Chapter 4 Sick of The Past
Rosie berjalan ke gudang rumahnya. Ia mencari sesuatu sampai membuat barang lainnya berserakan. Begitulah Rosie, bahkan isi rumahnya pun sering berantakan. Hanya pemandangan guci di depan pintunya saja yang cantik. Saat masuk ke dalam, pemandangan berganti menjadi seperti setengah kapal pecah.
“Menyebalkan. Aku harus membongkar gudang hanya untuk mencari buku itu,” ia berbicara sendiri.
Rosie mencari buku tahunan sekolahnya bertahun-tahun lalu. Ia hendak mencari cara untuk menghubungi Anne, kakaknya. Dulu mereka sempat berada di sekolah yang sama. Tapi karena tragedi masa lalu, Rosie nekat pindah dan menjalani kehidupan barunya di kota Hokkaiburgh.
Ia mencium bau mencurigakan dari Anne setelah William tiba-tiba muncul di depan rumahnya. Dulu pertama kali Rosie bertemu William adalah saat di rumah sakit tempat ia dilahirkan. Waktu itu Rosie bahagia sekali bisa mempunyai keponakan pertamanya. Ia membawa banyak mainan untuk William kecil. Tapi saat Rosie ingin mengunjungi William lagi, Anne tidak mengizinkannya. Berkali-kali ia mencoba untuk menjenguk William, tetap tak diperbolehkan. Anehnya, Anne memberikan alasan yang tak jelas. Makanya, kunjungan pertama dan terakhir Rosie kepada William adalah pada saat di rumah sakit itu.
Itu dia. Buku tahunan usang yang sudah diselimuti jaring laba-laba dan debu. Rosie mencari profil Anne. Tertulis nomor telepon dan email nya. Ia mencoba menelpon Anne, tapi tidak diangkat. Rosie yakin kakaknya itu juga mengganti nomor sama seperti yang dilakukannya setelah mereka berdua berpisah. Akhirnya Rosie mengirimkan email.
Ingat saat kau tak memperbolehkan ku menjenguk keponakanku sendiri? Sekarang ia malah datang dengan sendirinya di rumahku. Sejak kapan kau berubah pikiran? Setahuku kau adalah orang yang paling keras kepala. Aku sangat mencurigai mu, Anne. Jelaskan apa ini semua atau aku akan mendobrak pintu rumahmu.
***
Sudah tiga Minggu William tinggal di rumah Bibi Rosie. Ia menikmati suasana barunya. Walaupun saat pertama kali masuk ke rumahnya ia dibuat kaget dengan kondisi berantakan semua ruangan. Tapi lama kelamaan William bisa menyesuaikan diri. Ia mulai membantu bersih-bersih selagi Bibi Rosie bekerja di studio. Saat melihat rumahnya rapi, bersih, wangi Bibi Rosie tercengang lebar. Ia memeluk William erat lalu memesan pizza untuk makan malam.
Pukul enam sore. William tengah bersantai di ruang tamu sambil menonton TV. Bibi Rosie biasa pulang antara pukul 8 atau 9 malam.
Dulu ia sangat dibatasi untuk menonton TV di rumah oleh ibunya. William terus didorong untuk belajar setiap harinya. Sekarang, William merasa lebih bebas. Semenjak tinggal dengan Bibi Rosie, William merasa sangat diperhatikan. Sosok anak kecil dalam dirinya terasa seperti dibelai lembut. Di sisi yang lain, sesekali William mengeluarkan air mata saat tertidur. Ia bertanya-tanya mengapa ibunya tidak bisa melakukan apa yang Bibi Rosie lakukan padanya.
“Aku pulang!”
“Eh? Loh?” William kaget mendengar suara itu. Baru jam segini, bibinya sudah pulang.
“Tumben Bibi Rosie pulang cepat.”
Bibi Rosie tersenyum, “aku mau membicarakan sesuatu denganmu.”
Kedua alis William menyatu. Hawa serius mulai mengelilinginya.
“Sejak kamu datang ke sini, Willy belum cerita tentang kondisimu. Bibi mau tanya, terakhir kamu kelas tiga SMP, ya?” Bibi Rosie mengulurkan tangan mengambil remote TV, lalu mengecilkan volumenya. Ia bertanya dengan nada lembut.
“Hm … Iya, Bibi. Aku sedang libur sekolah, masuk lagi nanti aku sudah SMA kelas satu,” jawab William.
“Willy, di dekat sini ada sekolah yang jaraknya hanya lima menit naik motor. Tadi Bibi ke sekolah itu untuk mendaftarkan mu. Minggu depan kamu sudah mulai masuk sekolah.” Penjelasan Bibi Rosie membuat William tercenung.
Sekolah baru? Artinya, William memang akan tinggal di rumah Bibi Rosie? Bukan hanya untuk liburan?
“Aku akan terus tinggal di sini, Bibi?”
Rosie tak tahan melihat wajah William yang memucat. Ia tidak tahu harus bagaimana menutupi kenyataan yang ada. Rosie khawatir William merindukan ibunya. Tapi ia sendiri ragu mengapa William bisa merindukan seseorang yang membuat Rosie hampir selalu naik darah karenanya?
“Untuk sementara kamu akan tinggal bersama Bibi, Willy. Bibi berjanji akan merawatmu dengan …” ucapan Bibi Rosie terhenti, ia tak biasa mengungkapkan perasaannya lewat kata-kata manis, “aku sangat ingin bertemu denganmu sejak pertama kali aku melihatmu di rumah sakit tempat kamu lahir, makanya sekarang Bibi yang akan merawatmu, oke?” Rosie memangkas jarak lantas dengan cepat memeluk keponakannya.
William kaget dengan tindakan Bibi Rosie yang tiba-tiba. William merasakan Bibi Rosie mengelus punggungnya pelan. Kepalanya diusap lembut. Perasaan ini, sudah lama sekali ia tak merasakannya. Luka lamanya terasa seperti diobati dengan rasa sayang tulus dari Bibi Rosie. Begitu tulus rasa sayangnya sampai William seperti mendengar bisikan samar …
“Bibi sangat menyayangimu, William.”
Luka lama karena Anne yang berubah seiring William bertambah besar tidak sepenuhnya pulih, tapi cukup terobati dengan perhatian sebesar itu dari Bibi Rosie. William dibuatnya berkaca-kaca. Bibi Rosie baru melepaskan pelukannya saat William yang pertama melepaskannya.
“Bibi …” William tak kuasa menahan tangis. Satu persatu air matanya jatuh.
“Menangislah, Willy. Kamu berhak untuk itu.”
Setelah tinggal dengan William, ucapan Rosie kepada keponakannya itu melembut seiring waktu. Bahkan ia membuat nama panggilan khusus untuknya, Willy. Terdengar lucu di telinga William.
Rosie seperti menyadari di balik polosnya perilaku William, kemampuan bersih-bersihnya, anak itu seperti masih diikuti oleh bayangan gelap masa lalunya. Dan Rosie curiga bahwa itu semua karena kakaknya, Anne.
Sesudah menangis beberapa menit, William sesenggukkan. Hidung, mata, dan telinganya memerah. William menghapus air matanya dengan lengan baju. Tatapannya masih berkaca-kaca ke arah Bibi Rosie.
“Sudah?”
William mengangguk.
“Baiklah. Jadi, besok kamu ikut Bibi ke sekolah itu untuk ikut tes masuk.”
“Tes? Eh, tapi aku belum bela—”
“Bibi yakin Willy pasti bisa. Tenang saja, soalnya gampang, kok.”
William terdiam. Ia mengingat-ingat materi pelajaran yang terakhir ia pelajari. Bibi Rosie menepuk pelan pundak William. Ia berjalan ke dapur untuk mengmbil minum. William masih terduduk di sofa. Memikirkan soal sekolah barunya.
Akankah sekolah itu bagus? Luas? Makanan di kantinnya murah-murah? Banyak yang berputar di benak William. Tapi yang paling ia cemaskan, apakah teman-teman barunya baik? Mau menerima William yang seperti ini? Pikiran itu menjadi badai terbesar di dalam kepalanya karena ia tidak mau kejadian di sekolah lamanya terulang lagi.
Teman-teman sekelas William selalu menjauhinya. Bukan, mereka tidak bisa disebut sebagai teman. Mereka acuh tak acuh padanya tanpa alasan. Saat William mengadu pun hanya ditanggapi seadanya oleh wali kelas.
Mereka memang tidak berbicara hal-hal yang menyakitkan kepada William. Tapi tatapan tajam, raut muka tak peduli, dan kedua bola mata yang berputar setiap kali William mendekat ke arah mereka bagai monster hitam besar yang membuat William sangat cemas dan takut.
***
Keringat bercucuran. Ujung kakinya terasa dingin, tapi kepalanya terasa panas. Matanya terasa ditekan ke dalam. Badannya meringkuk dalam selimut tebal. Menggigil.
“William, bangun! Ini hari pertamamu sekolah,” Bibi Rosie berseru dari luar sambil menyiapkan sarapan.
“William?” Bibi Rosie mengetuk pintu kamar beberapa kali.
Tenggorokannya tercekat, ia tidak kuat merespon seruan Bibi Rosie.
Cklak! Pintu kamar dibuka dengan dorongan keras.
“William, kamu kenapa?” Rosie panik pontang-panting. Sedetik setelah meletakkan tangannya di dahi William, panas merambat seketika.
“Bibi … aku kedinginan,” lirih William serak.
Rosie makin khawatir. William demam di saat ia masuk sekolah hari pertama. Ia segera menelpon beberapa orang terkait untuk memberitahu ia harus membawa William ke rumah sakit.
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro