Chapter 20 - Disaster
Sampai lah aku di ruang kepala sekolah. Dengan keberanian ekstra, aku mengetuk pintu.
"Masuk."
Aku membuka pintu ruang kepala sekolah dan masuk perlahan ke dalam ruangan. Kulihat Principal Isa sedang sibuk dengan komputernya. Beliau melirik ke arahku dan mempersilahkanku untuk duduk di depannya.
"Duduklah."
Aku mengangguk, kemudian duduk di depannya. Setetes keringat mengalir di pelipisku saat beliau menatapku dengan tajam.
"Mr. Zhou, anda sudah tahu kan, alasan mengapa anda dipanggil ke sini?"
Aku terdiam dan menunduk, tidak menjawab pertanyaannya.
Beliau melanjutkan perkataannya. "Anda ketua pelaksana festival hari ini, namun anda tidak bisa menjaga keselamatan pengunjung yang mencoba salah satu booth yang anda kelola."
"It was an accident, Ma'am," lirihku.
"Yes, tapi Luis tetap terluka, kan? Baru saja kedua orang tua pemuda itu menelepon dan meminta pertanggung jawaban dari pihak sekolah," ucap Principal Isa.
Aku masih menunduk sambil memainkan kuku-kuku jariku, tidak tahu harus berkata apa.
Beliau menghela napas. "Mr. Zhou, anda diskors selama dua minggu."
Aku tercengang dan mendongak ke arah Principal Isa.
"Ma'am, itu kecela--" Aku sangat putus asa dan berbicara seadanya.
Beliau memotong perkataanku. "Saya tahu. Tetapi apakah Anda tahu, sekolah harus menanggung biaya pengobatan Luis Marino. Sekolah akan mengambil dananya dari hasil festival hari ini."
Aku terdiam dan kembali menunduk, semoga hal ini tidak bisa lebih buruk lagi.
"Saya juga tahu anda mencuri spirit stick milik klub cheerleader Hearst High musim gugur lalu." Beliau menjeda perkataannya. "Dalam satu quarter, sudah beberapa murid berbuat onar dan murid-murid tersebut berasal dari satu lingkaran pertemanan yang sama."
Principal Isa melirik layar komputernya dan kembali berbicara. "Natasha Winchester, Maria Flores, dan Michael Harrison mengacaukan Tiger News di awal tahun ajaran. Anda, Mr. Zhou, mengacau saat winter festival. Kalian berempat juga ikut mencuri dari Hearst High. Saya tidak terkejut kalau kalian berempat akan kembali mengacau di lain hari. Seharusnya dari awal saya menindak tegas kalian semua!"
Kami berdua terdiam selama beberapa saat, lalu Principal Isa memecah keheningan. "Saya akan menghubungi orang tua anda dan memberitahukan kejadian hari ini. Anda tahu kan, kalau saya dan Mrs. Zhou sama-sama seorang guru? Kami saling mengenal dengan baik."
Aku merasakan jantungku seakan berhenti berdetak. Hukuman skorsing dua minggu sudah cukup buruk. Namun, Principal Isa kenal akrab dengan Mom? Rasanya aku ingin meledak.
"Festival ini saya hentikan. Anda boleh meninggalkan ruangan dan kembali ke sekolah 14 hari lagi."
Aku mengangguk lemah. "Yes, Ma'am."
Dengan lesu aku keluar dari ruangan kepala sekolah, kemudian mengambil ponselku dari saku celana.
Aku mengetuk layar ponselku dan berusaha untuk menghubungi Nat. Beberapa kali aku melakukan panggilan, gadis itu tak kunjung menjawab.
Aku menghela napas berat, memasukan kembali ponsel milikku ke dalam saku dan berjalan menuju lapangan parkir untuk pulang ke rumah.
Kuharap Nat baik-baik saja.
******
Sesampainya di rumah, aku membuka pintu rumah sambil membawa sekantung snack dan beberapa bungkus ramen. Kalau-kalau saja hariku bertambah buruk, setidaknya aku bisa makan enak.
Aku melihat Mom dan Dad duduk di ruang keluarga, menatapku dengan tajam.
"Aiden, duduk!" Ayahku menyuruhku duduk.
Aku duduk di sofa depan mereka. Mom terlihat marah namun juga khawatir.
"Mom mendapat telepon dari Ms. Isa. Bagaimana bisa kau mengadakan sebuah acara dan tidak bisa bertanggung jawab atas keselamatan siswa yang berpartisipasi? Seorang anak terluka, Aiden, dan ini semua berawal dari idemu! Bagaimana Mom harus menjelaskan semuanya pada orang tua Luis?"
Aku menoleh ke arah Mom dan hendak berbicara, namun beliau melanjutkan perkataannya. "Kau juga mencuri dari Hearst High? Bersama Natasha?!"
"Mom, Nat tidak ada hubungannya dengan--"
"Tentu saja kau membelanya, kau menyukainya!" Kini giliran Dad yang menaikan nada bicaranya. "Jangan bilang, selama ini kau izin untuk latihan band hingga larut malam, tetapi kenyataannya kau malah keluyuran bersama Natasha dan teman-temanmu yang bandel itu?!"
Aku mengepalkan tanganku dan merasa sangat emosional. "Aku tidak pernah berbohong masalah itu, Mom, Dad! Aku latihan band hingga larut malam karena memang begitu adanya. Apa yang terjadi di Hearst High, itu karena mereka sendiri yang duluan mencoret-coret patung maskot Berry High--"
"Jadi, semua itu membenarkan perbuatanmu, Aiden?" Dad kembali memotong pembicaraanku. Aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Gadis itu membawa pengaruh buruk padamu," ujar Mom. "Apakah kau tidak sadar?"
Aku mulai naik pitam. "I told you, Mom! Nat tidak ada hubungannya dengan--"
"Aiden, kau tidak boleh keluar rumah selama dua minggu!" bentak Dad.
"Tapi, Dad--"
"Dad akan menyita ponsel dan alat musikmu. Kau juga harus keluar dari band!"
"Honey, itu berlebihan!" Mom menggenggam bahu suaminya.
"Akan lebih baik kalau Aiden kursus alat musik instrumen saja daripada mengikuti klub band di sekolah. Dad akan mengambil gitar dan biolamu. Kau hanya diperbolehkan bermain piano dua jam dalam sehari," ujar pemuda paruh baya di depanku.
Aku menunduk, berusaha menahan air mata agar tidak menetes. Dad berjalan ke arahku dan mengulurkan tangannya, membuatku mendongak ke arahnya.
"Ponselmu?"
Aku mengambil ponselku dari dalam saku, mematikannya dan memberikannya pada Dad.
Lelaki paruh baya itu menarik napas panjang. "Kembalilah ke kamarmu!"
"I hate you two!" bentaku, suaraku bergetar.
Aku berdiri dan berjalan cepat menuju kamarku, menaiki tangga, membuka pintu kamar dan membantingnya.
Aku melempar tasku ke ujung ruangan dan merebahkan tubuhku di atas ranjang. Degup jantungku menjadi tidak beraturan, napasku memendek.
Aku meninggalkan Nat sendirian di tengah salju, melihatnya menangis membuat hatiku teriris. Kini aku juga tidak bisa menemuinya, rencanaku untuk meresmikan hubungan kami hancur berantakan. Aku juga harus keluar dari klub band dan tidak bisa berpartisipasi lagi dalam spring concert maupun pertandingan olah raga antar sekolah. Hal yang lebih buruk lagi, aku juga hanya diperbolehkan memainkan piano dua jam dalam sehari saja.
Sedih, kecewa, marah bercampur menjadi satu. Rasanya percuma saja menghabiskan waktu di kamar untuk menulis lagu, tetapi tidak bisa mencoba untuk memainkannya langsung.
Aku bangun dan meraih laptopku. Siapa bilang aku tidak bisa menghubungi Nat.
Ketika menyalakan aplikasi chatting, kedua alisku bertaut. Aku mengetik password berkali-kali, namun nihil. Setelah beberapa saat mencoba untuk log in, aku baru menyadari kalau wifi dan laptopku tidak tersambung.
Great! Ayahku juga mematikan wifi.
Aku menutup laptopku dan menghembuskan napas berat, kemudian memejamkan mata dan merebahkan tubuhku di atas ranjang.
Kuharap dua minggu masa hukumanku segera berlalu.
******
Hari ketiga masa hukuman, aku sedang menonton The Walking Dead sambil mengunyah potato chips.
Di siang yang cukup dingin ini, aku mendengar suara deru mobil dan bel pintu rumah berbunyi, namun aku mengabaikannya dan kembali fokus menonton. Tak lama kemudian, terdengar suara kedua orang tuaku meninggi, diikuti suara seseorang yang sangat familier.
Alisku bertaut. Aku menutup laptopku dan keluar dari kamarku.
Ketika menuruni tangga menuju lantai satu, aku membelalak ketika melihat kedua orang tuaku sedang menatap tajam seorang gadis. Tidak ada keramahan di raut wajah mereka.
"Principal Isa memberikan hukuman skorsing untuk Aiden?" Tanya Natasha Winchester pada ibuku.
"Yes, selama dua minggu. Kami juga mengurungnya di rumah, kau tidak seharusnya menemui Aiden, Nat," jawab Mom dingin.
"Aiden juga keluar dari klub band sekolah." Dad menambahkan.
"That's too far. Band adalah segalanya bagi Aiden." Nat menekuk wajahnya.
"Too far?!" Bentak Dad, membuat Nat terkejut. "Kalian bertemu di klub band, kan? Aiden mencuri dari Hearst High bersamamu dan teman-temanmu! Aiden juga menghabiskan waktu semalaman untuk bermain dengan kalian. Kalian membawa pengaruh buruk untuknya!"
Nat menggigit bibir. "Pardon, Mr. Zhou, Aiden tidak pernah keluyuran malam hari kecuali ia berlatih band. Principal Isa juga melakukan semua ini sebagai contoh untuk murid lain. Aiden berada di tempat dan waktu yang salah--"
"Jadi menurutmu, Principal Isa mengkambing hitamkan anak kami?" tanya Dad, diikuti oleh anggukan dari Nat.
"We don't believe you," desis Mom.
Aku tidak tahan lagi dan berjalan menuju ke arah mereka bertiga.
"Enough!" bentakku.
Nat terkejut, ia menoleh ke arahku. Kedua netranya mengisyaratkan kekhawatiran sekaligus kelegaan karena berhasil melihatku lagi hari ini.
"Aiden! Masuk ke kamarmu!" titah Dad.
"Are you two serious?! Menyalahkan Nat atas sesuatu yang tidak ia perbuat?!" Aku semakin naik pitam.
Dad menunjuk Nat tepat di depan wajahnya. "Gadis ini membawa pengaruh buruk untukmu!"
"Aku menyelinap ke Hearst High karena keinginanku sendiri, okay? Bukan Nat yang mengajakku!"
Mom berkacak pinggang. "Semua itu tidak akan terjadi jika kau tidak mengenal gadis ini dan seluruh teman-temanmu, kan?!"
Aku tertawa meremehkan. "Kalian hanya marah karena putra kesayangan kalian diberi hukuman skorsing dan mencari orang lain untuk disalahkan, kan?!"
"Aiden, enough!" sanggah Nat.
"Apakah aku harus diam saja ketika mereka menyalahkanmu seperti ini?!" ucapku dengan nada tinggi.
"Kembali ke kamarmu!" titah Mom dingin.
"Kalian mengurungku selama dua minggu, mengambil ponsel dan alat musikku, menyuruhku keluar dari band sekolah dan sekarang aku tidak boleh berbicara dengan Nat?!" bentakku lagi.
"I'll go," lirih Nat, gadis itu menoleh ke arah kedua orang tuaku. "Aku akan pergi dan tidak akan kembali lagi, tapi biarkan Aiden tetap berlatih band. Please, listen to him, I beg you."
Gadis itu membalikan tubuhnya menuju pintu rumah, dengan cepat aku meraih tangannya.
"Aku tidak bilang kau boleh pergi!" ucapku.
Nat melirik ke arahku, kedua netranya memburam karena air mata. "Jangan buat semua ini semakin sulit. It's okay, I'll go."
Aku tidak peduli jika semua ini menjadi sulit karena ulahku. Ketika Nat disalahkan seperti itu, tentu saja aku marah, sangat marah.
Mom memijat pelipisnya. "Baiklah. Aiden, kau antar gadis itu sampai ke mobilnya."
"Tiga menit!" ucap Dad penuh dengan penekanan.
"Kuharap kami tidak melihatmu lagi di sini, Nat," desis Mom.
Aku mengigit bibir, lalu bergegas mengantar Nat untuk pulang. Gadis itu berjalan di depanku, hal yang dapat kulihat hanyalah punggung dan surai pirang panjangnya yang mulai dipenuhi oleh salju ketika kami berjalan keluar rumah.
Ketika sampai di depan mobilnya, ia menoleh ke arahku. Tidak ada lagi senyuman di wajahnya.
"Seharusnya aku tidak datang ke sini," lirihnya. "I'm worried about you."
Aku menoleh ke arah jendela rumahku, tidak ada tanda-tanda kedua orang tuaku di sana. Ketika dirasa aman, aku menarik tubuh gadis itu mendekat ke arahku, kemudian memeluknya dengan erat.
"I miss you," bisikku.
Gadis itu bersandar di bahuku, ia melingkarkan kedua tangannya di tubuhku. Kami terdiam selama beberapa saat, tidak peduli salju yang sedang turun dan temperatur yang semakin menurun.
"See you at school, okay?" Gadis itu melepas pelukanku. "Aku tidak ingin membuat orang tuamu semakin membenciku."
"Tidak akan kubiarkan itu terjadi!" tegasku. "Aku akan mengembalikan reputasimu di depan orang tuaku!"
"Kuharap aku juga bisa melakukan sesuatu untukmu," lirih gadis itu.
"So do me a favor," pintaku.
"What's that?"
"Berjanjilah padaku, jangan pernah membelaku di depan Principal Isa."
"What? but, why?"
"Aku melakukan ini demi kebaikanmu. Wanita itu sangat suka mencari kambing hitam. Sekali saja ia melihatmu membelaku, kau akan terseret dan akan terkena masalah juga," jawabku.
Nat terlihat ragu, namun perlahan mengangguk.
"I'm sorry, aku menyesal sudah membuatmu menangis waktu itu," lirihku lagi.
Nat mengangguk kembali sebagai jawaban, gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
"Firasatku benar, ada sesuatu yang salah dengan Principal Isa. Aku akan mencari tahu dan akan menegakkan keadilan untukmu," ujar gadis itu.
"Kuharap kau tidak berbuat nekat dan membuat dirimu diskors sepertiku," ucapku.
Nat tersenyum, ia mengangguk. "Aku akan hati-hati."
Gadis itu membuka pintu mobilnya dan hendak masuk ke dalam mobil, namun aku menahannya dan kembali menariknya ke dalam pelukanku.
"Kau akan melihatku lagi kurang dari dua minggu. Jangan pikirkan aku, aku baik-baik saja."
Nat mengangguk. "I know. Bye, for now."
Setelah pelukan terakhir kami, akhirnya aku melepasnya dengan berat hati. Gadis itu mulai mengendarai mobilnya menjauh dariku hingga menghilang di tengah salju. Hal yang dapat kulakukan adalah menatap sendu kepergiannya.
Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙
******
BONUS
*Pulang dari minimarket*
*Pulang-pulang langsung jadi tahanan rumah 2 minggu. Mending tidur😢*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro