Part.34 - Menunggu
WINDY DAY
Selasa, 21/01/2020
“Tadi kau mau bilang apa?”
“Akh, itu… sebenarnya aku lapar,” jawaban macam apa yang telah Sehun katakan, dia seharusnya menyatakan perasaannya sekarang.
Sejeong menarik turun kedua sudut bibirnya, tak lagi tersenyum, garis lengkungan di matanya juga menghilang. “Eoh, aku juga lapar, ayo kita pergi makan.”
Keduanya menyusuri jalan selebar 1 meter yang kurang pencahayaan. Sehun menghela napas pelan, melangkah hampir selaras dengan langkah gontai Sejeong, membawa ia dalam penyesalan beberapa saat lalu.
“Kau marah?” Sehun melirik muka masam Sejeong, yang sejak tadi tertekuk, pasti gadis itu sangat kecewa padanya.
“Marah untuk apa,” balas Sejeong dengan letih.
Dilihat sekilas saja, Sehun tahu kalau Sejeong marah padanya. Lalu apa yang harus dilakukan Sehun untuk membangkitkan mood Sejeong kembali. Berpikir sejenak, membiarkan Sejeong berjalan lebih dulu, ia memandangi punggung Sejeong dengan pundak yang turun.
Sampai sebuah ide muncul, bukan ungkapan cinta namun tanda yang memberitahukan bahwa sejujurnya Sehun belum siap dan berjanji untuk menjaga hati Sejeong dari kata ‘goyah’. Benar, cara ampuh yang ia yakini tidak mudah dilupakan Sejeong. Maka dengan yakin Sehun kembali melanjutkan langkahnya.
“Maaf atas kelancanganku.” kata Sehun seraya menaruh satu tangan melewati bahu Sejeong, sedang satunya menelusup di antara tubuh dan lengan Sejeong yang seketika berhenti terayun.
Sehun tengah memeluk Sejeong dari belakang, mengeratkan pegangan tangan di depan tubuh Sejeong yang terkesiap.
“Kata yang ingin kau dengar, bisakah aku mengatakannya nanti saja.”
Perkataan lembut Sehun menyapa rungunya, lantas membuat dada Sejeong bergemuruh.
“Kau lebih muda dua tahun dariku, tetapi kita satu angkatan. Saat kau bisa menganggapku sebagai lelaki dewasa, maka aku tidak akan merasa malu karena tingkatan kelas kita yang sama.” Sehun menuturkan semua kegundahannya, sekarang ini ia agak malu jika harus berhadapan dengan Sejeong.
Memang benar selama ini Sejeong beranggapan kalau dirinya seumuran dengan Sehun. Lalu masalahnya apa, dia sama sekali tidak menyalahkan Sehun yang dua kali tinggal kelas.
“Aku pastikan tidak akan tinggal kelas lagi. Jadi, aku memintamu untuk menungguku sampai lulus nanti.” lanjut Sehun.
“Tenang saja, aku akan membantumu belajar.” kata Sejeong menyentuh tangan Sehun yang masih memeluknya.
“Benarkah?!” tukas Sehun sumringah, menjulurkan kepala agar dapat melihat seberapa serius Sejeong dalam membantunya.
Sejeong mengangguk risih, posisi sedekat ini benar-benar telah membuatnya gugup. Sementara itu Sehun tersenyum lebar, tanpa mengetahui apa yang dirasakan gadis dalam pelukannya. Seperkian detik kemudian, Sehun mengalihkan pandangan dari leher jenjang Sejeong, berhenti menghirup wangi tubuh wanita itu.
Sehun terburu menarik lepas tangan yang tertaut di depan tubuh Sejeong, sekarang ini ia tidak boleh menginginkan lebih dari sekedar pelukan. Ia pun segera berjalan cepat sambil jingkrak-jingkrak tak jelas, sesekali menepuk-nepuk kepala sembari merutuki diri sendiri.
“Oh Sehun kau harus bertahan, tahan persaanmu sebentar saja! Kau sudah kelas tiga sekarang, beraninya berpikir untuk berpacaran… kau harus belajar, fokus, fokus.”
Siapa yang menyangka Sehun si pemarah bisa berlaku semanis ini terhadap wanita yang disukainya.
Sejeong tersenyum simpul. “Hei, tunggu aku!”
Malam itu mereka berjanji untuk saling memahami perasaan satu sama lain. Kekhawatiran akan ujian sekolah yang baru dialami Sehun setelah mengeyam pendidikan kurang lebih 4 tahun, sedikit mempengaruhinya yang terbilang suka mengabaikan pelajaran. Dia malu jika tahun ini tidak lulus… tidak, tidak, ia harus menunjukan pada Sejeong bahwa dia bisa masuk 10 lulusan terbaik.
Untuk itu Sehun harus menahan diri, untuk tidak berpacaran dulu. Aku menyukaimu Kim Sejeong. Ia membatin, mengulum bibir bawah selagi Sejeong berhasil menyamakan langkah dengannya.
~Ŵĩńďŷ Ďàŷ~
Dari gerbang sekolah sampai kelas membutuhkan setidaknya 10 menit berjalan santai. Menurut Yeonjoo itu merupakan waktu yang singkat, namun sekarang ia tidak berpikir seperti itu lagi. Jalan yang ditempuh serasa jauh dan waktu seakan melambat, mungkin akibat suasana berubah drastis. Dimana-mana orang menyebut-nyebut namanya, menunjuk dan membicarakannya.
Pihak sekolah telah mengambil keputusan untuk membiarkannya tetap sekolah, mengingat ia sudah berada di tingkat akhir.
“Apa yang kau lihat! Ingin aku colok matamu, heuh!” sentak Taeyong kepada siapa pun yang menoleh atau bahkan melirik ke arah kedatangannya.
Yeonjoo mendesah, menyikut Taeyong agar diam saja, “Kau akan membuatku semakin terlihat buruk.” Kata Yeonjoo dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Dari pintu kelas Jaehyun keluar membawa sapu, disusul Doyoung mengangkat serokan dengan wajah jengkel mengejar Jaehyun.
“Aku suruh kau menyapu, bukan bermain golf!” amuk Doyoung menyodok Jaehyun dengan serokan.
Jaehyun mencoba menghindar, tanpa tahu jaraknya dengan Taeyong semakin dekat, alhasil tubrukan pun tak dapat dihindari.
“JAEHYUN!” sentak Taeyong bersiap memberi pelajaran pada temannya itu, “Kemari kau, pagiku sudah cukup menjengkelkan dan kau menambahnya…”
Rusuh itu sudah kebiasaan Taeyong sehari-hari, dia bahkan bisa bertengkar dengan teman sendiri dan ketika itu terjadi Doyoung mengalihkan perhatian, menurunkan serokan, masuk ke kelas sembari bersiul. Tidak apa-apa baginya melaksanakan piket kelas sendiri, dibanding harus berurusan dengan Taeyong dan Jaehyun.
Sementara itu Yeonjoo hanya menggeleng, berdecak melihat kelakuan sang kakak yang kekanakan sekali.
“Lihat si wanita api itu, sungguh tidak tahu malu setelah menusuk sahabatnya dari belakang, ia masih berani datang ke sekolah!”
Yeonjoo hampir lupa kalau dirinya tengah menjadi perbincangan satu sekolah. Hanya beberapa bulan lagi saja sampai ia bisa lulus dan menjalani kehidupan baru yang lebih baik. Bisakah ia mengharapkannya?
~Ŵĩńďŷ Ďàŷ~
Perpustakaan penuh sesak, para pelajar yang mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk universitas memenuhi hampir seluruh bangku. Di antara mereka terlihat Yebin yang malah sibuk mengutarakan pendapatnya, menyindir hubungan tak jelas Sejeong dan Sehun.
“Kau menyatakan perasaanmu dan apa… dia memintamu untuk menunggu,” kata Yebin dongkol, berpikir laki-laki merasa dirinya paling berkuasa sehingga dengan mudah menggantungkan harapan.
“Kecilkan suaramu,” Sejeong tidak mau mengganggu pengunjung perpustakaan lain.
Gadis tomboy itu menuruti, merendahkan suaranya dan sedikit menjulurkan kepala, “Jangan mau, lebih baik kau buat dia menyesalinya.”
“Caranya? Lupakan… dia bilang akan fokus belajar. Aku harus mendukungnya.”
“Kalian berpacaran pun, masih tetap saling mendukungkan, dasar aneh.”
Sementara itu, di lorong rak buku Sehun mengambil banyak buku tebal yang lalu diberikannya pada Yeonjoo.
“Aku juga butuh ini, ini dan ini…”
“Seperti kau akan belajar saja,” sindir Yeonjoo menerima 2 buku tebal lagi yang ditumpuk sampai menghalangi pandangannya.
“Tugas seorang murid itu memang belajarkan, kau bawa saja bukunya ke meja, jangan banyak bicara!” titah Sehun seperti tidak akan berhenti memilih buku untuk dipelajarinya, ia bahkan bertekad akan mempelajari buku dari semester 1.
Yeonjoo menghela napas sebal, “Kau bisa bawa buku sendiri kenapa menyuruhku?!” ia masih mengikuti kemana Sehun pergi dengan langkah keberatan.
“Sekali pesuruh ya tetap pesuruh, Sejeong juga tidak keberatan meminjamkan pesuruhnya.” tukas Sehun berjinjit untuk mengambil 1 buku di rak teratas, “Sudah cukup, hari ini segini saja dulu.” lanjutnya menumpuk buku terakhir, berjalan ringan menuju meja dimana ia ada Sejeong dan Yebin yang masih mengobrol.
“Sepertinya si angin itu sudah selesai memilih buku,” kata Yebin mengedikan kepala ke arah kedatangan Sehun dan Yeonjoo yang kesulitan berjalan lurus. “Aku pergi, ingat kau jangan terlalu menuruti keinginannya. Buat dia merasa menyesal karena telah menolakmu.” tambah Yebin membereskan buku catatan dan alat tulisnya.
“Dia tidak menolakku, dia bilang aku harus…”
“Menunggunya, sudahlah terserah kau saja.” sela Yebin memberi isyarat pada Yeonjoo agar segera ikut dengannya.
Tentu saja Yeonjoo merasa terselamatkan, ia melayangkan tatapan sebal sekali lagi pada Sehun setelah menaruh tumpukan buku di meja, menyambar tas ransel dan tak lupa berpamitan pada Sejeong.
“Selamat mengajari si bodoh ini ya,” kata Yeonjoo dibalas geram kemarahan Sehun, “Baek Yebin tunggu aku.” Ia lari dengan hati-hati sebisa mungkin tak menimbulkan suara, atau lebih parah lagi membuat si pemilik kemampuan aerokinesis itu marah dan perpustakaan menjadi berantakan.
Seperti kata Yebin, aku akan membuat lelaki ini menyesal karena telah membuatku menunggu. Sejeong mulai membatin, menerawang jauh kiranya apa yang harus ia lakukan pada Sehun.
~Ŵĩńďŷ Ďàŷ~
Yuhuuu, maaf buat readers-nya Windy Day baru bisa update minggu ini
Cause aku ada work baru, HOTEL DELUSION, udah pada liat prolognya, kah?
Yuklah yang belum lihat, bisa langsung buka work-nya!
Alesta Cho
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro