Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Last - A Flower Vase

William melepas tas ranselnya di kamar. Ia mengecek kulkas apakah ada makanan ringan yang bisa dilahap. Kulkas Rosie memang selalu penuh, tapi dalam arti berantakan. William mulai memahami mengapa bibinya tidak jago memasak dan kondisi kulkasnya yang selalu berantakan itu. Rosie selalu sibuk di studio dan tidak sempat memasak, apalagi membereskan rumah. Usaha kerajinan tanah liat dan gucinya itu sudah tersiar sampai ke luar kota. Pesanan sering datang membanjiri. Ambisinya untuk terus bekerja sulit dipadamkan.

Apa saja yang bisa dibentuk dari tanah liat, ia kerjakan. Mulai dari sesederhana tempat menaruh perhiasan, piring, gelas, teko, pajangan, vas bunga, sampai guci besar dengan ukiran rumit semuanya dibuat oleh Rosie. Tentu saja dengan bantuan beberapa karyawannya. Kualitas yang ditawarkan sekelas seniman profesional, maka dari itu Bibi Rosie selalu berkutat di studionya.

Akhirnya William memutuskan untuk memesan makanan lewat ponsel. Rosie yang mengajarinya. Ia pandai menemukan kupon potongan harga dan memasukkannya ke dalam belanjaannya, tapi William masih kagok mencari keberadaan kupon itu. Jadilah ia membayar harga normal untuk satu porsi fish n chips dan teh lemon. Setelah memesan ia tinggal mandi dan dua puluh menit kemudian makanannya datang.

William melahap makanannya dengan bosan. Televisi menontonnya, bukan William yang menonton televisi. Ia memutuskan menyudahi makannya dan menggerakkan badan. Ia membersihkan ruang tamu dengan vacuum cleaner.

Suasana yang hening.

William membersihkan tiap sudut dengan hati-hati karena banyak lemari pajangan di sekitarnya. Sembari bersih-bersih, ia memperhatikan pajangan tanah liat bibinya itu satu persatu. Ada beberapa yang ukurannya kecil seperti tempat menaruh cincin, pajangan bentuk kodok, piring dengan ukiran ular, hingga sampailah pandangan William kepada sebuah vas bunga di sebelah meja televisi.

Rosie menaruh bunga lily asli di sana. William mendekatkan hidungnya, tercium wangi semerbak. Setelah diperhatikan lebih seksama, vas ini sangatlah cantik. Warnanya putih dengan aksen emas. Moncongnya dibuat dengan ukiran detail yang bergelombang seperti ombak. Tubuh vas itu ramping dari bawah dan melebar ke atas.

Satu hal yang William sadari adalah pola garis emas pada vas itu. Garis emas itu digambar seperti lem yang menyatukan kepingan vas yang seolah pecah. Sangat detail dan rapi.

Tin! Tin! Di tengah kegiatan mengagumi vas bunga itu, William tersadar oleh bunyi klakson.

Rosie membuka gerbang dan langsung masuk ke dalam rumah dengan sedikit terburu-buru.

“Hei, William. Sedang apa? Sudah makan? Bibi ketinggalan sesuatu dan harus kuambil sekarang. Kira-kira aku akan pulang jam delapan malam, Willy,” cerocos Rosie yang langsung mengebut masuk ke kamarnya tanpa melihat ke arah William.

William terdiam tidak jadi bertanya, ia kira Bibi Rosie memang pulang cepat. Ternyata tidak.

Rosie keluar kamar dan mendapati William berdiri mematung di depan vas bunga buatannya itu. Masih dengan tangan memegang vacuum cleaner yang menyala.

“William?”

“Eh, ya?”

Rosie terkekeh kecil, “kau melamun, ya?”

William menggosok telapak tangannya, “sepertinya.”

“Memangnya ada apa dengan vas bunga itu?”

William terdiam sejenak, lalu tersenyum, “vas ini sangat cantik, bibi.” Mendengarnya kedua lutut Rosie langsung lemas. Ia selalu menyukai pujian tulus dari keponakannya. Padahal William sudah tinggal bersamanya beberapa bulan tapi ia masih salah tingkah ketika WIlliam memuji karya tangannya.

“Terima kasih, William.” Rosie menutup setengah wajahnya dengan tangan.

“Gambarnya bagus.”

Rosie mendekat ke arah William, sejenak melupakan soal mengapa ia tadi terlihat buru-buru.

“Dulu Bibi membuat ini saat masih belum mempunyai studio. Aku membuatnya tepat di sini, di ruang tamu. Waktu itu belum ada sofa ini dan meja televisi. Aku memilih untuk memulai hidup baru di kota daripada serumah selamanya dengan Anne. Semuanya ku pertaruhkan. Kadang aku tak selalu bisa makan tiga kali sehari.”

William mendengarkan penjelasan Anne sambil menatapnya.

“Suatu malam aku mencoba membuat sesuatu. Awalnya aku bingung harus membuat apa, sampai aku terpikir untuk membuat vas ini. Kamu tahu apa arti dari garis-garis emas itu?”

William menggeleng.

“Ada teknik yang dipakai orang zaman dulu untuk menyatukan kembali barang yang pecah, namanya Kintsugi. Dulu aku sempat hancur berkeping-keping. Tapi malam itu aku bertekad aku akan menjadi sukses dengan caraku sendiri. Butuh beberapa minggu untuk menyelesaikan vas ini. Dan lihatlah sekarang, ia berdiri tegak dan memberikan keindahan bagi siapapun yang melihatnya.”

William sedikit melongo. “Wow … Bibi keren sekali.” Rosie membalas dengan tersipu malu, menepuk pelan bahu WIlliam.

“Tapi aku takut jika ini betulan pecah. Atau tersenggol. Bagaimana Bibi yakin semua pajangan di lemari yang tinggi itu dan vas ini tidak akan rusak? Akan sayang sekali rasanya. Kalau aku jadi bibi, aku akan menangis semalaman.”

Rosie tersenyum dan menghela napas. “William, kepercayaan itu ibarat kamu menyerahkan pajangan tanah liat terindah kepada orang lain. Misalnya pajangan itu adalah pajangan mangkok dengan gambar naga merah dengan warna yang indah. Tapi kamu tidak bisa mengambilnya lagi sewaktu-waktu. Kamu harus merelakan karya tercantik itu ada di tangan orang lain. Mau mereka menjaganya, atau mungkin berencana untuk merusaknya, itu keputusan mereka. Yang penting kamu telah menyerahkan hatimu dan percaya kepadanya.”

William terdiam mendengar penjelasan Bibi Rosie. Ia paham, tapi tidak begitu paham juga.

“Tapi kalau dia memecahkannya bagaimana?”

“Di saat itu kamu berhak mengambil pecahan keramik dari tangan orang itu. Jeda sejenak boleh, tapi kamu harus bangkit lagi dan menempelkannya lagi dengan cairan emas, teknik Kintsugi. Itulah arti dari karya bibi ini.” Rosie mengakhiri penjelasannya dengan menghirup aroma bunga lily dari dekat.

William menganggukkan kepala pelan.

“Sudah? Ada yang ingin ditanyakan lagi?” Rosie tersenyum puas.

“Sepertinya … cukup, bibi. Yang penting vas ini sangat cantik,” balas William sambil mengelus pelan vas itu dengan senyum tipisnya.

Prang!! Tiba-tiba sesuatu terjatuh dan pecah.

“Apa itu?” Nada bicara Rosie langsung waspada, ia mendekat ke sumber suara. Ia berjalan ke arah lemari pajangannya di dekat dapur dan mendapati pajangan keramik kodoknya jatuh dan pecah.

“Astaga, kenapa bisa jatuh begini?” William panik melihat kepingan di lantai.

Bibi Rosie tersenyum dan menghela napas. “Bibi rasa ini saatnya kamu belajar, Willy,” ucap Rosie tanpa sedikit pun nada sedih, “ayo bantu bibi bereskan ini.”

***

“Wow … Bibi keren sekali.”  Laki-laki itu menatapnya dengan tatapan seolah ia adalah orang paling berbakat di dunia. Rosie terlihat malu-malu mendengar pujian itu.

Bella mendenguskan napas, ia duduk di konter dapur dengan tangan terlipat. Baru beberapa waktu yang lalu William berkata kekuatannya hanya setara trik sulap. Harga dirinya telah dikotori. Ia masih marah kepada tuannya itu.

Tapi hari ini entah apa yang membuatnya ingin mengunjungi William. Meskipun dalam mode tak terlihat.

Bella mendengarkan percakapan mereka sambil manggut-manggut. Berusaha memahami logika manusia yang lemah. Berbicara soal bakat, manusia hanya bisa mengembangkan bakat yang itu-itu saja. Memang ada sebagian yang mengembangkan bakat untuk membela diri, tapi pada akhirnya mereka tidak bisa apa-apa tanpa kehadiran Malaikat Hitam. Mereka tetap disakiti, dicurangi, dikhianati.

Pada akhirnya, siapa yang mereka andalkan untuk balas dendam? Tentu saja Malaikat Hitam.

Hanya karena Bella masih tertahan oleh William saja ia masih meladeni manusia itu. Kalau bisa ia ingin langsung menghabisi target yang William incar, tapi masalahnya tuannya kali ini sedikit aneh. Ia bercerita tapi selalu sepotong-potong. Bahkan ia seperti tidak menyadari keberadaan Malaikat Hitam di sampingnya.

Lihat saja, nanti. Akan kuhancurkan orang-orang yang kau benci di hadapan matamu, William.” Setelah berkata seperti itu dalam hati, Bella mengepakkan sayapnya yang lebar sambil melipat tangan karena kesal.

Prang!! Sayangnya ia tidak memperhatikan sekitar, ujung sayap hitamnya itu mengenai sesuatu dan jatuh. Sepertinya pecah dan rusak.

Bella langsung berdiri dan pergi dengan teleportasi. Ia berencana untuk menyelidiki seseorang yang waktu itu diceritakan William dan menyakitinya, Daniel.

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro