Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5 First Second Day

Sekali lagi William mematut dirinya di depan cermin. Ia memastikan rambutnya rapi, wajahnya bersih, sepatu nya mengkilap. Kata Bibi Rosie, yang paling penting adalah kerapihan seragam. Dengan begitu William bisa saja langsung ditandai guru sebagai murid paling berseragam lengkap. Disebut lengkap karena sekolah itu mengharuskan murid-muridnya mengenakan rompi dan dasi. 

“Sudah lengkap semua? Tak ada yang ketinggalan?” 

“Tidak ada, Bibi. Tadi kan aku sudah bilang semuanya lengkap.” Sebenarnya Rosie sudah bertanya tiga kali sebelumnya soal itu, jadi William membalasnya dengan nada mulai malas. 

“Bibi cuma ingin memastikan kamu saja, Willy,” Rosie merapikan rompi sambil tersenyum bangga melihat keponakannya yang tampak seperti murid teladan, “ayo kita berangkat sekarang.” 

Bibi Rosie mengenakan jaket kulit coklat nya. Ia men starter motor dan menimbulkan bunyi yang gagah. Penampilannya sudah seperti pembalap motor yang ingin mengantarkan anaknya sekolah. 

Sementara itu, William tercengang mendengar deru knalpot yang cukup keras. 

William mencoba duduk di jok motor yang agak sedikit lebih tinggi di belakang dengan hati-hati. Ini pertama kalinya ia menaiki motor seperti itu. Ia menyeimbangkan badannya agar tidak terpental saat Bibi Rosie tancap gas. 

“Kita berangkat!” Deru angin langsung menyambar wajah William. Rambut yang tadinya rapi langsung berubah seperti diterpa topan. 

Bibi Rosie semangat sekali mengantar William sekolah. Kini mengantarnya dengan naik motor menjadi kebiasaan barunya. Rasanya seperti ia mengantar anaknya sendiri masuk TK, padahal keponakannya ini sudah masuk SMA. Sementara, William di belakang menikmati pemandangan sekitar. Banyak orang mulai sibuk dengan rutinitas paginya. Kebanyakan mereka bersiap untuk berangkat kerja. Ada satu-dua yang berlari pagi. William kagum dalam hati karena ia pasti lebih memilih kembali meringkuk di dalam selimut jika di sepagi ini adalah hari libur. 

Bibi Rosie keluar komplek perumahan. William semakin penasaran dengan sekolah barunya. Tak lama kemudian, mereka sampai. Bibi Rosie menyita perhatian beberapa pasang mata di tempat turun antar jemput sekolah. Mereka memandang sosok wanita kekar itu dengan heran sekaligus terkesima. 

“Bibi berharap yang terbaik untukmu hari ini, Willy,” pesan Bibi rosie seraya merapikan rambut William yang keriting akibat angin. 

“Terima kasih, Bibi Rosie,” balas William dengan senyum, “oh ya, nanti pulangnya aku jalan kaki saja sendiri, Bibi,” tambah William. 

“Yakin kamu bisa menyebrang sendiri?”

William mengangguk mantap. Bibi Rosie pun pergi. Setelah tantenya dilihat banyak orang, kini gantian William yang jadi pusat perhatian. Beberapa murid perempuan berbisik sambil tertawa melihat William. Ia bingung dengan tatapan itu. William berusaha tak memedulikannya sambil terus berjalan menuju papan pengumuman. 

Jari telunjuknya berselancar di atas kertas daftar anak-anak di kelas. Saat ia menemukan namanya jarinya terhenti. Sudah terdapat informasi pula dimana ruang kelas itu berada, jadi William tidak perlu bertanya kepada orang lain. Saat ia hendak naik ke lantai tiga menuju kelasnya, ia masih ditemani dengan banyak tatapan orang. 

“Itu siapa?” 

“Anak baru? Serius?” 

“Duh, mukanya aneh, lucu tapi tidak juga.” 

“Tapi tingginya lumayan. Mungkin aku cocok berdiri di sampingnya.” 

“Astaga, sepertinya ada yang salah dengan seleramu. Bahkan tokoh tak nyata di novel favoritku lebih boyfriend-material daripada dia.” 

William sebenarnya bisa mendengar satu-dua bisikan itu. Ia menghembuskan napas saat kakinya telah menapaki ubin kelasnya. Tapi begitu ia memunculkan batang hidungnya, semua orang di kelas menoleh. Tatapan mereka menusuk tajam jiwa William. Mereka terlihat seperti monster bermata merah menyala yang bersembunyi dalam gelap. Ia langsung kikuk tak tahu harus berbuat apa. 

Melambaikan tangan? Menyapa halo? Raut wajah keren? Astaga, fungsi gerak tubuhnya tiba-tiba kaku. 

Melihat itu semua yang ada di dalam kelas kembali berbisik. Tapi kali ini dengan cengiran dan tawa. 

Adegan itu membuat William teringat akan sekolah lamanya. Tadinya ia memang optimis, tapi sekarang ia takut kejadian yang sama akan terulang lagi. 

Teng! Teng! Teng! Bel masuk berbunyi. 

William bingung memilih tempat duduk. Ia masih dengan posisi berdiri kaku sampai wali kelas datang. 

Bunyi sepatu berhak terdengar, saat wajahnya muncul di ambang pintu, semua murid langsung duduk. William bergidik saat mendapat tatapan serius dari gurunya itu. Akhirnya ia berpindah dan berdiri di ujung depan kelas. 

“Salam hormat!” Seorang laki-laki memberi komando kepada yang lain untuk berdiri. 

“Selamat pagi, Miss Agatha.” Semua murid memberi salam sembari membungkukkan badan. 

Melihat itu William langsung mengikuti tanpa tanya dua kali. Tapi ia masih dalam posisi berdiri yang canggung setelah semua orang duduk. Detak jantungnya bertambah cepat setiap detiknya. 

“Selamat pagi, murid-murid. Dan selamat pagi juga untuk murid baru kita?” Dengan nada suara sampai terdengar ke kursi paling belakang, Miss Agatha menoleh ke arah William. 

“Eh … Selamat pagi, Miss Agatha …” William tidak bisa menghindari gaya bicaranya yang patah-patah. Balasan itu membuat Miss Agatha tersenyum formal. 

“Silakan perkenalan diri di depan.” 

William terkejut saat disuruh langsung perkenalan diri. Tidak ada basa-basi dulu? Langsung berdiri di hadapan semua orang dengan tatapan mengintimidasi itu? William berjalan dan berusaha melemaskan tubuhnya agar tidak kaku seperti patung. 

“Halo semua. Aku … William, William Clover. Aku baru pindah di sini. Salam kenal.” William merutuk dalam hati sedetik setelah menyadari betapa canggungnya gaya bicaranya tadi. Kini teman-teman sekelasnya berusaha menyembunyikan tawa mereka. 

“Kenapa kemarin tidak masuk?” tanya Miss Agatha langsung ke inti. Astaga, William baru kali ini berhadapan dengan orang yang sangat to the point

“Aku …, eh, saya sakit kemarin, Miss. Jadi tidak bisa masuk,” jawab William pelan, masih berdiri di depan semua orang. 

“Mana surat sakitnya?”

Deg. 

William tidak tahu soal ini. Mengapa Bibi Rosie tidak bilang? Atau suratnya ada di Bibi Rosie saat kemarin pulang dari rumah sakit? 

“Maaf, Miss. Saya lupa bawa surat sakit.” 

Miss Agatha mencopot kacamata kotaknya. “Besok pastikan bawa suratnya. Saya tidak mau kamu lolos begitu saja karena kamu anak baru. Masuk ke sekolah ini, artinya kamu ikuti peraturan. Mengerti?” 

“Mengerti, Miss Agatha.”

“Sekarang duduk.” 

William menoleh ke arah deretan bangku yang sudah diduduki pemiliknya masing-masing.

“Tapi dimana—”

“Kamu bisa duduk di sini, William. Silakan.” Tiba-tiba seorang laki-laki di paling depan memberikan tempat duduknya untuk William. Ia kebingungan namun cepat-cepat mengucapkan terima kasih. 

Ternyata ada bangku kosong di belakang. William terlalu panik untuk memperhatikan pemandangan kelas bagian ujung sana. Daripada tambah malu, ia cepat-cepat duduk di kursi depan. 

Miss Agatha menghentakkan spidol di papan tulis, membuat semuanya kaget. 

“Murid-murid, hari ini saya akan mengajar biologi bab 1. Semuanya buka buku biologi dan catatan kalian.” 

Dengan tergesa William mengeluarkan kotak pensil dan bukunya. Tanpa ia sadari seorang perempuan di sebelah kanannya menatap William sambil mengerutkan alis, kemudian memutar bola matanya. Sedikit kegaduhan yang disebabkan William membuatnya terganggu. 

Sementara perempuan kepang satu di sebelah kirinya sama sekali tidak peduli dengan anak baru kikuk yang duduk di sebelahnya. Ia begitu acuh tak acuh sampai ia membulatkan matanya saat William malah mengeluarkan dompet dan bukannya kotak pensil. 

William mendecakkan lidahnya. Ia panik karena situasi kelasnya yang terlalu serius. 

Miss Agatha sudah menjelaskan materi sejak dua menit lalu sambil menahan emosi dengan suara berisik dari William yang tepat berada di belakangnya. 

Pelajaran biologi berjalan tak begitu mulus. William seperti tahu kepalanya ditandai oleh tinta merah tak terlihat dari Miss Agatha. Tapi setidaknya pelajaran setelah biologi berjalan cukup baik. William lebih banyak diam dan hanya menonton beberapa orang yang berani mengangkat tangan untuk bertanya. Terutama perempuan di sebelah kanannya itu. 

Akhirnya waktu istirahat siang yang ditunggu-tunggu datang.

William menghela napas lega. Ia merapikan barang-barangnya lalu bersiap ke kantin. Sedetik setelah guru yang mengajar keluar kelas, teman-teman yang lain langsung ricuh. Seperti kembali ke setelan awal. Beberapa laki-laki mengobrol sambil duduk di meja, beberapa perempuan langsung mengeluarkan tas make up nya dan bergerombol sendiri sambil tertawa. 

William dibuat kaget oleh perubahan situasi itu. Bisa dibilang William lebih kaget melihat situasi kelas barunya ini daripada ia melihat ayam jantan bertelur.

Bagaimana bisa?

“Hai, William. Betul kan?” 

Seorang laki-laki menyapanya. Berambut hitam dengan gaya menutupi jidat, memakai jaket keren, dan tercium wangi parfum yang sangat mencolok. 

“Iya, aku William. Halo …” 

“Oh, Daniel.” 

William berusaha tersenyum sambil mengulurkan tangan. Daniel ragu hendak membalas jabat tangan orang asing di hadapannya. Akhirnya ia menyambut tangan William lantas langsung mengusapkan tangannya di celana. William bingung melihat reaksi Daniel. 

Tak butuh lima detik untuk membuat seorang Daniel kagum dengan orang lain, ia terkejut saat William berdiri di hadapannya. Ia tak mengira dengan perbedaan tingginya yang cukup jomplang itu. 

Daniel tersenyum masam, “mau ke kantin?” 

“Iya. Aku mau ke kantin.” William mengambil dompet dan memasukkannya ke saku celana. 

“Ayo, aku bisa—”

“Jangan macam-macam, Daniel.” Tangan William ditarik tiba-tiba oleh seseorang. Kaki William terseret, pinggangnya menabrak ujung meja guru. Ia terkejut namun hanya bisa mengaduh dalam diam. 

Mereka berdua meninggalkan Daniel yang tersenyum miring. 

Ternyata perempuan kepang satu yang duduk di sebelah kirinya yang menyeret William keluar kelas. Tangannya masih digenggam oleh perempuan itu sampai di depan tangga. 

“Terima kasih,” ucap William ragu. Genggaman itu dilepas. 

Perempuan itu tidak mengucapkan apapun. William bingung harus bagaimana. Orang itu terlihat lelah dari sorot matanya. 

“Siapa namamu?” William mencoba untuk akrab. 

“Luna.”

Akhirnya ia bersuara. William tersenyum mendengar suaranya yang lembut itu. 

“Mau ke kantin bersama?” 

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro