Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 22 A Sacrifice

Bella telah menahan amarah meletupnya sedari tadi ia bersembunyi dan memperhatikan William dari kejauhan. Ternyata ada rumah temannya di seberang sana. Mereka bercakap-cakap, tertawa, bahkan bermain dengan anak kecil? Bella benci dengan makhluk kecil yang selalu merepotkan dan menyebalkan itu. Bahkan sekarang William berjalan ke halte bus berdua dengan Luna?

Ia sudah tidak tahan lagi.

Bella mengepakkan sayapnya sangat kencang sampai apapun di sekitarnya terbang. Jika lebih kuat lagi bisa saja sayapnya itu menghasilkan angin topan.

"Bella?" lirih William, ia tersungkur di tanah.

"Sulap katamu? Semua kekuatan hebatku ini kau sebut sulap?" Suara Bella menggelegar.

"William ..." Bella mengaduh kesakitan tak jauh dari tempat William tersungkur. Kakinya terkena dahan pohon yang patah. Bella meredakan anginnya.

"Ternyata kau masih membawa-bawa soal sulap ini, William." Bella berdiri di hadapannya dengan mata merah menyala. Luna ketakutan sekaligus bingung melihat makhluk bersayap hitam itu.

"Kau, Zeluna Vey, tertarik betul ya dengan pertunjukkan sulap William?"

"Tidak, aku tidak bilang apa-apa. Sungguh!"

"Benarkah? Sepertinya tadi kau bersemangat sekali untuk bertemu William lagi."

Luna tercekat. Ia berusaha mengeluarkan kata-katanya. "Itu karena ... dia temanku di kelas!"

Bella tersenyum miring mendengarnya. Kepalanya menggeleng.

"Kau tidak bisa bertemu teman kelasmu yang di skors, Luna."

Napas Luna tertahan. Ia melihat ke arah William yang membelalakkan mata.

"Tahu darimana kau?" Luna berusaha membela.

"Karena aku asisten sulapnya."

Luna kebingungan mencerna kata-kata Bella. Ditambah lagi dalam hatinya ia sangat ketakutan melihat makhluk bersayap di hadapannya dengan mata merah menyala. Luna tak sempat memikirkan bagaimana cara ia kabur dari situ karena jika berlari pun, sekali makhluk itu mengepakkan sayap, ia bisa saja terbawa angin sejauh dua kilometer.

"Jelaskan, William." Bella memerintah tuannya dengan suara dalam.

"Iya ... Aku diskors tiga hari, Luna." bisik William dengan lesu.

"Karena kejadian waktu itu? Kau dimarahi di ruang kepala sekolah?"

"Ya."

"William, benarkah?"

"Ya ..."

Bella menganggukkan kepalanya puas. "Nah, sekarang berjanjilah padaku kau tidak akan menyebut-nyebut soal sulap itu lagi."

"Baik ... baiklah. Aku tidak akan membahasnya lagi. Sebenarnya aku hanya ingin bermain bersama Luna, yang terpikirkan olehku saat waktu pertama kali kau menolongku dari Daniel dengan membuat seolah jariku bisa mengeluarkan api sampai membakar kotak coklat itu."

Bella mengangkat alis satu.

"Karena waktu itu Luna melihatku melakukannya," lanjut William.

"Ya, ya, aku juga tahu," sahut Bella malas.

"Kalau kau meremehkan kekuatanku lagi, aku akan mengakhiri kerjasama ini dengan memberikan pelajaran kepada ibumu."

William tercekat mendengar Bella membawa-bawa ibunya. "Jangan! Jangan sakiti Mama!"

"Aku sudah tak tahan lagi. Akan ku selesaikan malam ini juga." Bella memejamkan mata, menghirup napas dalam, kemudian ia menghembuskannya sembari menutup mulutnya. Lalu ia menaruh telapak tangannya ke pucuk kepala William.

Tiga detik kemudian, William terkulai lemas tak berdaya. Luna panik, ia cepat-cepat menangkap kepala William di pangkuannya.

"Apa yang kau lakukan kepadanya?" Luna berseru tegas. Saat disentuhnya dahi William, Luna terkejut karena suhu tubuhnya sangat panas.

"Kau tidak usah ikut campur. Ini urusan kami berdua." Setelah mengatakan itu, Bella kembali mengepakkan sayapnya dan melakukan teleportasi membawa William pulang.

Tak sampai lima detik, William sudah berada di kamarnya. Bella langsung pergi begitu mendengar Rosie yang panik menelpon orang-orang demi mencari William yang tak kunjung pulang.

Mendengar ada suara dari kamar William, Rosie langsung masuk ke dalam. Ia mendapati William terkulai lemah dengan suhu tubuh yang tinggi. William mengerang hebat sebab ia merasa sangat kedinginan namun badannya justru sangat panas.

"William! Ini Bibi Rosie, kau darimana saja William?" Bibi Rosie terkejut bukan main saat mengelus dahi William.

"William kau demam? Badanmu panas sekali." Bibi Rosie segera mencari termometer. Ternyata suhu badannya tiga puluh sembilan derajat koma dua celcius. Bibi Rosie berseru panik, berlari kesana kemari.

"William kita harus ke dokter." William hanya bisa menjawab dengan erangan. Ia menggigil hebat dalam selimutnya.

Rosie menelpon ambulans dari rumah sakit terdekat. Ia berjalan bolak-balik dengan panik. Tiba-tiba seseorang muncul dalam kepalanya. Anne, kakaknya. Tanpa ragu dan dengan emosi meletup Rosie menelpon kakaknya itu. Setelah mendengar bunyi operator yang berkata bahwa nomornya tidak bisa dihubungi, ia baru ingat bahwa Anne sudah mengganti nomor ponsel. Satu-satunya yang bisa Rosie lakukan adalah mengirimkan email. Ia mengetik dengan jemari bergetar.

Nyatanya Rosie menemukan nomor telepon baru Anne yang terdaftar pada emailnya. Dengan menahan tangis mendengar William yang menggigil di dalam kamar, Rosie menunggu respon suara dari seberang sana.

Telepon tersambung.

"Hei! William demam parah sekarang, lebih baik kau ke sini sekarang juga!"

Anne terkejut mendengar nada histeris adiknya itu. Awalnya ia sedang berbelanja di mall sambil menunggu suaminya. Tadinya ia ogah-ogahan mengangkat telepon itu, tapi akhirnya ia angkat juga. Anne terpaksa keluar dari toko baju. "Astaga, pelankan suaramu."

"Apa? Kau tidak panik anakmu sedang sakit?"

"Kau serius?"

"Mana ada aku bohong, Anne. William demam tiga puluh sembilan derajat."

"Benarkah?"

Rosie mendecakkan lidah, "kau ini peduli tidak, sih? William itu anakmu!"

"Iya, iya, nanti aku ke sana. Aku sedang menunggu suamiku pulang."

"Bodoh! Bagaimanapun caranya kau harus ke sini sekarang!"

"Beraninya kau!"

"Kukirimkan alamat rumah sakitnya ke email mu. Pokoknya kau harus menjenguk William malam ini juga." Rosie memutuskan sambungan telepon dengan emosi meluap-luap. Tepat setelah itu, terdengar bunyi sirene ambulans mendekat.

Beberapa perawat masuk ke kamar dan mengangkut William dengan ranjang beroda. Napas William pendek-pendek, ia meringkuk dalam selimutnya. Rosie tak kuasa menahan tangis. Setelah mengunci pintu rumah, ia ikut masuk ke dalam mobil ambulans sambil menggenggam tangan William yang panas. Rosie tak melepaskan tatapan matanya dari keponakannya yang kini terbaring lemah.

Sesampainya di rumah sakit, William langsung dibawa ke IGD. Para perawat bekerja dengan cekatan. Seorang dokter memerintah kesana kemari. Setelah dilihat lagi suhu tubuhnya, tiga puluh sembilan koma dua derajat. William tak sadarkan diri, tak bisa diajak bicara. Akhirnya Rosie yang menjawab semua pertanyaan dokter. Rosie berusaha menjelaskan apa yang ia ketahui, air matanya masih mengucur. Alat uap diletakkan di atas wajah William. Kini tangan kanannya telah tertusuk jarum infus.

"Tolong keponakan saya, dokter," lirih Rosie dengan tatapan penuh harap.

"Akan kami usahakan, Bu."

Kemudian seorang perawat mengarahkan Rosie untuk menunggu di luar sambil mengurus administrasi. Setengah jiwa Rosie langsung sadar saat mendengar kata administrasi. Ia mengurus semua biaya yang diperlukan. Lalu ia menunggu di kursi tunggu dengan tangan menopang dagu. Rosie jelas kelelahan, tapi rasa khawatirnya lebih besar.

Jarum jam detik berjalan seperti biasa, tapi tidak bagi Rosie. Jarum itu seperti membeku, lama sekali berputarnya. Beberapa menit kemudian Rosie tertidur karena kelelahan.

"Hei, bangun," seorang wanita mengguncangkan bahu Rosie membangunkannya, "apa dia tidak malu tertidur di tempat umum seperti ini?" mendengar omelan kecil itu membuat suaminya menggelengkan kepala. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro