Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 7

"Kau dari mana saja?" selidik Luciana. Rambut gadis itu masih terlihat setengah basah meski ia berusaha menggosok-gosoknya dengan handuk. Dia mengenakan blus bertali kali ini dan masih dengan celana jin pendek.

"Kau butuh pengering rambut?" tanyaku, mengabaikan pertanyaannya.

"Tidak usah. Aku ingin rambutku kering alami kali ini. Lagi pula aku tidak harus pergi terburu-buru, bukan?" Ia teringat sesuatu, sontak mendelik ke arahku. "Kau mengalihkan pembicaraan." Matanya kini memicing. "Kau mencurigakan."

Aku mendesah seraya mengambil handuk, lalu melangkah ke kamar mandi. "Aku mandi dulu."

Untuk mandi, itu berarti aku harus keluar kamar. Letaknya ada paling ujung di lantai sama dengan yang kutempati.

Saat berjalan menuju kamar mandi, aku baru menyadari, ada satu kamar lain di sebelahnya. Keningku mengernyit seketika.

Kamar siapa itu? Tunggu. Nathan punya dua putra. Zane dan Zander.

Jika Zane sering tinggal dan tidur di hotel, berarti yang kutempati bersama Luciana adalah kamarnya. Jadi, kamar kedua itu ....

Mataku melebar saat menyadari sesuatu. Aku buru-buru masuk ke kamar mandi. Kugulung rambut menjadi bentuk cepol satu agar tak basah.

Aku hanya butuh beberapa menit untuk membersihkan diri. Usai mengeringkan tubuh, mendadak otakku seakan membunyikan alarm.

Di mana pakaian gantiku? Astaga. Aku hanya membawa handuk tadi? Ingin rasanya kuteriakkan rasa kekesalan atas kebodohanku.

Bagaimana ini? Mungkin Zander sedang di kamar. Dia tak akan keluar. Atau ia bisa saja masih di luar rumah.

Kulilitkan handuk serapi dan sekuat mungkin menutupi dada hingga pangkal paha. Aku membuka pintu perlahan, mengintip lebih dulu.

Kurasa aman. Tak terlihat siapa pun. Hanya terdengar nyanyian Betty yang sepertinya masih tengah melakukan sesuatu di dapur.

Aku berjinjit keluar pintu kamar mandi, lalu berancang-ancang hendak lari menuju kamarku. Namun, sebuah suara mengejutkanku dari belakang, disertai sentakan pada handuk.

"Kau sengaja menggodaku, huh?"

Sontak kupegang erat-erat bagian atas handuk yang melilit tubuhku. Aku menoleh, melihat wajah Zander tengah menyeringai memandangi.

"Ti-tidak! Aku hanya lupa membawa baju ganti. Lepaskan!"

"Oh, tentu." Ia semakin menarik handukku dengan sengaja.

Aku seketika memekik. "Lepaskan peganganmu! Bukan handukku!"

"Jangan malu, Little Pet. Bukankah aku sudah melihat semua yang ada di balik handukmu?"

Kata-kata itu cukup membuat pekikanku terdengar lebih nyaring kini. Aku menatapnya kesal bercampur malu.

"Ada apa, Lea?! Apa kau melihat sesuatu atau ada ular di atas sana?!" teriak Betty dari arah dapur.

"Lea takut ular, Mom!" balas Zander sambil menyeringai ke arahku yang terus berusaha mempertahankan handuk.

"Apa?! Zander! Kau pasti menakut-nakutinya dengan ular karet mainanmu!"

Zander tergelak sebelum akhirnya melepaskan handukku. Tanpa menunggu lagi, aku lari secepatnya menuju kamar.

"Ularnya tidak galak, Lea! Ia tidak berbahaya! Setidaknya, belum!" serunya dalam gelak.

Aku menutup pintu kamar cukup keras sebelum berbalik dan menyandarkan punggung sejenak. Masih terdengar teriakan omelan Betty pada Zander di luar sana. Kuabaikan tatapan Luciana yang memandangiku penuh selidik.

"Dia mengganggumu, bukan? Apa ia juga yang menyebabkan kau tadi sore menghilang?"

Kugigit bibir pelan. Aku melangkah bergegas menuju tas berisi pakaian.

Aku buru-buru memakai gaun pendek baby doll bergambar dua beruang kecil. Kududukkan diri di pinggir ranjang. Kedua tanganku mengusap-usap wajah.

"Dia hampir melakukan itu lagi padaku tadi sore."

"Apa?!"

"Sshh!" Aku menaruh telunjuk di depan bibir. Kuceritakan semua yang terjadi di istal tadi sore pada Luciana.

Mata gadis itu membesar seakan tak percaya. "Astaga, dia pasti memang gila. Aku bahkan bisa menebak apa yang dia maksud dengan ular tadi! Kurang ajar. Bedebah dia!"

"Tapi aku mendapat keuntungan baru."

"Apa?"

"Kita bisa melihat pemandangan matahari terbenam yang sangat indah dari loteng yang ada di ujung istal."

Luciana tampak berpikir sejenak. "Jadi, benar. Dia berniat menunjukkannya padamu?"

"Hmm, kurasa begitu."

"Menurutku, dia mungkin sungguh telah tergila-gila padamu, Lea." Luciana menatapku intens. "Bagaimana dengan perasaanmu sendiri terhadapnya? Antara Zander dan Zane, siapa yang paling menyentuh hatimu?"

Aku menggeleng pelan. "Aku tak tahu. Jika kau percaya soal cinta pada pandangan pertama, itu kurasakan pada Zander, saat pertemuan di pesta malam itu. Namun, jika bicara tentang siapa yang kuinginkan untuk menjadi jodohku, aku tak tahu."

"Kau menyukai Zane?"

Otakku berpikir beberapa saat. "Aku tidak tahu apa yang kurasakan bisa disebut menyukai. Dia sepertinya lelaki baik, terlihat dewasa, ramah, lembut, dan pengertian. Jika hanya sebatas teman, aku cukup menyukainya, untuk saat ini. Demi Tuhan, kami baru saja saling mengenal."

"Lalu bagaimana dengan Zander? Apa yang hatimu rasakan tentang dia?"

Aku terdiam cukup lama, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Ia ... kadang membuatku berdebar tak karuan. Dia juga membuat aku takut, gelisah, marah, benci. Entahlah. Emosi dan perasaanku bisa menjadi sangat kacau saat berada di dekatnya."

Mulut dan mata Luciana membuka lebar kini. "Lea, kurasa kau menyukainya. Zander. Kau menyukai Zander."

***

Makan malam hanya dihadiri oleh aku, Luciana, Betty, dan Zander. Lelaki itu duduk tanpa kata di hadapanku.

Luciana di sisi kiriku, berhadapan dengan Betty. Dia sibuk memberiku kode bahwa apa yang ia katakan tadi di kamar adalah benar. Aku hanya menggelengkan kepala samar ke arahnya.

"Beginilah keadaan di sini. Zane dan papanya lebih sering menghabiskan waktu di hotel dan kantor. Beberapa hari ini mereka sangat sibuk karena banyaknya tamu, terutama para turis yang datang ke desa ini untuk sekedar berburu momen matahari terbenam dan terbit. Jika tak sibuk, mereka biasanya akan kemari.

"Di musim semi dan musim gugur, biasanya tamu-tamu semakin banyak, terutama pasangan-pasangan pengantin yang hendak berfoto."

"Kenapa kau tak ikut mengelola hotel, Zander?" celetuk Luciana tiba-tiba.

Aku sontak menyentuh lengan Luciana. Namun, mataku melirik ke Zander, mengamati ekspresinya.

Lelaki itu menghentikan gerakan tangannya seketika. Ia memandangi piring seolah ada sesuatu yang mengesalkan di sana.

Jantungku berdebar kencang saat ia perlahan menggerakkan kepala, meneleng ke arah Luciana. Dia hampir membuka mulut, tetapi urung ketika Betty berdeham.

"Zander lebih suka membantuku di rumah, membuat kue, memasak, memeras susu, dan merawat hewan peliharaan beserta kandang meski kami sekarang hanya memiliki seekor kuda dan tiga ekor sapi. Atau mengecek dan mengawasi perkebunan maple kami. Putra bungsuku ini juga mahir memperbaiki mesin atau peralatan yang rusak, berkebun, dan yang terpenting, dia paling sering menemaniku, selama ia tak bepergian bersama teman-temannya atau berkencan dengan Sonya seharian."

"Sonya?"

Kepalaku menoleh, begitu juga Luciana, saling mengerjap, menyadari betapa sinkron suara kami saat bertanya di waktu bersamaan. Tawa kecil terdengar dari mulut Zander yang kembali melanjutkan makannya.

Nyonya Betty tergelak. "Itu nama kuda betina kesayangannya."

"Istri pertamaku," ralat Zander sembari mengunyah.

Aku dan Luciana kompak menoleh ke arahnya. Kami sama-sama terbengong memandangi lelaki itu.

"Kau ... juga ... bercin ...." Luciana mendadak tergugu-gugu.

Aku paham apa yang ingin dia katakan. Segera tanganku menepuk pelan punggungnya. "Mencintai hewan atau benda kesayangan adalah hal yang wajar. Aku bahkan menganggap violinku sebagai suami pertama. Aku menamainya Andrew."

Ganti kini Zander yang memandangiku seakan tengah melihat sosok makhluk ajaib yang turun dari langit. "Andrew, huh?"

"Sonya?" Aku menaikkan satu alis, menatapnya seraya memberi senyuman mengejek.

Tawa rinai malah terdengar meluncur dari mulut Zander begitu saja. Itu cukup untuk beberapa saat membuatku terpana.

Suara tawanya bahkan seakan terus terngiang di telinga, hingga acara makan malam usai, dan aku kembali ke kamar bersama Luciana. Ada apa denganku?

"Lea, entah kau percaya atau tidak. Meski Z terkesan seorang psycho, sesuai tulisan tatonya, tetapi menurut pengamatan dan analisaku, kalian sungguh terlihat serasi. Ada satu kesamaan yang kalian berdua miliki."

Aku separuh sadar saat mendengar perkataan itu. "Huh? Apa maksudmu?"

Luciana menatapku serius. "Kalian sama-sama menyukai kegilaan dan kebebasan."

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro