Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 8

"Lea, lihat!" Luciana menunjuk ke luar jendela. "Langit penuh bintang. Kau mau jalan-jalan sebentar?"

"Sepertinya itu ide yang bagus."

Luciana beranjak keluar lebih dulu, tetapi langkahnya terhenti sejenak di luar pintu. Ia menoleh. "Kau seharusnya membawa suamimu ke Woodstock!"

"Hah?" Otakku memberitahu sesuatu. "Oh, ya, seharusnya." Tak berguna untuk menyesal saat ini. Aku bergegas menyusul Luciana yang telah berlari menuruni tangga lebih dulu.

"Hei, mau ke mana?" tanya Betty, melongok dari sela pintu kamarnya.

"Kami jalan-jalan sebentar melihat bintang! Aku janji tak akan pergi jauh-jauh dan akan segera kembali!"

Betty tersenyum senang. "Ya, bersenang-senanglah! Jangan sampai tersesat, Darling. Jika perlu ajak Zander untuk menemani kalian. Ia biasanya di kamarnya atau di istal!"

Itu tentu saja tidak perlu. Namun, untuk sekedar kesopanan, aku mengangguk dan tersenyum. "Tentu. Aku pergi dulu!"

Aku berlari keluar rumah dengan senyuman lebar. Belum pernah kurasakan bisa sebahagia dan selepas ini.

Rasanya aku ingin menghabiskan waktu seumur hidup di sini. Hei, apa yang kau pikirkan, Lea?! Lariku memelan dan terhenti.

Kepalaku menggeleng-geleng cepat. Pergilah, pikiran bodoh!

"Lea! Sini, lekas!" seru Luciana di arah samping. "Di belakang ada bukit!"

Ya, di sana juga ada kandang kuda dan Zander. Aku mendadak merasa gugup kembali.

Bagaimana jika lelaki itu kembali menangkap dan mempermainkanku? Oh, ada Luciana. Seharusnya aku akan aman.

Aku kembali bernapas sedikit lega sambil berlari mengikuti Luciana. Ia pun berteriak kegirangan sembari menaiki bukit.

Kulihat dia mengeluarkan ponsel dari saku jinnya. Gadis itu mulai sibuk mengabadikan pemandangan langit.

Aku mulai berjongkok, lalu duduk di tanah berumput. Angin mengibar-ngibarkan rambutku yang tergerai bebas.

"Ini moment yang tepat untuk mendengarkanmu memainkan violin, Lea. Sayang sekali kau tak membawanya."

Aku mendesah mendengar ucapan Luciana itu. Kurebahkan tubuh ke tanah rumput kemudian, menelentang memandangi bintang-bintang di langit. "Kau benar. Aku sungguh berharap bisa memainkan salah satu karya Lindsey Stirling saat ini."

"Kurasa kau bisa menggunakan milikku." Sebuah suara yang kukenal membuatku menoleh cepat ke arah kiri.

Zander melangkah perlahan sambil menenteng sebuah tas violin. Ia menyodorkannya ke arahku. "Aku mendengar ucapan Lulu tadi di atas. Memang tidak sama seperti Andrew, suamimu, tetapi kurasa bisa bekerja sesuai dengan yang kau mau."

Aku sontak menegakkan punggung sembari meraih benda itu. Kubuka dan mengambil isi di dalamnya, mengamati sejenak. Violin standar. Biasa digunakan untuk pemula yang baru belajar.

"Kau belajar violin?"

"Hmm, tapi tak cukup berbakat." Zander menatap langit. "Bisakah kau memainkan Lose You Now untukku?"

Mataku melebar. "Kau juga suka Lindsey Stirling?"

"Juga?" Ia mengerutkan kening sekilas, lalu seakan mengerti sesuatu, kepalanya mengangguk. "Ya, beberapa karyanya cukup menarik."

Aku melotot. "Cukup? Beberapa?"

"Mungkin karena aku tak maniak sepertimu." Ia mengedip sembari menyeringai.

"Hei!"

Aku dan Zander sama-sama menoleh ke arah Luciana yang meneriaki kami. Gadis itu kini memandangi kami sambil menaruh satu lengannya ke pinggang.

"Haruskah kalian berkencan di situ, sementara aku di sini memotret pemandangan langit sendirian? Kalian membuatku terlihat menyedihkan!"

Zander mendengkus. "Lekas berdiri dan mainkan permintaanku tadi sebelum si Pirang itu kehilangan matanya karena memelototiku."

Aku hanya mendesah sebelum bangkit berdiri dan mulai menaruh violin Zander di bahuku. Kupejamkan mata, lalu mulai memainkannya dengan versiku sendiri.

Meski tak melihatnya, aku bisa merasakan tatapan Zander begitu intens ke arahku. Kulepaskan semua perasaan yang mengalir saat memainkan Lose You Now untuknya.

Aku membuka mata saat mendengar ia mulai bernyanyi mengikuti alunan violin. Berbagai emosi seakan bergejolak di dalam diriku. Untuk beberapa saat kami berdua hanyut dalam lagu itu.

"Wow."

Luciana memandangi kami berdua takjub ketika lagu telah usai. Saat aku melirik ke arah Zander, kulihat ia pun tengah mengawasiku begitu intens.

Mata birunya yang tajam cekung menawan seakan menghipnotis justru. Untuk sejenak aku lupa berapa lama telah beradu tatap dengan lelaki itu. Suara nyanyian Zander pun seakan masih bergema di telinga dan hatiku.

"Zander, aku tak pernah mengira suaramu saat bernyanyi amat mirip dengan penyanyi aslinya, Mako. Kau pun sangat serasi mengiringi violin Lea, membawakan lagu itu dengan versi kalian sendiri." Suara Luciana kembali memecah keheningan di antara kami.

Terdengar potongan lantunan duet kami tadi keluar dari ponsel Luciana. Aku diam mendengarkannya.

Luciana benar. Suara Zander sangat mirip dengan Mako saat menyanyikan lagu Lose You Now.

"Maaf, jika aku tak bisa menahan diri. Aku hanya tanpa sadar merekam video duet kalian di ponselku. Ini ... wow. Aku tak tahu harus berkata apa. Ethan pasti akan histeris saat menonton ini nanti."

Ethan adalah guru violinku, sekaligus paman sepupu Luciana. Ia cukup tampan untuk ukuran seorang gay berumur empat puluhan.

"Sepertinya Zanea lebih berguna di tanganmu. Kau boleh memakainya atau membawanya pulang."

Aku tertegun. Kuamati violin di tanganku, lalu menatap Zander dengan berbagai emosi berkecamuk di dalam diri. "Zanea?"

Zander-Kalea. Apa dia sengaja menamakannya dengan menggabungkan nama kami berdua?

"Dalam bahasa Skandinavia, Zanea bermakna bulan." Ia menyeringai. "Kau berpikir itu gabungan nama kita?"

Wajahku memanas seketika. Sialan. Kadang lelaki itu terlalu memahami melebihi pemahaman aku terhadap diri sendiri.

"Boleh juga. Zanea bisa jadi nama putri kita nanti. Jika kau mau."

Luciana terdengar mengaduh saat terjatuh akibat tersandung sesuatu. Entah akibat dia terlalu asyik memotret atau terkejut mendengar ucapan Zander itu.

Aku berdeham sebelum buru-buru menaruh violin kembali ke tas kotaknya. "Violin ini biar saja tetap di sini. Berhentilah bicara omong kosong. Itu tak akan terjadi. Putriku kemungkinan besar akan bernama ...."

Aku terdiam sejenak. Zane digabung dengan Kalea, bukankah akan menjadi ....

"Zanea," sambung Zander dengan nada tandas dan mata menyorot ke arahku.

"Zanela!" Aku terbatuk-batuk kemudian setelah membantahnya. Kedua tanganku pura-pura menyilang, mengusap-usap bahu. "Sepertinya ini sudah cukup larut. Lulu! Ayo, kita kembali ke kamar!"

Luciana tak perlu menungguku. Ia segera lari terbirit-birit lebih dulu. "Yang terlambat sampai, harus tidur di lantai!"

"Lulu! Kau curang!" Kepalaku menoleh sekilas ke Zander dan melihat senyuman samar di bibirnya. Aku buru-buru berpaling, lalu segera ikut lari mengejar Luciana, tanpa menoleh ke belakang lagi.

***

"Zander serius denganmu."

Aku mendesah. Entah sudah berapa kali Luciana menggumamkan kalimat itu padaku.

Untung sekarang adalah musim panas. Jika tidak, aku mana mau tidur beralas matras tipis dan selimut, di lantai seperti saat ini.

"Tidak mungkin."

"Berani taruhan?" tantang Luciana sambil memiringkan tubuhnya, menghadapku.

"Dia pasti sudah berpengalaman dengan banyak wanita. Mana mungkin lelaki seperti itu mengerti tentang cinta apalagi memikirkan pernikahan."

"Z bahkan sudah menyiapkan nama untuk putri kalian. Wow."

Mataku memejam. "Diamlah, Lulu. Tidur saja sana."

"Aku tak tahu apakah kau sungguh sial atau justru beruntung, Lea."

Kudengarkan saja perkataan Luciana yang bernada lirih itu. Aku sedang tidak berminat untuk berdebat dengannya.

"Kesialanmu, mungkin sebenarnya adalah awal dari keberuntunganmu. Kau kehilangan kesucian, tetapi kau malah mendapat perjodohan. Ditambah lagi, calon tunanganmu adalah kakak dari cinta pertamamu yang telah merenggut itu darimu. Wah, jangan-jangan, jodohmu sebenarnya adalah ...."

"Lulu, percayalah. Aku bisa bangun sekarang dan menyumpal mulutmu dengan sendal."

Tak terdengar lagi suara Luciana. Telingaku terus mendengarkan suasana malam dengan mata memejam. Setidaknya ruangan kami sangat hening, sampai terdengar bunyi dengkuran gadis itu. Aku mengerang sambil menutup kepala dengan selimut.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro