Chapter 31 - Solo
Jumat siang, jam pelajaran telah usai. Aku dan Cameron merapikan alat tulis kami untuk bersiap pergi ke ruang musik.
Aku mengambilI ponsel dari dalam saku dan mengirimkan pesan untuk Nat. Cameron berdiri dari bangkunya dan menoleh ke arahku.
"Ayo! Aku tidak tahu di mana ruang musik berada," ujar gadis itu.
Aku menoleh ke arahnya. "Tunggu!" Kemudian kembali menatap layar ponselku. "Nat sedang menuju ke sini. Sebaiknya kita menunggunya."
"Baiklah kalau begitu." Cameron duduk kembali di bangkunya.
Aku memainkan ponselku sambil tersenyum, tiba-tiba, Cameron memecah keheningan.
"Um, Aiden."
"Ya?" Aku merespon tanpa mengalihkan pandangan dari ponselku.
"Instrumen apa yang Natasha mainkan di band?"
"Dia bermain saxophone."
"Benarkah?" Cameron meninggikan suaranya, membuatku menoleh ke arahnya.
Aku mengangkat salah satu alisku. "Iya, kenapa?"
Cameron tersenyum lebar. "Aku juga bermain saxophone di klub band Hearst High!"
"Whoa! Aku kira kau memainkan instrumen lain, seperti ..." Aku berpikir sejenak. "Seperti trombone?"
Cameron mengerutkan dahinya. "Memangnya kenapa?"
Aku memalingkan pandangan darinya, menatap kosong ke sisi lain ruang kelasku. "Tidak. Tidak apa-apa."
Bohong jika aku tidak mengkhawatirkan mereka berdua. Sebagai improvement, tahun ini klub band mengadakan solo saxophone di tengah-tengah permainan lagu yang akan kami mainkan. Namun kini, ada dua pemain saxophone di band.
"Bagaimana denganmu, Aiden?"
Aku menoleh ke arahnya. "Aku bermain trumpet."
"Oh, begitu." Tiba-tiba, Cameron melirik ke arah bibirku dan memperhatikannya dengan cukup lama.
Aku mengerutkan dahi. "Kenapa? Ada cabai di gigiku?"
"Nope." Cameron menggeleng. "Pernah dengar pepatah 'trumpet players are good kissers'?"
"What?" jawabku gugup. "Aku--"
"Hai, guys." Tiba-tiba Nat menyapa kami, ia sudah berada di belakang Cameron, membuat gadis itu terkejut dan dengan reflek menoleh ke arah Nat.
"Natasha, h-hai. Kudengar kau memainkan saxophone sama sepertiku?" Cameron tersenyum canggung.
Nat mengangkat kedua alisnya dan tersenyum lebar. "Begitukah? Akhirnya kita punya pemain saxophone lain selain aku di band!"
Aku beranjak. "Ayo, a-aku tidak ingin terlambat latihan!"
Cameron dan Nat saling bertatapan, kemudian berjalan mengikutiku menuju ruang musik.
Kami berjalan menelusuri koridor dan berjalan menuju ruang musik, keheningan yang panjang meliputi kami. Nat berjalan di sampingku, ia meraih tanganku dan menggenggamnya dengan erat.
Ia menoleh ke arahku."Is everything okay?"
"Yeah." Aku menoleh ke arahnya dan mengangguk canggung.
Nat merengut. "Kau bisa cerita padaku kalau kau mau."
Aku tersenyum hangat. "It's not a big deal. Don't worry."
Kami bertiga sampai di ruang musik. Nat mengambil saxophone miliknya dan duduk di sebelah Myra. Cameron menghampiri salah satu murid Hearst High yang tidak kuketahui namanya. Aku melihat Terrence duduk sendirian di bangkunya, ia sedang menyiapkan klarinetnya.
Aku berjalan menghampirinya, kemudian duduk di sampingnya.
"Kau Terrence, kan?" sapaku.
Ia melirik ke arahku. "Yeah, do I know you?"
"We're neighbor, actually. Aku tinggal beberapa blok dari rumahmu."
Terrence mengangkat kedua alisnya. "Ah, kau Arden Chou kan?"
"Aiden Zhou." Aku mengerutkan dahi.
"Oh, sorry." Ia kembali terfokus pada klarinetnya.
Aku memperhatikan Terrence yang sedang menyiapkan klarinetnya, ia tidak memperdulikan aku yang duduk di sampingnya.
Tiba-tiba, Ezra menepuk kedua tangannya, mengisyaratkan bahwa latihan band akan dimulai. Aku menghembuskan napas berat, kemudian aku berdiri untuk kembali ke bangkuku.
"Well, nice to meet you, Terrence," lirihku kecewa.
Aku duduk di samping Nat dan Myra.
Ezra berdeham, memulai pembicaraan. "Halo, teman-teman dari Hearst High! Selamat datang di klub band!" Ia tersenyum lebar. "FYI, di akhir quarter, kami akan mengadakan concert band. Lagu yang kami mainkan ditulis sendiri oleh composer kita, Aiden!"
Seluruh murid di ruang musik bertepuk tangan. Aku membawa trumpet-ku, kemudian maju ke depan ruangan dan berdiri di samping Ezra.
Aku menatap satu persatu anggota band di dalam ruangan, baik yang sudah kukenal ataupun belum. "Coba kalian simak lembaran musik masing-masing. Aku akan mencoba memainkannya, dimulai dari bar ke 15."
Aku memainkan trumpet-ku untuk mendemonstrasikan lagu yang akan kami mainkan. Setelah beberapa bar, aku berhenti dan membungkuk. Seluruh murid bertepuk tangan.
"That's terrific!" Nat tersenyum lebar sambil bertepuk tangan.
Terrence mengangkat tangannya, kemudian Ezra mengangguk dan mempersilahkannya untuk berbicara.
Pemuda itu menatapku tanpa ekspresi, kemudian memberikanku kritik. "Di bar ke 19, mungkin lebih baik ketukannya diubah menjadi 3/4, jangan 6/8. Lebih elegant dan lebih simple."
Wajahku berubah muram. "Baiklah, akan kupertimbangkan."
Suasana di ruang musik menjadi canggung. Ezra menepuk tangannya dan berusaha membuat kami kembali terfokus. "Tahun ini, kami juga memutuskan untuk menampilkan permainan saxophone solo di bar 120 hingga 165." Ia menoleh ke arah Nat. "Nat, maju ke depan!"
Nat mengambil saxophone-nya dan maju ke depan ruangan, kemudian berdiri di samping Ezra. Gadis itu terfokus ke arah kertas musik yang digenggamnya.
"Nat, kini giliranmu memainkan bar 120. Pst, Aiden menulis bagian itu sambil memikirkanmu!" ucap Ezra tiba-tiba.
Nat menoleh ke arahku. "That's amazing, Aiden. Terima kasih."
Aku membalas senyumannya dengan hangat, seluruh murid Berry High di dalam ruangan bertepuk tangan. Nat bersiap untuk memainkan saxophone-nya, namun tiba-tiba, Cameron mengangkat tangannya.
"Maaf, bukan bermaksud mengganggu. Apakah akan diadakan audisi untuk menentukan posisi solo? Karena aku disini juga memainkan saxophone." Cameron mengutarakan pendapatnya.
"Itu benar. Cameron adalah satu-satunya pemain saxophone di Hearst High. Ia pantas mendapatkan posisi solo!" Terrence menambahkan. Tiba-tiba, ia melirik Ezra dengan tatapan tajam. "Kecuali kalau kalian memang pilih kasih karena Nat berasal dari sekolah kalian." Kemudian ia melirik ke arahku dengan tajam. "Atau karena Nat adalah favoritmu!"
"Whoa whoa, kami tidak pilih kasih, dude!" Ezra meninggikan suaranya.
Nat mengerutkan dahi. "Tunggu, Aiden kan sengaja menulis bar ke 120 hingga 165 untukku musim dingin kemarin. Bukan salahku kalau aku yang dapat posisi solo-nya!"
Cameron meninggikan suaranya."Kau pikir aku ingin sekolahku terbakar? Aku hanya ingin mendapatkan kesempatan yang sama!"
Ezra menghembuskan napas berat, ia menoleh ke arahku. "Baiklah, Aiden, kau tidak keberatan kita mengadakan audisi lagi?"
Aku mengangkat bahu. "Tidak masalah."
"Baik, kalau begitu, Nat, cobalah memainkan bar 120 hingga 140. Cameron akan memainkan sisanya hingga bar ke 165." Ezra memberikan instruksi.
Nat dan Cameron memainkan saxophone sesuai bagian masing-masing. Harus kuakui, kedua prodigy saxophone itu sama hebatnya.
Setelah mereka selesai bermain, seluruh murid di dalam ruangan bertepuk tangan.
"See? Cameron lebih hebat dari Nat. Dia yang mendapatkan posisi solo, kan?" ucap Terrence ketus.
Ezra menoleh ke arah Terrence. "Nat dan Cameron mendapatkan kesempatan yang sama, mereka akan bermain bergantian--"
Dengan cepat aku memotong kalimat Ezra. "Hei, akan sulit kalau mereka bermain bergantian! Bagian ini kan harus dimainkan oleh satu orang."
Ezra mengangkat alisnya. "Oh yeah? Lalu siapa yang kau pilih? Nat atau Cameron?"
"Uh ..." Dengan gugup aku melirik Nat dan Cameron secara bergantian. Mereka berdua menatap mataku, keduanya mengharapkan jawaban yang sama dari mulutku.
"Kita akan begini sampai audisi saja, Aiden. Jangan khawatir." Ezra menepuk pundakku.
Aku menghembuskan napas berat dan kembali ke bangkuku, diikuti oleh Nat.
Hal yang kutakutkan akhirnya terjadi juga. Aku khawatir tidak bisa berlaku adil pada kedua pemain saxophone di dalam band. Nat adalah pacarku, dan aku memang sengaja menulis lagu ini untuknya. Sedangkan Cameron, aku sedikit merasa bersalah padanya jika tidak memberinya posisi solo, karena aku sudah mengajaknya bergabung di band saat hari pertamanya bersekolah di Berry High.
Siang ini, interaksi pacarku dan teman baruku menjadi canggung.
Setelah perdebatan yang panjang, band berlatih seperti biasa meskipun suasana menjadi sedikit canggung. Murid Hearst High mencoba untuk menyesuaikan diri dengan lagu yang akan kami mainkan saat concert band. Nat dan Cameron masih tidak saling bicara satu sama lain.
*****
Latihan band hari ini berakhir. Setelah aku selesai merapikan instrumen dan alat tulisku, Cameron menghampiriku dan duduk di sampingku.
"Aiden, kau tidak keberatan untuk membantuku memainkan bar ke 151? Aku masih sedikit kesulitan di bagian ini." Cameron memperlihatkan kertas musiknya padaku.
Aku tertawa kecil. "Hei, kau seharusnya meminta bantuan Nat! Aku ini pemain trumpet, bukan pemain saxophone."
"Oh, begitu ya." Cameron melirik ke arah Nat yang sedang mengobrol dengan Ezra di sisi lain ruang musik, kemudian menoleh kembali ke arahku dengan canggung. "Kupikir, kau bisa membantuku, karena kau sendiri yang menulis lagu ini."
"Ah, maaf, aku tidak menyadari sebelumnya. Kau pasti menjadi canggung dengan Nat karena perdebatan kita tadi." Aku menggigit bibirku, kemudian menunduk. "Kalian sama hebatnya. Nat pacarku, dan kau adalah salah satu temanku juga. Aku tidak ingin hubungan kalian menjadi canggung."
Cameron tersenyum tipis dan menunduk. "Aku harap juga begitu."
"Jangan terlalu diambil pusing, kau masih punya banyak waktu untuk berlatih sebelum audisi."
"Baiklah, aku akan berusaha keras." Cameron tersenyum hangat. "Thanks, Aiden, you're so kind!"
"Itu bukan masalah."
Gadis itu mengambil ponsel dari tote bag-nya. "Kurasa kita harus bertukar nomor telepon. Mungkin suatu saat aku perlu menghubungimu." Ia menyerahkan iPhone miliknya padaku dan tersenyum. "Untuk urusan band?"
Tanpa berpikir panjang, mengambil ponselnya, kemudian menyimpan nomorku.
"Thank you." Gadis itu meletakkan kembali iPhone miliknya ke tas.
Nat berjalan menghampiri kami, ia berhenti di depanku dan Cameron. Gadis itu tersenyum dan menoleh ke arah kami secara bergantian. "Kalian sedang membicarakan apa?"
Dengan cepat Cameron mengambil tas dan menggendong softcase saxophone-nya, kemudian berdiri dan tersenyum canggung pada kami. "Aku harus pergi." Ia menoleh ke arahku. "Bye, Aiden."
Aku dan Nat menatap punggung Cameron yang pergi menjauh dari kami. Ia berjalan melewati pintu ruang musik dan menghilang di koridor sekolah.
Nat duduk di sebelahku, dapat kulihat rona keruh di wajahnya. Aku merangkul dan mengelus punggungnya dengan lembut.
"Apakah Cameron membenciku?" lirih gadis itu.
Aku menoleh ke arahnya. "No, of course not! Mengapa juga ia harus membencimu?"
Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. "Mungkin karena ia kesal dengan masalah solo saxophone tadi?"
Aku mempererat rangkulanku dan meremas lengannya dengan lembut. "She won't do that, believe me."
Nat menegakkan tubuhnya, ia menatap mataku dalam-dalam.
"Apakah aku egois jika aku menginginkan posisi solo? Maksudku, pacarku sengaja menulis bagian itu untukku, dan aku tidak mau orang lain yang memainkannya." Kemudian gadis itu menghembuskan napas berat. "Tetapi, aku tidak ingin membebanimu. Aku akan tetap ikut audisi."
Aku menekuk wajahku. "Nat ..." Kemudian menunduk. "Maaf, aku tidak membelamu tadi."
"Tidak apa-apa, aku mengerti kalau kau hanya berusaha bersikap netral." Nat tersenyum, "Semoga yang terbaik yang mendapatkan posisi solo."
Aku mencondongkan tubuhku ke arahnya dan berbisik di telinganya. "No, aku ingin kau yang mendapatkan posisi solo."
Nat tertawa kecil. "Ya ampun, kau pilih kasih!"
Aku mengerutkan dahi. "Tentu saja, aku kan menulis lagu itu untukmu!"
"Kalau begitu, aku benar-benar harus berlatih keras agar bisa mengalahkan Cameron!"
Aku mengelus rambutnya. "That's my girl."
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
BONUS
Our clarinet player: TERRENCE
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro