Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 2 - The Party

Kamis sore tidak ada latihan band sepulang sekolah, sehingga aku bisa pulang lebih cepat dan memiliki waktu luang lebih banyak. Di sinilah aku, berada di dalam kamar, berbaring di atas ranjang yang empuk sambil bermain ponsel. Ketika asyik menggulir Twitter, ponselku bergetar. Nama 'Ezra Mitchell' tertera di sana. Aku menekan tombol berwarna hijau, mengangkat teleponnya. "Yeah?"

"Aiden, kau datang ke party Brian malam ini, 'kan?"

"Sorry?" tanyaku.

"Party!" Ezra menghela napas kasar. "Party-nya Brian!"

"Brian ... Crandall? Siswa tahun kedua? Quarterback tim football kita?"

"Yep."

Aku mengernyit. "Dia tidak mengundangku. Aku bahkan tidak kenal dengannya!"

Ezra tertawa. "Nope, dia mengundangmu. Adikku bilang semua temanku di klub band boleh datang!"

Aku memutar bola mata. "Party? Tempat di mana murid-murid populer berkumpul dan suara musik yang nyaris memecahkan gendang telinga? Tidak, terima kasih."

"Ayolah, sekali-kali kau harus mengisi baterai sosialmu dan berinteraksi dengan banyak orang! Ini party-nya Brian Crandall! Kau tahu seberapa kaya orang tuanya dan sebesar apa rumahnya? Pasti akan sangat menyenangkan!" oceh Ezra.

"I'm an introvert, okay? Menyendiri adalah caraku mengisi energi," jawabku.

"Tapi semua orang di klub band datang, bahkan Myra!" Ezra bersikeras.

Aku terdiam selama beberapa saat, kemudian menghela napas dan menjawab, "Baiklah."

"Oke, aku dan Myra akan jemput kau jam tujuh malam," ucap Ezra sebelum menutup telepon.

Aku menghela napas berat, kemudian meletakkan ponsel di atas ranjang dan menatap kosong langit-langit kamar. Well, aku tidak pernah bilang bahwa aku benci datang ke sebuah pesta, sejujurnya aku hanya bingung akan melakukan apa di sana. Namun, Ezra benar, sesekali aku harus berinteraksi dengan banyak orang, 'kan?

Tepat pukul tujuh malam, mereka berdua menjemputku. Aku membuka pintu mobil Ezra dan duduk di bangku penumpang belakang yang rupanya kosong. Myra duduk di bangku penumpang depan, tepat di sebelah Ezra yang malam ini bertugas sebagai pengemudi.

"Kau tidak mengajak adikmu? Bukankah Caleb berteman akrab dengan Brian?" tanyaku pada Ezra.

"Caleb sudah berangkat lebih dulu." Ezra mulai menginjak pedal gas dan memutar kemudi. "Bersama Zoe."

Myra mengernyit. "Mereka masih berkencan?"

Ezra mencebik, mengangkat kedua bahunya. "Caleb tampaknya sudah cinta mati pada gadis itu."

Myra tersenyum miris. "Setelah apa yang Zoe lakukan padanya? Mengekangnya? Melarangnya bergaul dengan murid-murid yang menurutnya payah? Menuntutnya untuk selalu ada?"

"Everyone is stupid when they're in love," jawab Ezra santai.

Aku menyimak percakapan mereka dari bangku belakang. Sejujurnya, aku tidak terlalu mengenal Caleb, meskipun ia beberapa kali datang ke ruang musik untuk mendatangi sang kakak, atau mengobrol bersama Myra–tentu saja, karena mereka teman sekelas. Aku juga tidak mengenal Zoe, gadis itu bahkan tidak satu sekolah dengan kami, tetapi wajahnya sering terlihat di story Instagram milik Caleb. Semua orang mengatakan mereka adalah 'couple goals'. Maksudku, seorang pemandu sorak berkencan dengan pemain football, sudah jelas mereka serasi. Namun, mendengar bahwa Zoe adalah gadis posesif dan toxic, kurasa yang disebut standar 'couple goals' hanyalah sebuah citra di dunia maya.

Itulah sebabnya aku malas mencari pacar.

*****

Sesampainya di kediaman Brian Crandall yang sangat luas, bahkan cukup untuk menampung setengah murid Berry High, kami bertiga berjalan menuju pintu depan. Dari luar, aku sudah bisa mendengar electric music yang cukup kencang. Di depan pintu, berdirilah seorang pemuda atletis berambut merah dengan sedikit freckles sedang mengecek siapa saja yang datang. Di sampingnya, berdiri pula seorang pemuda tampan berkulit eksotis yang sedikit mirip dengan Ezra. Hanya saja, pemuda itu tidak memotong rambutnya dengan model cepak, sehingga rambut keritingnya masih terbentuk.

Ezra berjalan di depan, aku dan Myra mengekorinya. Ezra berhadapan dengan si pemuda berambut merah, saling melempar senyum yang lebih terlihat seperti formalitas.

"Caleb, your brother's here," ucapnya pada pemuda berkulit eksotis di sampingnya. Kemudian, pemuda berambut merah itu kembali pada Ezra. "Masuklah, dan nikmati pestanya!"

"Thanks, Brian." Ezra tersenyum.

Setelah Ezra masuk, kedua netra Brian memindai aku dan Myra dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia bersedekap, wajahnya sangat tidak bersahabat.

Caleb mencondongkan tubuh, berbisik di telinga sahabat rambut merahnya. "Brian, Myra teman kita di kelas Biologi dan Kalkulus, apa kau lupa?" ucap Caleb pelan, tetapi aku masih bisa mendengarnya di antara musik yang kencang. "Dan pemuda ini Aiden, teman Ezra di klub band."

Setelahnya, wajah Brian berubah cerah. "Ah, kalian datang bersama Ezra? Mengapa tidak bilang? Masuklah dan nikmati pestanya!" serunya sambil tersenyum, meskipun terlihat dipaksakan.

"Yeah, dan terima kasih sudah datang!" ucap Caleb antusias. Berbeda dengan Brian, senyum yang pemuda itu berikan cukup hangat. Aku langsung tahu itu adalah senyuman yang tulus.

Setelah mendapat izin, aku dan Myra melakukan langkah seribu untuk masuk, menyusul Ezra yang sudah berbaur dengan murid-murid yang sedang berdansa.

"He's the worst!" bisik Myra, "Brian melihat kita dengan tatapan semacam 'gembel sepertimu seharusnya tidak datang ke pestaku!'"

Aku mengangguk setuju. "Yeah, dan mengapa kita harus repot-repot datang?"

"Ezra memaksaku datang, dan aku tidak tahu Brian akan menatapku seperti itu," bisik Myra lagi.

"Kau sudah dengar rumornya, 'kan? Brian is a jerk. Semua orang tahu itu," balasku.

"Aiden! Myra! Berdansalah bersama kami!" Teriakan Ezra di kejauhan mengalihkan atensi kami. Pemuda itu sedang berdansa bersama empat anggota band lainnya.

"Well, kau mau berdansa?" tanya Myra padaku.

Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih. Aku ingin minum cola saja," Kemudian aku berbalik badan dan melangkah pergi dari sana. Myra mengedikkan bahu cuek, lalu bergabung bersama Ezra dan anggota band yang lain.

Kini aku sendirian, berjalan di antara murid-murid yang berdansa dan berteriak seperti kesetanan. Yah, setidaknya begitulah mereka di mataku. Ditambah lagi musik yang nyaris memecah gendang telinga. Aku tidak mengerti, mengapa mereka lebih suka mendengarkan musik seperti ini dibandingkan musik klasik, seperti Mozart?

Tanpa sengaja, seorang gadis yang sedang berdansa menabrakku. "Ups," ucapnya.

"Oh, sorry!" ucapku cepat.

"Tidak, ini salahku." Gadis itu mendongak, pandangan kami bertemu, kemudian ia menyunggingkan senyum ketika melihatku. "Oh, hai, Aiden!"

Aku tertegun sebentar, kemudian balas tersenyum. Malam ini, aku bertemu dengan gadis pirang bernama Natasha Winchester itu lagi.

"Aku tidak tahu kau tipe yang senang datang ke pesta," ucapnya.

Aku mengusap tengkuk leher yang tidak gatal. "Sebenarnya Ezra dan adiknya yang mengundangku, dan aku dipaksa untuk datang. Bagaimana denganmu?"

Nat mencebik, mengangkat kedua bahunya. "Brian mengundangku secara langsung. Kurasa ... tidak ada salahnya untuk datang."

"Yeah. Tidak ada yang salah, kecuali ketika Brian memelototiku di pintu masuk. Untung saja ada Caleb di sana." Suara lain membuatku menoleh, dan itu bukan milik Nat, melainkan milik si gadis berambut pirang yang tidak stylish. Astaga, aku bahkan baru menyadari di sini ada orang lain selain kami berdua!

"Emma, ini Aiden, pemain trompet di klub band. Dan Aiden, ini sahabatku, Emma." Nat memperkenalkan kami berdua.

Emma mengulurkan tangannya dengan canggung. "Hai. Aku Emma. Emma Hawkins."

Aku tersenyum, kemudian bersalaman dengan Emma. Sekali melihatnya saja aku sudah yakin bahwa Emma mirip denganku. Ia terlihat kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa di rumah sebesar ini.

"Ah, apa kalian tahu di mana letak snack bar? Apa Brian punya cola? Aku haus sekali," tanyaku.

"Yeah, aku bahkan sempat melihat fruit punch juga," jawab Emma.

"Fruit punch sepertinya segar. Mau pergi ke snack bar?" tanya Nat pada sahabatnya.

"Aku akan mengambilkan minuman untuk kalian. Bagaimana jika kalian pergi ke halaman belakang dan mencari tempat yang kosong untuk duduk?" respons Emma.

"Yeah, itu ide yang cukup bagus. Sebagai seorang introver, aku butuh lokasi yang hening untuk mengisi energi," jawabku.

"Aku ikut denganmu." Nat berinisiatif.

Emma menggeleng sambil tersenyum. "Tidak perlu. Sebaiknya kalian segera mencari tempat yang kosong sebelum ditempati orang lain."

Nat baru akan menjawab, tetapi Emma sudah berbalik badan dan membelah kerumunan manusia. Aku dan Nat saling pandang, rasanya tidak ada pilihan lain selain mengikuti apa kata Emma.

Kami berjalan menuju lokasi yang lebih lengang. Halaman belakang rumah Brian sangat luas. Di sana terdapat kolam renang serta beberapa kursi malas dan meja untuk bersantai. Dewi Fortuna sedang berbaik hati, akhirnya kami menemukan tiga kursi yang kosong, tepat di depan kolam renang.

Setelah duduk, kami tidak saling bicara. Aku menyibakkan rambutku ke belakang, atensiku tertuju ke arah kolam renang. Brian sedang melakukan canonball, diikuti oleh sorakan murid-murid yang tidak kukenal. Untung saja aku duduk agak jauh dari mereka, jadi tidak perlu khawatir akan basah kuyup akibat cipratan air.

Jujur saja, aku menyukai suara cipratan air dan suara angin yang berembus. Mungkin begitulah yang terdengar di telinga orang lain, tetapi tidak denganku. Suara-suara itu adalah musik bagiku.

"Bagaimana menurutmu?" Nat memecah keheningan, membuatku otomatis menoleh.

"Apanya?"

"Pestanya."

"Lame," jawabku, "Sejujurnya, aku tidak terlalu suka keramaian. Teriakan, nyanyian, bahkan suara bisikan saja lumayan menggangguku. Aku lebih suka berdiam diri di rumah dan menulis lagu. Namun, kurasa sesekali aku perlu berinteraksi dengan banyak orang."

"I see." Nat mengangguk. "Kau persis seperti Emma, ia kebingungan ketika aku mengajaknya ke rumah ini." Kemudian ia mengembuskan napas berat. "Awalnya, Brian melarangku untuk mengajak Emma. Um ... menurutnya Emma adalah seorang kutu buku yang tidak selevel dengannya."

Aku mengangguk dan melipat kedua tanganku di dada. "Ternyata rumor tentang Brian itu benar, ya?"

"He's the worst." Nat mengangguk lagi. "Brian membuat Emma menangis Senin lalu. The fact is, Emma teman pertamaku di Berry High. Aku tidak terima Brian menyakiti Emma seperti itu!"

"What happened?"

"He said Emma is a nerd and not qualified as popular girl. Pemuda itu bahkan mengatakannya tepat di wajah Emma. Screw about reputation! Memangnya aku akan peduli? Memangnya popularitas itu penting? Aku menerima Emma apa adanya!" Nat terlihat berapi-api.

Aku tersenyum hangat. "Emma pasti beruntung mempunyai sahabat sepertimu."

Nat menoleh, membalas senyumanku. "Atau sebenarnya aku yang beruntung mempunyai sahabat sebaik dia? Faktanya, Emma-lah yang pertama kali mengajakku berkenalan di hari pertama bersekolah."

Aku menarik sudut bibirku. Ya, aku tahu itu. "I think you two made for each other," ucapku.

Setelahnya, keheningan kembali meliputi kami. Kami tidak saling bicara selama beberapa saat. Fokus kami tertuju pada Brian dan teman-temannya yang melakukan canonball di kolam renang.

"Jadi, ini party pertamamu sejak pindah ke Berry High?" Aku memecah keheningan.

"Yup."

"Kau cepat sekali mendapatkan teman dan menyesuaikan diri dengan lingkungan." Aku memujinya.

Nat menggeleng, "Tidak juga. Aku hanya kenal teman sekelasku dan anggota band."

Tiba-tiba, cipratan air mengenaiku dan Nat. Seseorang di dalam kolam renang berteriak pada kami. "Sorry, you two!"

Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang pemuda yang rambut cokelatnya sudah basah, dada bidangnya tidak dilapisi sehelai benang pun. Tentu saja, ia berada di tengah kolam renang. Namun, entah mengapa firasatku buruk. Dibandingkan ketika melihat Brian, aku ... lebih tidak menyukai pemuda yang baru saja menciprati air pada kami.

Pemuda itu adalah murid tingkat dua yang sering kulihat di belakang sekolah. Setelah jam pelajaran berakhir, ia selalu bermain skateboard dengan sekumpulan murid pembangkang, beberapa dari mereka selalu berpakaian serba hitam dan mengecat rambutnya. Wajahnya cukup tampan, rambutnya berwarna coklat terang. Anehnya, dengan wajah setampan itu, ia bukan termasuk anak yang populer di sekolah. Kurasa cukup banyak anak perempuan yang suka padanya, tetapi entah kenapa, pemuda itu seakan menyembunyikan dirinya dari dunia luar.

Nat mendekat ke arahku dan berbisik, "Itu Michael Harrison. Ia teman sekelasku. Saat hari pertamaku masuk sekolah, kami berebut tempat duduk."

Aku tertawa kecil. "What are you? An elementary student?"

"Hei, kau tidak mengerti! Bangku yang tersisa hanya di paling depan dan paling belakang. Sebagai murid baru, aku tidak ingin terlalu menonjol dengan duduk di paling depan!"

Lagi-lagi, butiran air mengenaiku dan Nat, kali ini jumlahnya lebih banyak, seakan-akan seseorang sengaja memerciki kami dengan air. Aku menoleh ke arah kolam renang dan melihat pemuda urakan itu lagi.

Michael berteriak pada Nat. "Sedang apa kau di sana? Ayo, turun!"

"Baiklah!" Nat balas berteriak. Gadis itu menoleh ke arahku. "Ayo berenang!"

Aku membuka mulut. Belum sempat menjawab, Nat tiba-tiba menanggalkan oversized sweater dan jeans panjangnya. Otakku membeku selama beberapa detik, kedua netraku membola. Dengan cepat aku mengenyahkan pikiran kotorku ketika menyadari bahwa gadis itu tidak sepenuhnya telanjang, melainkan mengenakan pakaian renang one-piece berwarna putih.

"Untung saja aku sudah mempersiapkan segalanya," ucapnya pelan sambil tersenyum. Ia meletakkan pakaiannya di kursi malas, kemudian berlari kecil ke tepi kolam dan masuk ke dalam sana. Sesampainya di tengah kolam, Nat bergabung bersama Michael dan beberapa murid lain yang tidak kukenal. Mereka tertawa dan saling memerciki air selama beberapa saat.

Aku sendirian lagi. Menyebalkan. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, mencari Emma dan segelas cola yang dibawanya. Mengapa lama sekali? Apa gadis itu tersesat? Aku merasa semakin haus.

"Hei, kau! Mata sipit!" teriak Michael dari dalam kolam, membuatku spontan menoleh.

"His name's Aiden," ucap Nat pada Michael.

"Oke, Aiden, mengapa kau tidak turun dan bergabung bersama kami?" tanya Michael.

Aku menggeleng. "Aku tidak bawa baju renang."

"Begitukah?" Michael menyipit sambil mencebik. "Tidak membawa baju renang ketika menghadiri sebuah pesta? Sangat payah."

Setelah berkata begitu, Michael melengos begitu saja, membuat suasana hatiku semakin buruk. Semua orang meninggalkanku sendirian, dan aku harus menonton pemuda berambut cokelat bermulut pedas itu bersenda gurau bersama Nat? Ayolah, bukan salahku kalau aku tidak membawa baju renang, mengapa ia harus mencuri satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara?

Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya jika aku marah, 'kan? Maka, aku memutuskan untuk berdamai dengan diri sendiri dan mengalihkan suasana hatiku yang buruk dengan bermain ponsel. Namun, terus-terusan menggulir media sosial juga membuatku bosan. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk beranjak, berjalan menuju tepi kolam dan duduk di sana, tidak lupa melepas sepatu dan kulipat jeans panjangku agar tidak terkena air.

Sambil mengayun-ayunkan kaki di atas permukaan air, aku mengedarkan pandangan. Brian sudah selesai melakukan cannonball. Kini, ia berdiri di dekat pintu rumah, mengobrol bersama seorang gadis yang kukenal dengan nama Zoe. Untuk sejenak, aku merasa ganjil dengan interaksi mereka. Mereka terlihat cukup akrab. Namun, mengingat Brian adalah sahabat Caleb, dan Zoe adalah kekasih Caleb, kurasa itu hal yang wajar. Jika kau punya pacar, sahabatmu otomatis akan menjadi temannya pacarmu, 'kan?

Beberapa saat kemudian, Nat berenang ke tepi kolam, membuat lamunanku buyar. Gadis itu keluar dari dalam sana, kemudian duduk tepat di sampingku. Hening, kami tidak saling bicara. Ia mengayunkan kedua tungkainya di atas permukaan air, sama sepertiku. Kedua tangannya diletakkan di tepian kolam, dagunya terangkat, pandangannya menerawang jauh ke atas langit. Tetesan air jatuh dari helaian rambut pirangnya yang basah.

"Aku tidak pernah tahu kita bisa melihat bintang-bintang di bawah langit Cedar Cove." Nat memecah keheningan.

Aku ikut menengadah. "Kau tidak pernah melihat bintang sebelumnya?"

"Aku tinggal di Brooklyn sebelum ayahku dipindah tugaskan ke kota ini," jawabnya, "langit di sana sudah tercemar oleh polusi cahaya."

"Oh ...." Aku mengangguk beberapa kali. Lengang untuk sejenak.

"It's beautiful," bisiknya. Ia menoleh ke arahku, tersenyum. "Right?"

"Yeah." Aku balas menoleh, tersenyum, lalu buru-buru menunduk sambil mengulum bibir. "Aku tarik kembali ucapanku. Party malam ini tidak buruk."

"Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran?"

"Entahlah. Aku sudah terlanjur datang ke sini." Kemudian aku menoleh sambil melempar senyum. "Tidak ada cara lain selain menikmatinya, 'kan?"

Alih-alih menjawab, Nat menatap lekat kedua netraku sambil tersenyum. Kami mengunci pandangan selama beberapa saat, membuat kedua pipiku memanas. Ketika merasakan sesuatu yang dingin dan basah menyentuh tanganku, refleks aku menariknya mundur. Nat juga ikut menarik tangannya ketika sadar kulit kami bersentuhan. Tetesan air jatuh di jeans-ku. Atmosfer di sekitar menjadi canggung.

"Ups, maaf. Apa celanamu basah?" tanyanya.

"Kau tidak perlu khawatir," ucapku cepat.

Nat mengangguk. Ia bergeming sejenak, menatap lurus ke arah kolam renang sebelum beranjak dari posisi duduknya. "Aku harus berpakaian dan mengeringkan tubuh," ucapnya.

"Yeah." Aku mengangguk, turut beranjak dari tepi kolam.

Nat mengambil pakaian keringnya dari atas kursi malas, kemudian berjalan menuju rumah Brian. Lagi-lagi aku sendirian, tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Baru saja selesai memakai sepatu dan mendaratkan bokong di kursi malas, Emma datang menghampiriku dengan dua gelas fruit punch dan satu gelas cola.

"Di mana Nat?" tanyanya sambil menyerahkan segelas cola padaku.

"Nat sedang mengeringkan tubuh di kamar mandi." Aku menerima minuman pemberian Emma. "Thanks."

Kini, hanya ada aku dan Emma yang sedang duduk di kursi malas, menunggu Nat kembali sambil menikmati minuman masing-masing. Tidak ada yang bisa dibicarakan. Lagi pula, aku baru mengenal gadis itu hari ini. Namun, keheningan kali ini tidak terlalu menggangguku. Mungkin aku sudah terbiasa merasa sendirian di tempat yang ramai?

Menit demi menit berlalu, aku masih bertahan duduk di kursi malas sambil mengamati orang-orang di sekitar hingga seseorang berkata, "Aiden, aku tidak tahu kau akan datang ke sini."

Aku mendongak, menatap Maria Flores yang datang menghampiriku. Ia duduk di kursi malas, tepat di antara aku dan Emma. Kemudian aku mengangkat bahu dan tersenyum tipis. "Ezra dan Myra memaksaku datang ke sini."

Maria tertawa kecil. "Well, hubungi aku kalau kau ingin membeli tiket homecoming, oke?"

Aku memutar bola mata. "Aku bahkan tidak punya seseorang yang bisa kuajak ke pesta dansa."

"Kau bisa pergi bersama Myra, 'kan?" ujar Maria, membuat Emma menoleh.

"Aku dan Myra hanya teman," ucapku.

"Tidak ada yang bilang kau harus pergi bersama pacar," sungut Maria, "kau bisa pergi bersama Myra dan Ezra, 'kan?"

Aku mendesah pelan, kehabisan kata-kata untuk mengelak. Tidak peduli dengan siapa aku pergi, aku tetap malas untuk datang. Aku ingin sekali berkata sejujurnya, tetapi Maria pasti tidak akan senang. "Bagaimana denganmu, Emma?" Pada akhirnya, aku mengalihkan pembicaraan.

Emma mengangkat kedua alis. "Aku?"

Maria menoleh ke arah Emma, menyunggingkan senyum lebar. "Kau akan datang ke homecoming, 'kan?"

Emma tersenyum canggung. "Y-yeah, tentu saja. Aku akan membeli tiketnya minggu depan."

Dari kejauhan, terdengar suara pintu terbanting, membuat kami bertiga menoleh. Aku melihat Caleb keluar dari dalam rumah, amarah menguasai wajahnya. Ia mengambil ransel yang terletak di kursi malas seberang kolam renang, kemudian pergi melalui pintu belakang rumah Brian. Seluruh pemain football yang berada di sisi kolam kebingungan melihat pemuda berkulit eksotis itu.

Ada apa dengannya?

Tidak lama setelah Caleb pergi, Nat yang sudah berpakaian dengan rambut setengah kering keluar dari pintu yang sama dengan Caleb sebelumnya. Gadis itu tampak panik, ia menoleh ke sekitar, kemudian pandangan kami bertemu. Ia berjalan cepat menuju ke tepi kolam renang tempat aku, Emma dan Maria bersantai.

"Nat, ada apa?" tanya Maria, "kau terlihat panik."

Nat mengembuskan napas berat. "Aku secara tidak sengaja melihat Brian mencium Zoe di kamar mandi. And yeah, Zoe cheats on Caleb. Aku berlari untuk memberitahu Caleb. Hal itu membuatnya sedih sekaligus marah. He left me. Kau tahu ke mana ia pergi?"

Emma meninggikan suaranya. "What? She did that?"

Nat menganggukkan kepala sebagai jawaban. Rona wajahnya keruh.

"What a slut!" ucap Maria geram.

"Kita harus mencari Caleb," tegas Nat.

Aku mengernyit. "Kita?"

Tiba-tiba, Michael yang tubuhnya sudah kering dan telah berpakaian lengkap, muncul dari balik punggung Nat. Ia menggelengkan kepala dan mendengkus. "Hey, new kid, bagaimana kalian bisa mencari Caleb? Di antara kalian tidak ada yang cukup akrab dengan Caleb untuk mengetahui ke mana ia pergi."

Nat berbalik, mengernyit. "Kau menguping?"

Michael mengangkat bahu. "Anggota football sedang membicarakan itu. Aku tahu lebih dulu daripada kalian."

"Aku tidak tahu kau mengikuti tryout untuk bergabung bersama tim football, Harrison," Emma yang sedari tadi terdiam akhirnya berbicara.

"I'm not. Aku sedang berada di dekat sana ketika mereka membicarakan Caleb," ucapnya. "Kurasa aku tahu ke mana Caleb pergi."

"Benarkah?" tanyaku.

"Just a wild guess, but I have an informant too," jawabnya santai. "Tapi kurasa Caleb tidak ingin dicari. Sebaiknya kita temui ia besok."

"Bagaimana jika ia membutuhkan kita semua sekarang?" Nat menekuk wajahnya. "Kau bisa bayangkan bagaimana rasanya menjadi Caleb?"

"Nat is right. He needs a support system. I'm in." Emma mengangguk.

Maria mengangguk. "Zoe is disgusting. Count me in!"

"Jadi ... kita semua akan mencari Caleb?" tanyaku.

Nat menoleh ke arahku. "Yeah. Bagaimana denganmu? Kau ikut?"

Aku bergeming sejenak. "Yeah, mencari Caleb adalah tindakan yang tepat."

"Good." Kini Nat berpaling pada Michael. "Kau?"

Michael melirik Nat, kemudian bergiliran melirik yang lain. Ia mengembuskan napas berat. "Well, I can't trust you all, but this party sucks. Alright, I'm in."

"Thank you, Michael." Nat mengangguk penuh hormat.

"So, where do we go now?" tanyaku.

"Golden Griddle, tempat klasik murid Berry High untuk hangout," jawab Michael.

Siders gapapa ga comment, tapi ⭐-nya diklik ya! It means a lot to me, thank you so much💙

******

GLOSSARIUM

QUARTERBACK: Penyerang dalam American Football. Semacam Striker kalau di sepak bola.

CANNONBALL: Nama keren dari "melompat ke dalam kolam renang"

******

BONUS
Our Saxophone Player: Natasha Winchester

Aiden, kalau seandainya dia ikut berenang:

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro