Chapter 32 - Tindery Papers
Akhir pekan di mana party Mitchell bersaudara sudah tiba. Waktu menunjukan pukul enam sore, aku berkendara untuk menjemput Nat ke rumahnya. Setelah berkendara selama 15 menit, aku tiba di rumah Nat dan mengirimkannya sebuah pesan.
Tidak lama kemudian, gadis itu keluar dari rumahnya dan masuk ke dalam mobilku.
"Maaf menunggu lama." Ia menutup pintu mobilku.
Tiba-tiba, ponsel milik Nat berdering. Ia mengambilnya dari dalam tas dan mengerutkan dahi ketika menatap layar ponselnya.
"Siapa?" Aku bertanya padanya.
"Mike."
Aku mengernyit. "Why do he call you?"
"No idea."
Nat mengangkat teleponnya, kemudian mengaturnya ke dalam mode loudspeaker.
"Nat, kau di mana?" Suara Michael tidak terdengar jelas karena suara musik dan teriakan orang-orang di sekitarnya.
"Sekitar sepuluh menit lagi sampai. Kenapa?" Nat meninggikan suaranya.
"Cepatlah datang, Kara dan Max sedang berbuat ulah--" Tiba-tiba, panggilan telepon terputus.
"Crap. Aku lupa mengisi baterai ponselku!" Nat menoleh ke arahku. "Mengapa murid Hearst High ada di rumah Mitchell bersaudara?"
Aku mengangkat bahuku. "Kurasa Mitchell bersaudara mengundang beberapa murid Hearst. Baru saja aku melihat Zoe menjemput Terrence di depan rumahnya."
"Great!" Nat memasukan ponselnya ke dalam tas. "Nampaknya kita tidak bisa pergi ke mana pun tanpa murid Hearst di sekitar kita."
"Lupakan sejenak tentang Hearst High dan bernyanyilah bersamaku!" Aku menyalakan radio mobil.
Now she's stronger than you know
A heart of steel starts to grow
"I love this song!" seru gadis itu ceria. Rona cerah kini terlihat di wajahnya.
"The Script? Superhero?" tanyaku.
"Yes, please! Jangan matikan lagu ini!" pintanya. "I love The Script so much!"
When you've been fighting for it all your life
You've been struggling to make things right
"That's how a superhero learns to fly!" Aku lanjut bernyanyi.
"Every day, every hour, turn the pain into power!" begitu pula dengan Nat.
******
Setelah berkendara selama sepuluh menit, kami tiba di lokasi tujuan. Rumah Mitchell bersaudara tepat berada di pinggir pantai Cedar Cove, tidak heran jika Caleb sangat menyukai pantai.
Nat menggenggam tanganku, kami masuk ke dalam rumah dan berkeliling bersama untuk mencari teman-teman kami.
Kami sampai di snack bar dan melihat Caleb, Jade dan Ezra.
"Hi, loverbirds!" sapa Ezra.
"Hai." Aku membalas sapaan pemuda di depanku.
"Jade, you're here!" ucap Nat senang.
Jade mengangguk. "Caleb menjemputku dan membawaku kabur dari pertemuan keluargaku! Oh my God! Kuharap Mom dan Dad tidak sadar kalau aku pergi." Gadis itu mengangkat bahu. "Well, if they do, I don't regret it. This party is so dope!"
"Of course!" Ezra tersenyum lebar sambil merangkul adiknya. "This dope party is made by us, the Mitchell brothers!"
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dan Nat. Kami menoleh ke belakang dan melihat Michael memicingkan matanya.
"There you are!" Pemuda itu kemudian menoleh ke arah ruang keluarga Mitchell bersaudara. "Kau harus melihat apa yang kedua sejoli sialan itu lakukan!"
Kami menoleh ke arah ruang keluarga, melihat Kara dan Max sedang mengobrol bersama beberapa murid Berry.
Kara melipat lengannya di dada. "Kalian akan menyesal jika tidak memilihku dan Max menjadi king dan prom queen!"
"Yeah. Kami bisa memberimu apa saja. T-shirt gratis? Kupon gratis makan di Golden Griddle?" Max menambahkan.
Julian mendengkus. "Nice try, Max. Tetapi aku akan tetap memberikan vote untuk Nat."
Wes menyeringai. "Makan di Golden Griddle gratis? Baiklah, aku akan memikirkannya."
"Seriously, Kara? Menyogok orang-orang untuk memilih kalian?" ucap Nat sarkas sambil menghampiri mereka.
Max mencibirnya. "Lalu, apakah kau bisa memberikan keuntungan bagi orang-orang yang memberimu vote?"
Nat mengerutkan dahinya. "Of course not! Kalaupun orang-orang memilihku, aku ingin mereka memilihku murni karena keinginan hatinya sendiri!"
"Blah-blah-blah." Kara mencibir Nat, ia dan Max pergi meninggalkan kami. "Gotta go. Masih banyak orang yang harus kami kunjungi."
"Dan diberikan sogokan!" Max tertawa sarkas.
Nat mengerutkan dahinya, ia terlihat kesal saat melihat Max dan Kara menghilang di tengah kerumunan. Gadis itu kembali menghampiri kami.
Michael tersenyum lemah. "Don't worry, Nat, aku aku akan tetap memilihmu."
"I'm so mad!" ucap Nat kesal. "Pada awalnya aku tidak peduli pada gelar itu. Tetapi melihat perilaku Kara dan Max yang sangat licik, aku jadi ingin memenangkan gelar itu dan berkata, 'eat that shit!'"
"Well, looks like someone's enjoy this too much," sindirku.
"Aku kesal!" cicit gadis itu.
Aku tertawa kecil, kemudian mengelus pucuk kepalanya. "Yeah, aku mengerti."
Nat menghembuskan napas berat. "Ngomong-ngomong, aku masih penasaran siapa yang memasang banner "Natasha for Prom Queen' di cafeteria."
Ezra tersenyum lebar dan menunjukan gigi-giginya. "Itu aku dan Myra!"
Nat membelalak. "What? But, why?"
"Sebagai king prom dua tahun yang lalu, aku berhak mengusulkan seseorang untuk dijadikan nominator." Ezra menjelaskan.
"What!? Kau king prom Berry High dua tahun yang lalu?" tanyaku.
"Yeah. Perolehan suaraku dan Julian hanya berbeda tipis."
Tiba-tiba, Nat menyikut lenganku dan berbisik, "Aiden, lihat!"
Aku memalingkan pandangan ke arah snack bar, di sana terdapat beberapa botol coke dan jus apel.
Jade dan Caleb berdiri di depan bar dan secara bersamaan mengambil botol coke. Tanpa sengaja tangan mereka saling bersentuhan. Jade dengan cepat menarik tangannya menjauh, begitu pula dengan Caleb. Pemuda itu mengusap belakang lehernya dengan canggung, kemudian menuangkan minuman untuk gadis pujaannya.
Nat menggenggam erat tanganku dan berbisik. "OMG! They're so cute! Sikap Caleb sama lucunya denganmu saat kita belum berkencan!"
"Benarkah? Aku se-awkward itu padamu?" Aku mengangkat salah satu alisku.
"Bahkan lebih dari Caleb." Nat tertawa kecil.
Aku tersenyum, kemudian merunduk untuk mencium pipinya.
Tiba-tiba Terrence dan Zoe menghampiri mereka berdua, kemudian mengambil botol coke dan dua gelas plastik.
Zoe melirik Jade dengan sinis dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Careful, girl. Ingatlah kesetiaan kalian hanya untuk Hearst. Kau tidak seharusnya berbaur dengan murid Berry!" desis Zoe.
"Well, you're not my Mom. I can do whatever I want, Leon!" ucap Jade ketus.
Terrence melirik ke arah Caleb, kemudian memalingkan pandangannya pada Zoe. "C'mon babe, kita pergi dari sini."
"Bye!" ucap Zoe ketus.
Kedua sejoli itu pergi meninggalkan Caleb dan Jade, kemudian menghilang di antara kerumunan.
"What an asshole!" ujar Michael.
"Seriously, I'm so mad!" Nat kembali menggerutu. "Bagaimana bisa mereka semua ada di sini?! Di mana attitude mereka?!"
"Ignore them and let's enjoy this party, please," ujar Caleb.
Jade dan Caleb kembali mengobrol dengan Ezra, sedangkan Michael kembali berbaur dengan Wes dan teman-temannya. Aku mengambil segelas coke dan berjalan menuju halaman belakang rumah Mitchell bersaudara bersama Nat.
Halaman belakang rumah Mitchell bersaudara sangat luas dan berhubungan langsung dengan pantai pribadi.
Di sisi pantai, kami melihat Mia sedang memanggang marshmallow bersama beberapa cheerleader, sedangkan Emma sedang melempar bola-bola kertas ke dalam api unggun. Kami menghampiri mereka.
"Hai!" Mia tersenyum lebar dan menawarkan sebungkus marshmallow pada kami. "Kalian mau?"
"Yay!" Nat bersorak. Ia duduk di sebelah Mia, menancapkan marshmallow di ujung tongkat kayu dan mulai membakarnya di depan api unggun.
Aku melirik ke arah Emma dan mengambil setumpuk lembaran kertas yang ada di sebelahnya, kemudian melihat-lihat isinya.
Aku tertawa kecil. "Kau membakar semua hasil ujianmu?"
"Hanya yang nilainya jelek saja." Gadis itu melemparkan bola kertas ke dalam api.
"Tapi, banyak sekali kertas yang kau bakar." Aku duduk di sebelahnya sambil mengerutkan dahi.
"Itu karena nilaiku jelek semua. Kuharap Mom tidak melihat hasilnya." Kemudian Emma tertawa."I'm kidding! Aku masih dapat nilai bagus untuk beberapa mata pelajaran utama, kok."
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku.
"Hai!"
Aku menoleh ke arah Cameron yang sedang mengambil posisi untuk duduk di sebelahku.
"Hai, Cam."
Saat Cameron duduk di sebelahku, Mia sudah menunjukan gestur dan ekspresi tidak suka.
Emma menyerahkan bola kertas yang dibuatnya pada Cameron. "Hai, Cam! Mau coba?"
"What are you guys doing?" tanya Cameron.
"Menghilangkan barang bukti," aku menyeletuk.
"Tidak hanya itu. Melihat kertas yang terbakar dilahap api akan membuatmu tenang!" ujar Emma.
Cameron tersenyum lebar. "Kelihatannya menarik."
Gadis itu mengambil bola kertas tersebut dan melemparkannya ke dalam api.
"Nice shot!" pujiku.
"Kau boleh ambil kertasku sebanyak yang kau mau!" ucap Emma.
"Thanks! Tapi aku bawa kertas sendiri." Cameron tersenyum ramah, gadis itu meraih tote bag-nya dan mengeluarkan beberapa copy lembaran musik, kemudian menoleh ke arahku. "Kau mau?"
Aku terkejut. "Ya ampun, kau benar-benar mau membakar semua kertas musik itu!?"
Cameron tertawa kecil, ia meremas lembaran tersebut menjadi bola. "Aku masih punya lembaran yang asli di rumahku, dummy! Ayo, cobalah!"
"No, thanks. Bukankah kita harus berhati-hati saat bermain api setelah apa yang terjadi dengan sekolahmu?"
Emma tertawa. "Jangan khawatir, Aiden. Kita punya banyak air di sana!" Gadis itu menunjuk ke arah pantai.
"Tidak usah--"
Belum selesai aku berbicara, Cameron meraih pergelangan tanganku dan meletakkan bola kertas di telapak tanganku. Gadis itu meraih tanganku dan menuntunku untuk membidik sasaran.
Senyum di wajah Emma pudar.
"Pejamkan salah satu matamu, tarik napas dalam-dalam dan lemparkan!" bisik gadis itu.
Cameron melepas cengkramannya, aku melakukan apa yang ia instruksikan. Bola kertas milikku terlempar ke dalam api. Lidah-lidah api perlahan melahapnya menjadi abu.
Cameron menepuk tangannya. "Nice three pointer, Aiden!"
"Not bad." Aku mengambil beberapa bola kertas milik Cameron dan melemparkannya kembali.
Cameron tertawa kecil. "Kurasa kau menikmatinya. Ini sama seperti melepas beban yang ada di kepalamu. Biarkan mereka terbakar oleh api dan menghilang!"
Aku menoleh ke arahnya. "Tapi, musik bukanlah beban bagiku!"
Emma masih terdiam, dengan cepat ia menoleh ke arah Nat yang sedang mengunyah marshmallow sambil menunduk dan melamun.
"Nat?" lirihnya. Gadis itu menekuk wajahnya.
Nat mengerjap, ia menoleh ke arah sahabatnya, masih terus mengunyah marshmallow. "Yeah?"
"Kau diam saja. Are you ..." gadis itu menjeda kalimatnya. "... Okay?"
"Yeah." Nat mengangguk canggung. "Totally fine."
"I think she's lying," desis Mia. Setelah melihat Nat, gadis itu menatap Cameron dengan tajam.
"Sorry, aku ada perlu dengan Maria," lirih Nat.
Tiba-tiba, Nat beranjak dan berjalan dengan cepat menuju ke dalam rumah, meninggalkan kami semua.
"Nat!" Aku berteriak memanggilnya.
Gadis itu mengabaikanku dan masih berjalan dengan cepat menuju ke dalam rumah. Pada akhirnya menghilang di tengah kerumunan.
"You moron, Aiden!" bentak Mia.
"What?!" Aku mengernyit.
"Nat duduk di sebelahku, memanggang marshmallow sambil menatap kosong ke arah api sejak tadi. Apakah kau tidak menyadarinya!?" ucap si kapten cheerleader.
"I have no words." Emma menggeleng perlahan. "Sebaiknya kau susul Nat!"
Aku melirik Emma dan Mia secara bergantian, kemudian memandang api unggun dengan tatapan kosong sambil menggigit bibir.
Suasana menjadi sedikit canggung setelah kepergian Nat. Pada akhirnya, aku beranjak dan memutuskan untuk menyusul pacarku.
Aku mencari ke dalam rumah dan bertanya pada semua orang, namun tidak ada yang berbicara dengan Nat. Sudah 20 menit aku mencari, namun gadis itu tidak kunjung kutemukan.
Pada akhirnya, aku kembali ke halaman belakang dan melakukan panggilan telepon. Sayangnya, panggilanku tidak terhubung karena ponsel miliknya kehabisan baterai.
Setelah sekian lama berkeliling, akhirnya aku menemukan Maria bersama dengan Myra dan Brian di halaman belakang. Mereka sedang duduk bersantai di kursi pantai, sedangkan Brian berdiri di hadapan Maria.
Aku berjalan menghampiri mereka, namun langkahku terhenti karena suasana di sana tampak sedang memanas.
Brian menopangkan tangannya di lengan kursi milik Maria dan menggodanya. "Hai cantik, sudah punya pacar?"
Maria tersenyum sinis. "Forget it, Brian. I'm not into a boy like you."
Brian menyeringai. "Itu tidak menjawab pertanyaanku." Kemudian pemuda itu beralih ke Myra. "Hai, Khandaar. Kau single, aku juga single. Kita punya banyak kesamaan di sini. Bagaimana kalau kau ikut aku untuk bersenang-senang di dalam?"
Myra terkejut. "Huh? Aku?"
"Yeah, you, sexy chick," jawan Brian.
Myra menunduk, melipat kedua tangannya di perut, badannya sedikit bergetar. Tidak lama kemudian, tawanya pecah. "Brian, seriously? I'm not interested."
Karena tidak tahan lagi dengan sexual harassment yang dilakukan Brian, aku melangkah dengan cepat dan berdiri di antara Brian dan Myra.
"You hear that, Crandall? Get lost!" desisku.
Brian mendorong bahuku. "Chill, Zhou. Kalau Myra ingin aku pergi, ia akan bilang dengan sen--"
Pemuda itu menoleh ke arah Myra, namun tidak sengaja bertemu dengan tatapan mematikan milik Maria, membuat nyalinya menciut.
Brian berdeham. "Baiklah. Myra, kalau kau tertarik, kau tahu di mana harus menemukanku." Kemudian ia berlari masuk ke dalam rumah.
Setelah Brian pergi, kami semua tertawa.
"Wow, thanks, Maria! Tatapan mematikanmu membuatnya pergi!" seru Myra.
"Whatever it takes untuk membuat si penjahat kelamin itu pergi darimu!" ucap Maria, masih terdengar nada jengkel dari perkataannya.
Aku beralih pada Maria. "Maria, kau tahu di mana Nat?"
Maria mengerutkan dahi. "Aku belum bertemu Nat seharian ini, Aiden."
"Tapi, tadi dia bilang mau menemuimu--"
Aku berhenti berbicara dan terdiam ketika menyadari bahwa Nat telah berbohong padaku. Suasana berubah menjadi hening dan canggung.
"Hey, is everything okay?" tanya Myra.
Aku mengangguk lemah. "Yeah, we're fine."
Aku kembali berkeliling di rumah Mitchell bersaudara untuk mencari Nat, mencari ke seluruh penjuru rumah, namun tidak kunjung menemukannya.
Mia benar, Nat berbohong. Ada sesuatu yang tidak beres dengan gadis itu.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
********
BONUS
"Apa salah dan dosaku sayang~" -Aiden
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro