Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11 Trash Surprise

Satu hal yang masih menjadi culture shock bagi William di sekolah barunya itu adalah betapa kontras nya perilaku murid saat guru di dalam kelas dan setelah guru keluar kelas. Jika guru belum masuk ke kelas, kondisi kelas dipenuhi dengan obrolan ricuh. Mengobrol, bercanda, tertawa terbahak, semuanya menjadi satu. Murid laki-laki dengan tak tahu malunya duduk di atas meja dan bercanda sambil main fisik, sementara murid perempuan tertawa cekikikan dengan gerombolannya masing-masing sambil merias wajah.

Bahkan William baru tahu kalau murid SMA perempuan sudah boleh memakai make up. Berbeda dengan di sekolahnya dulu, semua murid sangat takut dengan para guru. Di sekolah William dulu mereka sangat tegas dan bisa saja memberikan hukuman fisik jika melakukan pelanggaran berat.

Sebenarnya disini semua guru juga terlihat menyeramkan, tapi mereka seolah tidak menyadari perilaku murid-muridnya yang sangat berbeda jika tidak ada guru di dalam kelas. Padahal dari luar kelas akan langsung terdengar suara berisiknya, kan? 

Bila terdengar suara sepatu guru dengan jarak dua langkah dari pintu kelas, tombol off di punggung mereka seperti diaktifkan secara bersamaan. Kelas langsung berubah sunyi, barang-barang yang tadinya berantakan langsung rapi dalam hitungan detik. Keadaan langsung berubah menjadi seperti definisi suasana kelas idaman semua guru. Semua murid duduk rapi dan sudah siap dengan buku catatan di atas meja. 

Sudah kurang lebih dua minggu William bersekolah di sana, dan tidak banyak yang mau mengobrol dengan William. Lebih tepatnya, tidak ada, kecuali Luna dan si menyebalkan Daniel. Mereka tidak begitu tertarik kepadanya karena gelagat kaku William. Ia tak dapat berharap tinggi lagi bisa mendapat banyak teman. 

“Selamat pagi, anak-anakku!” 

“Salam hormat!”

“Selamat pagi, Miss Halley.” Semua murid memberi salam sembari membungkukkan badan. 

Miss Halley tersenyum ceria. Guru yang satu ini juga membuat William terkejut. Bisa-bisanya ada guru matematika dengan tampang ceria dan senyum lebar seperti itu? Ditambah lagi, Miss Halley dikenal dengan istilah “rumput berjalan” karena semua barangnya bercorak hijau muda. Saat mengetahui panggilan itu dari guru-guru yang lain, ia hanya tertawa. Tak jadi masalah baginya karena hijau muda memang warna kesukaannya. Mulai dari kotak pensil, tas, anting, corak blazer, sampai ke frame kacamata kotak lebarnya pun hijau muda. 

“Di pagi yang cerah ini, saya akan bagikan hasil ulangan minggu lalu,” lontar Miss Halley semangat. 

Masalahnya, murid-murid di hadapannya tidak begitu semangat mendengar hal itu. 

William mendesah berat, ia cemas hasil ulangannya jelek. Padahal ia sudah belajar sampai malam suntuk, mengerjakan semua latihan soal, sampai lehernya pegal karena terlalu lama menunduk di meja belajar. 

“Juara pertama kali ini adalah …” 

Satu lagi, Miss Halley sangat hobi menyebutkan tiap nilai murid kencang-kencang. William bisa malu sampai ke urat jika nilainya jelek dan dibacakan keras oleh guru eksentriknya itu. 

“Daniel! Selamat, ya, kamu dapat seratus.”

Satu kelas kompak membuka mulut dan membuat suara “hah”. Heboh. 

Daniel maju ke depan dengan wajah bangganya itu. Ia terlihat berusaha menyembunyikan senyuman sombongnya seolah dia punya fans satu dunia. 

“Tumben sekali Daniel?”

“Kenapa dia tiba-tiba jadi pintar?”

“Padahal dulu dia selalu ketinggalan pelajaran di SMP.” 

William mendengar satu-dua bisikan. 

“Selamat, Daniel.” Sekali lagi Miss Halley memuji muridnya. 

William tak habis pikir, mengapa orang semenyebalkan Daniel justru mendapat pujian dari guru? Guru matematika pula. Pelajaran yang paling William kutuk. 

“Selanjutnya, juara dua kita … Ellen!” 

Kali ini satu kelas tidak begitu kaget. Tapi mereka juga agak bingung, biasanya Ellen si murid cerdas yang selalu duduk di posisi pertama, sekarang ia telak didahului Daniel. 

Ellen mengambil hasil ulangannya. Ia menatap skor sembilan puluh delapan di kertasnya dengan tampang tak begitu puas. Ia menatap Daniel tajam. 

“Dan juara ketiga kita … Luna!” 

William kaget, mulutnya menganga. Teman baru yang duduk di sebelah kirinya itu menempati juara tiga di kelas. Sementara yang dipanggil berjalan dengan wajah tanpa ekspresi saat mengambil kertas ulangannya. 

“Kenapa Luna datar begitu? Bukankah seharusnya dia senang dapat nilai bagus?” pikir William dalam hati. 

Pelajaran dilanjutkan dengan Miss Halley yang masih semangat menyebutkan nilai murid-muridnya dengan keras. William baru terpanggil di urutan kelima terakhir dari dua puluh lima murid. 

“Sekarang saya akan mengambil waktu sebentar saja untuk remedial. Yang nilainya bagus silahkan duduk di sebelah kiri saya, yang remedial duduk di kanan. Soalnya gampang, seharusnya kalian semua bisa mengerjakannya, oke?” seru Miss Halley semangat tanpa peduli wajah-wajah lelah para murid di depannya. 

Mendengar itu tentu saja William kaget, ia kira remedial akan diadakan minggu depan. Ia menghela napas lesu saat berpindah tempat duduk. Luna yang melihat William lemas membisikkan sesuatu di telinganya saat mereka berpapasan. 

“Semangat, Will.” Senyum tipis terlukis di wajah Luna. 

Telinga William berangsur memerah mendengarnya. 

Pelajaran pun berlanjut dengan judul “mau tak mau harus dijalani” oleh William. Waktu yang terasa lama akhirnya sampai di jam makan siang. Makan siang pun terasa cepat, dilanjutkan pelajaran berikutnya. 

“Sebentar ya, saya minum teh dulu,” ucap seorang guru yang menginjakkan kaki di kelas William. 

Sir George namanya, seorang laki-laki paruh baya yang selain membawa buku, ia selalu membawa termos teh berwarna cokelat dengan ilustrasi singa. Para murid sudah hafal dengan kebiasaannya yang harus minum teh sebelum mengajar. Meskipun begitu, wibawanya langsung keluar saat ia mulai berbicara. Apalagi jika membicarakan soal tugas, rasa kantuk para murid langsung sirna. 

“Salam hormat!” Ketua kelas berseru setelah Sir George selesai meneguk tehnya. 

“Selamat siang, Sir George.” Semua kompak mengucapkan salam. 

“Ya, ya, selamat siang semuanya.” 

Sir George memulai penjelasannya. Guru yang satu ini hobi sekali memberikan tugas kelompok. Baru minggu lalu selesai tugas kelompok, sekarang ia buat lagi tugas baru. Satu hal yang murid-murid tidak begitu suka dengan Sir George adalah karena ia tidak memperbolehkan memilih anggota kelompok dengan bebas. “Semua harus saling mengenal, akrab, bisa bekerja sama, dan menghasilkan karya yang baik karena sejatinya banyak kepala lebih baik daripada satu kepala”, itu prinsip yang selalu diulang-ulang olehnya. 

“Kelompok terakhir, Daniel, Luna, William, dan Ellen.” 

William langsung sadarkan diri saat mendengar namanya disebut. Ia menyadari gerakan refleks dari Ellen di sebelah kanannya. Ia memutar bola matanya malas, seolah ia memberikan sinyal tak sudi satu kelompok dengan William. 

William memilih menoleh ke arah Luna, “hei, kita satu kelompok.” 

“Iya.” Luna menjawab pendek. 

Sementara Daniel di belakang mendengar nama anggota kelompoknya tersenyum. 

“Perwakilan tiap kelompok maju untuk ambil undian topik presentasi minggu depan.” 

Pelajaran pun berlanjut sampai akhirnya bel pulang berbunyi. Suara yang sudah William tunggu dari tadi. 

William membereskan barang-barangnya dan berjalan beriringan dengan Luna menuju loker. Mereka bercengkrama sedikit soal tugas kelompok tadi. 

“Hei, hei! Ternyata kita satu kelompok,” celetuk Daniel saat menghampiri William. 

“Ehm … iya.” Hanya itu yang bisa William keluarkan dari mulutnya. 

Daniel terus mengikuti langkah William sampai ke loker. Luna agak tidak nyaman dengan pemandangan itu.

“Kenapa ya kita bisa satu kelompok sekarang? Coba saja kemarin saat tugas kelompok pertama, tugasnya lebih gampang.” 

William mendelik mendengar omongan Daniel, “maksudmu?”

“Ya, kalau saja kita sekelompoknya di tugas waktu itu, pasti lebih mudah.” 

“Jadi aku tidak boleh sekelompok denganmu, begitu?” 

“Wow, bukan begitu maksudku, William. Tapi aku hanya kasihan dengan Ellen, si anak paling pintar di kelas harus mengurusmu di kelompok ini.” 

“Daniel,” Luna berseru tegas. Ia menyadari sinyal tak nyaman dari William. 

William terdiam. Ia tak tahu harus membalas apa. Dalam diam, sesuatu yang mendidih muncul dalam dirinya. Sejak Daniel mulai sering dekat dengan William, ia tidak merasakan adanya hawa keramahan sebagai teman. Gambaran pertama kali Daniel menghampiri William dengan Daniel yang sekarang jauh berbeda. 

William memilih untuk membuka lokernya untuk mengambil tas dan pulang. 

Tapi tiba-tiba ia bertemu awal mula dari mimpi buruk di kenyataannya. 

Foam berwarna pink berhamburan saat William membuka lokernya. Foam berbentuk bulat kecil-kecil itu berjatuhan ke lantai. Luna menutup mulut melihatnya. 

Pinky Boy surprise!” Daniel berseru riang. 

William membeku di tempat. 

“Dibuka dong, hadiahnya.” 

Setelah semua foam habis tumpah ke lantai, terlihat kotak kecil berwarna pink di dekat tas ransel William. 

Dengan tangan bergetar William meraih kotak itu. Ia membuka kain sutra yang menutupi sesuatu yang ada di baliknya. Isinya sebuah cokelat. Sekeping cokelat lezat dari luar negeri tergeletak di sana.  

“Dicoba, ya. Kalau enak, nanti kubawakan lagi,” lontar Daniel sambil bertepuk tangan kecil. 

Tanpa pikir panjang Luna menyambar kotak cokelat itu dan melemparnya ke tempat sampah. Dahinya berkerut, tatapannya tajam menyala layaknya api yang bisa menghanguskan laki-laki menyebalkan itu dalam sekejap. 

“Hentikan, Daniel!” Luna berseru marah, membuat beberapa orang yang lewat menoleh. Mereka sudah biasa dengan “kejutan loker” Daniel yang selalu mengotori lantai itu, tapi baru kali ini mereka melihat Luna mengeluarkan emosinya. 

“Wow, Luna? Kau tak biasanya seperti itu.” Daniel menaikkan satu alis. Ia betulan terkejut dengan reaksi Luna yang tak terduga. 

“Dari kemarin kau selalu menyusahkan William.” 

“Menyusahkan? Tidak, aku hanya ingin berteman dengannya, kok.”

“Kau selalu meledeknya, padahal dia tidak salah apa-apa.” 

Selagi keduanya beradu debat, William masih berdiri membeku di tempat. Panik. Ketakutan. Keringat mengucur di pelipisnya. Tangannya mengepal. Ia telah membuat keributan di sini. Ia takut melihat wajah marah Luna yang menakutkan itu. Rasanya William ingin cepat-cepat kabur dan bersembunyi di dalam rumah. 

Tunggu. 

Sesuatu terbesit saat William memikirkan rumah. 

Bella!

Itu dia. William mencoba memanggil malaikat pelindungnya dengan membisikkan nama Bella. 

“Bella … datanglah kesini …” 

Hembusan angin cukup kencang menyapu semua yang ada di dekat situ. Foam dari kejutan Daniel yang berserakan, pintu loker menimbulkan suara keras, bahkan tempat sampah di ujung sampai terjatuh dan menghamburkan isinya. 

Bella telah datang. 

Tidak ada siapapun yang bisa menebak mengapa ada hembusan angin di dalam ruangan, kecuali William. 

Bella datang dengan sayap hitamnya yang terbuka lebar menyebabkan hembusan angin tadi. Ia berdiri di belakang Luna dan Daniel. Ia tersenyum puas, master nya telah memanggilnya untuk menjalankan misi. 

<<<>>>

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro