Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16 Good Bad Boy

“Apa maksudnya?” tanya William bingung.

Daniel mendecakkan lidah dengan nada merendahkan, “kau sebodoh itu sampai lupa kejadian kemarin?”

William terdiam. Ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Lidahnya kelu. Ia ingin memanggil Bella, tapi sepersekian detik kemudian ia teringat bahwa mereka sudah berpisah. Tak mungkin ia kembali memanggil Bella yang sudah murka kepadanya. 

Daniel mendekat ke arah telinga William dan membisikkan sesuatu. 

“Aku tak akan main-main denganmu kali ini. Di tanganku sudah ada bukti kuat. Tunggu saja waktu mainnya nanti.”

Setelah itu Daniel pergi sambil sengaja menabrakkan lengannya ke bahu William. 

Seperti seorang guru memasuki kelas, kini William juga membuat satu kelas terdiam selama beberapa detik. Semua mata memandangnya. Tak lanjut berisik, satu kelas malah berbisik-bisik pelan. 

Tentu saja membicarakan William dan rumor itu. 

Luna di sebelah menatap William dengan sorot mata lemah. Ia merasakan apa yang William rasakan dalam hatinya. 

“Hei, kau betulan ingin membakar sekolah ini?” Seorang perempuan menghampiri meja William dan langsung menyemburnya. 

“Kalau kau mau bercanda harusnya diam-diam saja, tapi ini satu sekolah mendengar candaanmu itu. Bagaimana kalau para guru tahu?” Temannya yang lain ikut melabrak. 

Jemari William tertekuk membentuk sebuah kepalan. Bola matanya bergerak ke sana kemari. Panik. 

“Aku … tidak tahu apa yang kalian bicarakan.”

Perempuan itu tertawa dengan sekali hentakan napas, “jujur saja, sejak awal kedatangan mu kau aneh sekali, tapi semakin ke sini justru semakin terbongkar keanehanmu itu.” 

“Tidak ada yang mau mengobrol denganmu sampai kau terpaksa berteman dengan si Ratu Es? Menyedihkan.”

Satu kelas tertawa keras. 

“Hei, hei, ada apa ini?” 

Dengan topeng senyum simpatinya itu, Daniel datang. 

“Ada apa ramai-ramai?” Daniel mendekati meja William setelah dua perempuan tadi pergi. 

“Kau tahu kan, ada rumor seseorang mau membakar sekolah ini. Sudah pasti itu ulahnya si Aneh.”

“Sudahlah, kita belum tahu siapa pelaku sebenarnya. Belum ada bukti juga. Jangan terus-terusan membicarakan rumor,” ucap Daniel halus, menenangkan kondisi kelas. Ia menepuk-nepuk punggung William, menghiburnya.

“Selamat pagi, anak-anak.” Sir George melangkah masuk. Seketika suasana kelas senyap. 

“Salam hormat!”

“Selamat pagi, Sir George.”

“Pagi, pagi semuanya. Sebentar, ya,” balas Sir George sembari mengeluarkan termos kesayangannya itu. Ia harus mengawali hari dengan secangkir teh panas. 

“Hari ini saya ingin dua kelompok maju presentasi, seperti yang kemarin sudah saya bilang.”

Penghuni kelas berbisik tegang. Mereka tak punya tameng apapun untuk berlindung dari kebiasaan Sir George yang selalu suka menunjuk asal. 

“Kelompok Ellen, maju.”

Bak disambar petir di siang bolong, William kaget tak karuan. Ekspresinya itu tak bisa disembunyikan. 

“Sudah siap, ‘kan, William?” tanya Sir George dengan senyum.

William mengangguk kaku. 

Aku tidak bisa ditunjuk tiba-tiba seperti ini. Siapapun tolong aku …”

Bibi Rosie …”

Bella …”

William berjalan maju dengan monolognya yang berantakan. Mereka belum sempat latihan presentasi bersama, tapi kini sudah ditunjuk maju ke depan.

Sementara itu, Ellen melangkahi William lebih dulu dengan angkuh. Jalannya tegap dan sangat percaya diri. Daniel tersenyum elegan seperti tampang murid paling teladan di sekolah. Luna dengan wajah datarnya ikut maju ke depan. 

Semua mata kini memandang mereka. Menatap William. 

***

Ia menunduk dalam saat hendak mengambil tas nya di loker. Masih dengan loker yang sama, loker bergambar api membara, ia menatapinya dengan raut wajah panik. 

Seseorang berjalan di belakang William dengan cepat. Ia berdecak lidah. 

“Minggir bisa tidak, sih? Kau menghalangi jalanku.” Ellen menyenggol William sampai terhuyung ke samping. 

“Ma— maaf.”

“Masih bisa bilang maaf?” 

William membeku mendengar perkataan Ellen. 

“Gara-gara kau, satu kelompok kena imbasnya. Sudah kubilang latihan sendiri di rumah, kau tidak dengar?” Kedua alis Ellen menyatu. 

“Maaf …” 

“Terus saja sebut kata itu sampai seribu kali. Nilai kita tidak akan berubah!” Seiring ia bicara, jari telunjuknya mendorong bahu William keras. 

Beberapa orang yang lewat melihat keributan itu. Perhatian mereka tertuju pada sosok anak pintar yang sebelumnya tak pernah membuat keributan. Ellen, sosok yang dikagumi murid-murid lain karena kepintarannya, harus menanggung malu saat tadi mempresentasikan tugas kelompoknya di depan kelas. 

Dan semua itu karena William. 

William sebenarnya ingin mengatakan apa yang ia rasakan. Ia sudah berusaha latihan sendiri di rumah, tapi mulutnya selalu berbelit-belit. Ia terlalu malu untuk minta bantuan Bibi Rosie. Ia sudah membolak-balik halaman materi ratusan kali, tapi ia tetap gugup. Apalagi saat semua pasang mata memandangnya. Pemandangan saat ia berdiri di depan kelas diterjemahkan otaknya seperti pemandangan di hutan gelap dengan banyak pasang mata merah yang mengincarnya. 

“Aku … sudah latihan berkali-kali di rumah.” 

William mengatakan sesuatu. Ellen yang sudah mengambil tas nya dan hampir balik kanan untuk pulang, berbalik mendengar itu. 

“Lalu? Hasilnya tetap jelek, artinya kau tidak latihan dengan sungguh-sungguh.”

“Aku sudah berusaha, kau saja yang tidak melihatnya!” 

Teriakan itu keluar dari mulut William, membuat Ellen menaikkan satu alis. 

“Kau saja yang memang payah,” balas Ellen, lalu pergi. 

Dengan keyakinan yang tiba-tiba bertengger pada dirinya, William berjalan cepat menghalangi Ellen. Ia tak peduli orang-orang di sekitar yang terkejut karena hentakan kakinya. Ellen terperanjat dengan tatapan tajam dari William. 

“Keterlaluan.” 

Tangannya terkepal sampai memerah. Keringatnya mengucur sedikit demi sedikit. Kilat amarah terlihat jelas di matanya. Kuku nya tertancap di telapak tangannya. Seluruh api dalam dirinya menguar memenuhi koridor. 

Percikan api kecil keluar dari kepalan tangannya. Semakin lama semakin besar. Api merah itu menyala semakin terang. Geraman terdengar dari tenggorokannya. Ia harus melampiaskan amarah terpendam. 

William maju perlahan. Menatap anak paling pintar di kelas dengan tatapan buasnya. 

“Lihat! Ada api keluar dari tangannya!”

“Jangan-jangan, dia pelaku yang ingin membakar sekolah?”

“Dia yang disebut-sebut di rumor itu?”

Gendang telinga William tak lagi mendengar teriakan histeris orang-orang di sekitar. Kini jarak mereka hanya tinggal tiga langkah. 

William melangkah cepat. 

Satu langkah lagi saja, ia akan melayangkan tinju berapinya itu. 

Satu tinju ia lemparkan. 

William memang tidak pernah berkelahi sebelumnya. Jika ada yang mengganggunya, ia hanya akan diam dan pulang ke rumah. Kali ini ia memusatkan amarahnya sejak dulu ke dalam satu pukulan tinju. Tapi pukulan itu hanya mengenai angin. 

Tinju William meleset. 

Pemandangan di depan matanya berubah. 

Setelah berkedip tiga kali, William baru sadar bahwa ia sudah tidak berdiri di koridor lagi. Kakinya tidak lagi menginjak ubin sekolah.

Suara debur ombak menyadarkan pikirannya. 

“William.” 

Suara itu. 

William menoleh, mencari sumber suara. Seseorang berdiri di belakangnya. Sayapnya terbuka kuyu, ujung bulu-bulunya bersentuhan dengan butiran pasir. 

“Bella?” 

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro