Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 Sayap Hitam

“Berat juga lilinnya,” monolog William. 

Setelah berganti tangan kanan dan kiri membawa lilin itu sepanjang jalan, akhirnya sampailah William di rumah. William memegang kunci rumah Bibi Rosie karena ia biasanya pulang malam, sekitar pukul delapan. Bibi Rosie memang se-berambisi itu dalam menekuni bisnis kerajinan tanah liatnya. Tumpukan pesanan dari dalam dan luar kota tidak bisa dibiarkan begitu saja karena tanah liat tidak memberi bentuk pada diri mereka sendiri. 

William membuka kunci pintu pagar dan pintu masuk rumah. Ia menaruh tas dan lilinnya di kamar. Dibukanya kulkas untuk mencari cemilan. Donat sisa semalam menggoda William dengan saus cokelatnya yang lumer. Tentu saja bukan Bibi Rosie yang membuatnya, ia memesannya online. Semenjak ada William, Bibi Rosie menjadi lebih sering belanja makanan online karena selama ini ia selalu sangat hemat pada dirinya sendiri. Setelah makan, William beranjak mandi. 

Sekelebat pikirannya kembali ke kejadian tadi, terbayang wajah dingin Luna yang sangat berbeda dengan Luna yang ia ajak ngobrol tentang Nekomi. William pikir ia harus mencari teman baru. Tapi siapa? Siapa lagi yang masih menyukai Nekomi? Sepertinya itu adalah satu persen dari seribu kemungkinan. Semoga saja besok kondisi Luna sudah membaik. 

Selesai mandi, William ingin mengistirahatkan badannya sejenak. Saat ia masuk kamar, wangi bunga itu tercium lagi. Baru kali ini William mempunyai lilin aroma terapi yang bisa menenangkan hati sebelum tidur. 

***

Rasanya tadi matahari masih bertengger di atas sana. William heran, apakah ia terlalu lama tidur sampai saat bangun sudah malam hari? Jam berapa sekarang?

Tunggu. Kenapa gelap sekali di sini? Rasanya tadi William tidak mematikan lampu kamar. 

Ia mencoba meraba-raba untuk berpegangan pada lemari bajunya. Nihil. Tak ada apapun di sekelilingnya. Hanya ada kasur yang ia duduki.

Lantas ini dimana? Bukan kamarnya?

Panik. Sangat panik. Tempat ini terasa sesak dan pengap. Tak ada suara sekalipun. Bahkan William bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat. Tapi ia tak berani beranjak dari kasurnya untuk memeriksa keadaan sekitar. 

Brak! Brak! Terdengar seperti suara balok kayu yang jatuh. 

Tiba-tiba benda itu mengeluarkan cahaya. William menoleh. Ketakutannya bertambah dua ratus persen saat cahaya putih itu berkedip-kedip, kemudian terdapat cermin besar yang entah muncul dari mana. 

“Halo, William Clover.”

Deg!

Semua bulu kuduknya berdiri tegang. Sebuah suara wanita menggema menembus jiwa William. Bola matanya bergerak ke sana kemari, ia meremas jemarinya, dan memilih untuk menutupi dirinya dengan selimut. 

“William.”

“SIAPA ITU?”

William tak tahan lagi sehingga ia berteriak. Masih dengan selimut di atas badannya, ia berusaha menembus lapisan kasur untuk bersembunyi. Sayangnya, yang hanya ia bisa lakukan hanyalah menggulungkan badan seperti trenggiling. 

“Tidak usah takut. Mendekatlah ke cermin.”

Mendekat? 

Hanya orang yang menjadi gila setelah kepalanya terjedut pintu tujuh kali yang akan menuruti kata-kata wanita asing di sebuah ruangan gelap gulita seperti ini. 

William masih waras. Semoga saja.

Ia tetap meringkuk dalam selimut berusaha tidur kembali agar bisa bangun di kamarnya yang nyaman. 

“William Clover, aku datang untuk membantumu. Jangan takut.” 

Suara wanita itu kini terdengar lebih dekat. Saat William mengintip dengan membuka satu matanya, cermin itu sudah ada tepat di depannya. 

Satu teriakan panjang yang memekakkan telinga keluar dari mulutnya. 

Sambil melindungi dirinya dengan selimut, William mendapati sebuah penampakan yang seperti ia lihat di acara horor di televisi. Seorang wanita berpakaian gaun satin hitam, rambut hitam tebal bergelombang sepunggung, sepasang bola mata hitam, dan raut wajah dengan senyum menyeramkan. 

“Hal—”

“AAAKKHH!!!” 

Wanita yang berdiri di dalam cermin bahkan sampai menutup telinga. Biasanya ia menghadapi orang yang lebih normal daripada yang satu ini. 

“Bisa tidak kau tenang sedikit?” Wanita itu mulai kehilangan kesabaran. 

“Si … siapa kamu?” tanya William gemetar. Wanita itu tersenyum. 

“Halo, aku temanmu. Kau tidak perlu takut. Aku akan membantumu dengan apa saja yang kau minta,” jelas wanita itu dengan suara lantangnya. 

“Teman? Memangnya kamu dari kelas mana? Kenapa bisa tahu namaku?” William mulai meracau. 

Wanita itu tersenyum masam. Kemudian ia mendongakkan kepala dan mengepakkan sayap di punggungnya. Bunyi kepakan itu kencang menggema ke tiap sudut ruangan. Sayap hitam itu besar, lebar, dan memiliki bulu yang tebal. Wanita itu menyeringai. 

Lagi-lagi William dibuat kaget karena suara kepakan itu. Yang berdiri di depannya sekarang adalah seorang wanita menyeramkan dengan sayap di punggung. 

Bersayap …?

MAKHLUK APA ITU? 

William berteriak dalam hati. Ia menutupi wajahnya dengan selimut. 

“Aku adalah malaikat pelindungmu, William. Kau telah menemukan Lilin Hitam, artinya Aura Hitam mu kuat sekali sampai aku bisa menciumnya dari kejauhan.” 

Entah dari mana lilin yang tadi ia temukan di pinggir taman muncul di depan cermin itu, di depan wanita itu. Sekitar menjadi lebih terang karena cahaya lilin. William bisa semakin jelas melihat wajah seseorang di balik cermin. 

“Tunggu … aku tidak mengerti maksudmu. Apa itu Aura Hitam? Kenapa kau muncul di hadapanku? Apakah ini mimpi? Bagaimana aku bisa bangun? Aku minta maaf jika ada salah tapi tolong keluarkan aku dari sini.” William merepet sambil mengatupkan tangan memohon-mohon. 

Wanita bersayap itu hampir tak percaya dengan orang yang ia datangi kali ini. Selama bertahun-tahun baru sekarang ini ia bertemu dengan pemilik Aura Hitam kuat seculun ini. Apakah ia tidak salah orang? Ia mulai mempertanyakan penciumannya. 

“Astaga, kau belum mengerti? Kau tidak tahu legenda tentang Lilin Hitam?”

William menggelengkan kepala. “Apa itu?”

Satu hembusan napas berat ia keluarkan. “Baiklah. Akan ku jelaskan. Singkatnya, aku adalah malaikat pelindung sekaligus malaikat maut. Aku mencium Aura Hitam yang kuat berasal darimu, karena itu kau menemukan lilin ini di taman. Setiap pemilik Aura Hitam pekat menyimpan dendam besar dalam hatinya. Makanya aku datang untuk membantumu balas dendam.” 

William mulai menurunkan selimut dari badannya. Memasang pose berpikir. Jari telunjuk ia letakkan di dagu. Mencerna kata-kata wanita itu. 

“Jadi maksudmu aku punya dendam? Kau mau membantuku balas dendam?” Nada bertanya William yang polos semakin lama menguras kesabaran wanita itu. 

“Iya, William Clover. Kau memiliki aura itu dan aku selalu yakin dengan penciumanku. Kaulah orangnya. Kau memiliki dendam besar. Aku datang untuk mewujudkan dendam mu agar kau bisa kembali hidup dengan damai,” jelasnya dengan nada menahan amarah. Jika ia bisa, ia sudah mencabik laki-laki payah ini yang nyatanya sekarang adalah tuannya. Sayangnya seorang Malaikat Hitam harus mengikuti dan melayani semua keinginan tuannya, jadi ia tak bisa seenaknya walaupun dalam hati kekesalannya tak terbendung lagi. 

“Oh begitu … Tapi aku tidak merasa punya dendam, sih.” 

ASTAGA. Wanita bersayap itu mengepalkan tinju dan menonjok ke udara. Ia gemas sekali dengan manusia di depannya itu. 

“Ya sudah. Kau bisa pikirkan ini nanti, tapi sekarang kau harus bangun dulu karena kau hampir telat berangkat sekolah.”

“Benarkah? Jam berapa sekarang?” William panik. 

“Sudah pagi.” William mengeluh keras. 

“Bagaimana caranya aku keluar dari sini?” 

“Ambil lilin ini sebagai tanda setuju kau akan melibatkanku dalam rencana balas dendam mu.” 

“Tapi—”

“Sudah ambil saja cepat!”

“Baiklah, iya, iya!” 

***

William lompat dari kasurnya. Ia melihat sekeliling, mencubit-cubit tangannya sendiri. Ada tembok, lemari bajunya, karpet, tas ranselnya, barang-barang lain. Baiklah, kali ini ia betulan sudah bangun. 

Wanita tadi juga ikut muncul di dalam kamar William. Baru saja William hendak berteriak karena kaget, tapi wanita bersayap itu lebih cepat membekap mulutnya. 

“Jangan buat keributan. Sekarang kau bisa memanggilku jika kau butuh bantuan karena aku sudah ada di sini.” 

“Tunggu, siapa namamu? Aku bingung harus memanggilmu apa. Apakah “Malaikat”? Tapi itu terdengar aneh. Atau—”

“Aku tidak punya nama.” 

“Ha? Kenapa begitu?”

“Ck, astaga! Ya sudah, panggil saja Angel.” 

“Angel? Hm …” William mengamati dari ujung kaki sampai ujung kepala wanita itu, “tapi seperti tidak cocok dengan wajahmu yang menyeramkan. Mungkin—” 

“Sudah, sudah! Kau mau berangkat sekolah tidak, sih?” Termometer kesabaran Angel sudah jebol, ia menunjuk jam dinding dengan emosi. William tercekat, lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Ia langsung terbirit menuju kamar mandi. 

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro