Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 34 - Time Bomb

[Flashback]

Sore itu, hujan rintik-rintik membasahi jendela rumahku dan menghasilkan suara yang merdu. Burung yang tinggal di cuckoo clock rumah kami berkicau, menandakan orang tuaku akan segera sampai di rumah.

Aku menggenggam krayon berwarna hitam dan menggambar sebuah lingkaran di secarik kertas, kemudian memberikan dua titik dan satu garis melengkung di bawahnya. Aku melakukan hal yang sama untuk dua lingkaran lainnya.

Setelah selesai menggambar tiga wajah yang sedang tersenyum, aku menggoreskan krayonku dan mulai memberikan tubuh untuk tiga lingkaran tersebut, tidak lupa aksesoris lainnya seperti rambut, tangan, kaki dan tentu saja pakaian. Aku meletakkan krayonku di lantai dan tersenyum lebar sambil mengangkat kertas tersebut tinggi-tinggi.

Setelah puas mengagumi hasil karyaku sendiri, aku berlari ke dapur dan meletakkan kertas tersebut di pintu kulkas, tidak lupa kuletakkan hiasan magnet di atas kertas tersebut.

Tiba-tiba, terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Aku tersenyum lebar, berlari ke arah pintu rumah. Sebelum membukakan pintu, aku terbiasa mengintip melalui jendela terlebih dahulu. Entah kenapa, hal semacam ini menjadi rutinitas bagiku.

Namun, ada hal asing yang terjadi sore itu. Aku melihat dua orang berdiri di depan rumahku, salah satunya adalah pria berambut pirang yang memakai kacamata. Ia mengenakan kemeja berwarna maroon dengan celana dan dasi berwarna hitam. Pria itu mengelus rambut wanita berambut pirang yang berdiri di hadapannya, kemudian mencium keningnya.

Aku terdiam mematung, bertanya-tanya siapa sebenarnya pria itu, karena pria tersebut bukanlah ayahku.

******

[Present Day, Aiden POV]

Jumat siang, tiba lah saatnya untuk latihan band. Hari demi hari berlalu, spring concert semakin dekat dan kami masih belum menentukan siapa yang berhak menempati posisi solo untuk saxophone.

Sebelum latihan, Nat bersama Caleb dan Maria menemui Ezra di ruang musik, mereka mengobrol di depan pintu.

"Ezra, bolehkah aku izin untuk tidak mengikuti latihan? Sehari saja? Kami harus survey venue untuk prom." Nat meminta izin pada Ezra.

Ezra mengangguk. "Aku mengerti."

"Aku akan meminta Aiden untuk membantuku mengejar ketinggalan," ujar gadis itu.

"Aku akan meminta Cameron untuk memainkan bagianmu untuk hari ini. Kau fokus pada prom saja dulu," jawab Ezra.

Nat tersenyum lebar. "Thanks, Ezra!"

"No problem." Ezra kembali mengangguk.

Nat menoleh ke arahku yang sedang duduk di dalam ruang musik dan melambaikan tangan. Aku tersenyum dan balas melambaikan tanganku. Setelah itu, Nat, Caleb dan Maria pergi meninggalkan ruang musik.

Saat Nat pergi, Cameron datang memasuki ruang musik, ia menoleh ke belakang dan menatap kepergian Nat. Setelah itu, gadis itu menghampiriku dan duduk di sampingku.

"Nat mau ke mana?" tanya gadis itu sambil mempersiapkan saxophone-nya. 

"I dunno, ia bilang survey venue untuk prom." Aku menjawab sambil menyiapkan trumpet-ku juga.

"I see." Cameron menjawab singkat.

Ezra menepuk pundak gadis di sebelahku. "Cam, karena Nat tidak latihan, aku ingin kau memainkan bagiannya untuk hari ini saja. Kau bisa?"

Ia mengangguk. "Baiklah, akan kucoba."

Hari ini, latihan band berlangsung seperti biasa, kecuali untuk bagian saxophone, Cameron harus memainkan lebih banyak bagian. Harus kuakui, Cameron sepertinya berlatih cukup keras. Permainan saxophone-nya semakin bagus dari hari ke hari. Jika Nat lengah, posisi solo bisa direbut oleh gadis itu.

Setelah Cameron selesai memainkan bagiannya, Terrence bertepuk tangan. "Luar biasa, Cameron!" Kemudian menoleh ke arah Ezra. "Kurasa audisi sudah tidak perlu diadakan lagi, Cam pantas mendapatkan bagian solo."

Ezra mengerutkan dahi. "No! Kita sudah sepakat untuk--"

"Kalian masih pilih kasih ternyata!" Terrence meninggikan suaranya. "Kalau begitu, ke mana pemain saxophone kesayangan kalian? Dia bahkan tidak ikut berlatih!"

Aku meninggikan suaraku. "Nat harus survey venue--"

"Diam, Arden! Aku tidak meminta pendapat darimu! Pendapatmu tidak objektif!" Terrence memelototiku dan membuatku sangat marah. Entah aku marah karena dia salah menyebut namaku, atau karena ia bertingkah egois.

Wajah Cameron berubah muram. "Terrence, it's okay. Aku tidak keberatan untuk ikut audisi."

"Aku melakukan ini untuk kebaikan band kita!" Terrence menjawab.

Suasana menjadi hening untuk beberapa saat sebelum Ezra kembali mengambil alih. "Kita akan tetap mengadakan audisi, kita sudah sepakat!"

Terrence berdiri dari bangkunya, kemudian mengambil klarinetnya dan berjalan menuju pintu keluar. Pemuda itu berhenti di depan pintu dan berbalik untuk menghadap Cameron.

"Ini lah yang terjadi jika kau banyak bergaul dengan mereka, Cam. Kau bahkan tidak peduli pada kemampuanmu sendiri!" Terrence kemudian menoleh ke sekeliling ruangan. "Aku keluar dari sini! Lelah rasanya berlatih dengan orang-orang yang lebih mementingkan 'persahabatan' dari pada apa yang terbaik untuk band. Hearst, let's get outta here!"

Pemuda itu membuka pintu ruang musik, kemudian keluar dari ruangan. Hampir seluruh anggota band Hearst High melakukan hal yang sama, kecuali Cameron.

Ezra menunduk dan mengusap kepalanya dengan kasar. Terlihat jelas bahwa ia kesal pada pemuda berambut silver itu.

"Apa yang harus kita lakukan? Setengah dari anggota band tidak ada di sini," lirih Myra.

Ezra menghembuskan napas berat, kemudian menatap anggota band satu per satu. "Kurasa latihan hari ini kita sudahi saja. Aku tidak mau kita berlatih sendiri-sendiri seperti dulu lagi."

Perlahan, anggota band yang tersisa pergi meninggalkan ruangan satu per satu.

Tiba-tiba, ponsel milikku berdering. Aku melihat layarnya, rupanya Nat yang melakukan panggilan telepon.

"Iya, Nat?"

"Bagaimana latihan band?" tanyanya.

"Latihan hari ini diselesaikan lebih cepat. Terrence ruins everything," jawabku.

"Begitu pula prom committee." Gadis itu menjeda perkataannya. "Aku akan kembali ke sekolah sekarang."

Aku mengerutkan dahi. "Is everything okay? Kau bilang akan mengunjungi tiga tempat sekaligus, tetapi kenapa sekarang sudah selesai?"

"Aku akan menceritakannya padamu secara langsung."

Aku mengangguk. "I understand. Aku akan menunggumu di ruang musik."

"See ya, Aiden."

Tiba-tiba, Ezra menghampiri Cameron sambil membawa ranselnya.

"Audisi diadakan rabu depan, jangan lupa berlatih keras," ucap pemuda itu.

Cameron mengangguk dan tersenyum. "I will."

Pemuda itu menoleh ke arahku. "Jangan lupa beritahu Nat. Sisanya kuserahkan padamu."

Aku menjawab dengan anggukan, sama seperti Cameron. Setelah itu, Ezra membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju pintu keluar.

Setelah kepergian Ezra, aku beranjak untuk mengambil gitar akustik di tempat penyimpanan, kemudian duduk di lantai. Beberapa kertas musik dan sebuah pensil kuletakkan di atas lantai.

Aku mulai memetik gitar yang ada di genggamanku dan menciptakan beberapa nada yang baru. Setelah menemukan nada yang pas, aku menulisnya di atas kertas musik.

Tiba-tiba, Cameron menghampiriku. Gadis itu duduk di sampingku dan tersenyum.

"Di suasana seperti ini kau bahkan masih bisa menulis lagu?" tanyanya.

Aku tersenyum lebar. "Mungkin itulah satu-satunya kelebihan seorang Aiden Zhou."

"Bolehkah aku mendengar lagumu?" tanya gadis itu.

"Sure."

Aku memetik kembali gitarku dan mulai memainkan nada yang baru saja kutulis.

Di tengah permainan gitaraku, tiba-tiba Cameron memotong. "Tunggu, aku punya ide bagus!" Ia mengulurkan kedua tangannya. "May I?"

Aku mengangguk dan menyerahkan gitarku padanya.

Cameron memetik gitarnya dengan serius, mencoba beberapa nada yang menurutku cukup brilian. Rona cerah terlihat di wajahnya, ia mengambil pensilku, kemudian menuliskan beberapa nada di atas kertas.

Setelah itu, ia mengembalikan gitarku. "Cobalah!"

Aku mencoba memainkan nada yang Cameron tuliskan. Di luar dugaan, karya seni yang ia ciptakan dapat beresonansi sempurna dengan milikku. Wajahku berubah cerah, aku mendongak ke arahnya dan melihat gadis itu membalas senyumanku.

Setelah selesai memainkan lagu yang kami ciptakan, Cameron bertepuk tangan.

"Wow, kalau kau debut dengan lagu itu, aku minta royalti 50%!" serunya.

"Oh, so you did this because of money?" tanyaku.

"Hey! Just kidding!" gadis itu tertawa sambil memukul lembut lenganku. "Tetapi harus kuakui, lagu ciptaan kita sangat keren! Kita harus debut!"

Aku menggeleng. "Nah, aku lebih suka debut dengan trumpet atau piano daripada dengan gitar. Gitar hanya hobi saja."

"Berapa banyak alat musik yang bisa kau mainkan?"

Aku mengusap daguku. "Gitar akustik, biola, piano, keyboard elektrik, trumpet--"

"Stop, Aiden! Kau akan membuatku terlihat payah di depanmu!" Cameron tertawa kecil.

"It's okay, kau juga pandai menulis lagu, kok!"

"Tetap saja tidak sehebat dirimu." Cameron menghela napas. "Apakah benar jika aku memiliki seseorang yang menginspirasiku, aku akan menjadi sehebat dirimu?"

Aku mengangkat salah satu alisku. "Kukira kau punya pacar."

"Apakah aku terlihat seperti orang yang punya pacar?" tanya gadis itu.

"Yeah, you got a style!" pujiku. "Gadis-gadis seumuran kita terobsesi dengan rambut panjang, sedangkan kau memotong rambutmu dengan model cepak! Selera musikmu juga bagus."

Cameron memutar bola mata. "Tidak berarti aku punya pacar, kan?"

Aku menunduk dan tersenyum. "Kau tahu, rasanya luar biasa memiliki seseorang yang dapat menginspirasimu. Bahkan hanya dengan mendengar suaranya saja, ide-ide segar muncul dengan sendirinya di kepalamu."

"I see. Sekarang aku tahu kenapa binder musikmu dipenuhi lagu untuk Nat." Cameron menoleh ke arahku. "Apakah lagu yang tadi kau ciptakan, itu juga untuk Nat?"

Aku menggeleng. "Nah, ini lagu untuk diriku sendiri. Aku belum pernah menciptakan lagu untuknya dengan gitar akustik."

"Kau tertarik untuk membuatnya?"

"Maybe, someday."

Cameron tersenyum tipis. "You like her that much, huh?"

Aku mengangguk dan tersenyum lebar. "Yeah."

"But I have my own muse," ucap gadis itu. "Someone who always give me all this inspiration."

Aku menoleh ke arahnya. "Who? Your favorite band singer?"

"No, he's real." Cameron terdiam selama beberapa saat. "Ia seseorang yang luar biasa, orang yang paling bertalenta yang pernah kutemui."

"Lemme guess, Terrence?"

Cameron tertawa. "No! Bisa-bisa Zoe membunuhku karena berusaha mencuri pacarnya." Ia memainkan kuku-kuku jari tangannya. "Pemuda itu juga berbuat baik padaku, bagaimanapun latar belakangku."

Aku tersenyum hangat. "Aku yakin seseorang itu pasti merasa beruntung jika ia tahu kalau kau suka padanya."

"Oh, I think he's not." Ia menggeleng perlahan.

Senyuman yang tadi kuberikan padanya memudar. Ia mendongak ke arahku dan menatap kedua netraku dalam untuk waktu yang cukup lama.

Detik ini, aku mulai merasakan ada yang salah dengan semua percakapan ini.

Gadis itu tersenyum pahit. "Karena seseorang itu tidak melirik ke arahku sama sekali."

Saat kami saling bertatapan satu sama lain, aku melihat dengan samar siluet seseorang di depan pintu ruang musik. Dengan cepat aku memalingkan pandangan ke arah pintu dan melihat Nat berdiri di sana, entah sejak kapan. Gadis itu berdiri mematung di depan pintu dan menatapku tanpa ekspresi apapun.

Saat itu juga aku menyadari, di dalam ruang musik hanya ada aku dan Cameron.

[Present day, Natasha POV]

Prom belum dimulai namun Kara sudah nyaris mengacaukannya. Gadis itu terlambat hingga 30 menit dan membuat anggota komite yang lain merasa kesal.

Selain itu, ia juga dengan seenaknya menentukan venue untuk prom demi kepentingannya sendiri. Kami terpaksa setuju dengan usul Kara untuk menjadikan gedung serba guna milik ayahnya sebagai venue untuk prom. Lokasinya cukup dekat dari sekolah, tempatnya luas, biaya sewanya juga murah.

Bagian terburuknya, gadis itu tidak menyetujui semua alternatif dekorasi yang sudah dibuat Maria. padaha, Maria sudah bekerja sangat keras untuk mencurahkan idenya.

Sebenarnya aku tidak keberatan dengan menjadikan gedung serba guna milik ayah Kara sebagai venue untuk prom, yang kupermasalahkan adalah tingkah laku Kara yang bossy dan egois.

Hari ini mood-ku buruk sekali, jadi aku memutuskan untuk kembali ke sekolah dan berbagi keluh kesahku dengan Aiden. Kudengar, latihan band hari ini juga kacau. Segelas milkshake Golden Griddle sambil mengucapkan sumpah serapah bersama pacarku adalah pelarian yang terbaik!

Namun bukannya membaik, setelah bertemu Aiden, mood-ku semakin buruk. Maksudku, Aiden dan Cameron berduaan di ruang musik? Siapapun bisa melihat kalau Cameron suka padanya! Myra mungkin akrab dengan Aiden, namun gadis itu tidak pernah bertingkah seperti itu pada Aiden. Tingkah Cameron di hadapan Aiden sama persis denganku saat kami belum resmi berpacaran.

Aku berusaha menahan emosiku sejak Cameron bergabung dalam band, aku tidak ingin terlihat seperti gadis yang tidak percaya diri dan mengamuk karena cemburu. Namun kurasa, hari ini aku tidak dapat menahannya lagi.

Setelah berdiri cukup lama di depan pintu ruang musik, akhirnya Aiden menoleh ke arahku.

Bagus, ia menyadari presensiku di sini, setelah sekian lama.

Aku mengepalkan tanganku, kemudian berbalik badan dan berjalan menuju koridor untuk pulang.

Aku mendengar seseorang berlari mengejarku, tidak lama kemudian, Aiden menarik tanganku.

"Nat! tunggu--"

Aku berbalik badan. "Seriously? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau bicarakan dengan Cameron sejak tadi?"

"What?!"

"Cam baru saja mengungkapkan perasaannya padamu!" Aku meninggikan suaraku.

Aiden terdiam selama beberapa saat, ia menggigit bibirnya. "Nat, dengarkan aku--"

"Kau butuh teman bermusik? Apakah Ezra dan Myra tidak cukup? Apakah aku tidak cukup?!"

"Listen," lirihnya. "I was stupid, okay? I know that. Aku hanya suka padamu karena kau satu-satunya pacarku!"

"Yeah, I'm your girlfriend. Jadi, bisakah kau sedikit menghargai perasaanku!?"

Aiden terdiam. Perkataanku tadi membuatnya skak mat.

Aku menghembuskan napas berat. "Aku hanya benci melihat Cam bertingkah seperti itu di hadapannmu. Maksudku, ia tahu kalau aku pacarmu tetapi ia tetap mendekatimu seperti tadi!" 

"Semua itu terjadi begitu saja!" ucap pemuda itu. "Awalnya kami hanya bermain musik bersama, tiba-tiba pembicaraan kami melenceng--"

"Apakah sikapnya di rumah Mitchell bersaudara dan ketika aku pergi meninggalkanmu, itu semua tidak membuatmu sadar?" tanyaku dingin.

"Oh, are you jealous? Kau berjanji untuk selalu menceritakan keluh kesahmu padaku. But you didn't!" serunya.

"So this is all my fault?!" ucapku dengan nada tinggi. "Semua orang tahu bahwa Cam memiliki niat buruk. Buka matamu, Aiden!"

Aiden terdiam. Pemuda itu melunak, kemudian menunduk dan menghembuskan napas berat. Sebuah penyesalan terlihat dari raut wajahnya.

"Aku tidak bermaksud membuatmu semakin kesal. I'm sorry," lirihnya.

Pemuda itu mendekat untuk menarikku ke dalam pelukannya, namun aku berjalan mundur.

"Maybe not all fairytales have a happy ending," ucapku.

"Nat--"

"Aku akan pulang naik bus."

Aku berbalik arah, berjalan menuju gerbang sekolah dan meninggalkan pemuda itu sendirian di koridor. Setetes air mata mengalir di pipiku, dengan cepat aku mengusapnya dengan kasar.

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

******

BONUS:
Aiden x Natasha Moodboard
Hope you like it💛

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro