PART 18 | Ibu Dari Anakmu - SHAREN
"Sha, Haru udah bangun?" Aku memutar mataku dengan kesal begitu mendengar suara Reno di sebrang sana.
"Udah." Aku sedang malas berbicara padanya. Sungguh.
"Oh, kamu udah sarapan?" Tanganku mencengkram erat ponselku begitu mendengar perhatiannya padaku. Menyebalkan, pria satu ini tidak ada duanya dalam hal memporakporandakan hidup orang!
"Udah." Aku menjawabnya dengan singkat, sudah ku bilang kan aku kesal padanya!
"Kamu sakit?"
IYA, SAKIT! KARENA KAMU!
"Nggak."
"Trus? Kok jawabnya begitu? lagi kesel?"
IYA! KESEL! GARA-GARA KAMU!
"Nggak juga."
"Kemarin kamu masih baik-baik aja Sha, masih bicara panjang lebar. Kok sekarang begitu?"
"Gapapa."
"Gapapa nya cewek itu biasanya apa-apa."
TERUS KENAPA ELO GAK PEKA RENO SAYAAANG?!!
"Nanti siang aku telpon kamu lagi, sekarang kayaknya kamu lagi Bete." Ucapnya lagi. aku hanya bergumam dengan malas kemudian mematikan lebih dulu sambungan telpon kami.
RENO MENYEBALKAN! Dan aku benar-benar membencinya! Tidak, aku membenci diriku sendiri yang sekarang malah mencintainya. Sial, cinta? Ya, cinta. Cinta sepihak. Oh, pedihnya hidup.
Aku melemparkan tubuhku pada sofa dan menyandarkan punggungku yang pegal. Tanganku bergerak untuk memijat pelipisku.
Reno..
Pria itu, suamiku. Dia benar-benar menjadikan aku ibu dari anaknya!
Hari ini, terhitung sudah tujuh minggu dia tidak pulang ke rumah. Berdiam diri di Pangandaran dengan alasan pembangunan hotelnya yang mengalami banyak masalah. Dasar pria menyebalkan! Memangnya apa hubungannya pembangunan hotel bermasalah dengan dia yang tidak pulang hampir dua bulan? Kalau dia yang membangun hotelnya dengan tangannya sendiri baru, bisa ku terima alasan dia tidak pulang selama hampir dua bulan.
Kalau begini caranya, kenapa dia tidak menenggelamkan diri saja di pangandaran supaya tidak akan pernah pulang dan aku tidak akan melihatnya lagi!
Oh tapi memangnya aku rela? Dan jawabannya adalah TIDAK!
Rasa cintaku padanya sudah melebihi batas kewajaran dimana aku akan tetap menerima perlakuannya dengan sukarela sekalipun dia akan menggorokku di tengah masa. Cinta, setolol itu.
Aku kesal, sungguh. Aku sangat kesal pada Reno. Sejak insiden Haru yang dibentak olehnya ketika kami berbuat mesum, Reno langsung mengajakku dan Haru pulang, sesampainya di rumah ia memintaku untuk membereskan bajunya dan setelah itu ia pergi, mengatakan bahwa mungkin tidak akan pulang selama beberapa hari, dan pada kenyataannya dia tidak pulang selama hampir dua bulan. Pas kan saja, pas kan dua bulan. Atau dua kali puasa dua kali lebaran biar setara sama bang toyib!
Dadaku mendadak sesak, ada sebuah perasaan terluka yang kini sedang menyerangku bertubi-tubi. Terlebih sejak beberapa hari ini aku sangat sensitive dan terlalu banyak memikirkan sesuatu.
Aku berpikir, memang Reno hanya menjadikanku ibu Haru. hanya itu. Tidak lebih. Dan dia benar-benar mewujudkannya. Haru menjadi anakku, memanggilku mama, dan kami hidup bersama. Sudah. Ending cerita ku dan Haru.
Tetapi berbeda dengannya, dia seperti tidak memberikanku celah untuk masuk ke dalam hatinya. dia menutup dirinya, dan dia tidak menjadikanku wanita dalam hidupnya.
Demi Tuhan Sharen, memangnya saat Reno melamarmu dia mengatakan ingin hidup bersamamu selamanya? TIDAK!
Dia mengatakan ingin menjadikanmu ibu dari anaknya, ibu dari Haru! dan sekarang sudah terjadi. Kau sudah mendapatkan Haru, tapi tidak hatinya.
Mendadak aku meringis. Benar, aku menjadi ibu Haru, menjadi istrinya, tapi tidak menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya.
Aku pernah mendengar, seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang di cintainya, akan selamanya mencintai orang itu. Dan Reno pun kurasa sama. cintanya pada Nova begitu besar, sehingga dia benar-benar menyerahkan keseluruhan dirinya pada Nova, tanpa memberikan sedikit untukku. Mbak Nova, beruntung sekali. Aku disini merasa mengemis cintanya sementara kau disana sudah pergi meninggalkannya. Hidup kadang selucu ini.
Tidak ada yang salah dengan sikapnya Reno padaku, sungguh. Pribadinya sejak awal memang hangat dan ramah, dia juga perhatian, dan selalu menyuarakan apa yang ingin dia suarakan. Mungkin itulah yang membuatku jatuh cinta padanya, tapi sial sekali. Aku malah terjerat semakin dalam sementara ia melakukan semua itu bukan padaku saja. pada Indri―sekretarisnya, lalu Ami―Resepsionisnya, dan mungkin klien wanitanya yang lain.
"Sharen, Reno kasih tau kapan dia mau pulang?" Mama Maryam menghampiriku, sudah seminggu ini dia disini bersamaku, papa sedang ke luar kota jadinya mama menginap disini.
"Gak akan pulang kali ma." Aku beranjak dari sofa kemudian pergi masuk ke dalam kamar. Aku hanya mendengar mama berdecak dengan kesal.
Seminggu ini, mama yang menenangkanku, mengatakan padaku kalau mungkin memang pekerjaan Reno begitu banyak karena sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. iya, sebelumnya kan dia tidak menikah denganku, berbeda dengan sekarang.
Kenapa? Apa dia rishi berada di dekatku? Kalau dia benar-benar belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah menikah dan mempunyai aku sebagai istrinya , kenapa dia malah melamarku?
LALU KENAPA KAU JUGA MENERIMA LAMARANNYA?
Good, seperti boomerang. Pertanyaanku berbalik menyerangku sendiri.
Aku melemparkan tubuhku ke atas ranjang, tengkurap dengan kepalaku yang tenggelam di atas bantal yang selalu di pakai Reno. Aku tidur di sebelah sini selama dia pergi, gilanya aku benar-benar merindukannya dan seperti orang gila aku malah senang menciumi bantalnya.padahal orangnya saja hanya menelponku sesekali. Pedih, sungguh. Hidupku sesedih ini.
Ponselku berdering, aku melihatnya dengan malas, nama BAPAK MENYEBALKAN SEDUNIA muncul di layar. Aku tidak mau mengangkatnya, tetapi batinku berteriak ingin mendengar suaranya. Maka tanganku bergerak menyentuh layarku dan menggeser ikon nya.
"Hmm.." Gumamku.
"Dua hari lagi aku pulang."
"Oh."
"Oh? Oh aja?"
"Hmm.."
"Kamu, Sha.. kamu kesel sama aku?"
Hening. Aku tidak menjawabnya. Suaraku tertahan ditenggorokkan dan mendadak air mataku sudah berkumpul di mataku. Tidak, jangan menangis.
"Sharen?"
Aku masih diam, mati-matian menahan perasaanku dan air mataku. Reno, apa yang kau lakukan padaku sebenarnya? Kenapa aku jadi begini? Kau kemanakan jiwaku yang dulu?
"Sharen, jawab aku.."
Aku menggelengkan kepalaku. Tidak mau, kalau aku mengeluarkan suara sedikit saja, tangisku akan keluar dan ku pastikan tidak akan surut selama dua hari.
"Sharen, aku disini lagi banyak kerjaan. Sengaja meluangkan waktu untuk menelpon kamu, tapi kamu malah gak bicara begini. Kenapa? Hmm?"
"Gak apa-apa."
"Ya ampun Sha, kamu lucu ya kalau lagi ngambek." Reno tertawa disana. bagus, tertawa saja. tertawa di atas kesedihanku.
Aku tidak bisa meneruskannya, kalau begini terus aku bisa benar-benar menangisi nasibku selama dua hari dua malam. Lebih baik aku mengerjakan skripsiku saja, ya, benar.
Mataku tanpa sengaja melirik ke arah laptop milik Reno yang berada di atas meja kerjanya. Kebetulan sekali, laptopku dipinjam oleh Adnan kemarin.
"Aku mau ngerjain skripsi, laptop dibawa Adnan. Di kamar diatas meja ada laptop, boleh pinjem?" Pintaku. Reno tergelak di sebrang sana.
"Pake aja Sha, gak usah minta izin gitu. Kayak ke siapa aja. Aku kan suami kamu, barang aku juga barang kamu. Pake aja, gak apa-apa." Ucapnya. oh, yah. Manis sekali ucapannya.
"Passwordnya ulangtahun Haru."
Begitu mendapatkannya, aku kembali memutuskan sambungan telpon kami lebih dulu.
Lihat, dia berbicara seperti itu dengan amat sangat tenang dan ringan. Padahal aku, menyadari kalau aku istrinya sudah membuatku menahan nafasku, dan juga aku bahkan masih begitu kesulitan menahan debaran jantungku dan juga kegugupanku ketika aku menyebut namanya. Berbicara padanya pun aku kadang begitu gagap.memang kalau sudah ada cinta, tidak akan sama lagi.
Sementara dia? Mengatakan sayang, memberikan perhatian, dan menegaskan bahwa dia suamiku amat sangat mudah, seperti tidak punya perasaan apa-apa padaku.
Lagipula, apa yang ku harapkan dari pria yang hanya ingin menjadikanku ibu dari anaknya? Cinta? Ha! Jangan mimpi !!
Kakiku melangkah dan mendekati meja kerja Reno. Aku duduk di kursinya kemudian menyalakan laptopnya dan memasukkan kata sandinya.
Foto Haru bersamanya menjadi wallpaper utama desktopnya. Aku tersenyum menatap kebahagiaan mereka berdua.
Rasa penasaranku tiba-tiba saja tumbuh dan menggelitik kepalaku. Dengan cepat, aku membuka keseluruhan folder yang berada dalam laptop Reno.
Ada foto-fotonya bersama mahasiswa dan beberapa orang penting, folder pekerjaan, liburannya bersama keluarga, liburan bersama Haru, khusus Haru, dan Hotel.
Aku membuka folder terakhir yang belum ku lihat isinya. Folder hotel.
Di dalamnya terdapat empat folder dengan nama masing-masing hotel miliknya. Ada tulisan Paleo , yang membuatku tersenyum mengingat sumpahku untuk nama itu. Kemudian ada sebuah nama yang begitu membuatku semakin penasaran. RENOVA.
Dengan menarik nafas dalam-dalam, perlahan aku membuka folder tersebut. Isinya hanya beberapa file mengenai hotelnya, tetapi kemudian tanpa sengaja aku membuka salah satu folder lain disana, dan menampakan sebuah folder bernama 'My Nova'
Hatiku tertohok begitu melihat nama file yang ada disana. oh Sharen, kenapa sakit hati? Kau lupa, dia wanita pertama yang memiliki hati suamimu, dan bahkan yang terakhir. Ugh, sedihnya.
Perjalananku sudah sejauh ini, percuma jika aku berhenti sekarang. Maka ku putuskan untuk membuka folder itu dan..
Semua yang berada di dalamnya membuat air mataku jatuh dengan deras.
Foto-foto pernikahan Reno dan Nova. Ini kali pertama aku melihat wajah mbak Nova, dan demi Tuhan.. dia sangat cantik! Wajahnya blasteran, dan dia begitu cocok dengan Reno yang tampan. Mereka cocok, lalu kenapa kau pisahkan mereka Tuhan? Dan kenapa kau memasukanku ke dalam kehidupan mereka?
Selanjutnya adalah foto bulan madu di Eropa, indahnya Eropa benar-benar kalah oleh senyuman mereka berdua yang begitu bahagia melihat ke arah kamera. Mbak Nova tampil tanpa make up, dan wajahnya sungguh-sungguh cantik!berbeda denganku yang tanpa make up maupun bermake up wajahnya begini-begini saja, tanpa sadar aku meringis menahan sakit di dadaku.
Berikutnya ada beberapa foto mendaki di Rinjani―aku mengetahuinya karena mereka berfoto di dekat plang Rinjani, kemudian foto berdua di atas ranjang dengan ekspresi menggemaskan, foto hamil, foto yoga, foto di ruangan persalinan, dan terakhir yang begitu menohok hatiku adalah foto Reno mencium mbak Nova di saat terakhirnya dan ia yang membawakan sebuket bunga mawar merah di pusara mbak Nova.
Ekspresinya terlihat sekali bahwa ia kehilangan istrinya, dan bahwa ia mencintai istrinya. Bahkan, sampai sekarang.
Sharen, berkaca lah sekarang. Reno dan Nova begitu serasi, bahkan nama mereka bersatu untuk hotel milik Reno dan dalam nama haru. Haruna isnaini putri Renova. Putri Reno dan Nova. Ya Tuhan, indahnya cinta Reno pada Nova.
Kalau namaku dan nama Reno disatukan, Shareno! Jelek sekali. Sudahlah, jangan terlalu banyak berharap dan memaksakan harapanmu, kau akan jatuh saat itu juga. Dan ya, aku sudah jatuh. Terperosok begitu dalam.
Kalau cinta Reno pada Nova begitu besar, kenapa dia malah menikahiku? Kenapa dia malah membawaku hidup bersamanya sedangkan dalam hatinya masih sangat mencintai istrinya? Bagus. Aku cemburu pada orang yang sudah meninggal!
Seharusnya aku sadar diri, aku hanya orang asing yang lewat dalam hidupnya dan kebetulan di sukai oleh anaknya. Sepertinya kalau Indri ataupun ami yang lebih dekat dengan Haru, mereka yang akan menjadi ibu Haru. karena Reno tidak mencari wanita yang mendampinginya kan? ia mencari wanita yang bersedia menjadi ibu Haru.
Oh Haru, aku sangat menyayanginya. Sungguh, ia anak menggemaskan dan aku benar-benar sudah menganggapnya anakku sendiri. Tetapi ayahnya? Ah, sakit sekali rasanya menerima kenyataan bahwa pernikahan tidak seindah yang ku bayangkan.
Aku sudah berusaha sebisa mungkin menjadi istri yang baik, menjalankan kewajibanku dan melayaninya setiap waktu. Aku bangun subuh, membangunkannya untuk sholat, ia bangun kemudian tidur lagi, tetapi aku tidak. Aku membereskan seluruh pekerjaan, mengurus Haru dan menyiapkan sarapan kemudian keperluannya.
Katakan apa yang kurang dariku? Tubuhku? Bahkan melirikku pun tidak. Reno tidak peduli dengan tubuhku, kami hanya pernah berciuman selama dua kali dan itu pun karena ketegangan yang ada. Selebihnya tidak, bahkan tidur pun terhalang oleh Haru. kami bukan pengantin baru, kami bahkan seperti pasangan yang sudah tidak saling memiliki minat terhadap masing-masing.
Satu hal yang membuatku kesal adalah tanpa alasan dia membelikanku piama panjang dan menyuruhku memakainya setiap tidur. Kenapa? Apa karena aku memakai tang top saja sebelumnya? Dia tidak suka pada tubuhku? Hah, gila. Aku seperti seorang pelacur yang ditolak.
Tubuhku masih aman dari jamahan Reno dan aku juga masih perawan, dia mungkin tidak berminat padaku. Sungguh menyakitkan. Tapi sedikit menguntungkanku, setidaknya kalau kami tidak berjodoh dan aku berpisah dengannya, aku masih memiliki selaput dara yang menempel pada tubuhku. Janda rasa gadis, aku sepertinya harus membuat lagu dengan judul itu.
Kepalaku semakin pusing. Sudahlah, aku sudah tidak ingin memikirkannya lagi.
Reno tidak menginginkanku? FINE!
******
"eh, neng Sharen. Nanti ikut ya? ada demo masak di rumah bu anita." Bu Juwardi menyapaku begitu aku menyapukan halaman depan. Aku tersenyum. "Siap bu! Yang mimpin demonya cewek apa cowok?"
"Aduh neng, kebetulan laki-laki. Ganteng! Dia udah rutin melakukan demo masak di komplek ini selama dua bulan sekali. Nanti neng Sharen bakal sering bertemu. Ganteng loh, tapi tetep kali ya ganteng pak Reno." Bu Juwardi menggodaku. Ah, kenapa nama bapak itu di sebut sih bu? Aku tersenyum sekilas padanya.
"Saya beresin ini dulu ya bu? Setelah itu saya ke rumah bu Anita." Ucapku. Bu Juwardi tersenyum kemudian pamit lebih dulu padaku.
Dua bulan ini, terhitung sejak aku menikah dengan Reno dan berhenti bekerja di Daycare, kegiatanku adalah bersama ibu-ibu komplek. Aku bahkan sudah bergabung dengan ibu-ibu PKK di RW ini, meskipun aku ibu-ibu termuda yang bergabung―karena ibu muda lain sibuk bekerja, tetapi aku sangat senang. Sejak dulu aku sudah tumbuh dan hidup dalam keramaian, dan dunia ibu-ibu itu sangat ramai! Reno tidak tahu, tentu saja darimana dia tahu, pulang saja tidak. Ah, memikirkannya malah bikin ngenes. Reno sue!
Selesai pekerjaanku, aku masuk ke dalam rumah, melihat Haru yang tengah menonton Hi-5. Mama disana, menemani cucunya menonton.
"Haru sayang, ikut yu? Nonton demo masak." Aku mengambil gelas kemudian duduk disamping Haru dan meminum airku.
"Nggak mau, Haru lagi nonton." Fokus Haru tertuju pada TV, dia bahkan tidak melihatku.
"Demo masak dimana Sharen?" Mama bertanya padaku, aku tersenyum.
"Di rumah bu Anita ma, itu loh Rumah no 20 yang empat tingkat itu."
"Mama boleh ikut?" Wajah mama terlihat berbinar dan begitu antusias. Aku menganggukkan kepalaku, sama antusiasnya dengan mama.
"Ayo ma,boleh. biar rame!"
"Oma sama mama mau pergi?" Haru akhirnya mengalihkan fokusnya dari TV padaku. Dia menatapku dan mama bergantian.
"Iya sayang. Ikut ya? Hi-5 nya nanti aja. Sore ada lagi kan?" Bujuk mama. Haru terdiam sejenak, mungkin memikirkan keputusannya untuk menonton acara favoritnya.
"Haru ikuuut.." yes. Aku bersorak dalam hati, kalau Haru dibawa perasaanku lebih tenang.
*****
"Ya, tema memasak hari ini adalah camilan enak dan minuman segar."
Pria tinggi menjulang dengan wajah yang sangat tampan dengan tubuhnya yang atletis berdiri di dapurnya bu Anita dan tersenyum ke arah kami yang sedang memperhatikannya. Senyumnya manis, berasal dari bibir tipisnya yang menggoda. Bhahha, apa? Menggoda? Iyes! Pria ini menggoda, terbukti dengan tatapan ibu-ibu yang begitu menyala-nyala padanya. Diam saja begitu mempesona, apalagi bergerak kesana kemari menunjukkan bahan makanan dan menjelaskannya.
Aku duduk pada barisan kedua, dengan mama disampingku yang sejak tadi menyenggol bahuku, memuji ketampanan Chef di depannya. Haru sedang bermain dengan Jino, kebetulan neneknya Jino berada disini dan Jino ikut.
"Sebelum memulai, sepertinya ada member baru disini." Senyumnya merekah dan tatapan matanya tertuju padaku, membuatku merona dengan malu dan ibu-ibu disini sontak bersuara, senggolan mama pun semakin kencang.
"Boleh saya tahu nama―teteh?" Aku tertawa sekilas. Teteh? Syukurlah, aku tidak dipanggil ibu olehnya.
"Sharen." Jawabku. Chef itu menganggukkan kepalanya, kemudian ia meletakkan kedua tangannya di atas meja dapur. Ouwh, ketampanannya meningkat maksimal.
"Senang bertemu dengan anda, Sharen." Ucapnya. aku tersenyum, dan ibu-ibu kembali bersuara.
"Yah, saya perkenalkan diri dulu. Nama saya Adrian, saya Chef yang sudah melakukan kegiatan rutin di komplek ini selama tiga tahun. Dan selama tiga tahun ini, baru pertama kalinya saya mendapatkan member yang masih muda, seperti teteh." Ucapnya. aku kembali tersipu malu. Oh, jadi namanya Adrian?
"Ya, baiklah. Kita mulai memasak hari ini. girls, are you ready?" Adrian mengedipkan matanya kea rah kami sehingga membuat ibu-ibu yang ada disini bersorak dengan kegirangan. Dasar ibu-ibu, rame sekali. Terlebih mama, dia terus menerus menyenggol bahuku.
"Sharen, si Reno mah jauh atuh. Ini jelas lebih ganteng." Puji mama. Aku terkikik,ya. Reno jauh, jauh sekali sampai-sampai aku tidak bisa menjangkaunya, dirinya dan hatinya. argg berhenti memikirkan patah hatimu!!
*******
Ponselku berdering di saat yang tidak tepat. Aku baru saja akan menghampiri Adrian dan mengajaknya berbincang-bincang tapi Reno menelponku. Good, aku seperti di sadarkan oleh Tuhan bahwa aku sudah bersuami dan tidak boleh bermacam-macam pada pria lain.
"Kenapa?" Aku menjawabnya dengan ketus. Kesal? tidak. Ngenes? IYA.
Reno menghembuskan nafasnya dengan keras di sebrang sana. "Kamu dimana?" Tanyanya padaku. kenapa? Bertanya aku dimana? Penting memangnya untuknya yang tidak mengharapkan aku masuk ke dalam hidupnya?
"Dimana-mana.."
"Sharen.. kamu mau begini aja? Kita lagi jauh loh, dan aku gak bisa bujuk kamu. Aku juga gak ngerti kenapa kamu marah-marah gak jelas seperti ini." Aku menggigit bibirku, mataku mulai berkaca-kaca karena dalam hatiku aku ingin berteriak tepat di depan wajahnya.
"Maaf, aku memang nyebelin. Udah aku bilang kan, aku pasti mengecewakan." Hatiku perih begitu mengucapkannya, aku menabur garam pada lukaku sendiri.
"Ada yang mengganggu pikiran kamu? Kenapa? Bisa aktifkan line kamu? Kita video call." Aku menggelengkan kepalaku dengan kuat. Video call ? no! aku akan benar-benar menangis ketika melihat wajahnya berbicara padaku nanti, dan harga diriku. Oh tuhan..
"Aku lagi di acara demo masak, sama mama sama Haru. nanti aja. Udah ya? lagi sibuk juga kan?"
"Sekarang sore Sha, kalau kamu gak lupa. Aku sudah tidak sibuk lagi."
"Oh, gitu ya. tidak sibuk tapi tetep aja gak bisa pulang. Iya kan?"
Aku menjawabnya dengan kesal. entahlah, emosiku sedang meningkat dan diriku sedang amat sangat labil. Di sebrang sana Reno malah tertawa cekikikan, hah. Dia pikir ini lucu?
"Jadi kamu marah karena aku gak pulang? Oh Sharen, already miss me?" Suaranya menggodaku. Gila. Dasar bapak gila. Sedang marah pun pipiku tetap merona mendengarnya berkata seperti itu. Tidak, bukan dia yang gila. Tapi aku.
Aku memilih tidak menjawab ucapannya. Lihat, dasar pria menyebalkan! Dia bertindak seolah-olah tidak mempunyai salah padaku. tunggu, dia memang tidak bersalah kan? sejak awal dia menikahimu karena anaknya, bukan karena dirimu. Kau saja yang terlalu berharap lebih, dan sekarang kenyataan memukul keras wajahmu.
"Sharen?" Suara seorang pria terdengar di belakangku. Dengan cepat aku menoleh dan mendapati Adrian disana, tersenyum manis padaku. tanganku refleks memutuskan sambungan telpon dan menyimpan ponselku ke dalam saku celana.
"Ya?" Aku mengerutkan keningku, tersenyum membalas sapaannya. Dia menyodorkanku minuman yang tadi dibuatnya.
"Semua orang sudah kebagian, tinggal kamu yang belum." Ucapnya. aku mengambil gelas itu dan mengucapkan terimakasih padanya kemudian meminumnya. Oh, enak sekali.
"Ini benar-benar enak. Pake banget!" Aku mengangkat jempolku tinggi-tinggi dan tersenyum padanya.
"Terimakasih, mendengar pujian dari wanita secantik kamu benar-benar membuatku sangat senang." Pipiku memerah mendengar pujiannya. Ampun mak, pria ganteng begini memujiku cantik. Awww
"Ngomong-ngomong, kamu warga baru disini?" Dia kembali membuka pembicaraan. Aku mengangguk. Memang warga baru kan diriku ini?
"Ya, sudah dua bulan."
"Pantes, baru ketemu. Memang acaraku disini dua bulan sekali."
"Ah, kebetulan banget!"
"Iya, kebetulan banget. Dan menyenangkan banget, mengingat ada wanita muda cantik yang mulai sekarang akan melihatku memasak." Ucapnya lagi. pipiku semakin memanas, aku semakin malu karena pujiannya padaku. modus ya? sebodo amat, hiburan sejenak melepas patah hati gak ada salahnya keleus.
"Masakanmu enak. Sudah berapa lama jadi Chef?"
"Sudah hampir enam tahun. Aku punya restoran, di Dago dan Cihampelas. Mungkin kamu mau mampir?"
"Oh, boleh itu. Boleh banget."
"Kalau begitu, ini kartu namaku. Kamu bisa menghubungiku kalau mau mampir ke restoranku." Adrian mengulurkan sebuah kertas padaku. kartu namanya. Aku tersenyum kemudian meraihnya.
"Sharen.." Suara mama memanggilku. Dengan segera, aku berpamitan pada Adrian dan menghampiri mama.
"Kita pulang yuk ma?" Ajakku. Mama menganggukkan kepalanya kemudian ia memanggil Haru dan mengajaknya pulang.
******
Pagi hari, masih jam Sembilan tetapi matahari sudah bersinar begitu terang, membuat suasana di luar terlihat seperti jam dua belas siang.
Aku membuatkan minuman untuk Adnan, adikku sedang berkunjung ke rumahku karena dia bosan katanya.
"Haru! bukan begitu, ih salah. Sini! Biar om yang memasang." Adnan terlihat sedang sibuk mengajarkan Haru memasang lego. Dasar, anak manis seperti Haru yang mainannya boneka semua kenapa dia beri mainan laki-laki?
"Whooaaa.. Om anan Hebaaat!!" Haru bertepuk tangan begitu Adnan selesai dengan Legonya. Adikku mengerucutkan bibirnya.
"Adnan."
"Anan.."
"Adnan Haru, adnan."
"Anan."
"Ad.." Adnan membimbing Haru mengucapkannya. Haru mengikutinya. "Ad."
"Nan.." Ucap Adnan lagi. Haru kembali mengikutinya. "Nan."
"Adnan.." Ucap Adnan perlahan.
"Anan!" Haru berucap dengan sangat keras. Adnan menjambak rambutnya sementara aku tertawa dengan sangat puas. Sudah dua bulan ini Haru terus menerus memanggil nama Adnan dengan sebutan Anan. Aku tidak tahu, apa Haru kesulitan atau bagaimana. Tetapi putriku itu terus meerus memanggil Adnan, anan.
"Terima nasib aja lah udah Nan.. Anan juga gak jelek-jelek amat kok." Aku menyodorkan satu gelas sirup padanya. Adnan meminumnya dengan rakus kemudian menatapku dengan sebal.
"Enak aja! Beda nama beda cerita tahu kak!" Jaaah, dasar bocah! Bahasanyaaa..
"Mamaneh lah nan mamaneh." Aku tertawa mengucapkannya. Kata-kata sedikit kasar yang kami gunakan ketika bercanda.
Adnan sudah selesai dengan sekolahnya, tahun ini dia masuk kuliah dan aku memintanya untuk kuliah disini, tinggal di rumah dan menemani mama. Ia menurut, katanya dengan syarat ingin masuk ke ITB. Dasar adik durhaka, biaya masuk ke ITB itu tidak sama dengan biaya membuat tempe mendoan. Dia pikir aku ladang uang? Aku menyuruhnya disini agar bisa kuliah dan kerja sepertiku. Tapi suamiku yang sangat tampan dan tak menginginkanku malah mengatakan akan menanggung biaya kuliah Adnan, dan yeah,, asalkan Adnan berhasil lolos tes dan sebisa mungkin mendapatkan beasiswa. Beasiswa? Boro-boro beasiswa, yang dicari si adnan mah bukan beasiswa tapi Behasiswi!
Ponselku bergetar, ada pesan masuk dari mama yang menyuruhku untuk mengantarkan stock makanan pada satpam depan komplek. Aku menatap Haru yang sedang asik memainkan lego pemberian Adnan.
"Haru, mama pergi dulu sebentar ya? Haru disini bersama om Adnan. Mau?" Bujukku. Haru menggelengkan kepalanya.
"Haru mau ikut!" Rajuknya. Aku menggeleng.
"Jauh sayang. Nanti Haru cape, Haru tunggu saja sebentar ya nak?"
"Haru mau ikut mamaa!" Matanya mulai berkaca-kaca dan ia melompat dari kursi kemudian memelukku dengan erat.
"Pake motor Adnan aja lah kak biar cepet." Ah ya, benar.
"Mama gak akan lama sayang, cuman lima menit ya? Mama naik motor om Adnan jadi cepet." Aku kembali menatap Haru, dia menggelengkan kepalanya.
"Haru ikut naik motor!"
Oh tidak, bencana besar. Aku bisa di gorok Reno nanti.
"Adnan, kamu aja gih kesana ke pos satpam!"
"Aduh kak, gak kira-kira nyuruhnya. Gak lihat, tadi aku habis jatoh. Masih sakit ini badan." Aku menggaruk kepalaku. Ya, Adnan tadi sempat jatuh di halaman rumahku karena hampir menabrak kucing dan kakinya sedikit terkilir.
"Haru, sebentar aja ya? Mama gak akan lama.." Aku kembali membujuk Haru. dia kembali menggelengkan kepalanya.
"Gak mau! Haru mau ikut!" Rajuknya.
"Bawa aja kali kak, deket kan?"
"Masalahnya Reno gak ngebolehin Haru naik motor."
"Ya elah lagian naik motornya juga bukan ke garut kali. Cuman ke depan, hati-hati aja kak. Gak akan apa-apa kok."
Aku menatap Adnan dan Haru bergantian. Ya, jalanan komplek sejauh ini aman dan sepertinya memang tidak akan apa-apa. Baiklah.
"Haru boleh ikut.." Ucapku. Haru berjingkrak senang kemudian mencium pipiku.
Aku mengambil barang yang ku perlukan kemudian kunci motor Adnan. Motornya Matic, untung saja. Haru duduk di depan dan aku mulai menjalankan motorku.
Haru bernyanyi sepanjang jalan dan aku mendengarkannya, sampai di pos satpam aku segera memberikan barang yang ku siapkan. Beras, dan beberapa kopi juga teh dan gula. Mama bilang memang setiap bulan semua keluarga di komplek ini bergantian memberikan bahan makanan untuk satpam. Dan bulan ini giliran Reno, dan empat keluarga lain.
Aku berpamitan pada satpam kemudian menjalankan motor dan kembali meyusuri jalan sepanjang komplek menuju rumah.
Ada sebuah truk yang di parkir di dekat rumahku, aku mengerutkan keningku karena tadi tidak melihatnya.
Mengabaikannya, aku kembali fokus pada jalanan dan mengemudikan kembali motorku dengan Haru yang sangat senang duduk di depanku.
Begitu mendekat kea rah truk, tiba-tiba saja pintu truk terbuka dengan aku yang sudah sangat dekat dengan pintu tersebut, aku kehilangan kendali, membuatku benar-benar kaget dengan apa yang ku hadapi, pikiranku kosong, aku hanya teringat Haru dan dengan segera melepaskan kedua tanganku dari stang kemudian memeluk Haru dengan erat.
BRAAAAAAKKK
Terdengar bunyi yang begitu keras. Disusul dengan tubuhku yang tiba-tiba saja terlempar ke jalanan. Aku memejamkan mataku dengan kuat seiring dengan benturan keras pada tubuhku. Aku sibuk memeluk Haru, takut sesuatu terjadi kepadanya dan akan membuat Reno membenciku.
Suara tangisan Haru pecah, aku membuka mataku dan dia masih aman dalam pelukanku. Dengan cepat, aku mengecek seluruh tubuhnya. Syukurlah, dia tidak apa-apa.
"Mamaaa.." tapi dia menangis dengan sangat kencang. Membuatku sangat panic. Astaga, dengan cepat aku bangun dan duduk di aspal memeluk Haru erat. Ponselku bergetar dan nama Reno tertera disana.
Tanganku gemetaran dan tangisku mulai pecah ketika mendengar suaranya.
"Sha, aku sebentar lagi sampe. Kamu mau dibawain ap―loh Sha? Kamu nangis? Kenapa?"
"Haru..Reno.. Haru.."
"Haru? Kenapa Haru?"
"Haru jatuh dari motor?"
"APAAAA?!!!"
Dan sambungan telpon kami putus. Teriakkan Reno sudah menjawab semuanya. Tamat sudah riwayatku.
"Ibu.. ibu tidak apa-apa?" Dan ku rasakan seseorang menghampiriku. Dia supir truk yang tadi membuka pintunya tanpa melihat jalanan di belakangnya.
******
"Aku sudah bilang untuk tidak membawa Haru naik motor! Kamu kenapa gak nurut banget SHAREN!!" Reno berteriak di hadapanku, lima belas menit setelah dia menelponku dia sampai di rumah. Dan kata-kata pertama yang dia ucapkan padaku setelah tidak pulang dua bulan ini adalah bentakan keras yang membuat air mataku berjatuhan dengan sangat cepat.
Haru tidak apa-apa, dia sedang tidur sekarang dan Reno belum mlihat keadaannya.
"Kamu bisa jalan Sharen, kamu punya kaki. Kenapa harus naik motor?!"
Dia menatapku dengan tatapan yang menyala-nyala. Semua kebaikannya selama ini luntur tak bersisa. Kemarahannya begitu dahsyat dan membuatku gemetaran.
"Aku tahu, Haru bukan anak kamu. Aku tahu Sha, tapi bisa gak sih kamu yang bener jaga Haru!! aku gak minta apapun lagi! aku cuman minta kamu yang bener jaga Haru. itu aja!!!" Bentaknya. Aku menatapnya dengan air mata yang mengalir dengan deras. Bagus, dia mengatakan kata-kata itu padaku, hatiku sakit, seperti diremas dengan begitu kuat. Bukan anakku? Ya, memang bukan anakku. Justru karena Haru bukan anakku!!! Aku melindunginya sekuat tenagaku, sebisaku sehingga dia tidak sampai terluka. Dan apa yang dikatakan Reno? Dia seolah menganggap aku seseorang yang tidak mau menerima anaknya. Aku seperti ibu tiri yang jahat yang sengaja mencelakakan anak suaminya. Bagus Reno, kau meyakitiku.
"Kamu diem? Ngerasa bersalah sekarang? Setelah apa yang kamu lakukan dan kamu baru merasa bersalah? Menyesal? Kenapa tidak memilih berjalan kaki saja? jawab aku Sha. Aku butuh jawaban kamu. Bukan tangisan kamu!!!" Suaranya semakin meninggi. Aku menatapnya dengan nanar.
"Niatmu menikahiku, apa?"
Akhirnya aku menyuarakan isi hatiku. Kulihat dari matanya, Reno terkejut. Tetapi dia malah terdiam dan menatapku tidak mengerti. Air mataku semakin deras, lihat. Dia bahkan tidak bisa menjawabnya. Terjawab sudah, memang dia tidak menginginkanku untuknya, dia hanya meninginkanku untuk Haru saja. nasibku, begitu pedih.
Dua bulan pernikahan dan aku sudah dihadapkan pada kenyataan seperti ini. apa kami tidak jodoh?
"Gak bisa jawab kan? gak apa-apa. Aku juga sudah tahu jawabannya." Aku menghapus air mataku dengan kasar. Reno masih diam, dadanya naik turun menahan emosi.
"Kenapa kamu malah menga―"
"Sejak awal, kamu menikahiku juga demi Haru, meminta untuk menjadi ibu Haru. kamu gak pernah memintaku untuk menjadi wanita dalam hidupmu. Oke.. aku cukup tau diri."
"Kenapa kamu―"
"Aku merasa seperti seseorang yang bekerja untukmu, kamu memperlakukanku sama dengan kamu memperlakukan karyawanmu. Dan yah, bedanya aku mempunyai status. Sebagai istri kamu."
"Sharen!" Dia membentakku begitu menyebut namaku. Air mataku kembali turun dan aku menatapnya dengan lemah. Ingin berteriak, tetapi aku tidak sanggup.
"Kamu menjadikanku ibu dari anakmu, dan yah.. aku sudah melakukannya. Karena Haru anakku, semampuku aku mecoba melindunginya."
"Haru tidak apa-apa, dia lagi tidur di kamar. Tadi dia menangis karena kaget, mungkin."
Aku merasakan kepalaku begitu pening dan Reno menatapku dengan khawatir.
"Sharen, kening kamu―" tangannya terulur, hendak menyetuh keningku tapi aku menepisnya. Tanganku ku sentuhkan pada keningku, ada darah begitu aku melihat telapak tanganku.
"Seharusnya sebelum marah-marah padaku, kamu memastikan dulu kondisi Haru. tidak perlu memperhatikan kondisiku, aku cukup tahu diri dan tidak akan pernah berharap banyak. Aku ibu Haru kan? maka aku akan menempatkan diriku sebaik-baiknya sebagai ibu Haru."
Tanpa menghiraukannya, aku masuk ke dalam kamar kosong yang menjadi tempat penyimpanan mainan Haru dan mengunci pintunya. Aku butuh sendiri, aku butuh menangis, dan aku butuh menumpahkan semua kekesalanku juga kekecewaanku padanya.
Menggelar matras, aku menidurkan tubuhku di atasnya.
Sekarang, barulah terasa sakit di seluruh tubuhku atas benturan dahsyat tadi. Bagus, tubuh dan hatiku sakit di saat yang bersamaan. Nasibmu Sharen, benar-benar menyedihkan!
- TBC -
Hahahaha XD ini gaje gak sih?
Aku niatnya mau bikin part ini sedih, tapi kayaknya gak sedih deh, gatot! Soalnya aku bikinnya kepotong sama bibi aku yang mendadak curhat menggebu gebu :D
Yah sebodo lah yah udah jadi ini.
Mulai diterpa prahara tuh rumah tangga mereka, wkwk
Sekian aja lah..
Terimakasih nya selalu untuk kalian semua barisan para pembaca.
Lavyuhh :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro