Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 9

Mataku membuka separuh saat mendengar ketukan pelan di pintu. Aku menegakkan punggung, menoleh ke ranjang. Luciana terlihat masih pulas tertidur lengkap dengan suara mengoroknya.

Kulihat ke tirai jendela. Tak ada cahaya. Sepertinya masih gelap di luar sana. Aku bangkit perlahan, melangkah menuju pintu, dan membukanya.

Zander berdiri di muka pintu, lengkap dengan kaus putih lengan panjang dan celana jin belel biru. Tanpa basa-basi, ia langsung menarikku.

"Tu-tunggu!" teriakku tertahan. "Aku belum memakai sepatu. Kau mau membawaku ke mana?"

"Melihat matahari terbit. Ikut saja."

Aku pun terpaksa menurutinya menuruni tangga, lalu berjalan cepat keluar pintu rumah, menyusuri jalanan kecil berumput basah beberapa menit di kegelapan pagi. Pekikan keluar dari mulutku saat ia sigap membopong begitu memasuki hutan taman, terus ke dalam, melangkah menembus semak berembun dan melewati pepohonan tanpa henti.

Mataku mengerjap saat kami tiba di tepian sebuah sungai. Ia menurunkanku perlahan di tanah berumput basah.

"Kita tunggu di sini sebentar lagi."

Angin pagi segar membelai wajah dan menggoyangkan rambut serta gaun baby doll-ku. Aku sedikit tersentak saat jemari Zander lembut menyentuh pipi.

Ia meraih beberapa helai rambut yang bergerak liar menutupi sebagian wajahku, lalu menyelipkannya ke belakang telinga. Aku spontan menoleh, menatap lelaki itu dengan kewaspadaan, bercampur debaran di dada.

Ia mendengkus. "Tenanglah. Kau memandangiku seakan aku seorang penjahat."

"Bukankah kau memang seperti itu?" sindirku sembari melayangkan pandang ke arah sungai.

"Hei." Dia menarikku hingga membentur menghadap tubuhnya.

"Lihat, apa ini bukan sikap seorang penjahat?" cetusku seraya menengadah menentang matanya.

Dia hanya diam memandangiku tanpa kata untuk beberapa lama. Itu cukup membuat aku ingin sekali menyembunyikan diri dari tatapan matanya yang seakan menghipnotis.

"Mantra apa yang kau ucapkan padaku, Kalea Jones? Kau membuatku sulit untuk tidak menyentuhmu." Napasnya yang hangat beraroma mint menerpa wajahku.

Kepalaku segera berpaling darinya. Semburat merah dan oranye mulai terlihat di langit, berpadu menciptakan keindahan cahaya. Mataku menatap takjub tanpa kata.

Aku bahkan tak sadar akan posisi kedekatan kami saat ini. Yang kusadari kemudian, Zander menangkup wajahku, lalu menyatukan bibir tanpa sempat dihindari. Sempat kuletakkan kedua telapak tangan di dadanya untuk menolak saat teringat belum gosok gigi. Namun, dia seakan tak peduli.

Berbeda dengan sebelumnya, ia melakukannya lebih lembut kali ini. Setidaknya di awal. Karena, dia makin memperdalam tautan bibir kami ditambah kedua tangan lelaki itu yang mulai bergerak intens merayapi punggung, kepala, serta belakang leherku.

Tubuh kami seakan menempel erat. Aku bahkan tak sadar mulai bergerak sinkron mengikuti gerakannya.

Lidahnya ganti merayapi bagian leherku kini. Aku terengah. Rasanya begitu panas membara.

Mulutku berkhianat saat meluncurkan suara desahan. Itu membuat Zander seperti semakin menggila dan mengubah kecupan disertai jilatan di leher menjadi lumatan di bibir kembali.

Ia bahkan mendorongku bersandar ke batang pohon. Tangannya mulai merayapi ke balik gaun baby doll, menyusuri paha.

"Z ... no ...," desahku setengah mengerang.

"Kata 'tidak' dari wanita berarti 'ya' buatku, Lea ...."

Entah kapan ia melakukannya. Aku hanya merasakan jemarinya menyusup ke balik celana, dan menarik sisi bawahnya, hingga terdengar suara robekan kain.

Belum sempat aku menunggu otak untuk memproses, ia telah mengangkatku ke atas sambil memegangi kedua paha, tetap dalam posisi bersandar di pohon. Hanya butuh waktu sekejap, Zander menyatukan kami diikuti gerakan mengentak menaik turunkanku dengan cepat.

Kepalaku terangkat ke atas, menengadah seraya memejamkan mata, menikmati sensasi yang berbeda kali ini. Aku mencengkeramkan serta melingkarkan kedua tangan ke leher lelaki itu, juga bahu, bahkan merayapi punggungnya sembari terus mengerang.

Dengus napas kami saling memacu seiring peluh mulai membanjiri. Ia makin mempercepat gerakan ditimpali erangan dan geramannya.

"Lea ... marry me, please," bisiknya di depan wajahku.

Zander kembali melumat bibir sambil mencengkeram kuat pangkal pahaku. Ia mempercepat gerakan yang mengentak.

Aku merasa pusing, kacau, seakan tak mampu berpikir lagi. Mataku sempat beradu dengannya sebelum memejam kembali merasakan sensasi yang semakin memuncak.

Kami sama-sama saling mendesah dan mengerang seraya memeluk erat ketika sensasi klimaks telah muncul. Ia menurunkanku perlahan sambil terus mengecupi.

Tubuhku terasa lemas tak bertenaga saat ia memelukku erat di dadanya. Kami saling memperdengarkan desah napas tersengal, menatap rona merah keemasan di langit yang tak lagi temaram.

***

Aku bersandar di dinding kamar mandi sambil membiarkan air pancuran membasahiku. Kupejamkan mata sambil mengingat momen di pinggir sungai tadi.

Kuraba bibir yang sedikit membengkak. Rasa panas lidah dan bibir Zander masih seakan terasa di sana.

Lea, marry me, please ....

Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Otakku seketika kusut dalam berbagai pikiran tak menentu.

Bagaimana bisa aku melakukan itu, sekaligus menikmatinya. Bedebah itu telah merusak kesucianku. Kenapa malah justru kubiarkan ia menyentuh lagi?

Ketukan perlahan di pintu menyadarkanku. Buru-buru kumatikan keran pancuran.

"Ya?"

"Kau baik-baik saja di dalam? Kau sudah berada di sana selama hampir setengah jam."

Zander. Aku berdeham. "Ya, aku akan segera keluar."

Kukutuk diriku lagi yang lupa membawa baju ganti sembari meraih handuk dari gantungan, melilitkannya ke tubuh. Aku hanya memeras air dari rambut tanpa mengeringkannya.

Saat aku keluar, Zander masih menunggu. Ia menatap intens. Merasa bingung dan malu bercampur gugup, kutundukkan kepalaku.

"Lea, Zane tadi menelepon! Ia bilang akan datang hari ini!" Luciana menghentikan seruannya saat melihat situasiku dan Zander. "Oh, kalian kenapa?"

"Lea ...."

"Tidak kenapa-kenapa!" sahutku buru-buru melangkah pergi, mengabaikan panggilan Zander. "Zane mungkin akan mengajak kita jalan hari ini! Ayo, kita siap-siap!"

Aku segera menarik lengan Luciana agar mengikutiku tanpa banyak bicara. Kupalingkan wajah, melirik sekilas ke arah Zander. Ia masih memandangi dengan raut wajah penuh kerisauan.

Ia pasti tahu Zane akan datang hari ini. Dia mungkin tak mau aku pergi bersama kakaknya nanti.

Begitu memasuki kamar, kulepaskan lengan Luciana. Ia menyorotkan mata, penuh selidik mengamatiku.

"Sesuatu pasti telah terjadi pada kalian tadi pagi. Aku bahkan tak melihatmu saat bangun. Kau pergi bersamanya, bukan? Apa yang terjadi? Dia ... memaksamu lagi?"

Kepalaku menggeleng seraya melangkah ke ranjang dan duduk di pinggirannya. "Lebih buruk. Aku melakukannya dengan suka rela dan menikmatinya."

Aku menatap sendu mata Luciana yang membelalak. "Aku sangat buruk, bukan? Aku bersedia menerima perjodohan dengan kakaknya, tetapi malah bercinta dengan adiknya. Aku pasti sudah gila, Lulu."

Luciana menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Matanya mengerjap-ngerjap untuk beberapa saat. "Aku tahu ini akan terjadi. Sudah kubilang, kau menyukainya, Lea. Hatimu berdebar untuk Zander, bukan Zane."

"Tapi aku sudah berjanji akan berusaha mengenal Zane dan belajar mencintainya. Aku seharusnya membenci Zander, bukan? Kenapa? Katakan, Lulu. Apa yang terjadi padaku?"

Luciana menurunkan tangannya, lalu duduk di sampingku. "Apa lagi coba? Kalian berdua saling tergila-gila. Aku bahkan bisa melihatnya semalam saat kalian konser di bukit. Dia bahkan menyiapkan nama untuk putri kalian."

Ia bahkan masih bisa-bisanya menggodaku. Aku mendesah menahan kesal.

"Aku tak bermaksud membuatmu marah, tetapi itulah kenyataannya yang kulihat. Kau dan Z saling menggilai."

"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, Lulu," keluhku.

"Simpel. Akui saja. Lalu batalkan perjodohanmu dengan Zane. Katakan sejujurnya bahwa yang kau sukai adalah Zander."

"Kau tahu orang tuaku sangat kolot. Mereka pasti akan murka padaku. Meski Mom dan Dad terlihat ramah pada Zander, itu karena mereka belum tahu apa yang dia lakukan pada putrinya ini. Jika mereka tahu, lupakan soal perjodohan. Mungkin aku akan menghancurkan persahabatan orang tua kami, juga hubungan persaudaraan antara Zane dan Zander."

"Lalu kau mau bagaimana? Tetap melanjutkan rencana semula?"

"Aku tidak tahu." Kepalaku rasanya hendak pecah.

"Kau harus segera mengambil keputusan sebelum semuanya menjadi semakin kacau dan perasaan kalian makin mendalam, Lea."

"Aku tahu, Lulu. Aku tahu, tapi ...."

"Lea! Zane datang! Ayo, lekas turun! Kita sarapan bersama dulu!"

Aku menatap Luciana panik saat mendengar teriakan Betty dari arah ruang tamu. "Lulu, bagaimana ini? Zander sepertinya tak mau aku pergi bersama kakaknya hari ini."

"Lalu kau ingin menolaknya?"

Kepalaku menggeleng. "Bagaimana? Aku bingung. Aku takut mereka akan bertengkar nanti."

Suara ketukan terdengar di pintu. Kami saling berpandangan.

Luciana bergerak melangkah ke arah pintu dan membukanya. Zander telah berdiri di sana, menerobos masuk setelah menyingkirkan sahabatku ke samping tanpa kata.

Aku sontak berdiri. Jantungku berdentum berkali-kali. "Kau ...."

"Lekas ganti baju. Aku ikut dengan kalian."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro