Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15 Burned It Down

Hari Minggu yang indah. Matahari bersinar terang tapi tidak terlalu terik. Cahayanya lembut dan sopan masuk ke mata. Terdengar kicauan burung yang sedang bertengger di tiang listrik. Penghuni rumah dengan gaya jadul, dua lantai, dan memiliki semak bunga hydrangea di depannya, memulai pagi dengan sarapan.

“Rajinnya … Pagi-pagi di hari Minggu begini kamu sudah masak. Sarapan apa kita hari ini?” Seorang wanita paruh baya berusia empat puluhan mengintip kondisi dapur. Aroma mentega menguar ke seluruh ruangan.

“Selamat pagi, Ibu. Aku sedang membuat roti bakar dengan selai stroberi dan teh,” jawab Anne riang. Ia mengangkat dua lembar roti yang sudah berwarna coklat keemasan dari teflon. Dengan melihatnya saja siapapun sudah bisa merasakan garingnya pinggiran roti itu.

“Ya ampun, pintar sekali anak Ibu. Jadi tidak sabar mau makan, deh,” Margret memeluk anaknya dari samping. Sedetik kemudian ia mendecakkan lidahnya.

“Aduh, kamu ini selalu saja tidak mengikat celemek.” Margret menoel pinggang Anne dengan maksud mengingatkan, sekaligus mengikat celemek berwarna merah muda itu. Anne hanya bisa nyengir kuda. Ia memang suka tidak mengikat celemek karena berpikir ia hanya berada di dapur sebentar. Kegiatan memasaknya juga tidak menghasilkan banyak noda di bajunya.

“Ngomong-ngomong, adikmu kemana?”

“Tidak tahu, tapi sepertinya belum bangun.”

Margret menggelengkan kepala, “ya sudah, biar ibu saja yang teruskan, kamu ke atas bangunkan adikmu.” Ia mengambil alih tugas membalikkan roti di teflon dan menuangkan teh dari teko.

Anne menurut, ia menaiki anak tangga dan mengetuk pintu kamar.

“Hei, bangun cepat. Ibu sudah menunggu di bawah.”

Tak ada respon.

“Rosie cepat bangun.” Nada Anne meninggi, ia menggedor pintu.

“Bangun Rosie!! Sudah jam berapa ini?” Anne berusaha membuat suara berisik dengan kenop pintu yang terkunci.

“Ros—”

Bam! Terdengar suara debam dari dalam kamar.

“Iya, sabar! Dasar cerewet!”

“Cih, kau juga dasar tukang molor!”

Sialan.” Rosie mengumpat dalam hati.

Suara debam tadi berasal dari lemparan bantal Rosie ke pintu kamar. Ia sudah muak dengan kakaknya itu. Hampir setiap hari Minggu kata-kata itu didengarnya. Tidak ada kelembutan setiap kali Anne berbicara dengan Rosie. Tidak ada sosok kakak terpampang di jidatnya itu.

Rosie menggeliat, ia terlalu cinta mati dengan kasurnya sampai tak ingin meninggalkannya sedetik pun. Dengan malas-malasan ia menuju kamar mandi.

“Adikmu itu lho, tidak bisa menirumu supaya lebih rajin. Mana ada perempuan yang baru bangun jam segini.” Margret mendesak kesal sambil membawa tiga piring roti bakar.

“Sudah kuingatkan berkali-kali, Bu, tapi dia tetap saja begitu,” balas Anne, ia membantu ibunya membawakan sarapan.

“Harusnya seorang perempuan itu bangun pagi-pagi, belajar masak, supaya bisa merawat suami,” ceramah Margret, “oh ya ngomong-ngomong, bagaimana kabar calon suami mu?” lanjut Margret antusias, ia suka sekali dengan topik ini.

“Ah, Ibu. Baru juga dua tahun,” balas Anne malu-malu.

“Jangan kamu bicara seperti itu. Mau sampai berapa tahun Ibu menunggu? Kejar saja terus, pasti ia juga ingin menjadikanmu istri.”

“Ibu …”

“Pokoknya Ibu mau minggu depan Harris sudah berganti status jadi menantu Ibu.”

Anne terperanjat, “Aduh berat sekali tugasku.”

Margret terkekeh.

“Anne, kau itu cantik, kalian juga sudah lama berpacaran, dia pasti ingin segera melamarmu. Setiap kamu cerita tentang dia pun Ibu selalu senang mendengarnya. Apalagi waktu kalian pergi kencan, kamu diantar dengan mobil mewah. Saat itu juga Ibu yakin Harris bisa menjadi suami yang baik. Duh, Ibu jadi iri,” Margret tertawa kecil “urusan dia lebih tua daripada kamu itu gampang, toh usia hanyalah angka.”

Margret minum teh dengan anggun setelah menasehati anak sulungnya. Anne selalu tersipu malu setiap membicarakan calon suaminya itu. Ia sendiri juga yakin bahwa Harris juga merasakan gelombang perasaan yang sama dengannya. Tak lama lagi laki-laki itu pasti akan berlutut di hadapannya dengan membuka kotak cincin berlian.

Selagi topik pembicaraan itu masih mengudara, Rosie turun dari kamar mandi atas untuk sarapan. Mendengar obrolan kedua wanita itu membuat telinganya gatal.

“Rosie, kamu tidak bisa bangun siang terus seperti ini. Perempuan itu harus selalu bangun pagi, sibuk di dapur, lihat kakakmu. Pagi-pagi ia sudah membuatkan sarapan untuk adiknya yang malas-malasan.”

Dengan tak sepenuh hati Rosie berjalan, mengambil roti bakarnya, lalu melengos pergi.

“Astaga, kamu harusnya cuci tangan dulu sebelum menyentuh makananmu,” Margret berseru tegas.

“Tadi kan aku sudah mandi.”

“Rosie, kamu tidak mendengarkan Ibu.”

“Iya tadi aku dengar, Bu.”

“Sebaiknya kamu menjaga sikapmu.”

“Iya aku tahu Ibu menyuruh Anne menikah minggu depan, kan? Nanti akan kubantu persiapannya.”

“Rosie!”

Rosie memutar bola matanya malas. Ia muak menghadapi setiap minggu pagi seperti ini. Topik tentang Anne dan pacarnya yang selalu dibicarakan Ibu membuat bulu kuduk Rosie berdiri. Apalagi setelah mengetahui bahwa laki-laki itu empat tahun lebih tua. Ia tak habis pikir dengan kakaknya yang masih di tahun terakhir SMA nya malah berpacaran dengan laki-laki yang sudah lulus kuliah. Dari mana pula ia bertemu calon suaminya itu? Apakah ia tak malu berpacaran dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya?

Semua orang di rumah ini mendukung cinta aneh mereka berdua, kecuali Rosie.

“Cukup, Ibu. Aku tak tahan lagi mendengar kisah cinta mereka berdua. Jika Ibu masih mau membicarakan itu dengannya silahkan saja, aku mau makan di luar.”

“Tidak sopan kamu Rosie.” Margret menggebrak meja dan berdiri dari kursi.

Rosie tak peduli, ia berjalan cepat ke teras depan untuk menikmati sarapannya.

“Bu, tenanglah,” bisik Anne, ia mengelus tangan Margret.

“Kamu tidak lebih dari sekedar harapan yang rusak. Mencontoh kakakmu saja tidak bisa. Mau jadi apa kau nanti?” seru Margret dengan nada tinggi. Ia berjalan ke luar dan mendapati Rosie duduk dengan satu kaki diangkat sambil mengunyah roti bakarnya.

Rosie acuh tak acuh dengan omongan ibunya. Seolah kedua telinganya tak terlihat, ia tetap melanjutkan makan.

“Rosie!”

“Aku, ya aku. Anne, ya Anne. Aku dan dia beda, Bu. Mana mungkin aku dengan gampangnya jatuh cinta dengan om-om hanya karena dia punya banyak uang?"

“Apa maksudmu berbicara begitu, hah?”

“Aku akan buktikan, memilih jalan yang berbeda tidak akan membuatku gagal dari yang lain.” Setelah berkata seperti itu, Rosie pergi meninggalkan ibunya di teras depan.

***

Kali ini ia merasakan momen deja vu.

Semua mata menatap William, tapi kali ini lebih banyak pasang mata. Ditambah dengan ekspresi lebih merendahkan.

Memang biasanya William selalu menjadi pusat atensi semenjak kedatangannya ke sekolah barunya itu. Setelah beberapa waktu, warga sekolah mulai mengacuhkannya. Tapi kali ini, mereka kembali menatap William lagi.

Bruk!

“Hei, lihat-lihat kalau jalan.”

“Ma— maaf.”

William berjalan dengan pikiran yang terlalu berisik sehingga ia tak sengaja menabrak orang dari lawan arahnya.

Sesampainya William di loker, ia merasa tidak mengenali lokernya. Label nama di loker itu masih tertulis nama William Clover, tapi hanya lokernya sendiri yang berwarna lain.

Ada lukisan bergambar api membara di seluruh pintu lokernya.

Eh?” Dalam hati William terkaget. “Siapa yang menggambar di loker ku?

“Itu dia yang katanya mau membakar sekolah.”

“Mana? Orang itu?”

“Iya lah. Aku baca dari postingan sekolah katanya dia mau membakar sekolah dan ada buktinya. Tapi masih belum ada yang tahu dimana buktinya.”

“Wah, mengerikan sekali. Jangan-jangan buktinya ada di …”

“CCTV?”

Deg.

Suara ocehan segerombolan anak perempuan yang baru saja melintas di belakang William terlalu keras untuk dibilang berbisik-bisik. Akhirnya William mendengar kata-kata mereka.

Seketika itu juga William menengok ke atas.

Sebuah CCTV putih kecil menggantung di sana.

“Selamat pagi. Kau sudah siap membakar sekolah ini?”

Tiba-tiba saja Daniel datang dan menghampiri William yang mematung di tempat.

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro