CHAPTER 6
"Lea! Lulu! Kalian kemarilah!"
Kami bertukar pandang sejenak sebelum saling tarik dan dorong siapa yang lebih dulu pergi mendatangi Nyonya Zack di lantai bawah. Tentu saja aku yang kalah.
Luciana melambaikan tangan padaku sebelum memasang headset di telinga, menyambungkannya ke ponsel, lalu mulai menyenandungkan lagu. Aku keluar kamar, melangkah pelan menuruni tangga kayu.
"Lea! Lulu!"
"Iya, aku datang!"
Aku segera mencarinya ke bagian dapur. Kulihat ia tengah membuat adonan seputih kapur.
"Oh, kau sedang membuat apa, Nyonya ...."
"Kenapa memanggilku nyonya?" potong Betty. Raut wajah wanita hampir separuh baya itu terlihat kecewa meski masih menyertakan sebuah senyuman tipis di bibirnya. "Panggil saja Betty."
Aku berdeham. "Oke, Betty. Ada yang bisa kubantu?"
"Ini sudah sore. Tolong bantu aku memberitahu Zander, katakan padanya, memeras susu sapinya besok pagi-pagi saja. Dia ada di istal, di belakang rumah."
Kuanggukkan kepala meski otak menyuruhku menolak. Bagai robot, aku berjalan setengah enggan menuju pintu depan, keluar, dan langsung melangkah ke arah istal melalui jalan di samping rumah.
Butuh berjalan sekitar seratus meter untuk mencapai istal yang hanya dihuni oleh seekor kuda. Kepalaku mulai celingukan mencari-cari si empunya.
Aku segera memasuki istal. Kulihat seekor kuda cokelat bersurai hitam tengah asyik mengunyah rumput.
Tempatnya cukup luas menurutku, sangat disayangkan bila hanya untuk memelihara satu ekor kuda saja. Terlihat kandang-kandang yang kosong berjejer. Mungkin karena hanya ada seekor hewan saja, ruangannya justru terlihat bersih dan tertata rapi.
Aku terus berjalan menyusuri istal lebih dalam. Mataku mengamati sekitar ruangan.
"Kenapa kau di sini?"
Tubuhku terlonjak seketika. Aku segera berbalik dengan jantung menggila.
"Oh, Betty, maksudku, mamamu, menyuruhku mem-memberitahumu agar me-merah susu besok pagi-pagi saja," ujarku gugup.
Matanya menatap ke bagian dadaku. Aku sontak menutupi dengan kedua tangan.
"Sapi! Susu sapi!" teriakku kesal sambil merasakan hawa panas menjalar di muka.
Aku buru-buru hendak melangkah melewatinya untuk kembali ke rumah. Namun urung, saat tangannya mencekal lenganku.
"Ikut aku."
Aku terperangah. "Apa? Ke mana? Lulu masih menungguku di kamar! Mamamu juga meminta bantuanku membuat kue!"
Namun, lelaki itu seolah tak mendengar kata-kataku. Ia terus saja memaksa aku untuk mengikutinya.
Di bagian ujung, ada semacam ruangan di tingkat atas. Ia menunjuknya dengan dagu. "Naik."
"Tidak!" bantahku tegas.
Kali ini aku berkesempatan mengamati penampilannya. Benar kata Zane. Zander tengah memakai dua kalung rantai, lima cincin, masing-masing dua di tangan kiri dan tiga di bagian kanan, hampir semua berukuran cukup besar dalam model yang berbeda.
Tiga buah gelang aksesori dari bentuk ukiran unik mau pun berbahan logam dan kulit terlihat di lengan kiri. Kenapa dia menyukai benda-benda semacam itu?
Dua tato yang menghiasi kedua pergelangan tangannya pun terlihat jelas kini. Tulisan psycho di kanan, dan why not di kiri.
Psycho, why not? Astaga.
Aku pun baru sadar, Zander memiliki bulu lengan lebih lebat dibandingkan Zane. Apakah dadanya juga berbulu? Kucoba mengingat saat malam itu.
Kepalaku spontan menggeleng-geleng cepat. Berhentilah mengingat malam jahanam itu, Lea!
"Naik!"
Aku justru melangkah mundur, bahkan bersiap lari. "Tidak!"
Ia sontak menarik dan memanggulku seperti sebuah karung beras. Kakiku seketika berusaha menendang-nendang.
"Turunkan aku!"
"Jika pijakanku di tangga tak stabil gara-gara kau, kita akan terjatuh ke bawah. Tingginya cukup untuk membuat kaki kita cedera."
Aku terpaksa menghentikan gerakan pemberontakan. Kubiarkan dia menggotongku hingga mencapai bagian atas. Itu setinggi kurang lebih lima meter menurut perhitunganku.
Ia menurunkanku perlahan. Wajah dan tubuh kami saling bergesek karena gerakannya yang sengaja dibuat begitu pelan.
Aku mencoba menengadah dan mendapatinya tengah mengamatiku begitu intens. Kakiku segera melangkah mundur agar menciptakan jarak antara kami.
Namun, dia lagi-lagi menarik pinggangku menuju ke arahnya. Tak ayal, tubuh kami saling membentur seketika.
Napasku seolah tertahan di tenggorokan saat aku meletakkan kedua telapak ke dadanya untuk menahan diri agar berjarak dengan tubuh lelaki itu. Bisa kurasakan embusan napasnya yang hangat menerpa wajah.
Ia mendekatkan wajah. Aku bergerak mencondong ke belakang, menjauhinya.
Hanya dalam waktu sekian detik, sebelum aku sempat menyadari, ia telah menahan punggung dan belakang kepalaku, lalu mengunci bibir dalam lumatan. Aku spontan memberontak dalam dekapan.
Namun, itu semua sia-sia. Aku kalah tenaga.
Makianku tenggelam dalam mulutnya. Lidah bajingan itu membara, bergerak liar di dalam mulutku. Bibir Zander seolah bekerja seperti sebuah mesin penyedot, menempel begitu lekat, sulit untuk kulepaskan.
Kuangkat lututku, mencoba menyundul ke atas sebisa mungkin, tetapi gagal. Satu hal yang bisa kulakukan dalam rasa putus asa adalah menggigit bibirnya.
Ia mengaduh, lumatannya terlepas. Namun, belum sempat kabur, dia kembali menarikku, dan kini menyatukan bibir kami lagi dengan gerakan lebih kasar kali ini. Ada rasa besi berkarat bercampur sedikit amis dan sedikit terasa manis.
Aku terengah sejenak bertepatan dengan ia menjatuhkanku ke matras yang ada di sana. Hanya sebentar, dia menindih dan kembali menyatukan bibir kami lagi.
Tanganku berjuang sekuat tenaga. Pekikan-pekikanku seolah tenggelam begitu saja di mulutnya.
Aku menyerah. Cairan bening hangat membuat pandanganku buram. Ia melepaskan tautan bibir saat mendengar isak pelan yang kulepaskan begitu saja tanpa tertahan.
Rasa lelah, kesal, marah, semua bercampur baur. Aku seolah budak yang bisa dipermainkannya begitu mudah.
Ia mengecup keningku lembut, lalu membimbing aku agar menyandarkan kepala di atas dadanya. "Sudah kubilang, bukan? Aku bisa melakukan lebih dari ini kapan pun aku mau."
Aku hendak mengangkat kepalaku dari dada Zander. Namun, ia menahannya cukup kuat.
"Kau tahu, penyesalanku saat itu adalah seharusnya aku melakukannya dengan lebih lembut. Aku seharusnya tidak pergi meninggalkanmu saat itu. Tapi aku harus menemui kakakku dan menanyakan perasaannya saat mengirimkan fotomu padaku. Ia begitu memujamu. Aku bisa melihat itu di matanya.
"Aku berusaha kembali menemuimu di sana. Kau tak ada. Saat itu aku kesal, mengetahui kau begitu cepat melupakanku dengan menerima kakakku tanpa paksaan. Kukira kau bukan gadis gampangan."
"Aku berniat menolak perjodohan waktu itu saat kukira Zane adalah kau! Tapi, kau yang membuatku berubah pikiran!" Aku berhasil menegakkan kepala, menatapnya sengit.
Ia memegangi kedua sisi wajahku. "Aku? Kenapa?" Matanya menatap sedikit muram.
"Kau pikirkan saja sendiri!" Aku hendak bangkit, tetapi sisi wajahku masih tertahan di kedua telapaknya.
Zander mengusap air mata di pipiku perlahan. Matanya seolah tertarik magnet, terus memandangi aku tanpa kedip.
"Kau sangat membenciku?"
"Ya!" Kupasang tatapan berapi-api agar dia tahu aku amat sangat serius dengan ucapanku.
"Padahal tadi niatku hanya ingin membuatmu melihat matahari terbenam dari atas sini," gumamnya lirih. "Namun, entah kenapa, kau selalu terlihat menggoda untuk kusentuh."
Aku terdiam seketika. Napasku seakan terhenti begitu saja.
Dia terus memandangi tanpa henti sambil sesekali mengusap-usap kedua pipiku dengan ibu jari. "Bagaimana jika ... aku serius ... jatuh cinta padamu?"
"Tidak mungkin. Kau hanya bernafsu! Berobsesi padaku. Itu bukan cinta!"
"Tapi saat kita mencintai, kita pasti akan memiliki nafsu."
"Jika kau bisa bercinta dengan siapa saja tanpa memiliki perasaan, itu nafsu! Seperti yang kau lakukan padaku malam itu. Kau tak bisa menyentuh sembarang wanita jika kau tak mencintainya. Bukankah seharusnya begitu?!" sambarku sengit.
"Bagiku itu sama. Bedanya hanya, semakin aku tertarik pada seseorang, maka aku akan semakin bernafsu. Itu yang kurasakan padamu."
"Kau hanya tidak mau dikalahkan oleh kakakmu! Mengakulah! Kau suka meniru penampilannya karena kau iri padanya, bukan?!"
Rahang Zander mengeras. Matanya menyorot tajam. Ia segera melepaskan kedua sisi wajahku. "Jika ingin melihat matahari terbenam, kau bisa tetap di sini. Aku pergi." Nada suaranya terkesan dingin.
Tanpa menunggu jawabanku, ia bangkit, berbalik, dan dengan cepat menuruni tangga. Aku mendesah, sedikit bernapas lega.
Namun, satu hal yang kusadari. Belum ada yang kalah atau menang kali ini. Kami masih seri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro