PART 17 | BERSABARLAH!! - RENO
"HAHAHAHAHA!" Mushkin tertawa dengan kencang begitu aku menceritakan insiden ketika Haru untuk pertama kalinya membuatku tidak senang karena menggangguku.
"Gilee.. kasian amat lu! Duda haus belaian, eh pas mau dibelai malah anaknya datang tanpa dosa dengan seluruh tubuhnya yang kotor. Bhahaha nasib lu no.. konyol banget!" Mushkin terus menerus tertawa, ia bahkan sampai memeras perutnya dengan kencang saat tertawa. Sialan, dia malah meledekku?
"Gak usah ketawa begitu deh Mus, lagian kok lu bahagia banget." Aku menatapnya dengan kesal. urusan menertawakan orang memang Mushkin jagonya. Dan sejak tadi ia tak juga berhenti menertawakanku. Kalau jadinya begini lebih baik aku tidak menceritakan itu semua pada Mushkin.
Haah, kalau mengingatnya hanya membuatku kesal. insiden empat hari lalu, dimana aku hampir saja menghabisi Sharen pagi itu, tetapi di hentikan oleh Haru yang tiba-tiba menangis. Mendadak aku menyesal, kenapa tidak merenovasi kamar Haru sebelum hari pernikahanku, atau kenapa aku tidak menitipkan Haru pada mama?!
Dan kejadian itu benar-benar menyiksaku, beberapa hari ini aku benar-benar menjaga jarak dari Sharen, aku pergi pagi sekali dan pulang juga sore sekali, bahkan menjelang malam.
Kami hanya bertukar pesan sekilas, di rumah pun hanya berbicara seadanya.
Sharen tetap mengerjakan pekerjaannya, ia menyiapkan bajuku,makananku, dan hal-hal lainnya yang membuatku bersyukur karena aku menikah.
Hidup sendiri dengan satu orang anak membuatku melakukan semuanya sendiri, dan sekarang sejak ada Sharen, aku sudah tidak melakukan hal apapun lagi selain pergi ke kantor dan menghasilkan banyak uang untuk ku persembahkan untuk Sharen.
Sharen masih dalam masa cutinya, karena ia cuti selama satu minggu. Tapi aku sudah memutuskan untuk menyuruhnya berhenti bekerja, memangnya suami mana yang mau membiarkan istrinya bekerja, apalagi suaminya yang mencari uang ratusan juta sepertiku.
Suami, mendadak aku tersenyum mengingat statusku saat ini. sekarang aku seorang suami, bukan seorang duda. Astaga, indahnya.
"Heh pak bos! Ngelamunin apa lu?" Mushkin menepuk lenganku, membuatku terperanjat dan dengan cepat kembali pada pikiranku yang normal.
"Gak apa-apa." Ucapku. Mushkin tertawa lagi melihatku. Ini orang, kenapa sih?
"Gue saranin lo cepet ungsikan Haru ke rumah ibu lo no! demi kelangsungan sumber kehidupan lo." Mushkin melirik ke arah bawah begitu ia mengucapkan 'sumber kehidupan' dan aku melotot ke arahnya.
"Sialan lo mus!" Cibirku, eh dia malah kembali tertawa. Heran, stock tawa Mushkin itu tak ada habisnya sama sekali.
"Sebenernya nih ya no, melihat dari empat hotel besar yang lo punya yang menghasilkan uang begitu banyak tiap harinya, gue masih heran. Kenapa bikin kamar satu aja buat anak lo susahnya minta amin! Bangun hotel baru aja lo bisa memutuskan dalam sehari, kenapa renovasi kamar buat haru lo mikir bertahun-tahun? Lo kayak gembel yang cari makan aja susah no." Ucap Mushkin. Aku terdiam, benar. Benar juga, memang benar.
"Itu karena gue gak bisa Mus, lagian kan gue tidur sendiri. Masa Haru juga harus tidur sendiri."
"Tapi sekarang lo udah nikah lagi Ilham! Lo udah punya istri dan lo gak tidur sendiri lagi."
"Damn, lo malah manggil gue ilham."
"Abisnya gue sebel sama lo. Susah amat cuman bikini kamar buat Haru. atau lo bisa kali pindahin dulu Haru ke lantai, atau ke sofa pas lu mau ML."
"Gila lo mus, lu kira anak gue apaan! Gue bukannya gak mau, gue belum bisa. Kalau gue tidur berdua aja sama Sharen, gue takutnya gue lepas kendali."
"So? Sharen istri lo kan? hell, itu udah kegiatan wajib buat kalian. Sunah Rosul ilhaaam!!"
"Tapi mus, Sharen.. Sharen itu, dia―dia kan masih perawan, gue cuman gak mau menyakiti dia."
"WHAT THE HELL ARE YOU SAYING RENOOO!!!!"
****
Aku mendorong pagar rumahku dengan lesu, sekarang jam Sembilan malam dan aku baru sampai di rumahku. Begitu memasukkan mobil, aku segera masuk ke dalam rumah.
Sharen duduk menyila di sofa dengan laptop yang berada di atas pahanya, matanya sudah terlihat mengantuk tetapi dia sepertinya masih sibuk dengan kegiatannya.
Kepalanya mendongak begitu mendengar gemerisik yang berasal dariku.
"Oh? Kok malem banget?" Tanyanya. Ia menyimpan laptopnya kemudian berdiri dari duduknya dan mendekatiku. Tangannya mengambil tas kerjaku dan melepaskan dasiku. Dia masuk ke kamar kemudian kembali dengan membawa kaos dan celana tidurku. Hal rutin yang selalu ia lakukan begitu aku pulang kerja.
Aku mengambil baju yang ia sodorkan kemudian masuk ke dalam kamar mandi dekat dapur dan menggantinya.
Makan malam sudah tersaji di atas meja makan, Sharen sudah memasaknya. Dan aku duduk kemudian mengambil nasi ke atas piringku.
"Kamu udah makan Sha?" Aku bertanya pada Sharen yang saat ini kembali sibuk di depan laptopnya. Ia melirik ke arahku kemudian tersenyum tipis.
"Udah, tadi." Sahutnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku lalu makan dalam diam.
Sharen memakai piama panjang hari ini, tidak, lebih tepatnya empat hari ini. setelah insiden itu aku pergi ke toko piama dan membelikannya satu lusin piama panjang untuk ia pakai ketika tidur. Bukan apa-apa, aku hanya takut tidak bisa mengendalikan diriku begitu melihatnya berpakaian seperti hari pertama kami menikah.
Terlebih dadanya yang cukup besar, yang beruntungnya sudah ku ketahui ukurannya saat menyentuhnya dan sialnya membuatku penasaran ingin dan ingin menyentuhnya lagi dan lagi.
Arg, sedang makan pun pikiranku tetap tertuju pada hal itu. Benar-benar! Aku ternyata memang masih sangat normal, dan nafsuku pada tubuh perempuan masih menyala-nyala. Oh Reno, bertahanlah!
"Haru tidur jam berapa?" aku menelan suapan terakhir makananku dan meminum air putih di sampingku. Sharen menyimpan laptopnya dan berbalik. Tangannya ia tumpu pada bagian atas sofa.
"Haru tidur abis isya, dia seharian main sama Jino. Mungkin capek." Jawabnya. Aku mendengus. "Hih, si Jino?"
Sungguh, dari semua teman-teman Haru, yang paling tidak aku sukai adalah Jino.
"Kenapa sih? Kayaknya gak suka sama Jino." Sharen menahan senyumnya. Ia berdiri kemudian mengambil piring bekas makanku dan mencucinya, ah istriku.. rajinnya dirimu.
"Bukan apa-apa Sha, Jino itu selalu disebut-sebut sama Haru. kata Jino begini lah, begitulah, jangan ini lah, jangan itulah, memangnya yang membesarkan dia si Jino?" Aku merasa bahwa aku sedang berapi-api begitu menjelaskannya pada Sharen. Membuat Sharen tertawa di tengah kegiatannya mencuci piring.
"Cemburu sama Jino?" Tanyanya. Dia sudah selesai mencuci piring, hendak kembali ke sofa tapi aku menarik tangannya, menuntunnya untuk duduk di atas kursi yang berada di hadapanku.
"Yang begitu bisa di bilang cemburu ya?" Tanyaku. Sharen tergelak, dia menganggukkan kepalanya.
"Ini bapak satu, selain bawel, cemburuan juga sama anaknya. Daughter complex!" Ucapnya. aku hanya bisa mengerucutkan bibirku.
Ah Sharen, dibawah lampu dapur ini wajah cantiknya benar-benar bersinar dan membuat dirinya terlihat jauh lebih cantik berkali lipat. Satu yang paling ku sukai dari dia selain kulit putih mulusnya adalah rambut panjang lurusnya yang menambah kecantikan dalam wajahnya. Satu bagian yang tak pernah di ketahui oleh orang lain karena istriku ini memakai kerudung. Ah, istriku.. ya, dia istriku.
Sebenarnya tidak ada larangan apapun untukku melakukan sesuatu pada Sharen, hanya saja aku masih belum begitu siap. Bukan siap melakukannya, tapi siap menerima kondisi Sharen. Maksudku, ada sedikit keraguan dalam hatiku mengenai Sharen yang kini menjadi istriku. Dia memang sudah melayaniku dalam semua hal, terkecuali satu yang kini sedang ku hindari.
Aku ragu, bisa jadi dia belum siap untuk menyerahkan semuanya padaku. Dan aku tidak mau hal itu terjadi, aku hanya ingin memastikan bahwa Sharen benar-benar siap dan bersedia, meskipun diluar itu memang hal tersebut merupakan kewajibannya padaku dan hak yang memang harus ku dapatkan.
Sharen masih perawan, bukan berarti aku tidak senang. Tapi aku takut kalau-kalau aku menyakitinya. Nova sudah pernah melakukannya ketika kami melakukan pertama kali, aku menerimanya karena kesepakatan kami untuk saling menerima, dan mungkin karena nafsuku yang begitu besar, aku membuat Nova tidak bisa berjalan dengan baik selama tiga Hari.
Dan jangan sampai aku melakukan hal yang sama pada Sharen, bisa jadi Sharen tidak bisa bangun selama satu minggu. Oh, mimpi burukku.
Aku teringat sesuatu yang sejak tadi pagi ku pikirkan.
"Hmm.. Sha.." Sharen mendongakkan kepalanya begitu mendengar aku memanggilnya .
"Kenapa?"
"Kalau aku meminta kamu berhenti bekerja, kamu mau?" Ucapku padanya. Ada sebuah keterkejutan dalam ekspresinya dan raut wajahnya berubah menjadi sendu.
"Kenapa?" Tanyanya. Suaranya memelas, aku tahu dia tidak ingin melepaskan pekerjaannya.
"Aku cumah gak suka kalau kamu kerja. Itu aja." Ucapku. Bibirnya mengerucut, ia menatapku dengan tatapan memelas.
"Tapi aku masih bisa ngerjain semuanya kok, Haru juga bisa sekalian sekolah kan, dia disana juga sama aku. Pulang dari Daycare pun aku bisa pulang jam tiga, masih ada waktu buat masak makan malem." Dia mencoba meyakinkanku. Ya, benar, memang masih bisa. Tapi aku tidak mau, aku tidak mau dia bekerja.
"Kamu bekerja cari apa Sha? Cukup aku aja yang kerja, kamu di rumah aja. Penghasilan aku gak akan habis sekalipun kamu membagikannya sama orang satu kampung." Ucapku, Sharen mendelik ke arahku. Haha, kesannya seperti uangku begitu melimpah. Padahal maksudku uang yang dibagi-bagi itu ya satu orang sepuluh ribu, jadi pasti tidak akan habis. Bagus Reno, pintar sekali.
"Mengisi waktu.." Jawabnya. Dia masih keukeuh. Aku menggelengkan kepalaku kemudian menatapnya dalam.
"Aku melarang kamu bekerja, kalau mengisi waktu kamu bisa datang ke hotel atau main ke daycare sesekali. Kamu juga bisa pergi sama mama atau Renita, atau teman kamu. Lagipula, bukannya kamu bilang pengen jadi nyonya rumah aja kan di wawancara kamu?"
Ini pertama kalinya aku menyinggung mengenai wawancara yang dilakukan oleh Renita padanya, ia menatapku dengan sebal tetapi bibirnya tersenyum dan pipinya merona merah, oh cantiknya makhluk di hadapanku ini.
"Ya udah, kalau kamu maksa." Ucapnya, dia setuju dengan pendapatku. Betapa aku mensyukurinya.
"Lagipula, kamu masih harus susun skripsi kan Sha?" Ucapku, dia mengangguk dengan senang.
"Besok aku kasih surat Resign buat Daycare sama klinik. " Ucapnya. aku tersenyum lagi kemudian masuk ke dalam kamarku dan mengambil dua amplop dalam tas ku kemudian menyerahkannya pada Sharen.
"Aku udah bikin, tinggal kamu kasih aja." Kataku. Sharen terkejut melihat kedua amplop yang ku sodorkan, sementara aku tertawa dengan puas seraya berjalan ke kamarku.
Itu sudah rencanaku, kalau pun Sharen menolak, besok aku akan datang ke tempatnya bekerja dan mengajukan surat itu mewakili Sharen. Bhahaha pintar sekali diriku ini.
******
"Papaaa! Banguun!" Suara pekikan dari Haru membuatku membuka mataku dengan perlahan. Dadaku rasanya sesak, karena Haru mendudukinya dan menepuk-nepuk dengan keras dadaku. Hampir satu minggu ini Haru selalu membangunkanku dengan cara yang sama! tidak seperti dulu, karena dulu aku yang selalu bangun lebih dulu.
Entahlah, hampir satu minggu ini aku berubah menjadi seorang pria malas yang bangun pagi saja rasanya sulit sekali. Padahal kemarin-kemarin aku tidak begitu.
Rutinitas ku pun seperti biasa, begitu Adzan subuh aku bangun dan Sholat kemudian kembali tidur lagi. dulu sih memang bangun sendiri, sekarang setiap subuh Sharen yang selalu membangunkanku. Aku sudah bilang kan, aku menjadi pria yang pemalas sekarang.
"Papa! Kok gak bangun-bangun!" Haru kembali menepuk dadaku dengan kencang, aku terbatuk dan hampir saja memarahinya.
"Iya sayang, papa bangun.." Ucapku padanya. Dia tersenyum kemudian bangkit dari tubuhku. Hah, aku bisa bernafas dengan lega sekarang.
"Mama mana?" Aku tersenyum begitu mengucapkan kata-kata manis itu. Rasanya malu sekali walau sekedar mengucapkannya, dan ini kali pertama aku bertanya seperti ini pada Haru.
"Mama lagi masak!" jawab Haru. aku menganggukkan kepala kemudian kembali tersenyum seperti orang gila. Putriku memperhatikanku sekilas, mungkin ia menyadari bahwa kewarasan ayahnya berkurang hari demi hari. Biarlah, memang begini adanya.
"Haru mau ke mama dulu!" Ucapnya riang, dia turun dari ranjang dan berlari keluar kamar dengan meneriakan kata 'mama'.
Aku tersenyum senang. Diantara seluruh perubahan yang terjadi dalam hidupku, yang paling terlihat adalah raut wajah Haru. sekarang raut wajahnya begitu riang gembira berkali lipat dari biasanya, terlebih ketika ia memanggil Sharen dengan sebutan mama.
Hari pertama Haru masih sering memanggilnya tante Sharen, tapi sekarang ia sudah sangat sempurna memanggil Sharen dengan sebutan mama. Bahagianya..
"Udah bangun?" Sharen masuk ke kamar dengan piama nya yang semalam dan rambutnya yang di gelung ke atas. Lehernya yang telanjang membuatku menelan ludah dengan sangat banyak. Oh Sharen, kenapa harus menggelung rambutnya sih?!! Dan tolong katakan padaku siapa pencipta ikat rambut di dunia ini? kalau bisa protes, aku akan protes padanya karena menciptakan benda terkutuk yang bisa menggulung rambut dan membuat leher putih istriku terekspos dengan jelas sehingga membuatnya terlihat jauh lebih sexy dan aku tidak sabar ingin meletakkan mulutku disana! astagaaa, otakku!!
"U.. udah." Aku hanya menjawabnya dengan gagap. Masa bodoh dengan semua kegagapan ini. aku tidak peduli!
Sharen tidak mengeluarkan suaranya lagi, ia melewatiku dan masuk ke dalam kamar mandi. Aku mendengar suara air di dalam, Sharen sedang menyiapkan air untukku mandi. Ah, bahagianya di layani.
"Lima menitan lagi penuh." Sharen keluar dari kamar mandi, ia berjalan melewatiku dan membuka lemariku. Tunggu dulu, apa aku salah lihat?
"Kayaknya warna ungu belum di pake. Yang ini gak apa-apa?" mengambil kemeja ku, Sharen membalikkan tubuhnya dan menunjukkannya padaku. Aku menganggukkan kepalaku, tidak menjawab apa-apa karena mataku sudah tertuju pada sesuatu yang berada di balik baju Sharen.
Aku tidak tahu, tidak mengerti, dan tidak ingin memikirkannya. Tetapi mungkin karena Sharen mengisi air dalam bath tub dan membuat air itu memercik pada bajunya, membuat bagian dadanya yang tak terhalang apapun terlihat dengan jelas olehku.
Aku bukannya jelalatan, tapi entah mengapa mataku begitu jeli menatapi tetesan air yang tak seberapa yang sialnya membuatku bisa melihat dengan jelas benda itu!!
Aku pernah mendengar wanita tidur tidak memakai bra nya, tetapi aku baru merasakannya sekarang betapa menyiksanya hal itu untuk seorang pria! Astaga, kenapa seluruh keadaan selalu mendorongku untuk menerkam tubuh Sharen dan memenjarakannya di bawahku kemudian menghancurkannya?!!
Aku sudah membelikannya piama berlengan panjang dan bercelana panjang, tetapi rupanya tidak cukup. Apa piama itu terlalu tipis bahannya? Apa aku harus membelikan Sharen piama yang berbahan dasar handuk? Tidak, itu jelas akan menyiksanya dalam kegerahan, dan keringat membuat seorang wanita semakin sexy. Astagaaa.. BERHENTI BERPIKIRAN MESUM RENO!!
"Airnya udah siap, cepet mandi. Haru udah laper, kasian. Katanya pengen sarapan bareng." Begitu menucapkannya, Sharen pergi dari kamar dan menghilang dari penglihatanku. Mendadak, aku merasa begitu bersyukur.
*****
Watermelon.. Watermelon..
Papaya.. papaya..
Banana Banana! Banana Banana
Orange juice.. Orange Juice..
Haru tengah bernyanyi bersama Sharen di meja makan. Rambut Haru yang sudah di kuncir dua bergoyang kesana kemari mengikuti gerakan kepalanya. aku sudah siap dengan stelan kerja ku pagi ini. menyimpan tas serta jas ku, aku bergabung dengan mereka berdua di meja makan.
"Selamat pagi, Princess!" Aku mencium kening Haru, membuat putriku tertawa dengan senang. Sharen duduk di samping Haru dan aku memilih untuk duduk di sebrang keduanya.
Sharen mengambil dua potong roti kemudian menatapku dan bertanya. "Mau selai apa?"
"Nanas aja." Sahutku. Dengan telaten dia mengoleskan selai nanas pada rotiku. Aku tersenyum dengan puas, sungguh nikmat sekali hidupku Tuhaaan.. empat tahun ini aku tidak pernah bisa duduk tenang dan mengoleskan selai semauku karena aku sibuk mengurusi Haru, tetapi sekarang aku tinggal duduk manis saja dan semuanya tersaji di hadapanku. Menjadi suami, seindah ini.
Mataku tanpa sengaja melirik tangan lentik Sharen yang tengah mengoleskan selai pada rotiku. Tangan kecil, lembut, panjang, dan lentik itu, bagaimana rasanya ketika ia menggerayangi tubuhku? Oh, melihatnya mengoleskan selai saja sudah terlihat begitu sensual untukku. Bagaimana kalau tangan itu benar-benar berada diatas tubuhku?
Ya Tuhan!!! Pikiran itu lagi?!!
"Makasih Sha.." Aku buru-buru menggelengkan kepalaku dan berterimakasih pada istriku begitu dia selesai dan menyodorkan roti untukku.
"Roti papa jelek! Lihat, Roti Haru baguuuusss..." Haru menunjuk bangga pada rotinya yang berbentuk kupu-kupu. Aku tersenyum saja, lebih memilih untuk memakan sarapanku dalam diam.
Kalau ku perhatikan, sepertinya Sharen suka bereksperimen. Terbukti dengan bentuk roti milik Haru yang berbeda setiap harinya. Kalau makanan saja ia suka bereksperimen, apa mungkin untuk urusan gaya atau posisi dalam kegiatan menyenangkan yang satu itu ia juga senang bereksperimen? Oh, aku benar-benar tidak sabar.
APA? TIDAK SABAR?
NOOOOO..
Aku harus bersabar..
******
"Papa, Haru mau main sama Jino!" Haru menatapku penuh permohonan begitu masuk ke dalam mobil dan duduk di car seatnya. Aku tersenyum menatapi putriku.
"Hari ini Haru main di kantor papa ya.." Bujukku. Putriku mengerucutkan bibirnya kemudian menyimpan kedua tangannya di dada. Aku membiarkannya saja, nanti juga Haru berhenti merajuk.
"Kok ke kantor? Cuman anterin aku ke Daycare aja kan?" Sharen menatapku penuh tanya begitu ia duduk di atas jok yang berada di sampingku.
"Kita ke Daycare, lalu ke klinik. Setelah itu kamu ikut aku ke hotel, aku mau ngenalin kamu sama semua karyawan aku."
"APAAA??" Sharen membelalakkan kedua matanya. Aku tertawa, ekspresinya lucu sekali kalau sedang terkejut seperti itu.
"Ini bapak satu, kalau kasih kejutan gak pernah tanggung-tanggung!" Gerutunya, membuat suara tawa ku semakin keras. Beberapa hari ini Sharen sedikit berbicara, dan aku akan sangat menyukai begitu mendengar dia mengucapkan kalimat seperti barusan.
"Selamat datang di duniaku Sha, masih banyak kejutan-kejutan yang belum kamu tahu." Ucapku. Sharen hanya mencibir ke arahku.
*******
Sharen sedang berada di dalam Daycare dan aku menunggunya di parkiran seperti supirnya. Aku bersikeras ingin ikut, memastikan bahwa Sharen benar-benar menyerahkan surat pengunduran dirinya tetapi istriku itu tidak mau aku ikut. katanya masih malu sama bunda-bunda daycare yang lain.
HA! Malu apa? Harusnya dia bangga, wajahku ini tampan maksimal, usia juga masih muda. Tidak akan ada yang tahu kalau aku sudah beranak satu, lagipula wanita biasanya senang menunjukkan pasangannya kan?
"Maaf lama, tadi perpisahan dulu sama semuanya." Sharen tiba-tiba saja sudah masuk ke dalam mobil, aku melirik ke arahnya, matanya berair, dia habis menangis.
"Kamu sedih?" Gila Reno! Pertanyaan bodoh!!
"Yah, kerja disini udah lama banget. Dari pertama kerja, dan sekarang tiba-tiba aja harus pisah sama mereka. Terlebih anak-anak." Sharen merengutkan wajahnya. Ia menatapku kemudian air matanya turun menuruni pipinya. Oh Sharen.. ini pertama kalinya aku melihatnya menangis.
"Kamu menyesal?" Tolol! Harusnya aku menenangkannya! Man, ini otak sudah tidak berpikir dengan baik.
Sharen mengusap air matanya dengan tangan kanannya, ia menggelengkan kepalanya.
"Gak boleh nyesel, kalau aku menyesal atas keputusan ini itu berarti aku menyesal karena jadi istri kamu." Bibir manisnya berkata dengan begitu jujur. Aku tersenyum, merasa begitu di hormati dan di hargai ketika istrimu menuruti semua keinginanmu. Ah, indahnya hidup.
"Jadi kamu bersyukur udah nikahin aku?" Aku menatapnya dengan senyum menggoda, pipi Sharen memerah. Aku yakin dia malu.
"Kalau kamu gimana?" Tanyanya. Aku mendekat ke arahnya dan menjawil hidungnya gemas.
"Kebiasaan! Suka balik nanya." Omelku padanya. Pipinya kembali merona, dan pipiku juga mendadak memanas. Astagaaa, apa yang barusan aku lakukan? Aku menyentuh hidungnya? Sebenarnya yang aku inginkan adalah mencium bibirnya. Disini. Sekarang. Tidak, Renooo apa yang kau pikirkaaaan?!!!
"Papaa! Ayo jalan, kenapa mobilnya masih berhenti?" Di belakang, Haru memprotesku gara-gara aku yang tidak juga menjalankan mobilku. Ups, maaf sayang. Papamu ini sedang menghadapi cobaan hidup dari Tuhan.
"Kita ke hotel dulu ya, setelah itu baru klinik." Aku kembali menatap Sharen, dia hanya mengangguk sekilas. Sengaja aku mengajaknya ke hotel dulu, setidaknya ia bisa menenangkan dirinya dan tidak kembali menangis. Kalau kami pergi ke klinik lebih dulu dan Sharen kembali menangis, dan matanya sebesar jengkol, aku tidak bisa menjamin para karyawanku men-cap ku sebagai suami yang kejam karena membuat istrinya menangis di hari perkenalannya pada seluruh karyawan. Ugh, menyedihkan!
*****
Begitu sampai di hotel, aku memberikan kunci mobilku pada Valet service dan meraih tubuh Haru lalu menggendongnya. Sharen berjalan dengan gugup di sampingku, dan dengan penuh keberanian, aku meraih tangannya kemudian menggenggamnya dengan erat. Sharen melirikku sejenak dan aku tersenyum dengan tenang padanya.
Padahal boro-boro tersenyum, dalam dadaku sebenarnya bergemuruh dan tubuhku seperti disengat berjuta-juta listrik begitu tangan kami menyatu. Ini baru tangan, bagaimana kalau tubuh kami yang menyatu? Demi Tuhan, Reno! Berhentilah berpikir yang enak-enak. Apa? Enaaak?! Hiyya, Tuhan.. aku semakin tersiksa.
"Selamat pagi pak." Ami tersenyum seraya menundukkan kepalanya padaku. Aku membalas senyumnya kemudian sedikit menarik Sharen sehingga dia sejajar denganku.
"Ami, perkenalkan. Ini, istri saya." Aku mengangkat tanganku yang menggenggam tangan Sharen dan tersenyum pada Ami. Dia menatapku dengan sumringah kemudian menunduk hormat pada Sharen.
"Senang bertemu dengan ibu, nama saya ami. Resepsionis disini."
"Saya Sharen, kamu gak usah panggil ibu. Kayaknya kita juga seumuran." Ucap Sharen. Ami melirik ke arahku, seperti meminta persetujuanku untuk mengijinkannya tidak memanggil Sharen dengan sebutan 'ibu'. Aku mengangguk sekilas kemudian Ami tersenyum.
Haru bergerak-gerak ingin turun dari pangkuanku, "Papa, Haru mau main sama tante Ami!" Ucapnya. memang biasanya dia seperti itu, begitu datang dan melihat Ami, selalu ingin bermain bersama. Kalau tidak Ami, ya indri. Tapi sebenarnya Haru tidak bermain bersama mereka, Haru duduk dibalik meja mereka, dan mereka bekerja. Mungkin Haru senang bermain kantor-kantoran.
Aku menggelengkan kepalaku. "No sayang, nanti ya? kita ke atas dulu." Bujukku. Tapi Haru malah memanyunkan bibirnya dan matanya sudah memerah, oh tidak. Dia. Akan. Menangis.
"Oke.. boleh! haru main sama tante Ami disini!" Putusku kemudian. Haru berjingkrak dalam gendonganku dan dengan perlahan aku menurunkannya.
Genggaman tanganku pada tangan Sharen sempat lepas karena aku yang memegangi tubuh Haru. sekarang putriku sudah berlari dengan riang dan duduk di samping Ami. Aku hanya menghela napasku dengan jantung yang berdebar-debar. Sialan.
Justru aku membawa Haru itu karena dia adalah pencair suasana diantara kami. Sekarang kalau Haru disini dan aku bersama Sharen hanya berdua, tidak menutup kemungkinan kalau aku malah menarik Sharen ke dalam kamar. Demi Tuhan, ini hotel!! Dan hotelku memiliki keseluruhan fasilitas yang diperlukan untuk pengantin baru. Damn!! Semacam senjata makan tuan kalau begini ceritanya.
"Ayo Sha, kita ke ruangan aku aja." Dengan tubuhku yang tegang dan tanganku yang gemetar, aku merangkul pundak Sharen dan menariknya untuk mendekat ke arahku kemudian berjalan bersamaku menuju lift.
Karyawanku yang berlalu lalang tersenyum penuh arti padaku sementara aku sibuk memperkenalkan istriku pada setiap orang yang lewat. Rasanya bangga sekali, haha. Sekian lama aku hanya membawa Haru, sekarang aku membawa seorang wanita, yang mendampingiku saat ini. yang sayangnya belum ku ketahui bagaimana rasanya. APA? RASA? Tidak,Reno. Berhenti sekarang juga!!!
Pintu lift terbuka dan mataku terbelalak sangat besar. LIFT di hadapanku ini, KOSONG! Sekali lagi aku katakan Lift ini kosong! Udah berduaan, lift kosong, suami istri. Beuhhh, tinggal serang aja kan! aku bisa menghimpitnya di dinding Lift, atau mungkin di lantai Lift?
"Ini bapak satu, kenapa senyum-senyum begitu?" Aku baru sadar kalau aku tersenyum dan dengan segera ku rapatkan kembali bibirku. Menatap Sharen, aku hanya nyengir padanya.
"Liftnya kosong.. hehe" Ucapku. Bodoh? JELAS!
Sharen mengerutkan keningnya. "Ya, memang kosong!" Sahutnya. Dia terdiam dan aku juga terdiam. Justru karena kosong, istriku tersayang! Aku jadi ingin mencicipi. Tubuhmu. Disini. Sekarang.
Dan ngomong-ngomong, KENAPA LIFT INI BERJALAN LAMBAT SEKALI!!!!
Aku harus mengumpulkan para teknisi di hotel ini setelah ini.
******
"Welcome, princess!"
Sharen tertawa dengan sangat kencang begitu mendengar suara pintuku saat aku membukanya. Dia menatapku seolah aku sudah berubah menjadi Sule dan tengah melawak di hadapannya.
Matanya menatap ke seluruhan ruanganku dan tawanya kembali terdengar. Aku menatapnya dengan kesal, kenapa dia malah puas sekali mentertawakanku?
"Sumpah, ini tidak terlihat seperti ruangan bapak bos! Ya ampun, ini mah ruangan kelas di daycare." Ucapnya di tengah tawanya. Aku tidak menjawabnya, hanya duduk di sofa dan membuka jas ku kemudian melonggarkan dasiku. Tunggu, kenapa aku membuka jas dan melonggarkan dasi? Memangnya mau apa?
"Haru hebat ya, bisa membuat ruangan ini begitu berwarna." Tatapan Sharen berubah menjadi tatapan meledek dan dia kembali tertawa. Aku mendengus, ternyata ada yang lebih senang menertawakanku selain si Mushkin. Dan itu Sharen. Tapi kalau boleh memilih, aku lebih Rela di tertawakan oleh sharen. Kenapa? Karena saat dia tertawa, begitu indah. Hahaha eyaa Reno, baca puisi?
"Puas-puasin aja Sha ketawanya, memang lucu kok. Ketawa aja terus, sampe mulut kamu pegel." Sharen berhenti tertawa begitu mendengar suaraku yang sedang menyindirnya.
"Ups, maaf." Ucapnya. aku mendengus lagi ke arahnya.
"Sejak Haru lahir, sudah begini?" Ia kembali menelusuri seluruh sudut dalam ruanganku. Dan mulai berbicara dengan serius. Aku menepuk pelan tempat kosong di sampingku, dengan ragu Sharen duduk disana. dan double sialan, jarak kami sangatlah dekat!!
"Sejak Haru bisa bicara aja, dia mulai minta yang aneh-aneh." Jawabku. Menahan dengan sekuat tenaga kegugupanku atas ketegangan diantara kami. Bukan ketegangan biasa, kalau diantara suami istri yang belum saling menyentuh, ini merupakan sebuah ketegangan seksual. GILA!
"Setiap Hari bawa Haru kesini?" Sharen menggeser posisi duduknya menjadi menyamping menghadapku, aku melakukan hal yang sama juga. Menyamping menghadapnya, menatapnya dalam, dan ingin menerkamnya.
"Ya, setiap hari. kecuali kalau ada pertemuan penting yang memakan waktu lama, Haru sama mama. Tapi, itu juga jarang." Jelasku padanya. Sharen menganggukkan kepalanya, tatapannya berubah menjadi sendu.
"Pasti sulit ya? membesarkan Haru dan mengembangkan hotel." Suaranya sangat lembut sekali, dan hatiku menjadi hangat karenanya. Aku mengangguk dengan lemah, benar. Sulit sekali, ketika Haru menangis,Konsumen complain, Karyawan protes, dan banyak hal lainnya yang membuat kepalaku rasanya ingin meledak saat itu juga!
"Aku juga gak nyangka, bisa melewati saat-saat itu dan.. yah, sekarang sudah mulai terbiasa dengan semuanya."
Sharen kembali menganggukkan kepalanya. tangannya kemudian ia letakkan di bahuku dan mengusapnya dengan pelan.
"Semangat ya pak!" Dia tertawa seraya menatapku dengan tatapan yang dibuat-buat olehnya. Bahuku mendadak tegang begitu menerima sentuhan tangannya, dan ketika Sharen menarik tangannya dari bahuku, tanganku menahannya dan menggenggamnya dengan erat.
Sharen mengerjapkan matanya kemudian menatapku dengan gugup, dadaku kembali bergemuruh dan sebisa mungkin aku tak mempedulikannya. Tolong jangan ganggu momenku! Aku seoah berprotes pada tubuhku sendiri. Sial.
"Seneng banget ya, ngetawain orang." Aku menarik tangannya, membuat tubuhnya hampir meloncat padaku dan wajahnya sudah berada tepat di depan wajahku. Sharen tidak berani menatapku, ia menundukkan kepalanya. oh, kamu malu sayang?
"Tidak baik,menundukkan kepala pada suami sendiri." Ucapku yang membuat Sharen segera mengangkat kepalanya dan menatapku dengan sebal. Aku tertawa, sedetik kemudian kembali menatapnya dengan dalam.
Cantik, Sharen benar-benar cantik dalam jarak sedekat ini. aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya dulu, tetapi begitu melihatnya saat ini, dia sungguh benar-benar cantik. Alisnya, matanya, hidungnya, pipinya, semua membentuk sebuah wajah yang begitu cantik dan indah. Terlebih bibir penuhnya.
Aku sudah pernah mencobanya dan rasanya sungguh membuatku benar-benar gila karenanya.
Dadaku semakin bergemuruh begitu ku dekatkan kepalaku pada Sharen. Hembusan nafasnya terasa di wajahku, dan begitu dahi kami menempel, Sharen memejamkan matanya kemudian ku rasakan bibirku benar-benar menempel dengan sempurna di bibirnya. Astaga!
Aku merasa waktu berhenti ketika bibir kami bertemu dan saling menempel, jantungku berdegup dengan sangat cepat dan darahku mengalir dengan begitu deras, juga sesuatu dibawah sana ku rasakan mulai terusik karena bibir ini.
Dia istriku kan? ya, benar. Maka dari itu aku berhak melakukan hal ini padanya.
Dan dengan berani, akhirnya aku menggerakkan bibirku untuk mencecap bibir manis milik Sharen. Tubuhnya menegang begitu gerakanku semakin cepat dan lidahku menekan ke dalam. Sharen membuka mulutnya, mengizinkanku masuk untuk bergabung dengannya.
Sialan! Ini, oh Tuhan.. ini. sungguh sangat-sangat menyenangkan, dan nikmat.
Tanganku yang sejak tadi memegang tangannya ku pindahkan pada pinggangnya dan dengan sekejap, Sharen sudah berada diatas pangkuanku.
Dia memakai celana legging, beruntung karena kalau memakai rok panjang, akan sangat menyusahkan.
Aku melepaskan pertautan kami kemudian menatapnya dengan mengatur nafasku. Dia terengah-engah dengan pipinya yang merona merah.
"Kamu cantik Sha.." Ucapku. Dia tersenyum malu dan aku kembali memagut bibirnya dengan lapar. Sharen sudah mengalungkan tangannya di leherku, sialan. Aku benar-benar menginginkannya! Aku tidak bisa menahannya lagi. sungguh!
Tanganku bergerak, dengan lancang bermain di luar bajunya kemudian mencari sebuah gundukan yang membuatku menelan ludah untuk beberapa hari ini. begitu menemukannya, aku tersenyum puas dan menggerakkan tanganku untuk meremasnya dengan pelan.
Tubuh Sharen semakin menegang dan ku rasakan tangannya di leherku semakin erat memelukku.
Aku sudah tidak tahan, dan aku tidak peduli dimana kami berada.
Dengan cepat, tanganku mulai masuk ke dalam bajunya. Aku butuh sentuhan langsung yang tidak terhalang oleh kain apapun.
"Welcome princess!"
Dan suara pintu ruanganku membuatku menghentikan kegiatanku, aku melepaskan pertautan kami dan menatap ke arah pintu. Haru disana tengah memeluk boneka Anna nya.
ARGGGGHH!! HARU LAGIIII??
"Kenapa kesini? Haru bukannya mau main sama tante Ami!!" Suaraku meninggi, dan Haru menatapku dengan takut kemudian menangis.
APA?
MENANGIS?
LAGI?
ARGGGG..
Sharen dengan cepat turun dari pangkuanku dan menghampiri Haru kemudian memeluknya erat.
"Kok malah di marahin Harunya? Tadi gak di bolehin main, sekarang Haru kesini malah di marahin!" Sharen menatapku kesal.
"Masalahnya dia itu ganggu Sharen! Kamu masa gak ngerti sih." Aku menjambak rambutku dengan kasar. Arggg.. kan, aku malah uring-uringan seperti ini!
"Yah.. yah.. itu.."
Sharen gelagapan, dia terlihat gugup tapi kemudian dia kembali menatapku dengan galak.
"Tetep aja gak usah di marahin juga. Anak juga anak kamu!" Ucapnya, dan dia mengendong Haru kemudian keluar dari ruanganku.
Bagus, dibanding mesra-mesraan, Sharen malah kesal padaku dan Haru menangis karena aku. Hebat Reno, hebat!
Ponselkutiba-tiba saja berbunyi, dengan kesal aku mengangkatnya.
"KENAPA? MAU BIKIN KESEL JUGA?"
"Elahh.. kenapa No? PMS lu?"
"DIEM LU MUS!"
"Astogeh mama, elu kenapa pe'a!"
"GUE GAK KENAPA-NAPA. UDAH BILANG AJA KENAPA LU NELPON GUE?"
"etdah, sabar pak. Sabar. Gue cuman mau bilang, hotel yang di pangandaran―"
"OKE GUE KESANA SEKARANG JUGA!!!"
"Ih, gak usah. Besok juga bisa kok pak bos."
"Gak mau tahu pokonya gue mau kesana sekarang juga mus! Titik."
Ku putuskan sambungan telponku. Pangandaran? Siap! Aku akan pergi. Karena begini lebih baik, setidaknya aku butuh waktu untuk tidak bertemu dengan Sharen.
- TBC –
Gaje ya > hahaha
Maaf ya, soalnya aku bikin dari hari apa. Eh baru dilanjut sekarang, jadinya belingsatan begitu lah otaknya XD
Selalu berterimakasih untuk para readers yang vote dan komen..
Aku sayang kalian semua.. sangat :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro