Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 - The Mysterious Guy

"Tambah lagi."

Kusodorkan gelas pada bartender muda yang berdiri di balik konter. Dia memandangku menyelidik, seperti sedang mempertanyakan apakah aku akan tetap sadar jika terlalu banyak minum. Terlebih lagi ini kali ketiga aku memintanya mengisi ulang gelasku. Asal dia tahu, kesadaranku belum berkurang sedikit pun.

"Aku baik-baik saja." Aku berucap ketika dia menuangkan bir ke gelasku. Kemudian kuletakkan selembar uang di hadapannya sebelum membawa gelas itu pergi. Kembaliannya bisa dia simpan sendiri sebagai uang tips. Kusapu seisi ruangan dengan sepasang hazel-ku, mencari-cari meja yang masih kosong di antara padatnya manusia di bar malam ini.

Sejak tadi aku hanya duduk di bar stool dan senantiasa memandangi si bartender yang bolak-balik mengisikan gelasku. Bukan karena ada rasa ketertarikan, tetapi aku memang perlu sesuatu untuk diperhatikan demi membunuh waktu. Dua orang teman yang membuat janji bertemu denganku malam ini tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Sementara ponselku sedang dalam masa krisis baterai, jika kumainkan terus, baterainya akan cepat habis dan aku tidak bisa menghubungi siapa pun jika nanti berada di situasi darurat.

Aku menemukan satu meja dengan sofa berbentuk U yang mengelilingi. Posisinya lumayan jauh dari tempatku semula, aku harus membawa gelas besarku yang penuh ke sana. Belum lagi melewati orang-orang yang menari tidak karuan mengikuti irama musik yang cepat dan keras yang dimainkan di sini, bermandikan cahaya lampu berwarna merah dan biru yang berkedip bergantian. Aku berusaha menyelip di sela-sela tubuh mereka. Serangan bisa datang dari mana saja. Aku bisa menghindari orang yang berada di depan, kiri, dan kananku, tetapi tidak dengan di belakang.

Akhirnya itu terjadi, seseorang menari terlalu liar dan menabrak punggungku. Aku limbung ke depan dan hanya menunggu waktu sampai wajahku mendarat di lantai. Namun, tidak terjadi karena seseorang menangkap kedua lenganku, lalu menuntunku untuk menjauhi kerumunan orang menari. Aku selamat dan hanya seperempat birku yang membasahi lantai. Dengan guncangan yang cukup kuat tadi, mana mungkin aku bisa menahan minumanku agar tetap diam di wadahnya.

"Kau oke?"

Si penyelamat melepaskan tangannya dari kedua lenganku. Dia tidak langsung pergi dan membiarkan aku melihat wajahnya dulu. Wow. Dia seorang pria jangkung yang kulitnya bersinar di keremangan lampu bar. Tidak hanya suaranya yang seksi, tetapi fisiknya juga. Rahangnya tegas dan aku kesulitan menebak warna matanya di tempat ini. Seandainya Grace masih berharap aku membubuhkan romansa di ceritaku, mungkin aku bisa memakai situasi ini sebagai referensi. Well, hanya jika sesuatu terjadi padaku dan dia.

Ayo berkedip sebelum dia menganggapku aneh karena terus memandangnya.

"Ya, aku oke. Terima kasih sudah menolongku, um?" Aku menyisakan nada bertanya di ujung kalimatku sebagai isyarat bahwa aku ingin tahu namanya.

"Theo."

"Aku Natasha. Sekali lagi, terima kasih, Theo. Jika bukan karenamu, mungkin aku sudah mempermalukan diriku sendiri di sana," ujarku sembari menunjuk lantai di mana minumanku berceceran. Semoga saja tidak ada orang yang menginjaknya sampai terpeleset.

Dia tersenyum dan menampilkan kedua lesung pipitnya yang malu-malu. "Bukan masalah, aku kebetulan lewat dan tepat waktu saat kau membutuhkan bantuan."

Aku tertawa ringan dan garing. Itu karena aku tidak bisa memikirkan kata-kata untuk meresponsnya. Yang terpikirkan hanya terima kasih, tetapi aku sudah mengatakannya dua kali.

"Kau sendirian? Apa baik-baik saja, atau mau kutemani?" Ada kekhawatiran yang tercetak di sorot matanya. Itu tidak mengenakkan, terlebih lagi menerimanya dari orang asing yang baru kutemui tak sampai lima menit.

"Tidak perlu. Aku menunggu temanku di sini."

Dia mengangguk, tampak kelegaan di wajahnya. Embusan napasnya pun panjang dan ringan.

"Baiklah, sampai jumpa. Senang bertemu denganmu, Natasha."

Theo pergi, meninggalkan aroma parfum yang rasanya pernah kuendus di suatu tempat. Namun, aku tidak ingat di mana. Apakah itu di toko parfum? Aku tidak pernah berlama-lama di sana. Aku akan langsung membeli parfum yang biasa kupakai dan pergi setelah membayar. Waktu yang dipakai untuk menghidu aroma setiap botol parfum yang dipajang di sana akan terbuang sia-sia, lebih baik kupakai untuk brainstorming di kafe.

Lupakan aromanya. Theo hanya satu dari jutaan orang yang memakai parfum beraroma itu. Besok-besok, pasti akan kutemukan lagi di suatu tempat.

Aku berbalik, ingin melanjutkan langkah ke meja yang kuharap belum ditempati orang lain. Namun, dua wanita berambut pirang menghadang jalanku.

"Hai, Author." Salah satunya dengan riang menyapaku. Rambutnya terurai, menutupi bahunya yang telanjang karena mengenakan atasan tidak berlengan. Namanya Nina.

"Jarang-jarang melihatmu berinteraksi dengan seorang pria di bar. Jadi, apa akan ada pertemuan lainnya?" Kali ini Karen yang menimpali. Dia wanita yang satu lagi, lebih tinggi dari Nina, rambutnya ikal dan selalu diikat satu tinggi seperti penyanyi Ariana Grande. Kebetulan Karen adalah penggemar beratnya, sampai gaya eyeliner-nya pun diikuti.

"Bisakah duduk dulu? Aku lelah berdiri."

Aku berjalan mendahului mereka, dengan langkah lebar dan cepat. Beruntungnya, meja yang kuincar belum ditempati siapa pun selama insiden hampir terjatuh tadi.

"Kami dilarang membawa pacar, tapi kau berkenalan dengan seorang pria." Perlu kuingatkan kalau Nina ini si tukang protes.

"Karena aku tidak punya pacar, aku akan mengobrol dengan siapa kalau kalian sibuk dengan pacar masing-masing? I'm single, Guys!" Aku menekankan dengan sedikit geraman pada kata-kata terakhir.

"Single and happy. Kau mengucapkannya berulang-ulang. Kurasa tidak masalah kalau kami membawa pasangan. Toh kau sendirian saja sudah merasa bahagia."

Aku memutar kedua bola mata ketika Nina menertawakan ucapan Karen. Aku hanya tidak suka direpotkan oleh risiko berhubungan. Seperti menyiapkan kado di hari ulang tahun, saling bertukar hadiah saat natal, membeli cokelat saat Valentine, atau tersipu ketika priaku menyiapkan kejutan saat hari jadi. Jangan lupa saling mengingatkan untuk makan setiap harinya. Menggelikan. Aku juga tidak sanggup jika harus melaporkan aktivitasku setiap harinya. Setidaknya begitu yang kuperhatikan dari interaksi kedua temanku dengan kekasih mereka.

"Aku selalu kesal kalau kita bicara tentang pasangan." Embusan napasku terdengar keras dengan sedikit geraman yang ditahan di kerongkongan. Aku menenggak birku lagi ketika keduanya hanya melongo menatapku.

"Kau terdengar seperti orang depresi." Karen berceletuk.

"Dan sensitif seperti seorang wanita yang baru bercerai dan mengalami trauma pernikahan. Emosinya meletup-letup seperti sup mendidih, dan topik tentang hubungan adalah api kompornya." Nina menimpali.

Aku selalu kesal dengan semua ejekan mereka, tetapi hanya mereka teman yang kumiliki. "Aku habis bertemu Grace hari ini." Lagi pula, hanya mereka yang mampu memperbaiki suasana hatiku.

"Aw, kali ini ocehan apa lagi yang memenuhi kepalamu? Harus dikuras." Pertanyaan Karen membuatku meringis karena teringat akan obrolanku dengan Grace hari ini.

Mulutku sudah terbuka, lalu menutup karena Nina lebih dulu bicara.

"Kau boleh bicara, tapi izinkan kami memesan minum dulu. Aku yakin kau lebih membutuhkan martini."

"Aku setuju segelas martini. Pastikan gelasnya baru dikeluarkan dari freezer. Oh, biar aku saja yang memesan." Karen berubah pikiran dalam sekejap dan bergegas beranjak dari sofa. Dia hafal bagaimana Nina. Pesanan yang tiba akan berbeda dengan yang kami ucapkan padanya.

"Jadi ... apa yang Grace lakukan padamu?"

Tersisa kami berdua. Namun, itu tidak menghalangiku untuk bercerita--meski tanpa Karen.

"Naskahku tidak bisa terbit dalam waktu dekat. Dia berbicara tentang kolesterol dan balon. Kepalaku sungguh akan meledak karena memikirkannya, persis seperti balon yang terus dipompa."

Aku menceritakannya menggebu-gebu. Tak peduli apakah Nina berhasil mencerna informasi tersebut atau tidak.

"Aku tahu. Pasti tentang Isabelle Huffman, 'kan?"

Kedua alisku naik secara impulsif. Mengejutkan sekali rasanya karena dia langsung paham. "Ya! Bagaimana kau tahu dia?"

Nina tertawa malu-malu sendiri hingga membuatku kebingungan dengan sikapnya."Aku pembaca ceritanya di Wattpad. Dia hebat sekali menciptakan tokoh pria idaman. Aku berharap salah satunya hidup nyata. Aku bahkan menjadikan tulisannya sebagai referensi untuk pacarku."

"Seriously?" Aku masih tidak percaya pada fakta bahwa dia tahu tentang Isabelle, apalagi sampai membaca tulisannya. Untuk sesaat aku merasakan pengkhianatan kecil di sini.

"Ya. Memangnya siapa yang tidak mengenalnya? Dia menulis cerita dengan bumbu romansa yang membekas di ingatan, walau jujur saja tulisanmu jauh lebih mudah dinikmati daripada dia. Tapi--ah, kau harus membacanya sendiri," ujar Nina teramat antusias.

Aku menjatuhkan kepala, membiarkan pipi kiri menempel dengan dinginnya permukaan meja kaca. Tujuanku datang ke sini bersama mereka adalah untuk bersenang-senang setelah satu minggu terlalui dengan jadwal yang padat. Namun, yang kudapat justru tekanan yang lain. Apa Isabelle ini benar-benar ancaman untuk karierku?

"Kauapakan Tasha sampai seperti itu?"

Ah, Karen kembali, disusul dengan suara gelas yang diletakkannya satu per satu ke atas meja, jika ditotal ada tiga.

"Dia frustrasi."

"Oh, kenapa?"

Kuangkat kepalaku sedikit hanya untuk menatap mereka berdua. "Grace berharap aku juga menulis tentang romance agar Isabelle tidak menjadi ancaman untukku."

Karen yang baru saja meletakkan gelas martininya lantas mengembuskan tawa. Reaksi itu agak merendahkanku dan aku tidak suka mendengarnya.

"Tulis saja kisah cinta. Apa susahnya?" sahutnya seringan bulu yang beterbangan saat tertiup angin.

"Aku tidak pernah berkencan. Kalian lupa?"

"Ceritamu yang sekarang, kau pernah bertemu vampir?"

"Tapi kau pasti pernah menyukai seseorang. Tulis saja bagaimana perasaanmu waktu itu."

Ucapan Nina membuatku terdiam dan berpikir. Lebih tepatnya, sedang berusaha mengorek memori lama yang sudah sangat lama terpendam di kepala. Aku pernah naksir seorang senior saat di perkemahan musim panas. Nyatanya, aku lupa bagaimana perasaan itu karena sudah lama sekali.

"Itu lima belas tahun yang lalu dan berakhir gantung."

Karen dan Nina saling pandang, sebelum akhirnya memandangku dengan mata yang melebar seluas yang mereka bisa.

"Itu sangat lama." Nina memulai.

"Pantas saja kau tidak pernah membicarakan tentang pria."

"Kupikir kau lesbian."

"Hatimu berdebu, sarang laba-laba menyelimuti."

"Aw. Itu mengerikan."

Ocehan mereka membuatku merengut kesal. Kutandaskan martini milikku dan kembali menelungkupkan muka di atas meja. Hari yang buruk ditambah malam yang buruk. Aku hanya mampu berharap setelah pulang nanti aku langsung tertidur dan memimpikan sesuatu yang baik untuk kelanjutan naskahku.

•••

"Jason! Jason! Dengar, jangan tinggalkan aku! Aku tahu kita tidak bisa bersama, tapi bisakah--"

Hapus.

"Jason, aku tak peduli siapa pun dirimu. Karena ... karena yang kurasakan ini--"

Hapus.

"Kita berbeda, aku tahu. Tapi Jason, bisakah aku ikut denganmu? Duniaku sudah tidak berarti apa-apa buatku."

Hapus.

Aku menyerah. Sudah setengah hari--siang sampai sore--aku mencoba untuk menuliskan dialog yang akan mencubit perasaan pembaca, tetapi selalu berakhir menjadi sesuatu yang menjijikkan saat kubaca lagi. Semuanya mengerikan. Aku sudah membaca buku baru Isabelle dan selalu bergidik ketika adegan romantis bermunculan.

Apa pasangan selalu seperti itu? Berpelukan, saling berucap sayang, berciuman, atau hal-hal lain yang melibatkan interaksi fisik? Katanya jantungmu akan berdebar kencang ketika berada di sekitar orang yang kaucintai. Seperti apa debarannya? Apakah iramanya berbeda dari debar jantung yang sekarang? Atau hanya temponya yang lebih cepat seperti habis berlari?

Aku refleks meletakkan tangan di dada kiri, menikmati detak jantung yang normal. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku hingga aku mulai pusing memikirkannya.

"Aku hanya ingin riset untuk naskah fantasi, bukan romansa." Selalu seperti ini, mengerang frustrasi pada akhirnya.

Sudah dua minggu sejak Grace membicarakan kolesterol. Dia benar-benar ingin aku membubuhkan momen-momen romantis di kedua tokohku meski pada kenyataannya mereka tidak akan bersama. Yang satu adalah peri, dan satunya mayat hidup. Bagaimana mempersatukan mereka? Aku memerlukan alasan yang jauh lebih logis untuk mempersatukan mereka. Lagi pula, tidak bersama pun mereka akan tetap berhasil menyelesaikan misi dalam cerita. Jadi, adegan romantis itu tidak diperlukan untuk naskahku.

Padahal naskahku tinggal seperempat bagian lagi menuju akhir. Namun, aku jadi kehilangan mood untuk menyelesaikan karena Grace sudah pasti akan menolaknya. Wanita itu tega sekali padaku. Dia yang sejak awal menyetujui untuk membimbing naskah fantasiku, bahkan yang paling antusias di antara editor yg lain, sekarang dia juga yang mendesakku agar membelokkan genre ceritaku sedikit.

Ya ... semudah itu manusia berubah.

"Nat! Makan malam sudah siap. Aku pergi kencan!" Suara Robert yang terdengar dari luar, berhasil membuyarkan segala kegelisahanku.

"Ya!" Aku balas berteriak.

Terkadang, Robert tidak hanya berperan sebagai asisten seorang penulis, tetapi juga asisten rumah tangga. Tidak jarang dia akan memasak untukku. Dia cukup percaya diri dengan keahlian yang seadanya. Masakanku lebih enak darinya, tetapi dia lebih rajin dariku. Robert pernah bercerita kalau kekasihnya tidak pandai memasak, jadi dia membiasakan diri agar saat menikah, dia yang memasak untuk istrinya.

Jam tujuh tepat, aku mulai merasa lapar. Meski sedang putus asa dengan naskah yang tak kunjung diterima, aku tetap memikirkan kondisi tubuh. Aku keluar kamar bersama ponselku. Lalu menghampiri wastafel untuk mencuci tangan sembari memandang ke luar jendela yang ada di hadapan.

Hari mulai gelap, langit belum hitam dan masih berwarna biru yang agak gelap--bisakah dibayangkan? Bintang pun masih malu-malu untuk memamerkan dirinya.

Aku sedang mengeringkan tangan dengan handuk ketika sekelebat bayangan melintas di dekat persimpangan jalan. Kuharap aku salah melihat, sebab bayangan yang menyerupai sosok berjubah hitam itu berjalan sangat cepat menyeberangi jalan. Aku sampai mencondongkan badan hingga dahiku menempel dengan kaca jendela. Orang itu masih di sana, berdiri dekat sebuah pohon di depan sebuah kedai kopi kecil.

Sosok itu bersembunyi di balik pohon, kepalanya sedikit menyembul dan wajahnya tertuju ke jendelaku. Aku bukan berharap sedang diteror atau sebagainya, tetapi aku yakin dia memandang ke sini. Alih-alih merasa takut, aku justru penasaran apa yang sedang dia lakukan. Apakah ada sesuatu yang diinginkannya atau--

Turn down for what!

--aku berjengit kaget ketika ponselku berdering keras sekali. Ketika kuperiksa, ternyata hanya panggilan masuk dari Robert.

"Ya?"

"Di lobi ada kurir yang mengantarkan barangku, tolong kauterima, ya."

Aku mendengkus sebal, tetapi tetap beranjak untuk menuruti permintaannya. Kumatikan sambungan telepon tanpa merespons--sebab Robert pun mengerti aku takkan menolaknya.

Dengan berselimut mantel berbulu, aku keluar menuju lantai dasar. Karena apartemenku berada di lantai tiga, aku memilih untuk turun menggunakan tangga. Di ujung anak tangga setiap lantai terdapat jendela. Aku berhenti sebentar dan memperhatikan pohon yang tadi kulihat di jendela wastafel, sekadar untuk menemukan bahwa di sana sudah tidak ada siapa-siapa lagi.

Mungkin dia bukan orang yang sengaja memantauku dari kejauhan, hanya kebetulan sedang mampir di sana dan penasaran dengan jendelaku. Kedengarannya aneh, tetapi aku sedang berusaha untuk berpikiran positif saat ini.

"Nona Winter?" sapa seorang pria berseragam cokelat khas pegawai pos ketika aku tiba di hadapannya.

"Ya. Saya sendiri."

"Silakan tanda tangan di sini," ujarnya sembari menyodorkan kertas berisikan tanda terima kepadaku beserta penanya.

"Terima kasih," ucapku setelah menandatangani kertas tersebut. Pria itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas besarnya dan diberikan kepadaku, ditukar dengan pena yang kukembalikan kepadanya. Kotak ini tidak besar, tetapi lumayan berat. Aku penasaran apa isinya.

Setelah urusannya selesai, si pria kurir pamit. Mataku mengikuti punggungnya sampai keluar dari gedung apartemen. Lagi-lagi aku melihatnya. Kali ini jaraknya lebih dekat dari yang tadi hingga aku mampu melihatnya lebih jelas. Matanya masih tidak tampak, terhalangi oleh tudung mantel yang menutupi sampai batang hidungnya. Dia berdiri di dekat gerbang dan memandang ke arah sini. Postur tubuhnya mengingatkanku pada pria yang sering datang di acara booksign. Namun, tidak mungkin dia penggemar yang sefanatik itu. Aku merasa dia memang sedang menatapku, tetapi aku masih berharap dia hanya sedang mencari seseorang di apartemen ini dan malu bertanya.

"Hai, Monica, apa kau mengenal seseorang di depan sana?" Aku bertanya pada seorang wanita berkulit gelap yang berjaga di konter resepsionis yang ada di lantai ini. Dia bertugas sebagai pemberi informasi jika ada yang datang untuk menemui seseorang yang tinggal di gedung apartemen.

Monica mencondongkan badan agar dapat melihat ke pintu masuk yang berdaun kaca. "Tidak ada siapa pun di sana, Natasha."

"Serius? Dia berdiri di ... sana."

Aku mengernyit kebingungan karena tak menemukan siapa pun di sana. Orang itu lenyap, padahal tak sampai dua detik aku mengalihkan pandangan. Aku tidak akan sepenasaran ini seandainya dia tidak tampak semisterius itu.

Siapa dia?

•••

Bagaimana? Kritik dan saran sangat diterima.


See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
17 Juli 2021
Republish 11 Maret 2024

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro