Chapter 23 The Light in Your Eyes
Kira-kira dua jam Rosie tertidur di bangku ruang tunggu rumah sakit. Ia terbangun oleh guncangan di bahunya. Samar-samar ia mendengar suara yang ia kenal.
"Hei, bangun," Anne menepuk bahu Rosie lagi.
Rosie mengerjapkan mata. Saat ia sadar bahwa ia masih di rumah sakit, dirinya langsung lompat. Ia meracau soal William lalu menangkap keberadaan kakaknya di hadapannya. Rosie terkejut oleh suami kakaknya itu. Mungkin karena baru melihat mereka lagi semenjak ia ikut mengurus hari pernikahan mereka yang merepotkan itu.
"Anne?"
"Permisi, dengan Bu Rosie, Ibunda William Clover?" Balasan Anne tertahan di tenggorokan mendengar dokter yang tiba-tiba datang lalu berkata seperti itu.
"Permisi, saya ibunya. Dia hanya bibinya, dokter." Nada angkuh Anne membuat dokter agak terkejut.
"Baik, maaf. Saya ingin menyampaikan kondisi William. Setelah diambil darah, William terkena DBD. Suhunya sudah turun tapi masih di sekitar tiga puluh tujuh sampai tiga puluh delapan. Kami merekomendasikan untuk rawat inap di sini." Sang dokter menjelaskan sambil menaikkan kacamatanya yang melorot.
"Ya ampun Willy ..." Rosie mengusap wajahnya, "kira-kira karena apa, dok? Karena gigitan nyamuk?"
"Bisa jadi. Sebaiknya kita menunggu satu sampai dua hari ke depan agar bisa langsung kami tangani saat pasien mengalami kondisi kritis."
"Kondisi kritis? Maksudnya bagaimana, dok?"
"Setelah sekitar tiga hari demam, suhu tubuh pasien akan tiba-tiba turun. Tapi itu bukan tanda langsung sembuh, melainkan harus diwaspadai karena bisa menyebabkan dengue shock syndrome."
Rosie terkejut mendengarnya. Istilah itu baru kali ini ia dengar tapi kedengarannya berbahaya sekali. Rosie menggelengkan kepalanya cepat. "Baiklah, dokter. Saya mohon bantuan dokter. Sekarang William ada dimana di mana, Dok?"
"Sebentar lagi akan kami antar ke kamar, tapi sebaiknya Bu Rosie mengurus administrasinya lagi untuk rawat inap."
"Baiklah, dokter." Pria berjas putih dengan stetoskop di lehernya itu pun pergi.
"Kau apakan William, Rosie? Sampai dia terkena DBD? Apa karena rumahmu terlalu berantakan sampai jadi sarang nyamuk?"
Rosie menatap Anne dengan mata berkilat penuh amarah. Jika ada bintang jatuh saat itu juga, ia akan membuat permohonan supaya bisa memuntahkan racun tepat di wajah kakaknya itu.
"Pertama, biar aku tanya dulu. Kenapa tiba-tiba kau menitipkan William padaku? Dia hampir hilang di stasiun waktu itu kau tahu? Ibu macam apa kau ini?"
"Aku mengajarkannya supaya menjadi dewasa. Kalau tidak begitu, mau sampai kapan dia kami rangkul terus?"
"Kau gila, Anne. Dia tidak diberi petunjuk apa-apa untuk sampai ke rumahku yang jauh dari stasiun itu. Kalau tidak ada petugas kereta bawah tanah yang menolong William, mungkin dia sekarang ada di kantor polisi lalu diserahkan ke panti asuhan."
"Tapi buktinya sekarang dia ada di sini, kan? Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa William bisa sampai sakit?"
Dengus napas Rosie naik turun. Kesabarannya mulai menipis seperti tisu. "Justru harusnya kau juga dirawat di sini. Sepertinya kau terkena penyakit aneh bernama 'seorang ibu yang tidak peduli dengan anaknya sendiri.'"
"Sialan! Aku sudah menjelaskan alasannya di email waktu itu, bodoh!"
"Alasan macam apa itu? Tidak ada ibu yang menelantarkan anaknya karena ada masalah di rumah lalu dia mengambil anaknya lagi setelah masalahnya selesai. Kau sakit jiwa!"
"Kalau William juga terkena efek sampingnya bagaimana? Makanya aku titipkan padamu, kau juga ingin bertemu dengannya, kan?"
"Sayang, sudahlah." Harris mencoba menenangkan istrinya.
Adu mulut itu mengundang perhatian beberapa orang di sekitar sampai salah satu perawat menegur mereka.
"Permisi, mohon jangan ribut di rumah sakit atau saya panggil petugas keamanan." Mendengar itu Rosie lantas membungkukkan badan minta maaf.
"Kau berhutang padaku atas semua ini, brengsek," bisik Rosie dengan jari telunjuknya terarah pada wajah Anne. Kemudian ia bergegas menuju meja administrasi lalu pergi bersama seorang perawat membawa William di atas kursi roda menuju kamarnya.
Di belakang, Anne dan Harris mengikuti Rosie.
Sesampainya di kamar, William dibantu perawat untuk berbaring di ranjang. Tiang infus diletakkan di sisi kanan. Rosie ikut membantu sambil mengelus pucuk kepala William. Ia tak tahan melihat wajah keponakannya yang pucat itu. Suhu badannya masih panas.
Tapi wajah pucat itu hilang seketika. William melihat sosok yang selama ini ia rindukan muncul di pintu kamar. Tak hanya satu, melainkan dua sosok yang ia tunggu kehadirannya selama ini.
"Mama? Papa?"
Anne tersenyum tipis.
"Mama!" William hendak melompat dari ranjang karena kegirangan. Dengan cepat Rosie mencegahnya.
"Mama kemana saja? Aku kangen sekali." William memeluk Anne dengan tangan kirinya karena tangan kanannya yang tertempel jarum infus tidak bisa banyak bergerak. Kedua mata William memancarkan rasa rindu yang begitu kuat.
"Waktu itu Mama sedang ada urusan. Tapi William senang kan tinggal dengan Bibi Rosie?" tanya Anne lembut.
"Senang sekali, Mama. Bibi Rosie sangat baik. Bibi Rosie selalu mengajakku ngobrol, makan bersama, nonton televisi, dan selalu mengantarku sekolah." Nada bicara William terdengar ceria seolah ia sedang tidak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Anne melirik ke arah Rosie.
"Papa, aku juga kangen Papa." Tangan kiri William melambai, ingin memeluk Harris. Harris mendekat dengan senyum tipis.
"Iya William, Papa di sini," ucap Harris seraya merangkul William.
"Papa tidak sibuk di kampus?" Pertanyaan William membuat Harris sedikit terkejut.
"Tidak, William. Papa dan Mama langsung ke sini begitu bibi mu menelpon." William menengok penuh senyum ke arah Rosie, mengucapkan terima kasih dalam hati karena telah membuat kedua orang tuanya datang.
"William kenapa bisa sakit demam?" tanya Anne, ia masih mengulik penyebabnya.
William terdiam sejenak. Ia pun tidak sadar bagaimana ia sakit karena ingatan terakhirnya adalah ia bersama dengan Bella di halte bus di dekat rumah Luna.
"Bella." William baru ingat. Ia tidak melihat sosoknya dari tadi.
"Tidak tahu, Ma. Tapi sepertinya karena nyamuk." William menjawab sekenanya.
"Memangnya William habis dari mana?"
"Ehm ... Tadi habis dari rumah teman."
Rosie menyatukan alis. Melihat reaksi Rosie, Anne menangkap bahwa adiknya itu juga baru mendengar penuturan William mengapa ia bisa berakhir seperti ini.
"Kau baru tahu, Rosie?" cecar Anne.
"Aku sudah tahu, Anne. Ngomong-ngomong, karena kalianlah orang tua William, haruskah aku memberi sedikit privasi? Supaya ngobrolnya lebih enak." Rosie membela diri. Ia sebenarnya heran kenapa tiba-tiba William bisa ada di kamarnya padahal ia sudah mencari keliling rumah sebanyak tiga kali, tapi anak itu tak kunjung ketemu. Rosie pikir ada pelajaran tambahan di sekolah. Tapi tiba-tiba saja ia mendengar suara seperti hentakan angin dari kamar William, dan ia menemukan William meringkuk di kasurnya karena menggigil.
Harris langsung berbisik kepada Anne, "sayang, aku ada meeting satu jam lagi."
"Sepertinya kami harus pergi, Rosie. Harris ada urusan mendadak."
"Dan kau akan meninggalkan anakmu lagi?"
Anne terbelalak. Ia kembali mendekat ke arah William, "Mama pulang dulu, ya William. Papa ada urusan mendadak. Nanti Mama akan ke sini lagi. Kamu masih mau tinggal dengan Bibi Rosie, kan?"
"Mama mau pergi?"
"Sebentar saja William, nanti Mama ke sini lagi, ya?"
"Baiklah ... Aku tunggu Mama di sini. Dadah, Mama," ucap William dengan kerlipan cahaya di matanya yang memancarkan rasa sayangnya kepada ibunya itu.
Anne tersenyum tipis, melambaikan tangan. Begitu juga Harris. Mereka berdua keluar dari kamar William.
Dari jendela kecil Rosie memperhatikan kedua orang itu. Anne merangkul lengan Harris dengan manja. Mereka tampak biasa saja setelah menjenguk anaknya yang sakit. Anne mendecakkan lidah. Sudah pasti kakaknya itu sakit jiwa.
Rosie mendekat ke arah William, memeluknya, mengelus kepalanya. Ia tak tega menelantarkan anak seberharga William. Keponakan pertamanya. Seorang anak yang memiliki kasih sayang yang tulus kepada orang tuanya. Tapi sayangnya Anne menyia-nyiakan itu.
"William, Bibi selalu ada untukmu di sini." Bibi Rosie berkata sambil tetap memeluk William.
"Terima kasih, Bibi Rosie. Aku sayang Bibi." Mendengar itu hati Rosie mencelos. Satu bulir air mata mengalir di pipinya. Rosie melepas pelukannya, menatap kedua mata William dalam.
"Oh ya, Bibi harus kembali ke rumah untuk mengambil baju dan beberapa barang lainnya untuk menginap di sini, Willy. Kamu tidak apa-apa kan sendirian sebentar saja?"
"Tidak apa-apa, Bibi. Hati-hati di jalan," balas William dengan senyuman. Rosie pun keluar kamar dan menuju halte bus terdekat. Dalam hati ia agak kesal menunggu bus yang lama datangnya itu. Ia berencana untuk kembali ke rumah sakit dengan mengebut menaiki motor kerennya itu.
Di kamar, William tidak kuat untuk banyak bergerak. Kepalanya masih pusing dan ujung kakinya terasa dingin. Mengambil remote televisi di nakas sebelah kasur saja ia tidak bisa. Jadilah William berusaha untuk tidur dengan mengedip-ngedipkan kedua matanya.
Di saat ia membuka mata, William menyadari kamarnya menjadi sedikit lebih gelap. Padahal semua lampu dinyalakan dan terang benderang. Ia merasakan ada sedikit hembusan angin di sebelah kirinya. William sudah hafal dengan tanda itu.
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro