Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 4 | MAMA - Sharen

"Terimakasih karena sudah mengikuti Seminar hari ini, semoga apa yang telah di sampaikan oleh pembicara bisa berguna untuk rekan sekalian" 

Suara pembawa acara yang dibarengi dengan riuh tepuk tangan merayap melalui telingaku. Aku ikut bertepuk tangan dengan sangat kencang, merasa bersemangat dan begitu bahagia karena akhirnya seminar ini telah selesai di laksanakan. Aku melepaskan hubungan antara pantatku dengan kursi empuk disini, sedikit membenahi penampilanku dan mengambil tiga kotak bekas konsumsi untuk aku buang.

"Ren, cepetan dong!"  Icha menarik tanganku dan menyeretku dengan cepat. Sejak tadi saat seminar ini dimulai Icha terus saja mencekokiku dengan berbagai macam kata-kata yang mengarah pada pujiannya untuk pemilik hotel mewah ini. Katanya pemilik Hotel ini masih muda dan sangat tampan, hotel ini juga benar-benar amazing sekali. Untuk itulah dia sekarang menyeretku dengan cepat, katanya ingin membawaku berkeliling disini. Itu juga kalau bisa kita berkeliling, memangnya ini hotel punya dia?

"Sharen, ayo dong! Kenapa lelet banget sih!" Icha menarik tanganku lagi dan menyeretku lebih cepat. Aku hanya bisa mendengus ke arahnya "Ya sabar dong cha, aku kan bawa kotak-kotak ini" Menunjukkan tiga kotak itu, aku segera melepaskan diriku dari Icha saat aku melihat tong sampah di pintu studio ini.       Setelah memasukkan sampah-sampah itu, aku kembali pada Icha yang sudah menggerutu sejak tadi. "Ayo, mau kemana jadinya?"  Tanyaku.

"Kita jalan-jalan aja, tapi. Aduh, aku pengen pipis dulu. Sebentar ya ren?" Aku mendelik tajam ke arah temanku yang satu ini saat aku mendengarnya berbicara.  "Ya ampun cha!"

"Sebentar aja! Ya?" dan sebelum aku memberikan jawabanku padanya, dia sudah lari terbirit-birit meninggalkanku seorang diri. Bagus! Bagus sekali, dasar emang sudah nasibnya begini. Gak keluarga, gak temen. Sama aja! Aku jadi inget waktu tiga hari yang lalu di Floating Market, waktu tante Neni bertindak semena-mena padaku. Masih ngenes sebenernya, tapi apa hendak di kata.


Bicara soal tiga hari yang lalu, aku sebenarnya ingin menyanyikan lagunya Geisha-Lumpuhkanlah Ingatanku kalau ingat apa yang terjadi disana. ha! Baiklah, seorang anak yang aku tolong ternyata ayahnya yang sempat aku idamkan, haha menyedihkan sekali sebenarnya. Apa aku terlalu lama sendiri sehingga membuatku seperti itu? Siapapun yang aku lihat, aku suka? Termasuk seorang bapak-bapak! Catat! Bapak-bapak!


Tapi untuk pria yang waktu itu, dia tidak seperti bapak-bapak. Dari dekat aku perhatikan dia malah terlihat seperti om anak itu, dan wajahnya juga masih begitu segar dan tampan, dan muda. Astaga. Cukup Sharen cukup! Lupakan itu semua. Apa kamu tidak ingat saat dia mengulurkan tangannya padamu kamu malah berkata bukan Muhrim dan segera pergi? Ha!

Baiklah-baiklah, lupakan dia. Lupakan dia. Dia hanya orang asing yang kebetulan saja aku melihatnya dan aku juga selama tiga hari ini sudah berdo'a bersujud dan bersimpuh pada Tuhan untuk tidak pernah mempertemukan kami lagi di masa depan. Baiklah, lupakan itu! Aku sudah mengatakan lupakan tapi kepalaku terus menerus mengingatnya. Hapus.. hapus sharen hapus ingatan itu. Aku butuh pengalihan saat ini, pengalihan dari pikiran-pikiran yang—oke aku tidak mau mengakuinya.


Icha masih belum terlihat dan pintu studio ini sudah mulai sepi. Aku jadi menunggu seorang diri disini, kan ga enak juga. Rasanya terasa sekali kalau hidupku benar-benar sendiri dan kesepian. Hiks

Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sini, pintu keluar studio hotel ini menyambungkan studio dengan lobby.  dan disinilah aku, di atas lantai marmer dalam lobby hotel yang mewah dan menatap sebuah tulisan besar bertuliskan 'PALEO HOTEL' tepat di belakang meja Front Office. Aku berani bertaruh, nama hotel ini pasti diambil dari nama purba. Megantropus Paleo Javanicus!  Mudah sekali di tebak! Aku berani mempertaruhkan hidupku untuk nama hotel ini. Malaikat-malaikat pencatatku, tolong catat ini baik-baik. Demi nasibku yang sekarang begitu menyedihkan karena kesepian, aku mempertaruhkan diriku untuk nama hotel ini. Jika benar namanya sesuai tebakanku, aku bersedia menikah dengan pemilik hotel ini. Jika salah, aku tidak bersedia terus kesepian tapi aku bersedia untuk mengabdikan diriku pada hotel ini. Siapa tahu pengabdianku berbuah cinta. Hahaha

Jika memang pemilik Hotel ini memang masih muda, sudah pasti dia belum menikah kan? Demi semua kesepianku selama ini, dengan senang hati aku rela menjadi istrinya. Ya tuhan, pasti bahagia sekali. Dan mimpiku untuk jadi nyonya rumah bisa segera terrealisasikan. Haha baiklah Sharen.. sudah cukup mimpi di siang hari ini. Tsk! Memang mungkin aku terlalu lama kesepian jadi ya seperti ini, sedikit-sedikit mengkhayal sedikit-sedikit berharap. Ya Tuhan.. selamatkan aku. Lagipula kalau dipikir-pikir, memangnya mau tanya nama hotel ini pada siapa?


*****



  Sudah hampir lima belas menit aku menunggu, tapi temanku belum juga menghampiriku. Dia sebenarnya buang air kecil atau membantu OB disini membersihkan toilet? Kenapa lama sekali! Aku sudah sangat bosan berdiri mondar mandir disini. Sejak tadi di lobby ini tidak begitu banyak orang, aku hanya melihat beberapa orang saja yang berlalu lalang disini, dan ya.. tiga orang yang sedang berbincang-bincang di dekat meja Front Office tepat di hadapanku. Sepertinya mereka seorang pegawai dan bos nya, kenapa aku tahu? Itu karena dua orang diantara mereka berbicara lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, sedangkan satu orang lagi hanya diam dan kadang membalas ucapan mereka. Tidak begitu jelas sebenarnya, karena orang itu membelakangiku. Aku hanya melihat tatanan rambut rapinya di belakang, tubuhnya yang tinggi dan pakaiannya yang rapi, dari belakang memang indah sekali, tapi kan kita tidak tahu apa yang ada di depan. Satu pelajaran untuk hari ini, jangan pernah menilai orang dari belakang! Dan omong-omong, Sharen.. kenapa malah bertindak seperti penguntit mereka?

"Sharen!" Suara teriakan di belakangku membuatku menoleh. Nah, datang dia si nona yang tadi ingin pipis.

                "Selesai juga cha?" Ucapku. Dia tidak menjawab ucapanku, malah menatap lurus ke depan dengan mulut yang menganga. Kenapa? Aku berubah jadi Nabila Syakieb kah?

                "Chaa?"

                "Ya ampun.. sharen.." Icha merubah tatapannya yang menatap lurus ke depan dengan tatapan yang menyala-nyala. Mulutnya masih menganga dan aku hanya bisa menatapnya heran.

                "Kenapa sih?"

                "Sharen.. itu..."

                "Itu?"

                "Iya.. itu.. tadi.. itu"

                "Hih kenapa sih cha? Tadi di kamar mandi kamu ngapain aja?"

                "Ya ampun Sharen! Aduh aku jadi mendadak gagap! Itu tadi di belakang kamu berdiri manusia tampan yang aku sebut-sebut tadi, pemilik hotel ini!"

                "What?" Aku menatap Icha tak menyangka. Ya Tuhan.. hanya melihatnya membuat Icha sampe sebegitunya?

                Karena penasaran, aku mengikuti arah pandangan Icha dan melihat ke arah belakangku. Ada dua orang yang sedang mengobrol tadi sementara yang satunya pergi dengan tergesa-gesa. Mungkin dia ada sebuah keperluan?

                "Yang mana sih cha?" tanyaku. Icha menatapku kecewa. "Ah telat ah ren, itu barusan orangnya yang pergi kesana. Yang pake jas abu-abu"

                "aah, orang yang itu?" Ucapku. Jadi yang sejak tadi ku perhatikan adalah pemilik hotel ini yang kata Icha dia ganteng? Baiklah sharen.. kau melewatkan sebuah rezeki untuk matamu.

                "Sayang banget loh ren, kamu gak liat!" Icha menatapku kecewa. "Yaudasih cha, gak penting juga kan"

                "Ya, tapi masalahnya dia di belakang kamu banget. Waktu aku manggil kamu dia malah liat ke sini!" Icha mengerucutkan bibirnya. Ya sudahlah, dia memang selalu seperti itu. Kalau aku tidak melihatnya memang kenapa? Si Icha ini hobi sekali menyodorkanku pria-pria tampan, seolah-olah aku memang kekurangan mereka. Lihat saja barusan, hanya gara-gara aku tidak melihat orang tampan yang sejak tadi berdiri di belakangku, Icha memasang raut wajah yang begitu kecewa, memangnya apa untungnya melihatnya? Sebenarnya memang untung sih, aku adalah wanita yang begitu menggilai pria tampan.

                "Ya udah ren, kita pulang aja yu!" Icha menarik tanganku, aku mengikuti langkahnya. Mataku melirik jam yang melingkar di tangan kiriku. Astaga..

                "Icha!" Aku tak sengaja memekik dan Icha terkejut melihatku. "Kenapa?" Tanyanya. Aku menatapnya dengan gusar. "Maaf, tapi aku harus segera pergi. Ke Daycare"

                "Hari ini masuk?"

                "Ya, dan maaf kamu harus pulang sendiri. Sampai ketemu nanti sore cha! Bye!"

                Tanpa mendengar jawaban dari temanku, aku segera mengatur kecepatan kakiku dalam melewati jalanan disini. Aku segera pergi menuju parkiran dan mengambil motorku lalu secepat kilat pergi meninggalkan hotel ini. Semoga tidak terlambat.


****


                Dua puluh menit kemudian, aku sampai di depan Daycare. Segera memarkirkan motorku, dan masuk ke dalam.

                "Bundaa" Agni—gadis kecil berusia 4 tahun berlari ke arahku. Dia melompat-lompat dan aku menangkapnya ke dalam pelukanku.

                "Halo, sayang" Sapaku. Agni tersenyum "Halo, bunda Sharen"

                "Sudah makan?" Aku menggendongnya dan membawanya masuk ke ruangan anak-anak.

                "Sudah!" Sahutnya. Ia tersenyum lagi dan aku membalas senyumannya.

                Namanya Agni islamiah azalea. dia berusia empat tahun tepat di bulan lalu. Dia adalah anak yang ku asuh. Ah ya, aku belum bercerita. Aku mengambil kelas karyawan untuk kuliahku, dan pagi hari aku akan bekerja. Sebenarnya aku mengambil banyak pekerjaan, dan salah satunya adalah ini. Aku bekerja di sebuah tempat penitipan anak yang cukup terkenal di Bandung. Sudah hampir empat tahun aku bekerja disini, tugasku hanya lah mengasuh mereka saja, dan anak yang ku asuh adalah Agni. Ia sudah di titipkan disini sejak usianya satu tahun. Ayah dan ibunya seorang pejabat yang sangat sibuk, tak jarang mereka juga terlambat menjemput Agni. Aku kadang begitu kasihan pada anak ini, orangtua nya begitu sibuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, sementara dia dititipkan disini bersamaku. Sebenarnya memang orang tua Agni begitu menyayanginya, terlebih mommy nya. Hanya saja mungkin pekerjaan yang menjadi prioritas utama mereka. Aku mengerti betapa uang begitu berarti di zaman sekarang, hanya saja jika harus mengorbankan seseorang seperti ini.. ku rasa, bukan keputusan yang baik. Inilah yang mendasari sebuah tekad dalam hatiku. Aku ingin menjadi seorang ibu yang baik ketika waktunya tiba, aku ingin melihat bagaimana perkembangan anakku dari hari ke hari. Itulah mengapa aku mengambil banyak pekerjaan, lebih baik aku bekerja keras di masa muda ku dan beristirahat di masa ibu-ibuku. Dalam artian aku akan menjadi nyonya rumah saja jika sudah menikah. Mengurus anak dan suami, sepertinya menyenangkan.

                "Bunda Sharen.." Seseorang memanggilku. Aku menoleh "Ya? Kenapa bun?" Ucapku pada Bunda Intan. Di Daycare ini memang semua orang saling memanggil bunda, membiasakan anak-anak untuk memanggil kami bunda. Aku sebenarnya kadang merasa aneh sekali, usia ku paling muda disini dan aku seperti berada dalam kumpulan ibu-ibu juga anaknya. Terlebih saat semua anak memanggilku bunda, mereka mungkin harusnya memanggilku tante, tapi sebenarnya aku sangat suka saat mereka memanggilku bunda. Ada sebuah kehangatan yang menjalar dalam hatiku saat mendengarnya.

                Bunda Intan mendekat ke arahku. Dia duduk di sampingku lalu meraih Agni yang berada di pangkuanku.

                "Ada yang ingin melihat-lihat Daycare ini, mungkin ingin mendaftar juga" Ucapnya. Aku mengangguk mengerti. Memang selain mengasuh Agni, aku juga bertugas sebagai informasi disini. Aku yang mengurus segala macam prosedur penerimaan siswa baru.

                "Kalau begitu saya pergi dulu ya bun, titip Agni" Ucapku. Dia tersenyum.

                Aku membenahi penampilanku sambil berjalan ke arah Office. Aku melepaskan Almamater biru ku, hampir saja lupa kalau tadi sepulang seminar aku langsung datang kesini dan sesampainya disini aku langsung menggendong Agni tanpa melepaskan Almamaterku.

                Saat masuk ke dalam Office, seorang wanita paruh baya sudah menunggu ku dan tersenyum. Aku menjabat tangannya lalu duduk di sofa yang berada di hadapannya.

                "Selamat siang " Sapaku. Wanita itu tersenyum "Selamat siang, bunda?" Ucapnya  seolah meyakinkan kalau aku juga di panggil bunda.

                "Ya, anda bisa memanggil saya seperti itu" Ucapku. Dia kembali tersenyum.

                "Begini, saya sebenarnya mau mendaftarkan cucu saya untuk di titipkan disini. Kira-kira bisa di titipkan mulai dari usia berapa?"

                "kebetulan dari usia 6 bulan kami sudah menerima penitipan bu, biasanya siswa Daycare disini di titipkan sampai usia 5 tahun"

                "Kalau begitu cucu saya masih bisa. Aduh bun, sebenarnya saya itu gemes udah pengen nitipin cucu saya dari dia bayi, kasian soalnya dia gak ada yang jagain. Sebenernya saya juga bisa bantu jagain dia, cuman ayahnya keras kepala. Dia lebih memilih membawa anaknya ke kantor daripada nitipin ke saya"

                "Apa ayah dan ibunya sama-sama sibuk?" Tanyaku. Wanita paruh baya itu tersenyum lemah.

                "Ibunya meninggal saat melahirkannya" Ada sebuah kesedihan terselip dalam suara wanita paruh baya ini. Aku sedikit tercekat. "Maaf" Sesalku. Dia kembali tersenyum "Tidak apa-apa. Itu sudah lama berlalu kok" Ucapnya lagi. Aku mengangguk. Menunggu ibu ini melanjutkan ucapannya lagi.

                "Sebenarnya ayahnya belum tahu kalau saya berencana memasukkan cucu saya disini" Dia sedikit berbisik padaku.

                "Sebenarnya memang gak masalah sih selama ini dia bekerja membawa anaknya, toh memang kantor juga kantor sendiri. Hanya saja saya merasa khawatir. Kalau anak saya kemana-mana bawa anak, aduh.. kapan dia dapet istri baru? Masa mau menduda terus. Kan kasian"

                Aku sedikit tertawa mendengarnya. Ibu ini jadi malah curhat padaku.

                "Mungkin anak ibu masih menginginkan waktu bersama anaknya" Ucapku. Si ibu itu menatapku dengan mata yang menyala-nyala penuh semangat.

                "Sebenernya ya gapapa juga sih bun kalo dia masih pengen berdua sama anak. Cuman, saya loh yang apa-apa. Ngeliat dia, kok menyedihkan banget. Di rumah apa-apa sendiri, urus anak sendiri. Anaknya kan perempuan. Sampai kapan dia mau mandiin anaknya, tidur sama anaknya. Kan kasian juga"

                "Tapi anak ibu hebat sekali" Ucapku. Sebenarnya sedikit kagum dan salut pada laki-laki itu. Pada zaman seperti ini, masih ada laki-laki yang begitu setia pada pasangannya, juga begitu menjaga harta mereka dengan sangat baik. Ya Tuhan.. aku iri sekali.

                "Iya dia memang hebat, saya juga tidak menyangka dia bisa sehebat ini. Tapi tetap saja, dia itu keras kepala. Anaknya itu kan butuh bersosialisasi dan butuh bergaul dengan anak se usia nya, bukan bergaul dengan mainan dan TV saja.  Kasian kan cucu saya, dia itu bermain diluar kalau libur aja. Kalo hari kerja ya di kantor papa nya"   

                Aku kembali tertawa. Wanita paruh baya ini lucu sekali, dia bercerita dengan begitu menggebu-gebu di warnai dengan sorot matanya yang menyala. Mungkin dia lupa juga kalau tujuannya kesini adalah untuk mendaftarkan cucunya.

                "Jadi apa ibu tetap mau mendaftarkan cucu ibu?"

                "Oh tentu saja. Tapi bagaimana ya, anak saya mungkin kaget juga nanti. Aduh, bisa-bisa saya gak boleh ketemu cucu saya selama satu bulan"

                "Kalau begitu kenapa ibu tidak mencoba isidental dulu saja?"

                "Per hari gitu?"

                "Iya..jadi kami disini menawarkan penitipan isidental. Kalau keadaannya seperti yang ibu sebutkan tadi, mungkin anak ibu bisa tetap membawanya dan sekali-kali ibu juga bisa menitipkan cucu ibu disini. Misalnya saja jika anak ibu begitu sibuk, cucu ibu bisa di titipkan disini. Batas minimal penitipan adalah 4 jam dan maksimalnya adalah satu hari. Ini bisa menjadi alternative tersendiri, untuk membiasakan anak ibu bekerja perlahan tanpa anaknya dan membiasakan cucu ibu untuk bergaul dengan teman seusianya"

                "Nah, itu lebih baik" Wanita itu tersenyum puas. Dia kembali bertanya beberapa hal dan aku menjawabnya. Semua tentang prosedur yang harus di urus serta beberapa persyaratan yang harus di penuhi.

                "Mungkin ibu mau lihat-lihat dulu ke dalam?" Tawarku. Dia mengangguk "Tentu saja, sebentar ya saya cari cucu saya dulu. Dia tadi di bawa main sama kakeknya di luar."

                Dia beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah luar. Aku mengikutinya, dan kami sampai di Arena bermain. Disini begitu riuh dengan pekikan pekikan kesenangan dari semua anak-anak. Ada yang berlarian di atas pasir, memainkan beberapa permainan, dan ada juga yang menangis karena di jahili oleh teman-temannya. Suasana inilah yang membuatku lebih hidup setiap harinya. Aku suka keramaian, lebih dari itu aku suka sebuah keramaian yang berasal dari tawa bahagia anak-anak. Mereka idolaku, aku ingin kembali seperti mereka. Jika bisa, aku ingin tetap berada pada usia seperti mereka. Usia dewasa ini benar-benar menyiksa, rasanya tidak enak sekali. Apalagi dengan banyak masalah yang mewarnai hidupku. Bagus, aku mendadak mellow begini.

                "Harunaa..!" Aku membeku di tempat saat mendengar suara wanita paruh baya tadi memanggil seorang anak perempuan berambut panjang yang sedang melompat-lompat di pangkuan kakeknya. Itu kan.. astaga!

                "Omaaaa.." Anak itu segera turun dari pangkuan kakeknya lalu menghampiri neneknya.

                "Haru, sini oma kenalin sama bunda—"

                "Tante Sharen!" Aku tidak tahu apa yang terjadi, dalam sekejap Haru sudah berada di gendonganku dan tersenyum padaku. "Oh, hai Haru" Aku hanya bisa mengeluarkan kata-kata itu saja. Ya tuhan, kenapa bisa..

                "Lah? Haru kok manggilnya tante?" Wanita itu memandangku dengan Haru bergantian dengan penuh keheranan. Haru tersenyum senang sementara  aku hanya bisa tersenyum kikuk padanya.

                "Saya sempat bertemu dengan Haru beberapa waktu yang lalu" Jawabku. Sekenanya. Ya memangnya aku mau jawab apa? Memang begitu kan?

                "Ya Tuhan.. kenapa dunia sempit sekali?!" ibu itu menatapku dengan tatapan kebahagiaan. Sementara aku hanya menatapnya tak mengerti.

                "Jadi sebelum ngenalin kamu ke saya, Reno ngenalin kamu ke Haru dulu? Ya ampun.. pantes Reno santai aja. Ternyata Reno udah punya calon" Mulutku menganga saat mendengar kata-kata dari nenek Haru. Sebelum mengenalkan aku padanya, Reno mengenalkan aku pada Haru dulu? Tunggu.. ini maksudnya apa? Tunggu dulu.. jangan bilang..

                "Bu, saya—"

                "Mama! Panggil aja mama. Gak usah sungkan gitu yah Sharen.. mama tau kok kamu deket sama Reno kan? Makanya kamu udah ketemu Haru? Makanya Haru juga liat kamu langsung peluk kamu" 

                Tidaak!

                "Saya—"

                "Ya ampun.. terimakasih ya, aduh pantes kamu tadi ketawa-ketawa waktu mama ceritain anak mama. Ternyata itu semua gara-gara ceritanya pernah kamu alamin. Jadi malu juga, buka aib anak sendiri di depan pacarnya"

WHAT THE..

                "Tapi saya sama—"

                "Ih kamu pasti disuruh Reno buat rahasiain semuanya yah?  memang deh anak itu selalu begitu"

                "Tapi bu, saya—"

                "Gapapa, kamu jangan bilang ke Reno kamu ketemu mama ya. Jangan bilang juga kalau Haru nanti masuk Daycare sini. Nanti biar jadi kejutan aja pas sewaktu dia anter Haru kesini. Kalau begitu mama pergi dulu. Liat-liat Daycare nya nanti aja. Mama jadi gak sabar buat ketemu Reno. Oh ya, Haru.. bertemu tante Sharen nya nanti lagi ya? Kita ketemu papa dulu"

                Setelah itu Haru di renggut dari pangkuanku. Lalu neneknya Haru tiba-tiba saja memelukku dan pada akhirnya berpamitan padaku. Untuk sejenak aku masih membeku, beribu pikiran bersliweran dalam otakku dan aku masih belum mengerti sama sekali dengan apa yang sudah terjadi.

                "Jadi kamu udah gak jomblo lagi Sharen?"

                Dan suara yang berasal dari orang yang berjalan menghampiriku membuatku kembali tersadar. Ibu-ibu tadi adalah nenek Haru.  Ibu dari ayah Haru yang ku tolak uluran tangannya dan mungkin ku permalukan harga dirinya. Dia menyangka aku mempunyai hubungan dengan anaknya. Dia menyangka aku sedang dalam proses berkenalan dengan Haru. Dan dia sudah memproklamirkan diri padaku dengan harus menyebutnya MAMA?  Tunggu dulu.. mama?

MAMA? OH TUHAN?

JADI APA DIA BENAR BENAR MENYANGKA AKU ADALAH CALON MENANTUNYAAA ?


-          Tbc  - 



Muahaha yang ini aku mentok loh bikinnya . soalnya banyak keganggu juga, jadi susah nyatuin feelnya -.-"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro