teleponku terhubung dengan si penerima telepon.
"Halo?" Suara Nat terdengar dari speaker ponselku.
"Nat." Aku mengambil napas panjang. "Good luck for your audition."
Nat terdiam selama beberapa detik. "Thanks."
Kami diliputi keheningan selama beberapa saat. Aku sangat gelisah dan berusaha untuk berpikir cepat, apa lagi yang harus kukatakan padanya. Uh, seharusnya aku menulisnya di selembar kertas terlebih dahulu!
"Kau tidak perlu datang menontonku besok."
Jantungku seakan berhenti berdetak. "What?!"
"Ah, maksudku, besok itu audisi tertutup. Yang boleh berada di dalam ruangan hanya aku, Cameron, Ezra dan salah satu murid Hearst yang tidak memihak. Bahkan Terrence dan Myra tidak boleh ikut menonton."
Aku memejamkan mata dan menghela napas. "Ah, k-kau benar. Ezra memberitahuku tadi siang."
"Thanks, Aiden. For your support. I need that."
Aku tersenyum. "Anytime, Nat."
Lagi-lagi, keheningan meliputi kami berdua.
"Anything else?"
"Ah, a-aku hanya ingin memberimu dukungan. Jangan overthink, tunjukan saja permainan terbaikmu. Aku percaya kau pasti bisa."
"Oke." Gadis itu kembali berbicara dengan dingin. "Aku harus tidur cepat untuk menjernihkan pikiranku."
Aku menggigit bibirku. "Alright then. Good night, Nat."
"Night." Kemudian ia menutup teleponnya.
Aku mengerang dan menjatuhkan tubuhku ke atas ranjang, kemudian mengusap wajahku kasar dan mengacak-acak rambutku.
Mengapa begitu sulit mengucapkan maaf padanya? Seakan-akan, jika aku mengucapkan kata maaf terlalu sering, kata tersebut sudah tidak ada artinya. Aku ingin mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Namun, bagaimana caranya agar Nat mengerti dan mau memaafkanku?
Hubunganku dengan Cameron juga merenggang. Kami hanya berbicara seadanya. Bahkan hari ini, ia duduk di bangku yang cukup jauh denganku, namun gadis itu masih sering melirikku di kelas. Aku tidak keberatan jika pada akhirnya Cameron bersikap dingin padaku seperti Terrence, asalkan aku tidak kehilangan Nat.
Setelah apa yang terjadi di antara kami, hatiku hancur berkeping-keping karena hanya bisa mendoakannya dari jauh. Beberapa hari ini, aku merasa Nat semakin menjauh dariku. Bagaimana jika ia benar-benar pergi dari hidupku?
Namun hal yang lebih buruk dari kehilangannya adalah, aku akan sangat membenci diriku sendiri karena tidak mampu menghadapinya untuk sekadar memohon maaf.
******
Rabu sore, aku sedang berbaring di kamarku sambil bermain ponsel. Tiba-tiba, Ezra meneleponku.
"Good news! Nat mendapatkan posisi solo!" Ezra terdengar sangat ceria.
Aku tersenyum lebar. "Benarkah?! Thank God!"
"Itu artinya kalian sudah berbaikan, kan?"
Senyuman lebarku pudar. "Ah, sebenarnya belum." Kemudian menghela napas. "Tetapi aku sudah meneleponnya tadi malam dan memberinya dukungan."
Ezra menghela napas. "Ya sudah, yang terpenting saat audisi tadi, ia tidak terlihat sedih. Kurasa Nat sudah memaafkanmu."
Setelah mendengar Nat baik-baik saja, aku merasa sangat senang, namun juga berusaha untuk tidak berekspektasi terlalu jauh.
Ezra kembali berbicara, kini nada bicaranya terdengar serius. "Ngomong-ngomong, kau tahu ke mana Cameron? Gadis itu tidak datang saat audisi, ia juga tidak menjawab pesanku. Itulah sebabnya Nat yang mendapat posisi solo."
Aku mengerutkan dahi. "I don't know. Padahal aku masih melihatnya di dalam kelas.
"That's weird. Apakah Cameron berubah pikiran? Ah, sudahlah, yang penting Nat mendapatkan posisi solo. Kalau tahu akan begini, kita tidak usah meladeni dramanya Terrence!" gerutu pemuda di seberang telepon.
"I know, right!"
Setelah berbincang-bincang selama beberapa saat, kami mengakhiri panggilan telepon. Dengan cepat aku membuka aplikasi chat untuk memberikan selamat untuk Nat.
Aiden
> Congrats, Nat, untuk untuk posisi solo-nya!
Aku menghela napas panjang sebelum mengetuk tombol send. Semenit, dua menit berlalu, akhirnya aku merasakan ponselku bergetar.
Natasha
>Thank you, Aiden
Dengan cepat aku bangun dan menegakkan tubuhku, kemudian menggenggam erat ponselku dengan kedua tangan dan tersenyum lebar.
Crap! aku sudah read pesannya, aku harus balas apa?
Tiba-tiba saja, aku mendapatkan ide bagus.
Aiden
> I'm so proud of you.
> Kau punya waktu besok?
> I wanna talk to you. I want to fix us.
Tidak lama kemudian, Nat membalasnya.
Natasha
> Sure
> Ayo bertemu di ruang musik sepulang sekolah.
Balasan pesan darinya mampu membuat perasaanku menjadi lebih tenang, sesederhana itu.
*****
Keesokan harinya saat jam pelajaran sudah berakhir, aku berjalan menelusuri koridor untuk pergi ke ruang musik.
Aku bersenandung menatap dua tiket konser The Script yang ada di tanganku. Nat sangat menyukai grup band itu, bahkan sampai rela berlangganan Spotify demi mendengarkan lagu mereka. Konser mereka diadakan Jumat malam. Berhubung esoknya adalah hari libur, aku yakin Mr. Winchester akan mengizinkan Nat pergi bersamaku.
Sesampainya di persimpangan koridor, secara tidak sengaja aku melihat Nat bersama dengan Cameron, Zoe dan Terrence di depan lokernya. Suasananya tampak memanas. Aku bersembunyi di balik persimpangan dan menguping.
[Present day, Natasha POV]
Saat jam sekolah sudah usai, aku meletakkan beberapa buku pelajaranku ke dalam loker. Tiba-tiba saja, seseorang membanting pintu lokerku dengan kasar, menghasilkan bunyi yang cukup keras dan membuat semua siswa yang berada di koridor menoleh ke arahku.
Aku menoleh ke sampingku dan melihat Cameron memelototiku.
"Aku tidak percaya kau melakukan itu padaku, Nat!" bentak gadis itu.
Aku mengernyit saat melihat Cameron menghampiriku bersama Zoe dan Terrence. "Melakukan apa?!"
Cameron memperlihatkan layar ponselnya padaku. "Explain this!"
Aku membaca sebuah surel yang mengatakan bahwa audisi ditunda menjadi minggu depan. Pesan tersebut dikirim dari seseorang yang memiliki alamat [[email protected]]
Cameron meninggikan suaranya. "Kau menyabotase audisi kemarin dan mengirimkan e-mail ini padaku?"
"What?! Mengapa juga aku harus melakukan itu?" tanyaku.
"Untuk menyingkirkanku sebagai kompetitormu, tentu saja!" desis Cameron.
"Coba lihat pengirimnya, ini email dari Ezra!" Aku mulai naik pitam.
Cameron menggelengkan kepala. "Aku sudah menemui Ezra tadi siang. Ini bukan alamat email-nya. Ia menunjukan e-mail miliknya padaku, alamatnya beda."
Zoe memutar bola mata. "Mengaku saja, Nat. Kau sengaja menjebak Cameron untuk tidak mengikuti audisi, agar kau yang mendapatkan posisi solo? Aku tidak percaya kau sebusuk itu!"
Aku memelototi Zoe. "Aku tidak pernah melakukan itu pada Cam!"
Terrence mendengkus. "Sudahlah, tidak ada gunanya kau mengelak. Words spread like wildfire, toh, semua orang pasti sudah mengetahuinya!"
Aku menoleh ke sekitarku dan melihat murid-murid di koridor menatapku dengan dingin, beberapa saling berbisik.
"Dengar, Cameron Levy." Aku menghembuskan napas panjang. "Seseorang menjebakku, okay? Tidak ada gunanya aku melakukan itu padamu."
Zoe tertawa sinis. "Setelah menuduh Kara menulis surat kaleng, sekarang kau menuduh orang lain menjebakmu? Hobimu itu menyalahkan orang lain, ya?"
"Shut up, Leon!" bentakku.
Zoe menggandeng tangan Terrence. "Ayo, kita pergi saja dari sini!" Kemudian gadis itu berbisik di telinga Cameron. "Sudah kubilang, kan? Jangan bergaul dengan murid Berry!"
Zoe dan Terrence berjalan menjauh, suara high heels milik gadis itu bergeming di udara.
Suasana di koridor sekolah sangat tegang, seluruh pasang mata tertuju padaku, begitu pula dengan Cameron. Gadis itu seolah-olah memintaku untuk mengakui hal yang tidak kulakukan.
"Ayo berbicara empat mata," lirihku pada Cameron.
"Tidak perlu! kita berbicara saja di sini!" Cameron meninggikan nada bicaranya.
Aku mengepalkan tanganku, merasakan emosi menguasai tubuhku. "Fine, kalau itu maumu! Kau bertingkah begini padaku karena Aiden, kan?"
Cameron membelalak. "Apa maksud--"
Aku memutar bola mataku. "Kau pikir selama ini aku tidak tahu kalau kau menyukainya? Kau menuduhku karena kau benci padaku?!"
"Oh, are you jealous? Jadi karena itu kau menyabotase audisi yang kita lakukan?!" desis gadis itu.
"What? No!" bentakku.
"Ini masalah pribadi, tetapi kau melakukan sampai sejauh itu? Kau hanya perlu berbicara padaku dan semuanya akan beres, kan? Tidak perlu sampai membuatku didiskualifikasi!" Suara gadis itu terdengar hingga ke seluruh penjuru koridor.
Gadis ini sedang bersandiwara, aku tahu itu. Membuat citraku memburuk di depan publik sehingga semua orang akan bersimpati padanya.
"Dengar, sudah kubilang kalau aku dijebak seseorang, okay? Bukan aku yang mengirim e-mail tersebut!" ucapku.
Cameron tertawa sinis. "Bagaimana aku bisa percaya padamu?"
"Surat ancaman yang ada di lokerku, apakah itu juga kau?!" bentakku. "Sekarang, siapa yang menjebak siapa?!"
"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," ucapnya polos.
Aku berdecak. "Kuanggap jawabanmu adalah 'iya'!"
"Apakah dengan menuduhku semuanya akan beres?" desis gadis itu.
"Mari sudahi drama murahan ini. Confess! Kau menyukai Aiden dan kau sengaja menjebakku, kan?!" bentakku.
Gadis itu mendongak ke arahku dan menggelengkan kepalanya perlahan. "Kau berbicara berputar-putar. Tidak ada lagi yang harus kubicarakan denganmu, Nat. Aku hanya tidak menyangka kalau kau akan berbuat sejauh ini. Tidak ada gunanya kau mengelak."
Rahangku kembali mengeras melihat drama menjijikan yang dilakukan oleh Cameron. Rasanya ingin sekali meninju gadis itu tepat di wajahnya.
"Congrats, princess. Kau dapat posisi solo-nya," ucap gadis itu sinis.
Akhirnya Cameron pergi meninggalkanku, menabrak bahuku dengan sengaja.
Aku terdiam mematung dan tidak tahu harus berbuat apa ketika seluruh pasang mata menatapku sinis. Setelah Cameron pergi, semua orang yang ada di koridor kembali melakukan aktivitasnya, seolah-olah tidak terjadi apapun. Namun aku tahu, cepat atau lambat, semua orang di Berry High akan membenciku karena rumor tentangku akan tersebar.
Hal yang sama akan terjadi lagi seperti dulu.
Aku menunduk dan terisak, berusaha untuk menahan air mataku agar tidak menetes. Namun aku tidak setangguh itu, tangisku pecah. Aku memejamkan mata dan mengusap air mataku dengan punggung tangan, kemudian berjalan dengan cepat menuju ruang musik.
Masalahku dengan Aiden belum selesai, namun aku harus dihadapkan dengan masalah yang baru. Hal yang lebih buruk lagi, aku tidak mempunyai siapapun lagi di sisiku.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
*******
BONUS
THE GANG MOODBOARDS
Hope you like it🖤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro