Chapter 9 Anger
William tidak sempat sarapan, ia hanya mandi kilat lalu langsung berangkat sekolah. Rosie mengantar William dengan kecepatan turbo.
Sayangnya di dunia ini ada saja hal yang mengganggu ambisi Rosie. Ada perbaikan jalan yang mengakibatkan lalu lintas sedikit macet. Jadilah William terlambat dua menit. Walau hanya terlambat sedikit saja, William harus melewati pak satpam yang mencatat keterlambatan para murid. Ditambah dengan ceramahnya.
"Baru kemarin masuk, hari ini sudah terlambat. Ada masalah apa, murid baru?" Miss Agatha bertanya ketus.
"Maaf, Miss."
"Saya tanya, kenapa kamu bisa terlambat?"
William terdiam, menunduk, menahan sesuatu yang meletup-letup dalam dirinya.
"Lihat yang lain, semua bisa datang tepat waktu. Jarang sekali ada yang terlambat di kelas ini. Coba jelaskan alasannya, William."
Daniel di belakang tersenyum miring. Pagi ini diawali dengan hiburan gratis.
"Tadi ... ada perbaikan jalan, jadi agak macet sedikit," ucap William pelan. Ia memindahkan rasa takutnya dengan meremas tangannya sendiri.
Miss Agatha mendecakkan lidah. Ia mengambil spidol, mengocoknya agar tinta hitamnya turun, dan mengetuk papan tulis dengan spidolnya sebanyak tiga kali.
"Lain kali bangun lebih pagi. Tidak ada alasan untuk terlambat di sekolah ini. Mengerti?"
Aliran darahnya perlahan kembali normal, tapi keringat masih mengucur. "Baik, Miss." William menjawab pelan, lantas duduk di kursinya.
Setelah beberapa kalimat ceramah, Miss Agatha angkat kaki dari kelas. William menghela napas lega setidaknya pelajaran pertama hari ini bukan dari si guru menjengkelkan itu.
Luna melirik ke arah William. Dari tampangnya memang terlihat ia seperti tidak peduli. Tapi hatinya tak bisa berbohong, ia agak khawatir dengan kondisi William.
Pelajaran berlanjut dengan William yang masih memikirkan teguran Miss Agatha. Pikiran liarnya berlari kemana-mana. Ia tidak begitu fokus mendengarkan guru yang mengajar. Tanpa ia sadari bel istirahat berbunyi.
"Hai, anak baru."
Suara itu. William menoleh. Daniel berdiri di sampingnya dengan senyum lebar.
"Aku yakin kau akan jadi murid paling sukses di sekolah ini."
William tersentak. "Apa maksudmu?"
"Sukses membuat semua guru mempermalukanmu di depan kelas." Daniel tertawa puas.
Lantas Daniel pergi mengambil jatah makan siangnya di kantin. Meninggalkan William dengan amarah mendidih dalam hatinya.
***
William menjalani sisa harinya dengan murung. Ia tak berbicara apapun kepada yang lain sejak tadi pagi. Luna juga tidak menemaninya makan siang. William makan sendiri dengan tatapan kasihan dari banyak orang.
Harapan William terangkat saat bel pulang berbunyi. William beranjak ke loker, memasukkan beberapa barang ke tas nya.
"Ada masalah apa, sih sebenarnya? Siapa tahu bisa kubantu, supaya besok kau tidak terlambat lagi. Daniel kembali menghampiri William.
William merutuk dalam hati. Menyumpah-serapahi orang menyebalkan di depannya ini.
Daniel tersenyum melihat reaksi William yang diam saja. Selagi ia menikmati reaksi William yang sesuai ekspektasinya, ia menyadari sesuatu. Ia melihat sesuatu yang mencolok dari tas ransel William yang belum di resleting.
"Ini kotak pensilmu? Punyamu?"
William tercekat. Tidak ada yang bisa dilakukan. Kotak pensilnya keburu dirampas orang itu. Daniel membongkar kotak pensilnya sambil tertawa cekikikan.
"Astaga, kau suka warna pink? Serius?" Tawanya makin kencang.
William menundukkan kepala. Ia tak berani mendongak, menatap Daniel tajam, membela diri, merampas balik kotak pensilnya, dan memukulnya sebagai sentuhan terakhir. Skenario itu hanya berputar dalam kepalanya, tapi tak bisa mewujudkannya. Meskipun ia benar-benar marah, William hanya bisa mengepalkan tangannya sampai kukunya menancap telapak tangannya sendiri.
Tawa Daniel mereda. "Ini pertama kalinya aku melihat laki-laki menyukai warna pink. Dan pengalaman pertamaku ini di dapat dari seseorang seperti dirimu?" Daniel bertepuk tangan dua kali, berusaha menyudahi tawanya.
"Kau adalah murid baru pertama sejak tiga tahun terakhir. Tapi aku tak habis pikir mengapa murid baru itu harus William? Kenapa tak yang lain saja? Sekolah ini sudah kehilangan citranya, setidaknya murid baru yang masuk bisa memperbaiki derajat kita."
"Cukup, Daniel. Hentikan omong kosongmu."
Luna mendobrak percakapan. Ia mengambil paksa kotak pensil pink itu dari tangan Daniel, lalu melemparkannya ke dalam loker William. Luna tak tahan lagi dengan Daniel yang selalu berlagak sok jago.
"Astaga, santai saja, Luna. Aku tidak berbuat apa-apa, kok," ujar Daniel dengan senyum rileks.
William masih terdiam. Mulutnya ingin sekali mengeluarkan kata-kata, tapi lidahnya tercekat. Ia ketakutan dalam diam. Ia teringat akan memori masa lalu di sekolah lamanya. William pikir tidak ada yang lebih menyakitkan daripada itu, ternyata ia salah menduga. Bagian paling buruknya baru saja dimulai di sekolah ini.
"Lagi pula kenapa kau tiba-tiba jadi dekat dengan orang ini? Bukannya kau selalu menikmati waktumu sendiri? Kenapa harus dia? Bukankah aku lebih pintar dan kaya?"
Omongan Daniel membuat Luna sangat jengkel sampai ke akar jiwa. Fakta bahwa memang satu sekolah sudah terbiasa melihat Daniel terus mengejar Luna dari SMP juga membuatnya kesal setengah mati. Sedari awal Luna memang menghiraukannya, berharap laki-laki itu lelah dan tidak mengganggunya lagi. Tapi sampai sekarang, Daniel masih kuat untuk menyelesaikan marathon cintanya itu. Ia tak kehabisan ide untuk terus memberi Luna kejutan tak terduga.
Kekesalan Luna semakin bertambah berkali-kali lipat setelah tahu mengapa Daniel terus mengejarnya dari percakapan yang tak sengaja ia dengar.
"Come on, my Melon Girl, aku jelas lebih baik dari si Pinky Boy ini."
Apa? Apa dia bilang tadi?
Pinky Boy?
William menggeram. "Apa maksudmu bicara begitu?" Akhirnya suaranya keluar, meski sedikit bergetar.
"Memang kenyataan, kan? Kau laki-laki, tapi suka warna pink, jadi lebih pas dipanggil Pinky Boy," balas Daniel dengan alis naik satu dan senyum tipis.
Sementara Luna, emosinya semakin meluap saat ia mendengar panggilan itu lagi. Ia benar-benar ingin menghabisi Daniel seperti petinju yang memukuli lawannya di atas ring sampai babak belur.
"Lebih baik kita pulang," desis Luna sambil menarik William.
William mengunci lokernya sedetik sebelum ia ditarik Luna. Mereka berdua menjauh dari loker. Daniel menggelengkan kepala sambil tersenyum samar.
Luna melepas genggaman tangannya saat sudah sampai di lantai bawah. Ia tak berkata apapun dan melanjutkan langkahnya. Anak rambutnya bergoyang ditiup hembusan angin sore. William ikut berjalan di belakang Luna. Ia memperhatikan rambutnya yang selalu dikepang satu itu. Jika berada dalam kerumunan, William bisa langsung mengenali Luna dengan kepangannya itu tanpa melihat wajahnya. Jarang sekali murid perempuan berkepang disini, sepertinya hanya Luna orangnya. Mungkin karena itu ia tampak mencolok, tapi sepertinya ia kurang nyaman dengan sorotan yang ia dapatkan.
"Hei. Ehm ... Terima kasih, Luna," kata William dengan senyum dan sedikit napas terengah. Ia habis mengejar Luna yang langkahnya cukup cepat.
Luna terdiam, lalu menatap William tepat di kedua bola matanya.
"Kuharap kau bisa membela dirimu sendiri lain kali."
William tertegun. Kata-kata tak terduga itu keluar dari mulut Luna. William merunduk, menyadari bahwa ia memang payah soal membela dirinya sendiri. Betapa ia sangat marah dan kesal karena seseorang yang mengganggunya, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain diam.
"Maaf," William berbisik pelan, "tapi kau masih mau jadi temanku, kan?"
Bola mata Luna membesar. Tapi dua detik kemudian setelan wajahnya kembali normal, datar dan dingin. Ia tak percaya masih ada yang ingin berteman dengannya di sekolah ini. Luna dicap sebagai seseorang yang paling kesepian di sekolah karena jika murid perempuan bergerombol dengan teman-temannya pada saat jam istirahat, ke toilet bersama, bercanda bersama, berbeda dengan Luna, ia selalu terlihat sendirian. Tapi di saat-saat tertentu ia terlihat diajak mengobrol oleh Daniel. Hanya dua peristiwa yang ada dalam hidup Luna di sekolah ini, yakni selalu sendirian dan diganggu Daniel.
Entah dari mana, tiba-tiba saja, laki-laki bernama William datang sebagai anak baru di sekolah ini. Bagian yang paling tak terduga, William memiliki kesukaan yang sama dengan Luna. Momen pertama kali Luna makan siang dengan orang lain pun terjadi berkat William. Ia ingat betapa girangnya William menceritakan kisahnya dengan Nekomi dan Luna menyadari bahwa William juga mendengarkan ceritanya dengan sungguh-sungguh.
"Ya."
William mengacungkan tinju ke udara sambil menyerukan "yes" tak bersuara.
"Baiklah, sampai besok, Luna." William pergi lebih dulu dari hadapan Luna. Langkahnya ringan sampai ke rumah. Cuaca yang cerah membuat hati William sedikit lebih ringan.
Dalam hidupnya, belum pernah William kaget sampai terjengkang saat masuk ke rumah sendiri. Jangan menyalahkan William dengan teriakan nyaringnya yang sampai terdengar ke rumah tetangga. Siapa yang tidak terkejut setengah mati disambut makhluk bersayap hitam lebar tersenyum miring tepat setelah pintu rumah dibuka?
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro