Chapter 12 Light A Fire
William tersenyum lega sekaligus kaget dengan cara Bella datang yang cukup heboh. Panggilan bisikannya berhasil.
Luna merapikan rambutnya yang berantakan. Ia celingak-celinguk, keheranan dengan angin yang entah dari mana asalnya itu menerpanya. Daniel memperbaiki posisi berdirinya.
“Kau lihat apa, hah?” Daniel bertanya dengan nada tinggi.
William terdiam. Otaknya sibuk mencari cara bagaimana ia harus membuat Daniel kapok kali ini. Bella sudah datang untuknya, tapi tidak mungkin ia mengakhiri hidup Daniel di tempat seterbuka ini dengan banyak saksi mata. William berdecak lidah, tangannya terkepal, pikirannya rusuh dan tiba-tiba menjadi kosong saat Bella sudah sampai di hadapannya.
Bella memiringkan kepala. Ia memberikan sedikit isyarat. Bella berusaha memberitahu bahwa ia bisa melakukan apa saja untuk menghajar Daniel tanpa terlihat oleh siapapun.
“Hei, Daniel. Repot-repot sekali kau memberikanku kejutan sampai berantakan begini. Bagaimana kalau kubersihkan dulu?” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut William. Kini ia berdiri lebih tegap, satu tangan masuk di kantong celana, dan satu tangan lagi menjentikkan jari.
Bella langsung memahami instruksi itu. Dengan kekuatannya ia membuat foam berukuran kecil yang banyak dan berserakan dimana-mana itu terkumpul menjadi satu, kemudian ia masukan ke dalam tempat sampah. Ia juga merapikan sampah yang lain sampai lantai benar-benar bersih.
Daniel dan Luna tersentak melihat pemandangan janggal itu. Sampah foam, kertas, dan yang lainnya terbang di udara dan masuk ke dalam tong sampah sendiri. Sementara itu William mulai mengukir senyum, ia sudah mengerti bagaimana permainan ini berjalan.
“Bagaimana kau … melakukannya?” Suara Daniel bergetar tapi ia berusaha menutupinya. Luna masih terdiam sambil menutup mulut.
“Oh ya, aku juga tidak butuh coklat mahalmu itu. Kebetulan aku tidak suka coklat jika coklatnya belum meleleh.” Kata-kata William yang tak biasa itu sungguh membuat dua orang di hadapannya heran. Ia seperti melihat sosok lain di balik William yang lugu.
Tak perlu pikir panjang, Bella mengerti apa yang diperintahkan tuannya. Ia mengangkat kotak coklat yang dibuang Luna tadi ke udara. William menaruh tangannya di bawah kotak itu seolah ia bisa mengontrolnya.
“Aku cukup terkejut dengan surprise darimu, tapi aku lebih suka atraksi daripada kejutan.” William mengangkat jari telunjuknya. Dari ujung jarinya keluar percikan api kecil yang makin lama makin membesar dan membakar kotak coklat itu tepat di hadapan sang pemberi coklat.
Kali ini Daniel tak bisa menahan amarahnya. Dibalik kebingungannya melihat semua benda tiba-tiba bisa beterbangan di udara, ada harga diri yang diinjak-injak oleh laki-laki payah di depannya itu. Ia menggeram, tatapannya tajam terlempar ke arah William yang sedang asyik membuat coklat leleh.
Kotak dari karton keras itu meleleh dengan coklat di dalamnya. Saat api mulai membesar, William menjentikkan jarinya. Seketika itu juga hilanglah sampah yang dibakarnya tadi. Bella melenyapkannya seperti tidak terjadi apa-apa.
“Pertunjukkan selesai. Sayangnya kalau mau nonton lagi besok, kau harus membayar tiketnya,” sarkas William benar-benar menusuk hati Daniel yang terdalam.
“Ayo, Luna, kita pulang.”
William mengambil tas, mengunci loker, dan mengajak Luna pergi. Melihat tugas pertamanya selesai, Bella tersenyum lebar. Ia sangat terpikat dengan Aura Hitam yang barusan William tunjukkan. Ia menghilang dalam sekejap meninggalkan Daniel yang mengerang kesal.
“Kau tidak apa-apa?” Luna akhirnya mengeluarkan suara. Mereka sampai di depan gerbang sekolah. Anak-anak lain kebanyakan sudah pulang. Kondisi parkiran cukup sepi.
“William?”
“Eh, ya?”
William tersadar dari lamunannya.
“Kau ini kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
Luna menaikkan alis bingung, “kau tidak menyadari kejadian barusan?”
“Oh, iya. Itu …” kali ini William kehilangan kata-kata untuk menjelaskan atraksinya tadi. Ia bingung bagaimana harus mendeskripsikan Bella karena ceritanya cukup panjang.
“Itu … Lupakan saja. Anggaplah itu tidak pernah terjadi,” ujar William pelan.
“Tidak mungkin kejadian seaneh itu dengan mudah dilupakan orang. Kenapa tadi kau bisa menerbangkan sampah? Kenapa dari jarimu keluar api? Kenapa kotak coklat itu bisa kau bakar dan tiba-tiba hilang?” Rasa penasaran Luna membludak. Tidak masuk akal rasanya jika William betulan menguasai ilmu sihir.
“Aduh, itu agak susah menjelaskannya …” William sendiri pun bingung menjawab rentetan pertanyaan Luna.
“Lalu kenapa tadi kau terlihat seperti … bukan dirimu?”
“Eh … Tidak ah, aku biasa saja,” balas William diselingi nyengir kuda. Ia menggaruk tengkuk lehernya.
Luna menutup setengah pupil matanya dan memberikan ekspresi lelah. Ia tak habis pikir dengan kejadian tadi dan William yang ia lihat sekarang sangat berbeda dengan yang tadi.
Luna menghela napas berat, “ya sudah, sampai bertemu besok lagi.”
“Tunggu.”
Luna yang sudah berjalan menjauhi William menoleh.
“Bagaimana kalau kita mengerjakan tugas kelompok sejarah di rumahmu?”
Kedua bola mata Luna membesar. Ia tak menduga kalimat itu. Dengan segala kondisi rumahnya yang berisik, tidak mungkin ia bongkar kepada orang lain. Tapi ini pertama kalinya ada seseorang yang ingin mengerjakan tugas kelompok di rumahnya.
“Jangan di rumahku. Di rumah yang lain saja. Sudah, aku mau pulang,” jawab Luna dingin. Ia kembali berjalan menuju halte.
“Akan kutunjukkan bagaimana aku melakukan trik sulap tadi!” William berseru, tapi Luna tidak membalikkan badan dan membalasnya. Ia tersenyum tipis memperhatikan kuncir satu kepang Luna dari belakang.
William berjalan kaki pulang. Langkah kakinya cukup cepat. Ia memutar ulang kejadian tadi di kepalanya. William sendiri tidak percaya ia bisa berkata-kata seperti tadi. Ujung bibirnya naik sedikit.
Awan kelabu berkumpul menjadi satu dan menimbulkan langit yang gelap. Menyadari itu William berjalan setengah berlari. Ia tak mau ditertawakan Bella jika pulang dalam keadaan basah kuyup.
“Selamat datang, William,” sambut Bella ramah dengan senyum yang memperlihatkan deret gigi putihnya.
Sambutan hangat itu terdengar asing bila keluar dari mulut Bella yang biasanya jutek. William masih terengah kehabisan napas setelah berlari. Terlambat lima detik saja, ia sudah jadi korban hujan deras dengan petir bergemuruh.
“Aku lelah sekali …” ucap William menambah satu tarikan napas di tiap suku katanya.
“Eh, kenapa punggungku?” Saat menoleh ke belakang, Bella sedang menaruh satu tangannya di punggung William. Ia mengalirkan kehangatan dan kekuatannya itu. Bella tersenyum samar.
“Bagaimana kau melakukannya?” seru William heboh.
“Kau juga, bagaimana kau melakukannya tadi?”
“Melakukan apa?”
“Ck, tadi. Kau berhasil mengintimidasi Daniel. Aku sangat suka Aura Hitam mu tadi.”
William tertawa canggung.
“Sepertinya nanti aku akan memanggilmu lagi,” ucap William dengan nada setengah tak yakin.
“Ooh, aku suka gayamu. Pelan-pelan kau menyiksa target sampai dia binasa, kan? Tentu saja, dengan senang hati akan kulakukan,” balas Bella sambil melebarkan sayapnya, menimbulkan suara kepakan. Melihat itu William takut jika sayap besarnya mengenai salah satu pajangan Bibi Rosie.
“Ya … Aku ingin menunjukkan trik sulap tadi kepada Luna.”
“Trik?”
“Iya, trik seperti tadi aku bisa mengeluarkan api dari jariku.” William tersenyum, memandangi tangannya.
Bella terdiam. Sayapnya perlahan turun, bersembunyi di punggungnya.
“Luna? Kau menyuruhku melakukan trik tadi kepadanya?”
“Iya, aku ingin menghibur Luna seperti aku bisa sulap betulan. Bukankah keren?” William tertawa pelan.
Raut wajah Bella mendingin. Tatapan elangnya tertuju pada William. Ia benar-benar memasang tatapan paling mematikan dari seorang Malaikat Hitam.
Bella melipat tangannya angkuh, “kupikir gayamu dalam balas dendam adalah dengan cara pelan-pelan namun semakin mematikan sampai di akhir. Tapi sepertinya aku salah menilaimu. Selain tampang, kepribadian aslimu ternyata juga lugu. Aku sudah disini berhari-hari, tapi kekuatanku yang digunakan untuk membantumu kau sebut trik?”
“Bella, aku …”
“Kau sama sekali tidak tahu tentang legenda Malaikat Hitam? Aku ini legenda yang nyata, berdiri di depanmu!”
William terkesiap. Garis urat leher Bella timbul, tangannya terkepal kuat, kata-katanya menghardik tuannya sendiri.
“Kau tidak tahu, betapa sulitnya melatih kekuatanku selama ratusan tahun. Dan sekarang, tuanku sendiri, malah menyuruhku melakukan tugas-tugas remeh.”
<<<>>>
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro