Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 7 The Black Candle

Huru-hara menyerbu coklat dan permen itu menyisakan lorong loker yang kembali bersih seolah tak terjadi apa-apa. William memilih duduk dan masih terdiam. Ia menengok ke arah Luna, ia menatap ke arah depan masih dengan tatapan tajamnya.

“Selamat siang anak-anak.” Sir Stanley masuk ke dalam kelas. Langkah kakinya langsung mengubah situasi kelas yang tadinya ricuh menjadi hening dalam sekejap. Bahkan tidak terlihat satupun sampah bungkusan permen di sekitar meja.

“Salam hormat!”

“Selamat siang, Sir Stanley.” Semua murid kompak mengucapkan salam sambil membungkukkan badan.

Pelajaran kembali dilanjutkan dengan geografi. William mengeluarkan buku dan alat tulisnya. Kali ini ia memberanikan dirinya untuk mengeluarkan kotak pensil bergambar Nekomi nya. William memberi kode agar Luna mau menoleh ke arahnya dan bisa kembali cerah seperti tadi. Tapi tidak terjadi reaksi apapun.

William menghembuskan napas berat. Ia memilih memperhatikan cuaca cerah di luar jendela. Cahaya matahari menembus tiap lapisan awan dan membentuk pemandangan cantik. Beberapa burung terbang melewati jendela kelas.

“Silahkan William melanjutkan membaca.”

Dalam sepersekian detik kesadaran William kembali. Mulutnya menganga dan wajah bingungnya tampak jelas sekali. Sir Stanley tersenyum menatap murid baru lugu di hadapannya.

“Cuacanya cerah, ya William?”

“Ehm … Iya, Sir.” William menjawab seadanya.

“Tapi sekarang kamu harus fokus dengan pelajaran, ya? Kalau tidak rapor mu akan bertinta merah semua, mengerti?” Sir Stanley masih bertahan dengan senyumnya sambil memegang buku geografi.

“Baik, Sir Stanley,” balas William pelan.

“Sekarang giliranmu membaca halaman 12, sekaligus jawab pertanyaan di bawahnya.”

Tamat sudah riwayat William. Tidak bisa sedetikpun atensinya teralihkan. Ia cukup kaget setelah kena semprot berkali-kali tadi karena di sekolah lamanya ia biasa duduk di paling belakang kelas, jadi jika ia melamun sedikit tidak akan ketahuan. Tapi sekarang situasinya berbeda, sekolahnya pun baru. Statusnya sudah bukan anak SMP lagi, melainkan SMA. William berusaha memantapkan hatinya di lingkungan barunya ini.

Pelajaran berlanjut dengan William yang merasa waktu berjalan sangat lambat seperti siput. Akhirnya bel pulang berbunyi. Setelah guru yang mengajar keluar kelas, teman-teman yang lain langsung kembali ricuh. Mereka bercakap-cakap sambil bersiap pulang.

William membereskan barangnya sambil menengok ke arah Luna. Mungkin besok William baru bisa mengajak Luna bicara kembali, maka ia memutuskan untuk keluar kelas duluan tanpa mengajak Luna.

“Hai, William. Sudah mau pulang?” Daniel menyapanya saat ia baru satu langkah keluar kelas.

“Iya …” balas William pelan. Alisnya menyatu karena curiga bahwa Daniel lah penyebab Luna menjadi murung.

“Oh, begitu. Tadinya aku baru mau bilang aku ingin merayakan ulang tahun bersamamu.”

“Eh? Kamu ulang tahun? Hari ini?”

Daniel mengangguk dengan senyum lebar, “iya, hari ini.”

“Wah, selamat ulang tahun, ya.” William memberikan jabat tangannya. Kali ini Daniel tidak se segan tadi saat membalas salam itu.

“Sebenarnya aku sedih, belum ada yang memberikanku hadiah,” ucap Daniel tertunduk.

William terdiam sesaat, kemudian membalas, “baiklah, aku akan mentraktirmu hari ini.”

“Benarkah? Ayo kita ke minimarket yang baru buka di dekat sini.” Dengan semangat Daniel merangkul William yang lebih tinggi darinya beberapa senti itu.

Daniel semakin menggiring suasana saat bercakap-cakap dengan William. Mereka berjalan beriringan sampai orang-orang di sekitar menatap mereka. Sementara William jelas senang karena bertambah satu orang lagi yang mengajaknya bicara. Ia memikirkan kira-kira apa yang bisa dibeli di minimarket untuk hadiah ulang tahun. Apakah Daniel serius hanya mau dihadiahi makanan?

“Nah.” Daniel melepaskan rangkulannya.

William baru menyadari bahwa ternyata ia dibawa ke lapangan belakang, bukannya keluar gerbang sekolah. Orang mana yang mau ke lapangan belakang saat sudah waktunya pulang?

“Bagaimana hari pertamamu di sini, William?

Eh?

“Seharusnya sangat bagus, kan? Kau berhasil menjadi murid yang paling dihafal guru-guru.”

Dua orang dari belakang William berjalan melewatinya, dan berdiri di samping Daniel.

“Baru hari pertama sudah kena tegur berkali-kali,” Daniel mendecakkan lidah, menggelengkan kepala.

“Ingat, William. Masuk ke sekolah ini artinya kau harus mengikuti peraturan yang ada.”

William tercekat. Sepertinya ia tahu apa yang sedang terjadi. Dirinya tiba-tiba terasa sangat kecil seperti pion prajurit catur. Ia ingin maju, membela diri, tapi nyatanya langkahnya mundur perlahan.

“Maksudmu apa … bilang seperti itu? Bukannya tadi kita mau ke minimarket?” Nada bicara William menurun.

Daniel tertawa pelan, tersenyum miring.

“Kau benar-benar lugu ternyata. Sudahlah, langsung ke intinya saja.” Daniel memberikan gestur kepada dua teman di sampingnya itu.

Dua orang itu berjalan mendekati William. William ketakutan, ia tak bisa lari dari rangkulan paksa itu.

“Kalau besok kau masih dekat-dekat dengan Luna, aku tak akan segan membuatmu malu di depan semua guru, anak baru.”

Seseorang mengangkat tas ransel William tinggi-tinggi, lalu melepasnya sampai membuatnya jatuh karena berat tasnya sendiri. Daniel tersenyum sinis lalu berjalan mendekati William.

“Sepertinya tas mu berat sekali. Apakah isinya beban keluarga?” Daniel dan dua orang temannya tertawa.

“Sampai besok, William. Akan kutagih janjimu untuk mentraktirku kapan-kapan.”

Tiga orang menyebalkan itu pergi. William masih dalam posisi terjatuh, berusaha bangkit sendiri. Ia mengibaskan debu dari baju seragamnya. Tangannya terkepal sampai merah. Hatinya penuh dengan luapan amarah. Alisnya semakin menyatu dan giginya bergemeretak. Ia sangat marah.

Tapi yang bisa ia lakukan hanya memendam amarah itu dan memilih untuk berjalan pulang.

William melihat Luna berjalan keluar gerbang sekolah sendirian. Tapi ia memilih untuk tidak mendekatinya dulu.

Dengan berjalan kaki, William jadi bisa lebih menikmati pemandangan sekitar. Setelah melewati beberapa ratus meter dari sekolah, terdapat sebuah taman kecil yang diisi beberapa anak-anak yang sedang bermain. Terdapat perosotan, ayunan, dan jungkat-jungkit di taman itu. William tersenyum melihat anak-anak yang bermain.

Sekelebat bau muncul melewati hidung William.

Makin lama bau itu semakin menyengat. Seperti wangi bunga yang sangat kuat.

William menghiraukannya. Tapi sepanjang ia berjalan lagi beberapa meter, bau itu tak kunjung hilang. William memutuskan mencari sumber bau itu. Ia menyibak semak-semak bunga yang mengelilingi pinggir taman.

Tidak ada apa-apa.

William berpikir, tidak mungkin ini bau bangkai karena baunya tercium seperti wangi bunga.

“Eh! Aduh.” William hampir saja jatuh karena tersandung sesuatu.

Sebuah benda hitam, berbentuk tabung, cukup tebal, menghalangi langkahnya. Saat William mengangkat benda itu, ternyata itu adalah sebuah lilin. Lilin hitam yang cukup besar.

“Kenapa ada lilin di tengah jalan begini?” William bicara sendiri.

Tak mungkin pula lilin ini punya anak-anak yang sedang bermain itu. Buat apa mereka bermain dengan lilin?

“Hei! Apakah ini punya kalian?” William berteriak, melambai, dan menunjuk lilin itu.

Sekumpulan anak itu menoleh, memberikan tatapan aneh, lalu hanya mengangkat bahu. Pelipis William terlipat.

“Ya sudah lah, kubawa saja.”

Dijadikan dekorasi sepertinya bagus juga. William melanjutkan langkahnya sambil menenteng lilin itu.

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro