Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 17 Beautiful Sunset

William melangkah mundur perlahan. Ia tidak tahu harus berkata apa kepadanya. Seorang wanita bersayap dengan tatapan lesu. Napasnya terengah.

Kedua sayapnya makin ditarik oleh gravitasi. Wajahnya kuyu, tak nampak lagi tatapan tajamnya. Kakinya lemas tak mampu menopang badannya sendiri, jatuh ke atas permukaan pasir.

"Bella!" William berlari.

"Bangun, Bella, bangun. Bella, ayo bangun. Kamu sakit? Kenapa kamu bisa begini?" William menepuk-nepuk bahu Bella. Ia mengangkat kepalanya perlahan dan menempatkannya di atas pahanya.

"Bella, bangun ..." William masih berusaha menyadarkannya. Tapi Bella tak kunjung membuka mata.

Angin laut berhembus melewati mereka berdua. William masih khawatir akan kondisi Bella, tapi sepertinya ia tengah tertidur. Napasnya mulai teratur. William memilih untuk tidak membangunkannya lagi. Ia membiarkan Bella tertidur di pangkuannya. Ia tertidur lelap.

***

Ia tertidur untuk sesaat. Kelopak matanya terbuka perlahan. Angin berhembus lagi.

Saat matanya terbuka dengan sempurna, Bella tersentak mendapati William juga tertidur di hamparan pasir. Ia lantas bangun dari pangkuan William. Gerakan terkejutnya itu membuat William sadar.

William mengerang halus. Suara dehamnya itu khas orang bangun dari tidur yang panjang.

"William?"

"Ya ..."

Bella teringat kejadian beberapa saat sebelumnya. Tentang bagaimana ia bisa berada di pantai ini bersama William.

Bella membawanya. William dibawanya pergi sedetik sebelum ia meninju Ellen. Bella kehabisan energi setelah membawa William ke tempat yang jauh dari sekolah. Sekarang disinilah mereka, di depan hamparan laut yang bergulung.

"Bella, apa yang terjadi denganmu? Kenapa kita bisa bertemu lagi? Bukannya kau marah padaku?" tanya William setelah kesadarannya mulai terkumpul.

William menatap Bella dengan kedua bola matanya yang polos itu.

Kata-kata William membuat Bella terdiam, seolah mereka tidak ditakdirkan untuk bertemu lagi. Selama ini, Bella tidak pernah meninggalkan William. Sebenarnya, ia tidak bisa karena api Lilin Hitam yang William taruh di kamarnya belum padam, artinya pengabdian tugas seorang Malaikat Hitam belum tuntas. Saat itu Bella tak bisa lagi menahan diri sehingga ia kabur untuk sesaat. Tapi setelah itu ia kembali menengok William, ia selalu mengawasinya dengan kemampuan tak terlihatnya. Tidak ada satupun yang tahu selama ini Bella selalu ada di dekatnya. Bahkan tak jarang berada di samping William persis.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu." Kata-kata itu keluar dari mulut Bella.

William tertegun.

Sekelebat cahaya jingga dari sang matahari yang mulai turun menyiram seluruh permukaan pantai. Bella berdiri dengan cahaya senja meliputi dirinya. Mulai dari rambutnya, wajahnya, sampai sayapnya menjadi berkilauan karena sorotan matahari sore. Sayapnya yang lebar itu tertiup angin pantai, ujung bulu-bulunya bergoyang. Tanpa disadari, satu ulas senyum ia tunjukkan karena kedua mata polos itu menatapnya dengan begitu dalam.

"Bella ..."

"Maafkan aku, William."

Satu tarikan napas berat datang dari hidung Bella.

"Tugasku sebagai Malaikat Hitam memang untuk membantu orang-orang sepertimu. Tapi sepertinya memang salahku yang tidak mengerti tuanku sendiri," ucap Bella dengan suara lirih.

William tersentak. Dadanya berdebar, kakinya gemetar, ia meremas jari-jari tangannya sendiri. Banyak skenario yang berputar di kepalanya. Skenario masa lalu dan kemungkinan masa depan.

"Bella, maafkan aku ..."

Satu tetes air mata turun dari ujung mata William. Bulir itu menuruni pipi sampai berakhir di ujung bibir.

"Aku tahu aku memang aneh. Tapi aku tidak tahu kenapa aku bisa jadi begini." Satu tetes lagi jatuh. Dua tetes. Tiga. Empat.

"Aku selalu dijauhi teman-teman. Aku tidak bisa bergaul seperti anak laki-laki lainnya. Mama juga jarang sekali bercerita padaku. Aku hanya ingin seseorang ... bisa mengerti kondisiku," ucapnya dengan sesenggukan.

William merasakan kehangatan menjalar dari tangannya. Kehangatan itu membuat William sedikit lebih baik. Setelah ia sadar, matanya melihat Bella menggenggam tangannya. Bella mengelus punggung tangan William.

"Aku selalu dijauhi entah apa salahku. Padahal aku tidak melakukan apapun. Sepertinya memang karena aku aneh dari lahir," William melanjutkan. Maksud sebenarnya dari kata aneh itu adalah wajahnya. William selalu terbayang saat dulu anak-anak tetangga menjauhinya, padahal ia hanya ingin mencoba bergaul dengan mereka. Saat William kecil, ketujuh tahi lalat di wajahnya itu tampak jelas karena warna kulit putihnya itu. William mencoba menyapa, menawarkan mainan untuk dimainkan bersama, tapi mereka tak mempedulikannya. Meskipun sekarang sudah tidak begitu mencolok, tapi kebanyakan orang masih melemparkan pandangan aneh kepada William. Dan itulah yang terjadi di kehidupan sekolah William dari dulu sampai saat ini.

Tetesan air mata kembali berjatuhan ke atas pasir. Saat bulir itu jatuh, untuk sepersekian detik tetesan itu memancarkan kilau karena tersorot oleh cahaya senja.

Bella mengelus punggung William, mengirimkan kehangatan.

"Ngomong-ngomong, matahari terbenamnya sangat indah, ya." Di tengah tangisannya, William masih sempat memuji pemandangan di hadapannya. Hal itu membuat Bella terkekeh kecil.

"William, aku ada disini untuk mengerti dirimu. Aku ... akan mengerti dengan kondisimu." Bella membisikkan kalimat itu. Senyum tipis terlihat di wajahnya. Bola matanya merekah saat menatap William.

Bella sendiri tak mengerti kenapa kata-kata lembut seperti itu keluar dari mulut seorang Malaikat Hitam yang penuh dengan rencana gelap. Tak terbayangkan selama hidupnya ia mendapat tuan yang memiliki Aura Hitam pekat tapi juga memiliki sisi polos, lembut, dan rapuh seperti William. Biasanya ia selalu melayani tuan yang penuh dengan ambisi balas dendam yang kuat dan memiliki banyak rencana jahat. Kebanyakan dari mereka ingin membuat orang-orang yang telah menyakitinya juga turut merasakan sakit yang mereka rasakan. Dengan pengalaman ratusan tahun, Bella menanganinya semudah menjentikkan jari.

Tapi kini sosok tuan yang berbeda hadir di hadapannya. Ia hadir dalam wujud seorang William.

"Aku takut jika kamu tidak nyaman denganku. Aku sendiri juga bingung kenapa seorang Malaikat Hitam bisa datang padaku, padahal aku tidak merasakan apapun."

"Tidak, William. Di balik itu pasti ada sesuatu, aku di sini untuk mengerti dirimu."

"Tapi aku takut, Bella," nada suara William agak meninggi, "lebih baik kamu bantu saja orang lain, aku bisa mengatasi ini sendiri."

"Kenapa kau berkata seperti itu, William?"

William tak membalas lagi, ia berlari menjauhi Bella. Ia berlari secepat yang ia bisa. Melawan angin pantai yang berhembus. Di tengah siraman cahaya matahari senja yang masih menyelimuti mereka. Melihat itu Bella tertegun. Tanpa pikir panjang ia mengerahkan kekuatannya untuk menarik William. Ia mengontrol angin dan menyeret William sampai kembali ke hadapannya. Langkah William melambat dan tubuhnya terbawa angin sampai ia kembali berdiri di hadapan Bella.

Bella melangkah maju memangkas jarak. Kedua tangannya dengan cepat meraih William dan memeluknya. Kedua sayap hitamnya yang lebar juga ikut memeluknya. William terkunci dalam pelukan Bella, ia tidak bisa lari kemanapun.

William mengalah. Ia larut dalam pelukan itu. 



<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro